"Ya ampun, Ca. Suami pulang bukannya disambut senyuman. Malah tiduran di sini. Ada-ada saja kamu!" Alex melemparkan jaket dan juga tasnya ke atas ranjang, tepat di samping Ica yang sedang berbaring lemas.
"Maaf, Mas. Tapi aku di sini juga karena kamu," balas Ica dengan suara lemah.
"Sama siapa kamu di apartemen?" tanya Ica dengan suara pelan. Ia tak ingin mertua dan iparnya mendengar pertengkarannya.
"Bosku."
"Jangan bohong, Mas. Aku tahu kamu selingkuh," balas Ica tak mau kalah. Alex mencibir dan menatap istrinya begitu tak suka dan menjijikkan.
"Trus, kalau aku selingkuh kamu mau apa? Huh? Mau apa?!"
"Aw ... sakit, Mas," rintih Ica saat Alex dengan sengaja menarik paksa salah satu jari kaki Ica hingga mengeluarkan bunyi 'krek'
"Aku gak suka wanita manja gak jelas seperti kamu! Tahu itu?" Alex membuka baju dan juga celananya. Gagal mamadu kasih dengan pacarnya kemarin, yang tiba-tiba saja datang bulan, membuat miliknya harus benar-benar menahan sakit di bawah sana. Untuk itulah ia pulang, maksud hati agar desakan di otak dan di tubuh bawahnya bisa segera terurai.
Namun sungguh sayang, bukannya senyuman dan rintihan manja istri mudanya yang ia dapat. Melainkan sosok ringkih yang terbaring tak berdaya.
"Mas mau apa?" Ica ketakutan, saat Alex mendekat dengan tubuh polos.
"Tolong keluarkan Aku!" pintanya sedikit ketus. Tangan istrinya diangkat, lalu menyentuh bagian bawah tubuhnya. Ica menangis diam. Suara dan nafasnya begitu tercekat saat suaminya dengan tega memaksanya melakukan hal tidak ingin dia lakukan.
"Tapi saya sakit, Mas. Besok saja ya?"
"Tidak bisa! Ayo sentuh!" Alex kembali memaksa tangan istrinya. Ia semakin terisak.
"Tidak tahu kenapa, aku bosan padamu Icaa! Lihatlah caramu memuaskanku saja loyo! Tak mau banyak gaya dan aarrgh ... Shit!" Alex mundur, lalu berjalan masuk ke dalam kamar mandi dengan wajah kesal.
Wanita muda itu memandang sayu punggung suaminya yang mengilang dari balik pintu. Namun, tak lama kemudian, suara erangan terdengar dari dalam kamar mandi, membuat dirinya bergidik ngeri. Mengapa suaminya berubah sekali? Ke mana suami yang lembut dan penuh cinta kasih? Ke mana lelaki yang suka membawakannya coklat saat menjemputnya kuliah? Ke mana suami yang mencintainya?
"Apa yang harus aku lakukan?" gumamnya sedih sambil mengusap air mata yang tak pernah surut.
Alex keluar dengan tubuh dan wajah yang lebih segar. Kakinya melangkah untuk membuka lemari pakaian dan mengambil asal satu buah kaus dan celana pendek pada lipatan baju.
Tanpa memedulikan Ica, lelaki itu keluar dari kamar sambil membanting pintu. Ica tersentak kaget, ia mengusap dada dan juga perutnya yang tiba-tiba menegang. Air mata yang tadi kering, kini menetes kembali.
Kamal memandang pintu kamar Ica yang baru saja dibanting oleh pemiliknya.
"Jangan ikut campur ya, Mal. Ingat pesan Ibu," bisik Bu Rani pada Kamal.
"Mas Alex galak ya, Bu? Masa istri lagi hamil dibentak-bentak," balas Kamal sambil menggelengkan kepala.
"Sssttt ... suara kamu itu pelankan!" Bu Rani menutup mulut Kamal, lalu menarik anak lelakinya itu masuk ke dalam kamar mereka.
***
Pukul satu malam, Ica benar-benar haus. Ia lupa meminta pada suaminya atau mertuanya untuk membawakannya segelas air. Tenggorokannya dan mulutnya sangat kering. Membayangkan segelas air putih dingin masuk ke tenggorokannya, tentulah membuat dahaganya ini segera terbebas."Mas, tolong ambilkan saya air minum," bisik Ica pada suaminya yang sudah tidur sambil memunggunginya. Tak ada reaksi, walau Ica sudah menekan punggung suaminya agar bangun. Lelaki itu masih saja terlelap sangat pulas.
"Mas, saya haus," ucap Ica lagi sambil menggoyangkan tubuh suaminya. Alex masih diam saja.
Ica memutuskan untuk berjalan sendiri keluar kamar untuk ke dapur mengambil air. Semoga perutnya baik-baik saja. Apalagi jarak kamar dan dapur hanya beberapa langkah saja. Pintu kulkas ia buka lebar, lalu mengeluarkan satu botol air dingin dan mengangkatnya tinggi hendak langsung menenggaknya.
"Gak boleh minum air dingin!" botol itu diambil oleh Kamal, lalu dengan cepat lelaki itu menuangkan air dispenser hangat ke dalam gelas. Kemudian, ia berikan pada Ica yang masih mengatupkan bibirnya tak bicara.
"Minumlah, setelah itu istirahat," ucap Kamal lagi sambil melengkungkan garis bibirnya.
Dengan tangan gemetar dan air mata kembali menetes di balik keremangan malam. Ica menoleh pada Kamal yang tengah berdiri mengambil snack dari lemari atas.
"Terima kasih, Mal," ucapnya pelan.
"Sama-sama. Kamu gak papakan?" Ica mengangguk. Lalu berjalan masuk ke dalam kamarnya tanpa menoleh lagi pada Kamal.
Pintu kamar tertutup, Ica duduk meletakkan pelan bokongnya, agar tidur suaminya tidak terganggu. Diangkatnya gelas meletakkannya di bibir. Menyesapnya dalam, dan dia baru tahu bahwa minum air hangat malam hari rasanya akan seperti ini. Dada bahkan perutnya ikut menghangat.
Ia kembali membaringkan tubuhnya lalu berusaha memejamkan mata.
Seperti baru saja terlelap, saat ia merasa tubuhnya tiba-tiba menggigil. Baju piyamanya ternyata sudah naik ke atas. Siapa lagi pelakunya, kalau bukan Alex. Ica benar-benar merasa tak nyaman dan ingin berteriak menolak.
"Miring, Sayang!" kata Alex dengan suara parau. Kata sayang yang dulu sangat ia suka, hari ini kenapa begitu asing dan menjijikkan untuk ditangkap oleh indera pendengarannya.
"Saya sakit, Mas. Nanti bayi kita tambah sakit," ucap Ica dengan gemetar.
"Tidak apa. Sebentar saja." Alex sudah membalik tubuh Ica menjadi miring menghadap pintu.
Tanpa pemanasan dan aba-aba. Alex memasuki istrinya tanpa ampun.
"Udah, Mas. Aduh, ya Allah sakit. Udaah ... ampuuun ... ampuun ...." Ica merasakan sakit yang luar biasa di perutnya hingga ia tak mampu mengeluarkan suara. Matanya terbelalak dengan wajah menegang keras.
"Ampun, berhenti ... sakit ...."
Wanita hamil besar itu hilang kesadaran, tetapi lelakinya masih terus menuntaskan hasrat yang masih membakar otaknya.
****
Kalian ingat Kamal'kan? Pemuda sederhana yang menolong Aminarsih di novel Istri Tanpa Suami. Ini kisah Kamal ya, semoga kalian suka dan jangan lupa sedekah gem untuk Kamal ya. Terima kasih
"Ica, kamu mau ke mana, Sayang?" tanya Bu Miranti saat anak perempuannya yang sudah berada di meja makan, pukul setengah tujuh pagi, dan masih memakai kaus santai. Bu Miranti semakin keheranan, saat mendapati koper berukuran sedang, tergeletak manis di samping anaknya. "Ca, Mama tanya, mau ke mana? Mau keluar kota? Ke mana?" cecar Bu Miranti tak sabar. Wanita paruh baya itu menarik kursi makan, persis di samping Ica."Annisa!" "Eh, iya Mama Sayang. Ica mau ke Amerika," jawabnya santai sambil terus mengunyah mi goreng buatan bibik. Mata Bu Miranti membulat sempurna."Amerika? Mau ngapain? Kerja? Kok dadakan?" cecar Bu Miranti dengan sangat kaget. Amerika? Dia saja belum pernah ke sana. "Mau cari jodoh, Ma. Boleh'kan?" senyum Ica melebar. Bu Miranti tak mampu menjawab jika itu alasannya, karena dia sendiri memang menginginkan anak perempuannya segera menikah."Memangnya Made in Indonesia sudah tidak ada?" Ica tergelak mendengar pertanyaan dari mamanya. Wanita itu menggeleng kuat, lal
Selamat membaca.Kamal tidak tahu harus bicara apa pada Ali;kakak dari Ica. Lelaki itu terus saja bercerita tentang kisah adiknya, yang selama beberapa tahun ini gonta-ganti dijodohkan dengan lelaki pilihan mama dan papanya, tetapi tak kunjung ada yang cocok.Berkali-kali wanita itu mencoba, tetapi tak juga menemuka pria yang bisa membuatnya berdebar sekaligus tertawa. Rata-rata, lelaki yang dijodohkan dengannya karena memandang status kedokteran yang dimiliki sang papa dan juga gelar hukum yang dimiliki Ica. Tak pernah ada lelaki yang benar-benar menerima Ica apa adanya, sejak ia menyandang status janda.Ada yang orang tuanya tidak setuju. Ada yang lelakinya yang gak asik. Ada juga lelaki yang matre, dan masih banyak tipe lelaki lainnya yang tak berhasil mendekati Ica. Betapa pun orang tua mengusahakannya, tetapi tetap saja Ica menjomblo di usia 26 enam menjelang dua puluh tujuh tahun.Kamal merasa sedih mendengar nasib yang dialami oleh Ica. Bagaimanapun sebenarnya wanita itu adalah
4 Tahun Kemudian.Los Angeles adalah kota terpadat di negara bagian California, dan kota kedua terpadat di Amerika Serikat setelah New York City, dan terletak di Calofornia selatan. Kota ini merupakan titik utama wilayah statistik metropolitan Los Angeles-Long Beach-Santa Ana, dan wilayah Los Angeles raya.Dijuluki City of Angels, Los Angeles adalah pusat dunia bisnis, perdagangan internasional, hiburan, budaya, media, mode, ilmu pengetahuan, olah raga, teknonologi dan pendidikan terdepan.Silicon Valley merupakan kawasan yang dipenuhi kantor perusahaan yang bergerak di bidang internet, digital, dan sejenisnya. Artherton terbilang sangat dekat dari kantor pusat Facebook.Jangan heran kalau kawasan Artherton menjadi wilayah favorit para petinggi Apple, Yahoo, Google, Hewlett-Packard, dan lainnya. Mereka tak perlu berkendara jauh untuk mencapai kantor. Untuk itulah Artherton menjadi kawasan dengan kode pos termahal di Amerika Serikat.Satu hal yang paling mengejutkan seorang Kamal di aw
Kamal, Bu Rani, dan Om Herman sudah berada di dalam mal. Mereka tengah memilih cincin cantik untuk diberikan pada Ica sore ini. Banyak pilihan cantik-cantik hingga membingungkan Kamal dan ibunya. Om Herman sampai menggeleng-gelengkan kepala memperhatikan Kamal dan ibunya yang kebingungan memilih aneka cincin."Semua bagus, Yang," puji Bu Rani menatap takjub etalase berisi emas."Pilih cincin juga buat Ibu," ucap Om Herman lagi sambil merangkul pundak calon istrinya. Kamal hanya bisa memutar bola mata malasnya melihat kedekatan sang ibu dengan lelaki tua yang bernama Herman. Canda-tawa dari sepasang calon pengantin uzur membuat dirinya jengah. Kamal memilih menjauh, sambil melihat-lihat etalase yang lain."Om, kalau melamar itu harus bawa cincin emangnya?" tanya Kamal pada Om Herman. Semua yang ada di sana termasuk tiga orang pelayan toko ikut menertawakan pertanyaan Kamal."Iya, Mal. Namanya juga melamar wanita, ya kudu bawa cincin. Masa bawa kentut doang," sahut Om Herman sambil terg
Kamal sadar dari pingsan, setelah dioleskan minyak kayu putih di hidungnya oleh Bu Rani. Beberapa kali mengerjapkan mata, mencoba untuk memulihkan kesadaran sepenuhnya. Samar Kamal melihat wajah khawatir sang ibu dan seorang pria yang baru saja mengatakan hal yang paling mengerikan dalam hidupnya. Dia saja belum ada yang mau. Padahal gagah, tampan, soleh, dan baik. Namun, kenapa yang lebih dahulu laris adalah para lelaki dan wanita berbau tanah?Sekali lagi Kamal menoleh pada ibu dan adik almarhum ayahnya. Lalu dengan sedikit merasakan nyeri di kepalanya, Kamal mencoba duduk. "Bu, anaknya pingsan jangan cuma dilihatin aja. Bagi minum, Bu," rengek Kamal dengan leher yang terasa begitu kering."Eh, iya. Gue ampe lupa, Mal. Habisnya, itu gue daritadi merhatiin hidung lu, agak kotor, Mal. Dibersihinlah!" ujar Bu Rani sambil berjalan menuju dapur. Kamal hanya bisa menyeringai sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sesaat kemudian, ia menoleh pada lelaki yang bernama Herman. Lalu deng
Kamal mengendarai motornya pelan masuk ke gang demi gang untuk menjajakan produk panci milik CV tempat ia bekerja saat ini. Penat, lelah, dan pegal pipi karena terus saja berbicara saat melakukan promosi sama sekali tidak membuatnya patah semangat atau mengeluh.Ditolak, sering. Diabaikan apalagi. Namun ia tetap berusaha. Tak pantas rasanya mengeluh, saat kita masih melihat ada orang yang berada di pinggir jalan dalam keadaan fisik tidak sempurna, sedangkan kita masih kuat dengan keadaan tubuh sempurna untuk mencari rejeki.Berangkat pagi pulang petang demi mendapatkan upah lima puluh ribu per hari dari kantor. Jika panci ada yang laku terjual, maka ia akan mendapatkan bonus seratus ribu per panci yang laku. Untuk gaji bulanan masih sangat kecil. Hanya satu juta saja, maka dari itu ia harus berusaha agar panci yang ia jajakan ada yang membeli.Seperti siang ini. Belum ada sama sekali kumpulan ibu-ibu yang membeli pancinya. Setiap sudut gang tikus dan masuk ke jalan buntu sudah ia lak