Setelah urusan biaya rumah sakit Ella selesai, di sinilah Alda dan Ardian berada. Menatap pada rumah minimalis berwarna putih yang ada di depan mereka.
"Baca basmalah, Kak. Orang tua aku galak soalnya!" Begitu kata Alda sebelum mengetuk pintu rumah. "Siapin mental." Ardian hanya diam, menarik napas panjang. Sejak menjemput gadis itu di Vielca Cafe, Alda mulai memanggilnya ‘Kakak’. Katanya sih biar sopan dan juga karena memang usia Ardian lebih tua 3 tahun dari Alda. Setelah beberapa saat mengetuk pintu, akhirnya sosok paruh baya muncul usai pintu terbuka. Michelia--begitu namanya. "Assalamualaikum, Ma." "Kenapa lagi?! Kamu udah kehabisan uang? Katanya kamu sama Ella bisa mandiri. Terus, kenapa datang lagi ke sini?!" Terpaksa Alda menurunkan tangan disertai senyuman pahit saat mama tak menyambut uluran tangannya. Tak jauh beda dengan mata Ardian yang ikut melotot melihat kenyataan tersebut. "Makanya, kalo masih butuh sama mama papa itu jangan sok. Baru bisa ngasilin uang dikit aja udah sombong!" Ardian yang sudah kepalang kesal akhirnya menyela. "Maaf, Tante. Kami datang kesini ingin bicara baik-baik. Apa bisa kami masuk?" Michelia memicing. "Bicara tentang apa?!" Dalam hati, Ardian merapalkan sejuta doa. Semoga dirinya bisa bersabar hingga akhir. "Ada yang mau saya bicarakan, Tante." Berdecak, akhirnya Michelia membuka pintunya lebar-lebar. Dari detik itu, mengalirlah pembicaraan yang tidak bisa dikatakan sebagai pembicaraan hangat. Niat hati Ardian yang semula ingin meminta Alda secara baik-baik kepada orang tuanya malah mendatangkan pembicaraan yang menguras emosi. Hingga Willie– ayah Alda tiba di hadapan mereka, percikan api kekesalan itu masih melingkupi hati Ardian. "Jadi gimana? Apakah Om sama Tante merestui?" Mati-matian Ardian melawan kesal. Michelia yang lebih dulu angkat suara. "Kalo mau nikah, ya nikah aja. Ngapain sih ke sini segala? Kirain ini pembahasan yang penting. Ck, buang-buang waktu saya aja!" "Kami datang ke sini baik-baik loh, Tan. Kami mau minta restu. Ini anak Tante yang mau nikah." Ardian harap, stok sabarnya masih banyak. Sumpah, sejak tadi hawa di rumah ini terasa panas. "Saya nggak peduli. Satu lagi, jangan harapkan kedatangan saya dan suami saya di pernikahan kalian nanti. Karena kami orang sibuk!" Willie mengangguk. "Kalo kamu mau nikahi Alda, silakan. Tapi, saya juga nggak bisa hadir sebagai walinya. Jadi, serahkan semuanya sama wali hakim." Ardian sudah tidak tahan lagi. Pada akhirnya, kesabarannya terkikis habis. "Jadi, gini ya cara kalian memperlakukan anak sendiri? Ella di rumah sakit, kalian kemana? Alda mau nikah juga nggak peduli! Kalian orang tuanya bukan?!" Alda ikutan berdiri. Memberi isyarat pada Ardian agar tenang. "Kamu ini mau minta restu atau marah-marah, sih?! Nggak sopan banget!!" Michelia ikutan berdiri. Menatap Ardian dengan tatapan berkilat. "Pergi dari sini! Dan kamu Alda, jangan menampakkan muka lagi di depan mama sama papa. Mulai detik ini, kamu bukan anak kami lagi!!" "Ka---" Alda mengusap pelan bahu Ardian. Menasehatinya pelan-pelan, "Udah, Kak. Bagaimanapun, mereka orang tua aku. Ayo pergi," ajaknya halus. Sadar dirinya sudah melewati batas, akhirnya ia mengangguk. Memilih mengikuti langkah Alda yang menarik lengannya. 🍃 "Tadi kan udah dibilangin, orang tua aku galak. Kakak sih, aku ngomong nggak didengerin." Alda mencibir. Ardian tak menjawab. Hanya diam menatap pada Alda yang sibuk membuka tutup botol minuman dingin yang dipegangnya. "Nih, minum dulu. Jangan marah-marah. Nanti cepet tua." Berdecak, Ardian akhirnya menerima minuman tersebut dan meneguknya hingga tandas. Lumayan untuk mendinginkan hatinya yang sedang panas. "Besok, kamu kosong jam berapa? Kita mau ke butik bunda." "Buat apa?" tanya Alda dengan mata mengerjap polos. Satu hal yang menuai decakan malas dari Ardian. "Ngamen," balasnya kesal. "Ck, serius dong!" "Fitting baju pengantin." Spontan Alda menganga lebar. Secepat itukah pernikahan mereka? "Mangap terus, sampai seluruh lalat masuk mulut kamu." "Kak, hampir nggak ada loh yang nikah hanya dengan beberapa kali tatap. Buru-buru banget nikahnya. Emang nggak mau kenalan dulu?" "Saya sudah tahu nama kamu. Kamu juga sudah tahu nama saya. Saya juga udah ketemu sama orang tua kamu. Jadi, apa lagi yang perlu diperkenalkan?" Alda habis kata-kata. Rupanya terlalu sulit melawan kalimat Ardian. "Apa ini nggak terlalu mendadak, Kak? Maksud aku, kita baru ketemu beberapa kali loh. Kita belum tahu karakter masing-masing." Ardian berdiri dari duduknya. Ia menghela panjang. "Saya terdesak, Alda. Nggak ada waktu lagi buat kenalan. Nanti ajalah kenalannya. Habis nikah." Terpaksa Alda mengalah. Ia tahu dirinya tidak bisa egois dalam hal ini. Ardian sudah terlalu baik karena mau membiayai seluruh pengobatan Ella sebelum mereka menikah. Harusnya, ia juga bisa mengerti keadaan Ardian. "Oke, besok kita fitting baju pengantin," putusnya begitu pasrah. "Butiknya dimana? Biar habis kuliah aku langsung kesana." "Saya jemput di kampus kamu." Alda mengangguk saja. Entah ini awal yang baik atau awal yang buruk untuk hidupnya dan Ardian. Ia benar-benar pasrah. "Ayo pulang." Ardian mengangguk. Mengikuti langkah Alda yang berjalan mendahuluinya. Dalam langkahnya, pemuda itu menghela. Sungguh, ia tak pernah menyangka bila nasib Alda jauh lebih buruk darinya. "Saya janji nggak akan menelantarkan kamu dan adik kamu. Kamu bisa pegang janji saya." Gadis itu menoleh. Menatap Ardian yang balas menatapnya serius. “Saya janji akan berusaha jadi suami yang baik buat kamu."Hari semakin gelap ketika Alda duduk memeluk lutut di trotoar jembatan dengan perasaan hampa. Kondisinya benar-benar sangat memprihatinkan. Rambutnya acak-acakan. Matanya pun sembab karena kebanyakan menangis.“Kenapa semua kesulitan menimpa aku? Aku salah apa?!” Gadis itu mendongak menatap langit. Mencari-cari pembelaan yang kiranya masih ada. Namun, tak ada sahutan. Tanyanya berbalik hampa. Yang ia temui malah suara ponselnya yang menampilkan ribuan notifikasi dari instagram. Di sana, orang-orang berbondong-bondong mengomentari fotonya dan Ardian yang beberapa waktu lalu sempat ia posting.Anathaniaaa_ Aduh, nih orang nggak ada banget malunyaIm.crrissa Tanpa Ardian, kira-kira orang ini jadi apa, ya? Chaca132 @ Im.crrissa pastinya jadi gembelArnyathama_ istrinya mungkin kurang belaianAya.ta28 Jujur, dari awal nikah emang udah nggak sreg sama istrinya. Muak liatnyaTrisha.ayn Dapet yang sesempurna Ardian, malah milih yang kentang. Emang paling bener dicerai aja @Ardianelfaero
"Alda, ngapain di sini?"Spontan Alda menoleh. Kegiatannya yang tengah sibuk memilih novel praktis terhenti. Kini di hadapannya berdiri seorang Aksa yang tersenyum begitu lebar."Lagi cari novel buat isi waktu luang." Ia tersenyum. Kembali tangannya menyentuh novel yang semula ia ambil. "Kakak sendiri ngapain di sini?""Mau liat-liat buku juga." Aksa melirik sekitar. Mencari keberadaan Ardian. "Ardian nggak ikut?""Kak Ardian lagi sibuk. Jadi, nggak bisa ikut."Tanpa Alda ketahui, diam-diam Aksa memasang senyum smirk. Jika Ardian tidak ikut, jelas ini adalah kesempatannya untuk bersama Alda."Yaudah, kalo nggak ada Ardian, gue aja yang temenin."Alda yang tak tahu menahu isi akal busuk Aksa mengangguk saja. Ia pikir, Aksa juga adalah kakak iparnya. Jadi, tidak masalah.Hingga lima belas menit kemudian, keduanya akhirnya menuju kasir untuk membayar."Habis dari sini, lo mau ke mana?" Alda yang ditanya praktis menoleh. "Langsung pulang, sih. Kenapa emang?""Em, kalo gue ajak lo makan d
"Ini data pencatatan tahun kemarin yang Bapak minta."Ardian mengangguk. Meraih dokumen tersebut dan membacanya. "Ini udah---""Ardian!"Pemuda itu menoleh. Kontan memijat pelipisnya pelan ketika mengetahui siapa yang dengan tidak sopannya mengganggunya. Ia tatap Erna, sekretarisnya dengan helaan napas panjang. "Kamu boleh pergi. Laporan ini akan saya periksa terlebih dahulu," titahnya yang membuat wanita itu mengangguk. Setelahnya, ia pamit undur diri."Aku bawain makanan buat kamu." Sementara perempuan yang sudah mengacaukan fokus Ardian itu akhirnya mendekat. Di tangannya terdapat paper bag berisi makanan."Ini ada ayam kecap sama tumis kangkung. Kamu pasti suka," ujarnya seraya membuka isi kotak bekalnya. "Aku bawa ikan goreng ju---""Netta, stop!" Ardian dibuat kepalang kesal. Tatapannya pada perempuan itu semakin tajam saja. "Saya udah nikah. Tolong jaga jarak sama saya!""Tapi, aku masih sayang sama kamu, Ar." Perempuan itu mendekat. Mencoba mengelus rahang Ardian. "Aku juga ud
“Ada, Anna punya tanda lahir. Di lengan kiri.”Alda diam memikirkan kalimat Erlin. Setidaknya sebelum wanita itu kembali berujar, “Bunda juga masih nyimpan foto Anna. Kamu mau liat?” tawarnya yang langsung diangguki oleh Alda. “Ya udah, ikut bunda yuk!” Alda mengangguk lantas mengikuti langkah sang ibu mertua. Erlin membawa Alda ke sebuah ruangan di samping kamarnya dan sang suami. Seingat Alda, selama ia di rumah ini ruangan itu tidak pernah dimasuki oleh siapapun. “Ayo masuk!” Alda mengangguk. Ketika masuk, gadis itu mengedarkan pandangannya mengamati setiap sudut ruangan. Desain kamar ini terlihat indah dengan cat berwarna biru langit dipadukan dengan warna putih. Di dalamnya terdapat satu buah ranjang dan dua buah lemari berukuran sedang. Pada sudut kamar, Alda dapat melihat jajaran boneka yang tersusun sangat rapi. “Kamar ini dulunya adalah kamar yang sudah disiapkan untuk Anna.” Erlin mulai bercerita. Ia menatap menantunya yang masih sibuk mengamati beberapa foto ya
“Tau apa lo soal kebahagiaan Alda?!” Napas Ardian memburu. Ia tatap Aksa dengan tatapan berkilat tajam. Aksa tersenyum remeh. “Perlu gue perjelas? Hidupnya sekarang semakin runyam setelah nikah sama lo.” Pemuda itu mendekat. Menepuk-nepuk pelan pundak Ardian. “Udahlah, serahin aja Alda sama gue. Gue masih mau kok meski dia udah jadi janda.” “BAJINGAN!!” Tanpa babibu, begitu saja Ardian melayangkan tinjunya ke wajah Aksa. “Dengar, sampai mati pun gue nggak akan serahin Alda sama manusia berwatak setan kayak lo!!” Aksa terkekeh. Ia usap ujung bibirnya yang mengeluarkan darah. “Fine kalau gitu. Gue akan rebut dia dari lo. Pake cara apapun itu.” BUGH! Sekali lagi Ardian melayangkan tinjunya. “Jangan berani sentuh istri gue! Atau lo rasain sendiri akibatnya!” ujarnya penuh peringatan. “Liat, lo ini pemarah. Alda akan hidup sengsara sama lo.” Geram, sekali lagi Ardian melayangkan tinjunya. Tak segan menendang pemuda yang berstatus sebagai kakaknya itu hingga tersungkur
Sore itu, langit berwarna jingga pudar. Di taman belakang rumah mewah tiga lantai itu, dua pria dewasa berdiri dan saling tatap dalam diam yang menegangkan. Mereka adalah Ardian dan Aksa.“Langsung to the point!” Ardian memandang Aksa lurus. Sungguh tak minat sekali berbicara dengan kakaknya itu. Jika bukan karena sang bunda yang meminta ia dan Alda datang ke rumah ini, ia pasti tidak akan datang selagi Aksa ada di sana.“Lepaskan Alda!” pinta Aksa. Ia menatap Ardian tak kalah dingin.Ardian berdecih, tingkah kakaknya ini sangatlah memalukan. Dulu, segalanya sudah ia relakan. Ia selalu mengalah dari Aksa. Namun, semakin ke sini tingkah kakaknya itu semakin kelewatan.“Alda bukan barang yang bisa dimiliki, ditukar, dan diminta seenak jidat!!”Di depan Ardian, Aksa tersenyum meremehkan. Netranya menatap pemuda itu tak bersahabat.“Dia nggak pantas sama lo!”Ardian tersenyum miring. “Terus, lo kira lo yang lebih pantas?” tanyanya sarkas. “Hanya orang bodoh yang akan bilang kalo Alda pant