Sere sangat dongkol, selesai makan ia berjalan ke kamar tamu lalu merebahkan diri di sana sampai terlelap. Sedangkan Faresta menatap kepergian calon istrinya dan mengembuskan napas kasar.
"Dia sangat keras kepala," gumam Faresta mengelap bibirnya dengan tisu lalu pergi mengikuti Sere.
Baru saja kakinya sampai di depan pintu, nada dering ponsel berbunyi membuat ia berhenti lalu mengangkat panggilan.
"Hallo Tuan," sapa Kean dingin.
"Ada apa?" tanya Faresta tak kalah dingin.
"Tuan Devano menginginkan sebuah mata Tuan," terang Kean pelan.
"Carilah di rumah sakitku, aku sedang malas mencari mangsa," seru Faresta.
"Selamat malam Tuan," ucap Kean.
Faresta tanpa menjawab ucapan sekertarisnya, ia langsung mematikan sambungan telepon lalu memasukan handphone ke saku. Mulai melangkah dan membuka pintu kamar tamu, terlihat Sere telah terlelap.
"Putri tidur," gumam Faresta setelah menutup pintu lalu duduk di ranjang, tangannya membelai surai indah milik Sere calon istrinya.
"Jangan jadi putri pembangkang dong," cicit Faresta naik ke ranjang lalu masuk ke selimut dan tangannya melingkar ke pinggang ramping calon istrinya.
***
Jam menunjuk pukul empat pagi, Faresta bangkit dari tidurnya saat mendengar alarm handphone berdering. Saat mematikan suara itu, lekas berbalik memandangi Sere yang terlelap begitu damai.
"Aku pergi dulu," kata Faresta mengecup pipi Sere lekas bangkit pergi keluar, melangkah ke kamar pribadinya untuk membersihkan diri.
Faresta dijemput oleh Kean, ia hanya diam tak bersuara sedikitpun. Setelah kepergian Tuan rumah, Sere menggeliat lalu bangun mengucek matanya.
"Aku nyenyak sekali," ucap Sere lalu melangkah ke toilet untuk membersihkan diri dan perutnya juga mulas.
Setelah dirasa sudah cukup, ia keluar kamar dan pergi ke dapur. Dia menatap meja makan yang masih rapi, lalu mengeryitkan dahinya.
"Bulannnnn," panggil Sere saat menatap gadis itu tengah berjalan ke arahnya.
"Iya Nona, sebentar," sahut Bulan melangkah sedikit cepat lalu berhenti saat dihadapannya.
"Ke mana Tuanmu?" tanya Sere.
"Tuan Faresta pergi sejak jam setengah empat, Nona," balas Bulan sopan.
"Apa dia tidak sarapan?" tanya Sere pelan.
"Tidak Nona, Tuan terlihat tergesa - gesa," jawab Bulan lagi.
"Ohhh, ya sudah aku ingin sarapan dulu. Kamu temani aku makan ya," ajak Sere lalu menarik lengan Bulan untuk duduk di kursi.
"Nona, saya sarapan di dapur saja." Tolak Bulan.
"Pleaseeee, jangan membantah! aku jenuh kalau makan sendiri," keluh Sere sambil mengerucutkan bibirnya.
"Maaf Nona, aku tidak berani. Takut dipecat," cicit Bulan menggelengkan kepalanya.
"Kamu tidak akan dipecat, saya jamin itu," ucap Sere menyakinkan.
"Tappp," ucap Bulan terhenti saat ditatap tajam oleh Sere.
"Turuti, atau kamu aku pecat!" ancam Sere membuat Bulan menghela napas lalu ikut duduk di kursi.
Sere tersenyum melihat Bulan menurut padanya, ia menunggu gadis itu menyendokan untuknya dan dia sendiri.
"Terimakasih, ayo makan!" celetuk Sere dengan ceria, membuat Bulan hanya tersenyum canggung.
"Kamu sudah berapa lama berkerja disini?" tanya Sere membuat Bulan terkejut dan tersedak.
"Eh, hati - hati," nasehat Sere meraih gelas yang sudah berisi air diberikan pada Bulan.
"Terimakasih, Nona," seru Bulan pelan dibalas anggukan oleh Sere.
"Ayoo jawab pertanyaanku tadi." Tagih Sere membuat Bulan mengigit bibirnya bingung.
"Baru empat bulan, Nona," balas Bulan pada akhirnya karena melihat Nonanya menunggu jawaban.
"Kamu betah bekerja disini?" tanya Sere mulai kepo.
"Betah Nona, apalagi gaji yang besar," sahut Bulan malu - malu.
Sere tersenyum lalu menggenggam jemari Bulan, membuat sang empu terkejut. "Gak usah malu, dulu juga saat aku bekerja gitu kok," serunya sambil tertawa lalu lanjut makan lagi dan melepaskan genggamannya.
"Nona tak jijik menyentuhku?" tanya Bulan hati - hati.
Sere mengeryit lalu menoleh menatap Bulan. "Jijik? memang kamu sampah, sampai - sampai aku harus jijik," cecarnya lalu melanjutkan makan lagi.
Setelah selesai makan, Bulan langsung pamit pergi untuk mencuci piring kotor. Sere pergi ke ruang tamu, ia menonton televisi. Rasa bosan menyapa dia bangkit pergi ke kamar untuk mengganti pakaian.
"Ishhh, apa dulu disini ada wanita yang menginap? kenapa banyak sekali pakaian wanita," gumam Sere meraih satu dress lalu segera mengambil dan memakainya.
Selesai memakai dress berwarna hijau muda sangat manis dan pas ditubuhnya, setelah puas mengamati ia meraih tas dan melangkah keluar.
"Nona, mau ke mana?" tanya Bulan saat melangkah masuk ke mansion dan menatap Sere sudah berpakaian rapi.
"Pergi, kamu habis dari laundry?" tanya Sere balik, sambil menatap bawaan Bulan.
"Iya, Nona. Nona masuklah lagi, karena Tuan melarang Nona untuk keluar mansion," ujar Bulan mempersilakan Sere yang mengerucutkan bibirnya kesal, tapi ia pergi masuk lagi.
"Memang dia siapa aku, ngelarang aku pergi keluar," gerutu Sere sambil menghentak - hentakan kakinya.
"Tuan telah menegaskan bahwa Nona adalah calon istrinya, jadi kami harus menjaga Nona," seru Bulan dengan ceria.
"Calon istri kok dikurung," ketus Sere terus mengikuti Bulan yang memasukan pakaian ke lemari milik Faresta.
"Sangkar emas Nona, kalau saya jadi Nona pasti akan bahagia sekali," cicit Bulan pelan.
"Ini sangat tak enak, Bulan. Kamu mau ngapain sekarang?" tanya Sere menatap Bulan yang menutup pintu lemari.
"Merapikan rumah Nona, aku akan menyapu lantai," balas Bulan.
"Aku pamit dulu Nona, apa Nona ingin sesuatu?" tanya Bulan pelan.
"Aku ingin membantumu," jawab Sere dengan ceria membuat Bulan membulatkan matanya.
"Tidak Nona, jangan! bisa - bisa saya dipenggal gara - gara membuat Nona kelelahan," ucap Bulan ketakutan.
"Kenapa bisa dipenggal, ih kamu ada - ada aja," cetus Sere sambil terkekeh dan menggeleng - gelengkan kepalanya.
"Ayooo cepat, aku sangat bosan," ajak Sere melangkah pergi mencari sapu.
"Nona jangannnn," pinta Bulan langsung bersujud dan menangis.
"Heiiii, jangan begitu! apa yang kau lakukan," ucap Sere terkejut lalu berjongkok membanfu Bulan agar bangkit.
"Ya sudah, aku tak akan menyapu. Jadi jangan begini," kata Sere pelan dibalas anggukan dan senyuman Bulan.
"Terimakasih, Nona. Apa Nona ingin diambilkan sesuatu?" tanya Bulan.
"Ambilkan aku cemilan, aku tunggu dikamar, aku ingin maraton nonton drama," kekeh Sere ia langsung duduk di ranjang lalu meraih handphone-nya.
"Aku pamit dulu Nona, mau mengambil cemilan," seru Bulan lalu dibalas anggukan karena sudah fokus ke handphone yang menayangkan drama kesukaannya.
***
Faresta menatap layar yang menunjukan Sere tengah telungkup sambil menonton sesuatu di handphone, senyumannya terukir melihat tingkah calon istrinya yang suka tiba - tiba berguling, mengigit bantal atau menjerit.
"Kamu sangat menggemaskan," kekeh Faresta terhenti saat pintu terbuka.
"Hallo Tuannn," sapa sekertarisnya.
"Ada apa, apa ada sesuatu?" tanya Faresta menatap sekertarisnya dari atas sampai bawah.
"Tidak ada, hanya inginnnn," ucap sekertarisnya membuat Faresta menyeringai.
"Sini duduk dipangkuanku lalu puaskan diriku," ujar Faresta dengan suara beratnya membuat semua wanita yang mendnegar pasti meleleh.
"Dengan senang hati, Tuan," ucap sekertarisnya dengan suara menggoda lalu melangkah melakukan hubungan badan dengan Faresta.
30 - lima puluh jutaSere terbangun saat jarum jam sudah pas menunjuk angka sepuluh. Matanya mengerjap menyesuaikan penglihatan karena cahaya masuk, gorden dibuka oleh Faresta. Pria itu baru saja pulang dari joging, dan melihat istrinya masih terlelap."Eunghhhhh," lenguhan Sere terdengar membuat Faresta menoleh memandang istrinya."Sudah bangun ratu tidur? Ayo cepat mandi dan sarapan," ujar Faresta mendekat dan duduk di hadapan Sere yang mengucek matanya."Ishhh, kamu menganggu saja. Tubuhku sangat pegal itu karenamu!" geram Sere memandang kesal ke arah Faresta."Sudah jangan menggerutu, mau kutambahkan lgi rasa pegalnya!" ancam Faresta membuat Sere membulatkan matanya lalu mendengkus."Kamu memang iblis berwujud manusia!" maki Sere menarik selimut lalu melangkah perlahan menuju kamar mandi, Faresta tersenyum jahat melihat gaya berjalan istrinya.&nbs
29 - Obat yang ditukar"Maaf Yah, tadi Sere tidur," balasnya pelan."Enak ya, tidur-tidur. Mana uang yang mau kamu transfer?" tanya Al dengan nada sedikit keras menahan amarah."Nanti Yah." Sere bingung harus menjawab apa."Nanti-nanti, pokoknya besok uang itu harus ada direkening Ayah!" geram Al lalu mematikan sambungan telepon secara sepihak."Apa yang harus kulakukan," gumam Sere memijit keningnya.***Matahari berganti bulan, Sere memandang langit malam yang terang hari ini. Ia memejamkan mata menikmati semilir angin berembus, lalu melihat bumantara lagi. Memikir ucapan sang Ayah yang menginginkan besok uang itu harus ada di rekeningnya membuat dirinya pusing.Sebuah lengan kekar melingkar di pinggang rampingnya, membikin terlonjak dan suara kekehan terdengar dari belakang."Kamu mengejutkanku, Tuann," geram Sere tetap pada posisi yang sama."Apakah kamu lupa, kamu mengganti panggilanku dengan sebutan apa?" tany
28 - Mencuri!Dari balik pohon Kanara berdiri, memandang bangunan megah yang dulu menjadi tempatnya berteduh. Tangan terkepal saat melihat sebuah mobil keluar, tetapi ia masih ragu untuk menampakkan diri saat mengingat kejadian di mansion Faresta. Ia melangkah mendekat lalu masuk ke sana, tanpa dihalangi oleh orang - orang karena mereka belum tau jika dia hendak diceraikan."Nyonya baru pulang?" sapa pelayan saat melihat Kanara berjalan menaiki tangga menuju kamarnya."Hmmmm." Kanara hanya berdehem dan menoleh sekilas tanpa berhenti melangkah, perlahan ia membuka pintu lalu masuk sedangkan pelayan yang bertanya tadi sudah pergi.Dirinya mengembuskan napas lega saat sampai kamar, dihempaskan tubuh ke kasur yang sangat empuk. Memejamkan mata lalu bangkit lagi, melangkah menuju lemari mengambil beberapa perhiasan miliknya. Hari ini dia nekad ke sini karena uang telah habis tak tersisa, dengan penuh harapan benda mahal ini belum diambil ternyata b
27 - Panggilan baru"Kenapa kamu diam saja Sere, kamukan sudah janji sama Ibu tadi mana," tegur Desti menatap tajam anaknya bak elang memandang mangsa."Ibuuuuu, astaga sudah jam segini. Pasti kamu harus ke kantor, ayoo cepat!" ujar Sere mengalihkan topik ia pamit dengan cepat dan mendorong Faresta agar berjalan."Heyyy, sudah dorongnya. Kita udah sampe ke parkiran," tutur Faresta terkekeh geli lalu berbalik memandang istrinya."Kenapa menatapku seperti itu!" ketus Sere mengalihkan matanya ke samping tidak ingin bertabrakan dengan manik Faresta."Ayo cepat! masuk mobil. Kamu akan aku antarkan ke rumah," kata Faresta lalu masuk tanpa membukakan pintu untuk Sere."Menyebalkan sekali," gerutu Sere lalu membuka pintu dan menutupnya lagi terdengar suara benda itu dikunci membuat Sere memandang suaminya."Kenapa pake segala dikunci," seru Sere spontan Faresta yang menyalakan mobil menoleh memandang istrinya."Memangnya kenapa,
26 - TamparanSere bangun pagi - pagi ia lekas membersihkan diri lalu pergi ke kantin untuk mengisi perut yang bergejolak minta diisi sedari tadi."Ahhh, kenyangnya." Sere mengelap bibirnya lalu cepat membayar."Mendingan aku belikan Ibu buah saja, pasti dia senang." Senyuman itu selalu terbingkai semenjak berbincang dengan Desti, dengan riang ia melangkah pergi menyebrang jalan untuk membeli buah - buahan."Aishhh, beruntung aku masih memiliki uang," ujar Sere memandang dompetnya, ia lekas memilih buah dan membelinya.Setelah membeli buah, Sere langsung ke rumah sakit dan cepat ke ruangan Ibunya. Saat membuka pintu pendengarannya menangkap suara tamparan membuat melebarkan akses masuk lalu matanya membulat saat melihat sang Ibu tengah memegang pipi."Apa yang kamu lakukan!" Teriak Sere penuh kebenciaan, ia mendekat dan mendekapan Ibunya."Dia pantas menerimanya, karena tak menuruti keinginanku," seru Al bersidekap dengan
25 - Jalang!"Sudahlah, Tuan. Kalau kamu ingin pergi, pergi saja," usir Sere dengan nada kesal, ia mengerucutkan bibirnya sambil menghentakan kaki.Faresta mengulas senyum tipis melihat tingkah istrinya, lalu menoleh memandang ibu mertua yang menggelengkan kepala."Ibuu, aku pamit dulu ya," ucap Faresta dibalas anggukan Desti."Hati - hati, Nak." Faresta mengangguk sebagai jawaban lalu melangkah keluar menghilang dari balik pintu."Sereee," panggil Desti membuat wanita itu menoleh memandang Ibunya."Kenapa kamu memanggil suamimu Tuan, kamu jadi seperti bawahannya," seru Desti memandang anaknya bingung."Lalu aku harus memanggil apa, Buu," balas Sere menghempaskan bokongnya di kursi.Aku memang bawahannya, aku akan ditendang jika sudah selesai melakukan tugasku," lanjut Sere dalam hati tanpa sadar meremas baju yang ia pakai.Desti menepuk bahu Sere, membuat perempuan itu mendongak memandang Ibunya. "Ada apa Bu?" tanyanya.
24 -Kamu memanggil suamimu seperti itu? Sere bungkam saat masuk mobil, ia tak mengucapkan sepatah kata pun. Sedangkan Faresta tengah fokus memandang jalanan yang di lalui, dia mengabaikan Sere.Setelah sampai tujuan mereka keluar lalu melangkah menuju di mana Desti berada, Faresta mengembuskan napas pelan lalu menarik lengan Sere agar berjalan disampingnya membuat wanita itu mendengkus kesal. "Kenapa kamu menarikku!" geram Sere dengan suara pelan. "Kita harus memperlihatkan kemesraan kita, ingatlah! bahwa mereka tidak boleh tau jika aku hanya menyewa rahimmu untuk mengandung anakku," tuding Faresta dibalas anggukan pelan oleh Sere. "Kenapa hidupku seperti ini," keluh Sere dalam hati, ia mengulas senyum setelah membuka pintu ruangan VIP. "Hai Ibuuuu, Sere datang," ucapnya berlari sedikit dan memeluk Desti yang tengah terbaring sambil tersenyum saat melihat putrinya datang. "Ibu kira, pengantin baru tidak akan menjenguk Ibu," ca
23 - Lebih keras lagiLengan Sere ditarik, membuatnya mengikuti langkah sang suami menuju kamar mandi. Saat sampai ia melihat Faresta tengah menanggalkan pakaian membikin dia mulai panas dingin dan lekas menutup matanya."Apa yang kamu lakukan," dengkus Faresta saat dirinya sudah menenggelamkan tubuh di bathup."Menutup mata," balas Sere dengan polos."Kenapa menutup mata, bukankan kita sudah bersama. Ayoo cepat bersihkan tubuhku," perintah Faresta membuat Sere mengembungkan pipinya kesal, perlahan membuka tangannya dan mengintip lalu menghela napas lega."Ayooo cepat! ini spon dan sabunnya." Faresta memandang Sere lagi, lalu menyodorkan tempat sabun dan spon."Itu aku melakukannya karena ulahmu, memberikan minuman yang ada obat perangsangnya," ujar Sere dengan nada kesal, ia berjongkok lalu menggosok punggung Faresta dengan spon cara kasar."Lebih keras, kamu lembek sekali!" ejek Faresta membuat Sere menggeram kesal lalu menggo
22 - Insiden di dapurKean sudah pergi sejak tadi, sedangkan Sere tengah menenangkan semua orang di dapur yang berwajah pucat."Tenanglah, kalian tidak akan dipecat. Aku berjanji," ujar Sere mereka semua saling lirik lalu menghela napas dan saling membalas senyuman."Terimakasih Nona, semoga Nona bisa menyakinkan agar kami tidak dipecat oleh Tuan Faresta," seru Koki itu dibalas senyum lembut oleh Sere, membuat semuanya menunduk."Ya sudah, kalian lakukan pekerjaan kalian. Aku mau melanjutkan memasak lagi," tutur Sere membuat mereka mengangguk lalu menghela napas."Semua Nona Sere bisa membantu kami nanti," batin Bulan berseru lalu mulai membantu Nonanya lagi."Akhirnya selesai," kata Sere puas, ia segera menghidangkan bersamaan Faresta berada dihadapannya."Apa yang kamu lakukan di dapur," tegur Faresta dingin memandang tajam semua penghu