แชร์

2. Calon Bos Baru

ผู้เขียน: Mokaciinoo
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2023-01-31 07:20:11

Sepasang bola mata Denita bergerak-gerak di balik kelopak matanya sebelum kemudian terbuka secara perlahan. Denita harus menyipitkan matanya terlebih dulu untuk menyesuaikan diri dengan berkas cahaya silau yang memasuki penglihatannya.

Begitu matanya mulai bisa beradaptasi, Denita membuka mata sepenuhnya. Sepasang manik hitamnya langsung bersirobok dengan manik coklat terang milik seorang pria tak dikenal yang berdiri di samping ranjangnya.

Melihat sosok tak dikenal ini, Denita linglung untuk sementara waktu. "Aku dimana?" tanyanya dengan suara tercekat parau.

"Rumah sakit!" jawab pria bermata coklat itu acuh tak acuh.

Denita bangkit perlahan dari posisinya yang berbaring. Dia menatap pada selang infus di tangan. Lalu pada gorden yang terpasang di sekeliling ranjang. Ada juga aroma desinfektan khas rumah sakit yang juga memasuki indera penciumannya. Segera Denita diyakinkan bahwa dia memang benar ada di rumah sakit.

"Terima kasih," ucap Denita dengan tulus.

" ... "

Pria bermata coklat itu tidak menjawab. Denita pun tidak mau ambil pusing. Setelah pikirannya menjadi lebih jernih akan apa yang telah terjadi padanya malam ini, Denita mulai dirundung oleh perasaan kecewa. Dia pikir orang yang menyelamatkannya adalah Angga. Ternyata itu hanyalah harapan bawah sadarnya semata.

" ... "

Menit demi menit kemudian berlalu dalam keheningan yang canggung. Untuk sementara, Denita tidak tahu harus melarikan tatapannya kemana, selain pada pria asing yang sedang berdiri tegap di samping ranjangnya ini.

Sekilas pandang, Denita sempat dibuat terpesona oleh pria ini. Apalagi pada manik coklat terang yang seakan menenggelamkannya itu. Dari ujung kaki, hingga ujung kepala pria ini menjeritkan kata tampan dan sempurna.

Dengan potongan rambut undercut rapi. Kulit sawo matang eksotis, dan hidung mancung yang selalu menjadi nilai tambah di mata banyak wanita. Tubuhnya yang proporsional dengan tinggi berkisar 188 cm.

Pria ini terlihat macho dengan aura sombong yang memancar dari seluruh tubuhnya. Lengannya yang terbuka memperlihatkan otot lengan dan urat-urat biru yang menonjol seksi. Tipikal pria dengan deretan wanita yang siap menghangatkan tempat tidurnya.

Namun, Denita tidak terus memelototi eksistensi yang seperti pahatan dewa Yunani ini. Dia sedang tidak dalam mood mengagumi lama-lama ciptaan Tuhan yang satu ini.

Setelah menatap sebentar, Denita kembali mengalihkan perhatiannya pada jarum infus yang terbenam dalam kulit tangannya sendiri. Dia tidak menyadari bahwa pria yang masih betah berdiri tegap di samping ranjangnya ini sedang menatap ke arahnya dengan mata menyipit tajam.

Setelah melalui menit-menit hening yang membosankan, Denita memutuskan untuk berbicara dengan pria itu. Tepatnya, dia ingin menanyakan sesuatu.

"Permisi?" sapa Denita lirih.

"Hm," gumam pria itu terdengar ogah-ogahan.

"Maaf, tapi kata dokter, kapan aku boleh pulang?" tanya Denita sungkan.

"Tunggu cairan infusnya habis dulu," jawab pria itu.

Denita lantas melirik pada botol infus yang masih tersisa setengah, lalu pada jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah menunjukkan pukul 11 malam. Karena Denita tidak mau berlama-lama lagi di tempat ini, dia langsung saja mencabut dengan kasar jarum infus yang ada di tangannya.

"Aduh!" Denita meringis pelan saat melepaskan jarum infus yang ada di tangannya itu. Ternyata tidak semudah yang ada di film-film.

Mendengar ringisan pelan Denita, pria itu berkata dengan nada tidak puas. "Kok dilepas? 'Kan kata dokter, tunggu infusnya habis dulu,"

"Tidak perlu!" tolak Denita secara langsung.

Dia kemudian beranjak dari ranjang rumah sakit dengan mengabaikan rasa perih samar yang berdenyut di dahinya.

Sebelum benar-benar meninggalkan tempat ini, Denita terlebih dahulu merapikan rambutnya yang berantakan dengan jari tangannya. Juga tidak lupa merapikan pakaiannya yang sedikit kusut dan terlipat di beberapa tempat.

"Sekali lagi terima kasih," ucap Denita dengan tulus. Dia bahkan menundukkan kepalanya sedikit pada pria yang tidak dikenalnya itu.

"Permisi," lanjut Denita berniat undur diri.

Namun, baru saja Denita hendak menyibak gorden di depannya, tiba-tiba gerakan tangannya berhenti di udara. Dia hampir saja melupakan sesuatu yang penting.

"Mm," Denita bergumam ragu seraya kembali menatap ke arah pria asing itu.

"Sekali lagi maaf. Tapi kalau boleh tahu, mobil aku ada dimana ya?" tanya Denita dengan nada setengah malu.

"Di tempat parkir," jawab pria itu to the point.

"Lalu kuncinya?" tanya Denita sekali lagi. Situasi ini benar-benar canggung untuknya.

Namun, belum sempat pria itu menjawab pertanyaan Denita, gorden di depan mereka tiba-tiba tersibak pelan.

"Loh, Nit? kamu udah sadar?"

"Dimas?" Denita menyahut dengan sedikit terkejut begitu sosok teman sejawatnya yang merupakan General Manager di kantor muncul di hadapannya.

"Kamu mau kemana?" tanya Dimas heran.

"Aku mau pulang," jawab Denita jujur.

Dimas tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya menatap bergantian pada Denita, lalu pada pria yang ada di samping Denita. Suasana canggung yang begitu pekat menyelimuti mereka membuat Dimas meringis.

"O, ya. Mumpung kalian ketemu. Kenalin nih, ini Dominic Agustian Sagara. Calon bos kamu yang baru," Dimas memperkenalkan pria asing itu.

"Dom, ini Denita Widiatami. Sekertaris kamu mulai besok!" lanjut Dimas memperkenalkan mereka.

" ... "

Alis Denita berkedut pelan mendengar perkenalan dari Dimas. Dia lantas melirik kembali pada pria yang katanya calon bos barunya ini. Akan tetapi, Denita tetap tidak mengatakan apa-apa. Dia justru mengeluh di dalam hati. Rasanya dia tidak memiliki energi untuk berbasa-basi. Hanya satu hal yang ingin dia lakukan saat ini. Pulang!

"Kunci mobil kamu ada pada Dimas!" ujar Dominic ketika melihat ekspresi malas di wajah Denita.

"Oh!" seru Dimas.

"Kamu mau pulang? Mau di antar?" tanya Dimas menawarkan.

Denita langsung menggelengkan kepala cepat. "Tidak usah, Dim. Terima kasih, dan maaf merepotkan!" ucap Denita seraya kembali menundukkan kepalanya bergantian ke arah dua pria yang telah membantunya ini.

"Oke. Tapi kamu yakin?" tanya Dimas memastikan sambil menyerahkan kembali kunci mobil milik Denita kepada si empunya.

"Hm," gumam Denita sebagai jawaban. "Sekali lagi terima kasih. Dan untuk biaya rumah sakit... "

"Sudah aku urus. Jangan dikahwatirkan!" ujar Dimas seraya mengibaskan tangan di depan wajahnya.

Meski merasa bahwa ini tidak tepat, tapi Denita tidak terus mendebat. Dia sudah sangat lelah hari ini. Jadi, dia hanya bisa menerima kebaikan rekan kerjanya ini dengan penuh rasa syukur di dalam hati.

"Terima kasih!" ucap Denita untuk yang kesekian kalinya malam ini.

"Kalau begitu aku permisi dulu," sambungnya.

Sebelum mendapatkan balasan dari kedua orang itu, Denita telah lebih dulu mengambil langkah undur diri. Dia menyeret langkahnya menuju tempat parkir rumah sakit untuk mencari mobilnya sendiri.

Dan hal pertama yang Denita lakukan begitu dia menemukan mobilnya adalah duduk kembali di balik kemudi. Namun, dia tidak langsung menyalakan mesin mobilnya itu. Dia justru sibuk mencari ponsel yang seingatnya dilempar ke kursi penumpang di sampingnya.

"Angga, please!" bisik Denita lirih. Ada permohonan dalam nada suaranya.

Saat ini Denita bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat penuh harap. Dia berharap selama dua jam dia tidak sadarkan diri di rumah sakit, Angga telah membalas rentetan pesan panjangnya.

Akan tetapi, Denita ditakdirkan untuk kecewa. Sama sekali tidak ada balasan pesan dari Angga. Tanda centang dua pada akun what**pp pria itu masih menunjukkan warna abu-abu. Antara pesannya belum dibaca, atau pesannya diabaikan sepenuhnya. Hanya Tuhan yang tahu.

"Sialan!" maki Denita tanpa sadar.

Kini hatinya telah berubah dingin, dan aliran darahnya terasa membeku.

Baru petang tadi dia berusaha untuk meyakinkan diri sepenuhnya bahwa Angga memang tidak berubah. Bahwa cinta pria itu masih utuh untuknya. Akan tetapi, setelah peristiwa malam ini, masih bisakah Denita terus berharap?

Dia jelas merasa bahwa dirinya bukan lagi prioritas dalam hidup seorang Darmawan Anggara Sudibjo seperti sebelumnya.

"Sialan!" maki Denita sekali lagi.

Perasaan yang berada di luar kendali ini membuatnya benar-benar frustrasi. Antara ingin bertahan atau menyerah, hati Denita bercabang.

"Sekali lagi deh," bisik Denita sambil berusaha menghubungi Angga lagi.

Akan tetapi, yang Denita dengar berikutnya hanyalah mesin penjawab telepon yang memberitahukan bahwa Angga sedang sibuk.

Bahu Denita seketika terkulai lesu. Dia lantas menyandarkan punggungnya yang lelah pada punggung kursi. Matanya ditutup rapat-rapat menggunakan lengan kirinya. Air mata pun tanpa sadar jatuh merembes dari sudut matanya. Ketika Denita paling membutuhkan seseorang, tapi orang itu malah tidak ada di sisinya.

Saat ini hati Denita juga mulai terasa sesak, dan dia mulai muak terhadap kehidupannya sendiri yang seperti tanpa arti. Mengapa keinginan sederhananya untuk bisa bersama orang yang dia cintai begitu sulit untuk terwujud? Apakah keinginan ini terlalu mahal?

Denita menjambak rambutnya dengan frustrasi. Diabaikannya rasa perih di dahinya, dan dia mulai berteriak tanpa suara. Jika terus begini, dia benar-benar bisa gila!

"Denita! Kamu tidak bisa begini. Kamu harus percaya pada Angga. Seperti yang dia katakan tadi, kamu adalah wanita satu-satunya!" gumam Denita seraya menghapus air matanya dengan kasar.

Sekali lagi Denita memutuskan untuk berpegang pada harapan setipis kertas ini. Persetan jika orang mengatakan dia bodoh. Kisahnya, dan Angga sudah berjalan terlalu lama. Jika dia memutuskan untuk menyerah pada hubungan mereka sekarang, bagaimana dia harus memulai lagi? Usianya tidak lagi muda.

Adapun di sudut lain tempat parkir, Dimas dan Dominic masih menatap pada mobil Denita yang belum juga beranjak dari tempatnya.

"Aku menginginkan informasi lengkap tentang wanita ini," ujar Dominic pada Dimas.

"Untuk apa?" tanya Dimas pura-pura bodoh. Tapi sudut bibirnya sudah membentuk seringaian.

"Dia tidak tertarik padaku!" jelas Dominic dalam kalimat singkat.

Tidak perlu banyak kalimat pendukung, Dimas tahu apa yang Dominic maksudkan. Sahabatnya ini pasti tersinggung karena aksi dingin Denita barusan. Jiwa penakluk pria ini pasti tidak mengizinkan orang lain mengabaikan eksistensinya yang agung.

Dengan tegas, Dominic berkata, "Aku mau kamu serahkan informasi itu secepatnya. Kalau perlu, besok pagi aku sudah menerimanya!"

* * *

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
ความคิดเห็น (1)
goodnovel comment avatar
RiaMarin
seru banget cerita nya.... keluarkan bab yg banyak lagi donk
ดูความคิดเห็นทั้งหมด

บทล่าสุด

  • Istri Antagonis sang Presdir!    129. TAMAT

    "Mas, si Dominic sialan itu melaporkan aku ke polisi. Kamu tolong bebaskan aku!" seloroh Bik Ayu sesaat setelah sambungan teleponnya terhubung."Memangnya apalagi yang kamu lakukan?" tanya Pak Hendra dari seberang telepon."Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya tidak ingin melihat anak sialan itu bersenang-senang. Kenapa dia boleh berbahagia, sementara anakku sendiri gila?!" bentak Bik Ayu tanpa memedulikan dimana dia berada. "Kalau kamu tidak melakukan apa-apa, kenapa kamu bisa berakhir di kantor polisi? Aku sudah muak dengan kalian semua. Kamu jangan ganggu aku lagi. Namaku sudah cukup tercoreng gara-gara kamu. Berhubungan denganmu adalah kesalahan terbesar yang pernah aku lakukan dalam hidup ini," geram Pak Hendra. Dia lalu menutup telepon tanpa ada niat untuk memperdulikan nasib yang akan menimpa Bik Ayu."Mas Hendra? Mas Hendra!" Bik Ayu berteriak sambil membanting telepon milik kantor polisi. "Ibu tolong tenang!" tegur salah seorang polisi yang bertugas menangani kasusnya."T

  • Istri Antagonis sang Presdir!    128.

    Melalui data diri yang dibubuhkan Bik Ayu dalam surat lamaran kerjanya, orang suruhan Dominic terus mencari keberadaan wanita itu. Tentu saja rumah kediaman keluarga Hadiwijaya juga tidak luput dari target pencarian. Pada akhirnya, tidak sulit bagi orang suruhan Dominic untuk menemukan wanita yang sudah membuatnya sangat marah itu. Bik Ayu memang ditemukan di rumah keluarga Hadiwijaya. Dan atas perintah Dominic, wanita itu digelandang dengan paksa menuju kantor polisi. "Lepaskan aku! Ini pemaksaan!" seru Bik Ayu. Dia memberontak dengan keras. Namun, tenaga setengah tuanya tentu saja kalah dengan tenaga para laki-laki suruhan Dominic itu."Lepaskan aku!" teriak Bik Ayu bahkan meski dirinya sudah berada di kantor polisi.Dominic yang sedang membuat laporan hanya menatap sekilas pada wanita yang terlihat menyebalkan itu. "Ini dia orang yang ingin saya laporkan. Dan saya tidak ingin adanya upaya damai. Tolong hukum dia sesuai dengan undang-undang yang berlaku," pungkas Dominic."Apa y

  • Istri Antagonis sang Presdir!    127.

    Aksi Dominic yang mengumpulkan para cleaning service di lobi kantor menarik rasa penasaran para karyawan lain mengenai apa yang tengah terjadi.Namun, Dominic tidak mau ambil pusing soal mereka untuk saat ini. Biarkan saja mereka mengatakan apapun yang mereka inginkan. "Berikan data cleaning service yang masih aktif bekerja di sini," tukas Dominic begitu staff HRD di perusahaannya tiba.Tanpa banyak bertanya, sang staff langsung memberikan apa yang diinginkan oleh Dominic. Dia pun langsung melakukan pemindaian cepat pada tumpukan dokumen yang dibawakan padanya. Sampai kemudian matanya menangkap sosok familiar yang membuatnya menggertakkan gigi dengan keras."Ayu Hapsari?!" gumam Dominic dengan marah.Dia pikir musuh bebuyutan istrinya ini sudah menyerah dan kapok mencari masalah dengan mereka. Tapi siapa yang menyangka kalau ternyata wanita ini sedang membuat rencana jahat di bawah hidungnya."Dimana wanita bernama Ayu Hapsari ini?" tanya Damian seraya menatap satu per satu wajah yan

  • Istri Antagonis sang Presdir!    126.

    "Dok, bagaimana kondisi istri dan calon anak saya?" "Dok, bagaimana kabar menantu dan cucu saya?""Dok, bagaimana kabar anak dan cucu saya?"Dominic, ibu Herlina dan ibu Evelyn berhamburan menghampiri dokter yang baru saja memberi penanganan pada Denita. Mereka bertiga langsung merongrong sang dokter dengan berbagai pertanyaan. Melihat wajah khawatir ketiga orang di depannya, sang dokter hanya tersenyum simpul. "Nona Denita baik-baik. Dia hanya terlalu shock dan butuh istirahat yang baik," jawab dokter."Serius, Dok?" tanya Dominic tidak benar-benar lega.Dengan sabar dokter itu mengangguk. "Iya," "Lalu cucu kami gimana, Dok?" tanya ibu Herlina."Bayi di dalam kandungan Nona Denita juga baik-baik saja. Untung langsung segera dibawa ke rumah sakit sehingga dapat dengan cepat ditangani. Jadi kondisinya tidak terlalu mengkhawatirkan," ucap Dokter menjelaskan."Syukurlah,""Terima kasih, Dok!""Iya, sama-sama,"Setelah kepergian dokter yang menangani Denita, baik ibu Herlina dan ibu Ev

  • Istri Antagonis sang Presdir!    125. Insiden di kantor (2)

    Dengan bibir cemberut, Denita keluar dari ruangan Dominic menuju meja kerjanya. Pakaian ganti yang agak sempit membuat setiap pergerakannya menjadi tidak nyaman. Dan karena suasana hati yang tidak terlalu baik, Denita tidak memperhatikan ada tetesan cairan berwarna biru di samping kaki mejanya. Tatkala kakinya menginjak cairan itu, tubuh Denita limbung ke belakang. Dia menjerit dengan panik dan berusaha mencari pegangan. Akan tetapi, tangannya hanya bisa menggapai udara yang kosong. "Arrrrrgggghhhhh!!!" BRUUUK, Suara tubuhnya yang menghantam lantai begitu keras hingga membuat Dominic yang ada di dalam ruang kerjanya terkejut setengah mati. "Denita!" serunya. Tanpa membuang-buang banyak waktu, dia langsung berlari menuju sumber suara. Sosok sang istri yang terbaring di atas lantai sambil memegangi perutnya membuat sepasang netra Dominic membulat lebar. "Denita!" serunya. "Sakiiiitttt," keluh Denita. Air mata menitik deras dari pelupuk matanya. Rasa panik akan bayi di

  • Istri Antagonis sang Presdir!    124. Insiden di Kantor

    Setelah masalah Niko selesai, Denita akhirnya bisa menjalani hidupnya dengan tenang. Dia juga bisa menikmati kehamilannya dalam damai tanpa adanya drama yang berliku-liku. Bahkan diusia kandungan yang sudah menginjak delapan bulan, dia masih semangat bekerja."Babe, kamu berhenti kerja aja ya. Perut kamu sudah mulai buncit. Pergerakan kamu juga sudah tidak luwes lagi. Sebaiknya istirahat di rumah," Ucapan Dominic ini langsung membuat bibir Denita maju beberapa senti. Dia tidak tahu apakah ini karena faktor kehamilan atau bukan. Akan tetapi, dia mulai menerjemahkan kata-kata orang dengan cara yang berbeda. Seperti sekarang ini, dia tiba-tiba merasa bahwa ucapan suaminya memiliki arti yang negatif. "Jadi kamu merasa terganggu karena perutku yang buncit?" tanya Denita dengan nada merajuk. Suaranya bahkan terdengar tercekat seperti sedang menahan tangis."Bukan begitu," tukas Dominic dengan segera. "Aku hanya takut kalau kamu akan kelelahan. Aku nggak mau kamu dan anak kita kenapa-kenap

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status