Share

2. Promise

Author: Hara Kiew
last update Last Updated: 2025-06-22 18:19:07

Setelah urusan biaya rumah sakit Ella selesai, di sinilah Alda dan Ardian berada. Menatap pada rumah minimalis berwarna putih yang ada di depan mereka.

"Baca basmalah, Kak. Orang tua aku galak soalnya!" Begitu kata Alda sebelum mengetuk pintu rumah. "Siapin mental."

Ardian hanya diam, menarik napas panjang. Sejak menjemput gadis itu di Vielca Cafe, Alda mulai memanggilnya ‘Kakak’. Katanya sih biar sopan dan juga karena memang usia Ardian lebih tua 3 tahun dari Alda.

Setelah beberapa saat mengetuk pintu, akhirnya sosok paruh baya muncul usai pintu terbuka. Michelia--begitu namanya.

"Assalamualaikum, Ma."

"Kenapa lagi?! Kamu udah kehabisan uang? Katanya kamu sama Ella bisa mandiri. Terus, kenapa datang lagi ke sini?!"

Terpaksa Alda menurunkan tangan disertai senyuman pahit saat mama tak menyambut uluran tangannya. Tak jauh beda dengan mata Ardian yang ikut melotot melihat kenyataan tersebut.

"Makanya, kalo masih butuh sama mama papa itu jangan sok. Baru bisa ngasilin uang dikit aja udah sombong!"

Ardian yang sudah kepalang kesal akhirnya menyela. "Maaf, Tante. Kami datang kesini ingin bicara baik-baik. Apa bisa kami masuk?"

Michelia memicing. "Bicara tentang apa?!"

Dalam hati, Ardian merapalkan sejuta doa. Semoga dirinya bisa bersabar hingga akhir. "Ada yang mau saya bicarakan, Tante."

Berdecak, akhirnya Michelia membuka pintunya lebar-lebar.

Dari detik itu, mengalirlah pembicaraan yang tidak bisa dikatakan sebagai pembicaraan hangat. Niat hati Ardian yang semula ingin meminta Alda secara baik-baik kepada orang tuanya malah mendatangkan pembicaraan yang menguras emosi. Hingga Willie– ayah Alda tiba di hadapan mereka, percikan api kekesalan itu masih melingkupi hati Ardian.

"Jadi gimana? Apakah Om sama Tante merestui?" Mati-matian Ardian melawan kesal.

Michelia yang lebih dulu angkat suara. "Kalo mau nikah, ya nikah aja. Ngapain sih ke sini segala? Kirain ini pembahasan yang penting. Ck, buang-buang waktu saya aja!"

"Kami datang ke sini baik-baik loh, Tan. Kami mau minta restu. Ini anak Tante yang mau nikah." Ardian harap, stok sabarnya masih banyak. Sumpah, sejak tadi hawa di rumah ini terasa panas.

"Saya nggak peduli. Satu lagi, jangan harapkan kedatangan saya dan suami saya di pernikahan kalian nanti. Karena kami orang sibuk!"

Willie mengangguk. "Kalo kamu mau nikahi Alda, silakan. Tapi, saya juga nggak bisa hadir sebagai walinya. Jadi, serahkan semuanya sama wali hakim."

Ardian sudah tidak tahan lagi. Pada akhirnya, kesabarannya terkikis habis.

"Jadi, gini ya cara kalian memperlakukan anak sendiri? Ella di rumah sakit, kalian kemana? Alda mau nikah juga nggak peduli! Kalian orang tuanya bukan?!"

Alda ikutan berdiri. Memberi isyarat pada Ardian agar tenang.

"Kamu ini mau minta restu atau marah-marah, sih?! Nggak sopan banget!!" Michelia ikutan berdiri. Menatap Ardian dengan tatapan berkilat. "Pergi dari sini! Dan kamu Alda, jangan menampakkan muka lagi di depan mama sama papa. Mulai detik ini, kamu bukan anak kami lagi!!"

"Ka---"

Alda mengusap pelan bahu Ardian. Menasehatinya pelan-pelan, "Udah, Kak. Bagaimanapun, mereka orang tua aku. Ayo pergi," ajaknya halus.

Sadar dirinya sudah melewati batas, akhirnya ia mengangguk. Memilih mengikuti langkah Alda yang menarik lengannya.

🍃

"Tadi kan udah dibilangin, orang tua aku galak. Kakak sih, aku ngomong nggak didengerin." Alda mencibir.

Ardian tak menjawab. Hanya diam menatap pada Alda yang sibuk membuka tutup botol minuman dingin yang dipegangnya. "Nih, minum dulu. Jangan marah-marah. Nanti cepet tua."

Berdecak, Ardian akhirnya menerima minuman tersebut dan meneguknya hingga tandas. Lumayan untuk mendinginkan hatinya yang sedang panas.

"Besok, kamu kosong jam berapa? Kita mau ke butik bunda."

"Buat apa?" tanya Alda dengan mata mengerjap polos. Satu hal yang menuai decakan malas dari Ardian.

"Ngamen," balasnya kesal.

"Ck, serius dong!"

"Fitting baju pengantin."

Spontan Alda menganga lebar. Secepat itukah pernikahan mereka?

"Mangap terus, sampai seluruh lalat masuk mulut kamu."

"Kak, hampir nggak ada loh yang nikah hanya dengan beberapa kali tatap. Buru-buru banget nikahnya. Emang nggak mau kenalan dulu?"

"Saya sudah tahu nama kamu. Kamu juga sudah tahu nama saya. Saya juga udah ketemu sama orang tua kamu. Jadi, apa lagi yang perlu diperkenalkan?"

Alda habis kata-kata. Rupanya terlalu sulit melawan kalimat Ardian.

"Apa ini nggak terlalu mendadak, Kak? Maksud aku, kita baru ketemu beberapa kali loh. Kita belum tahu karakter masing-masing."

Ardian berdiri dari duduknya. Ia menghela panjang. "Saya terdesak, Alda. Nggak ada waktu lagi buat kenalan. Nanti ajalah kenalannya. Habis nikah."

Terpaksa Alda mengalah. Ia tahu dirinya tidak bisa egois dalam hal ini. Ardian sudah terlalu baik karena mau membiayai seluruh pengobatan Ella sebelum mereka menikah. Harusnya, ia juga bisa mengerti keadaan Ardian.

"Oke, besok kita fitting baju pengantin," putusnya begitu pasrah. "Butiknya dimana? Biar habis kuliah aku langsung kesana."

"Saya jemput di kampus kamu."

Alda mengangguk saja. Entah ini awal yang baik atau awal yang buruk untuk hidupnya dan Ardian. Ia benar-benar pasrah.

"Ayo pulang."

Ardian mengangguk. Mengikuti langkah Alda yang berjalan mendahuluinya. Dalam langkahnya, pemuda itu menghela. Sungguh, ia tak pernah menyangka bila nasib Alda jauh lebih buruk darinya.

"Saya janji nggak akan menelantarkan kamu dan adik kamu. Kamu bisa pegang janji saya."

Gadis itu menoleh. Menatap Ardian yang balas menatapnya serius. “Saya janji akan berusaha jadi suami yang baik buat kamu."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Barbar Direktur Sad Boy    129. Pelangi setelah hujan

    Sore itu, di tengah langit yang mulai memerah, Meira, Irwan, dan Netta akhirnya tiba di kediaman Alda dan Ardian. Ketiganya datang bersamaan. Suasana sore yang hangat seakan menyambut kedatangan mereka. ​Pintu rumah dibuka oleh Bi Sumi, sosok yang sudah tak asing lagi bagi mereka. Senyum ramah Bi Sumi mengembang. "Silakan masuk, Nyonya sama Tuan ada di dalam," ujarnya hangat. Meira balas tersenyum. "Terima kasih, Bi." Disusul Netta dan Irwan yang ikut tersenyum ke arah Bi Sumi. Bi Sumi balas mengangguk. Setelahnya, ia mengantar ketiganya menemui sang majikan. "Selamat sore!" Meira langsung menyapa ketika mendapati Alda, Ardian dan si kembar sedang berbincang di ruang tamu. "Barusan kalian nongol. Sini gabung!" ujar Alda yang membuat ketiga orang yang berada di sana kompak mengangguk. "Mentang-mentang udah nikah jadi jarang ke sini, ya," ledek Alda pada Meira. Wanita itu terkekeh. Ia menatap Irwan yang kini sudah menjadi suaminya. "Biasa, kami akhir-akhir ini banyak kasus y

  • Istri Barbar Direktur Sad Boy    128. Pasar malam

    Malam itu, Ardian dan keluarga kecilnya mengunjungi pasar malam. Udara malam yang sejuk menerpa wajah mereka, membawa aroma sate, bakso bakar, dan jajanan lainnya yang berbaur di udara. Suara riuh pengunjung, tawa anak-anak dan musik dari wahana permainan menciptakan melodi khas yang membuat suasana semakin meriah. "Papa, nanti kita beli bakso bakar, ya," Ezzel mendongak, tangannya masih erat menggandeng Ardian. Matanya berbinar penuh harap. Ngomong-ngomong, Ezzel sudah lebih bisa ngomong 'r' meski lidahnya masih sering terpeleset. Laki-laki itu mengangguk. "Boleh, tapi belinya jangan banyak-banyak, ya." Sontak Ezzel mengerucutkan bibirnya. "Papa pelit!" katanya sebal. Ardian hanya bisa tersenyum sambil mengusap rambut putranya. "Sayang, bukannya papa pelit. Tapi jajan terlalu banyak itu juga nggak baik buat kesehatan," ujarnya lembut. Alda yang berjalan di sisi Ardian ikut mengangguk setuju. "Nah, bener tuh kata papa. Jajan secukupnya aja, jangan berlebihan," peringatnya.

  • Istri Barbar Direktur Sad Boy    127. Keluarga kecil Aksa

    TING TONG! "Kayaknya ada tamu, Kak. Buka pintunya dulu ya, aku pake kerudung bentar." Ardian yang semula menyuapi Alda mengangguk. Selanjutnya laki-laki itu bergerak ke arah pintu utama. "Barusan lo mampir ke rumah gue." Ardian mencibir pada sosok laki-laki yang sudah berdiri di hadapannya. "Gue kira lo udah lupa sama gue." "Gue orang sibuk. Makanya baru sempat ke sini." Laki-laki yang tak lain adalah Aksa itu menuntun putranya masuk ke rumah Ardian tanpa dipersilahkan. "Nggak berubah sejak dulu. Suka nyelonong masuk rumah orang tanpa dipersilahkan." Ardian lagi-lagi mencibir. "Bikinin minum. Anak sama bini gue kehausan," perintah Aksa tak tahu malu. "Kamu haus kan, sayang?" tanyanya yang diangguki langsung oleh Chio. "Mas!" Ini teguran langsung dari Nada. "Anggap aja rumah sendiri, sayang." Aksa mengusap kepala istrinya. "Nggak ada adab lo!" Ardian berdecak namun tetap ke dapur untuk meminta bi Sumi membuat minuman. Alda yang sudah memakai hijabnya lantas beralih

  • Istri Barbar Direktur Sad Boy    126. Baby

    "Dua garis?" Ardian menatap Alda serius. Sekali lagi wanita itu mengangguk. "Ini beneran?" tanya Ardian lagi. Raut wajahnya berubah cerah. Alda mengangguk. "Kakak senang?" tanyanya ragu. Laki-laki itu berdecak. "Iyalah, ya kali sedih." Setelahnya ia memeluk Alda. Dikecupnya dahi wanita itu lama menyampaikan betapa ia sangat mencintai ibu dari anak-anaknya ini. Alda tersenyum. Ia tatap Ardian yang masih diam menatap perutnya. "So, Kakak nggak ada niatan gitu buat nyapa calon baby-nya?" Ardian lantas berjongkok di depan Alda. Setelahnya tangannya terangkat untuk mengusap perut itu. "Sehat-sehat ya di sana. Papa nggak sabar ketemu kamu," bisiknya lalu mengecup lembut perut sang istri. "Aku pikir Kakak nggak bakal senang dengar kabar ini." Alda terkekeh. Ia usap rambut Ardian yang masih berjongkok di depan perutnya. "Kamu ya, suka banget mikir macem-macem!" decak laki-laki itu. "Mama kenapa, Pa?" tanya Ezzel langsung usai tiba di depan orang tuanya. Ardian sudah ber

  • Istri Barbar Direktur Sad Boy    125. Dua garis

    Di dalam kamar, Ardian terlihat duduk santai di sofa sambil bermain ponsel sementara Alda yang sibuk menonton drama Korea di laptop. BRAK!! "MAMA, PAPA!!!" Tanpa aba-aba, pintu kamar dibuka secara bar-bar dari luar.Alda dan Ardian terlonjak bersamaan. Seharusnya, tak perlu mereka tebak-tebak lagi siapa itu. Ezzel si bungsu. "Bagus ya, masuk kamar mama papa caranya kayak gitu!!" Alda yang menegur. Wanita itu kini berkacak pinggang. "Bukannya ngetuk pintu dulu atau ucap salam, pintunya malah didorong keras kayak tadi!!" Ardian yang menyaksikan tingkah sang istri terkekeh sendiri. Bukannya menakutkan, perempuan itu malah kelihatan lucu. Lihat saja, Alda bahkan seperti tak punya keahlian marah sama sekali. "Maaf, Ma." Tapi, ternyata itu cukup ampuh untuk membuat Ezzel menundukkan kepala. Terlihat bocah itu sedang memainkan jari-jari kakinya. "Maafin adek. Nggak akan diulangi lagi kok. Janji," ujarnya sembari mengangkat dua jarinya. "Awas ya, kedapatan mama lagi kayak tadi

  • Istri Barbar Direktur Sad Boy    124. Keluarga Elfaero

    Sore hari, Alda terlihat sibuk pada beberapa model rancangan gaun yang baru saja dikirimkan oleh beberapa desainer. Saat sedang sibuk-sibuknya, tiba-tiba Ezzel datang menghampirinya. "Mama, ayo masak-masak!" ajak bocah itu antusias. Ia bahkan sudah menarik tangan Alda untuk ke dapur. "Loh, mama nggak pinter masak, sayang." Rasanya malu mengakui hal ini. Namun, bagaimana pun fakta tidak bisa disembunyikan. Kenyataannya, meski Alda sudah belajar masak mati-matian tetap saja hasil masakannya tak pernah memuaskan. Jika masakannya tidak asin ya hambar. Jika tidak hambar pasti gosong atau berantakan. Wanita itu menghela napas. Mungkin memang selamanya hanya Ardian yang bisa menguasai dapur seutuhnya. Dirinya tidak. "Nanti minta ajarin papa aja, ya?" ujarnya meminta pengertian. Memilih pasrah pada satu kekurangannya, Alda membiarkan struktur keluarganya terbalik. Ardian si suami yang ahli memasak dan Alda si istri yang tak tahu apa-apa tentang dapur. "Assalamualaikum, papa pulan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status