Bila ditanya, sejujurnya Alda sejak dari embrio hingga sekarang asik menjomblo. Kalau kata Chaca–bestie nya Alda, dia adalah tipikal orang yang terakhir kali putus sama ari-ari.
"Mungkin, karena aku kelewat cantik, makanya nggak ada yang berani nembak karena takut cintanya ditolak." Begitu alasannya ketika para sahabatnya meledek. Jangan heran. Alda memang adalah tipikal makhluk yang tingkat percaya dirinya selalu di luar galaksi. "Kalau nggak ada yang mau muji, apa salahnya kalau aku puji diri sendiri?" Itulah kalimat yang selalu ia lontarkan ketika Vivi mencibir. Namun, tak pernah ia sangka bila akhir dari kesendiriannya adalah menikah dengan cara seperti ini. Tanpa perkenalan yang panjang dan tanpa basa-basi dengan jalan pacaran, tahu-tahu dirinya sudah hampir menjadi istri dari sosok yang ia kenal hanya sebatas nama. Ardian Elfaero, begitu ia mengenalnya. Seingatnya, mereka pertama kali bertemu di rumah sakit. Lalu, disusul beberapa pertemuan hingga pada pertemuan yang tak disangka. Pertemuan di mana Ardian ternyata menguping pembicaraannya dan sang dokter mengenai kondisi Ella. Hal yang membuatnya menawarkan perjanjian itu. ‘Saya sudah di depan’ Alda menyimpan ponselnya ke dalam tas usai membaca pesan dari Ardian. Seperti kata pemuda itu kemarin, hari ini mereka benar-benar akan fitting baju pengantin. "Guys, aku balik duluan, ya?" Alda buru-buru pergi usai merapikan bukunya. "Eh, kemana, Da?" Amel sedikit berteriak ketika gadis itu berlari kian menjauh. Namun, Alda tak membalas. Ia hanya melambaikan tangan. "Mungkin lagi ada urusan. Ayo balik," ajak Vivi yang pada akhirnya mendapat anggukan dari Chaca dan Amel. "By the way, kemarin Alda nelpon kalian nggak, sih?" tanya Amel sembari mengikuti langkah kedua sahabatnya menuju mobil Chaca. "Masa kemarin dia nelpon aneh banget. Cuma bentar terus dimatiin lagi. Aku pikir, dia pengen nyampein sesuatu tapi nggak jadi." "Eh, iya. Kemarin, dia juga sempat nelpon. Tapi, pas tau kalo bokap nyokap gue lagi berantem, dia langsung matiin telponnya." Vivi menyahut duluan. "Iya, gue juga kemarin ditelepon sama dia. Cuma, pas tau kalo gue lagi ada masalah sama Fino, dia buru-buru matiin telponnya." Chaca pula yang angkat bicara. "Itu, kira-kira dia mau ngomong apa, ya? Baru sekarang gue kepikiran." Amel dan Vivi kompak mengangkat kedua bahunya. "Gini aja, besok kita ke tempatnya. Kita tanyain dia ada masalah apa. Kalau hari ini, mungkin Alda lagi sibuk. Buktinya, dia tadi buru-buru banget." Amel dan Chaca kompak mengangguk untuk saran dari Vivi. Namun, tak pernah mereka tahu bila semuanya sudah terlambat. Alda sudah lebih dulu menggadaikan hidupnya dengan menyetujui perjanjian yang Ardian buat. Sementara itu, Ardian dan Alda sudah berada di dalam mobil untuk menuju ke butik Erlin. Namun, sejak tadi Alda tidak pernah tenang di tempatnya. Berkali-kali ia mengalihkan pandangan ke luar jendela dengan helaan nafas panjang. Ardian yang melihatnya hanya bisa menghela. Bagaimanapun, ia dan Alda sama. Mereka sama-sama belum siap untuk menuju ke jenjang pernikahan. Lebih-lebih ini terjadi secara dadakan. Dua puluh menit menuju butik Erlin berlalu hening. Baik Ardian maupun Alda tidak ada yang membuka percakapan. Mereka sama-sama hanyut dalam pikiran masing-masing. "Halo calon mantu." Begitu pujian Erlin saat Alda sudah turun dari mobil. Lantas tanpa babibu langsung memeluk tubuh gadis itu. Membuat nyawa Alda sejenak seperti hilang di awang-awang. "Gimana perjalanannya, sayang? Aman?" Mendadak Alda kikuk. Kaget sekaligus senang karena Erlin yang ternyata menyambutnya dengan hangat. Padahal, sepanjang perjalanan ini juga yang ia khawatirkan. Takut bila Erlin tidak bisa menerimanya dengan baik. "Aman, Tante." Alda tersenyum canggung. Ia tatap Ardian yang balas menaikkan sebelah alisnya. "Mulai sekarang, panggil bunda aja, ya?" Erlin yang kelewat senang karena akan segera punya menantu langsung menarik lengan Alda untuk dibawa masuk ke dalam butik. "Kamu kan, bentar lagi jadi menantunya bunda. Nah, bunda ini juga sama kayak orang tua kamu." "Eh, iya, Bunda." Gadis itu tersenyum. Kini mengikuti langkah Erlin yang menarik lengannya. "Nama kamu siapa, sayang?" "Alda, Bunda." Masih sayup-sayup Ardian mendengar percakapan mereka. Ia mendengar bundanya berujar, “Cantik loh kamu. Emang anak bunda aja yang matanya picek,” tukasnya. Ardian bahkan sampai terbengong-bengong mendengar percakapan mereka. "Kok bisa langsung akrab, ya?" tanyanya tak habis pikir. Saking antusiasnya sang bunda, ia sampai dilupakan di depan butik.Pelukan itu hangat, tapi tidak menenangkan. Saat Alda akhirnya masuk ke kamar, udara dingin dari AC menyergap kulitnya. Ia menatap sekeliling. Kamar itu luas, ranjangnya besar dengan pencahayaan lembut. Tapi semua itu terasa asing. Dari balik jendela besar, terdengar samar suara air hujan dan langkah patroli security kompleks. Tapi bukan itu yang mengganggunya. Yang mengganggunya adalah betapa rumah ini terasa sunyi. Bukan karena tidak ada suara, tapi karena tidak ada kehidupan manusia. Di apartemen dulu, setiap pagi selalu ada ART bawa laundry, kurir mengantar belanjaan, atau sopir menunggu di basement sambil main HP. Ada suara lift naik turun. Ada jejak kehidupan, sekecil apa pun. Tapi di sini? Pagar tinggi. Mobil terparkir rapi. Tidak ada siapa pun yang terlihat. Tetangga sibuk sendiri. Pulang kalau sudah larut. Tidak ada yang saling menyapa. Bahkan tukang kebun pun datang seperti bayangan. Kerja diam-diam, lalu menghilang lagi. Rumah ini aman. Tapi juga terasa sepi. Seperti
“Pindah ke mana?”“Ke rumah yang sudah saya siapkan dari awal. Lokasinya rahasia. Aman. Bahkan satpamnya mantan sniper. Sekarang kerjanya pengawal pribadi pengusaha. Tapi saya rekrut dengan gaji tiga kali lipat dari sebelumnya."Alda mendelik. “Jangan-jangan tukang sapu halamannya mantan Kopassus juga?”Ardian terkekeh ringan. “Nggak. Tukang sapunya anggota tim detektif rahasia. Tugasnya mantau siapa pun yang kelihatan mencurigakan.”"Astaga. Kakak bener-bener paranoid.”“Saya antisipasi.”Alda menghela.“Kamu ngerti kan, ini udah bukan main-main lagi?” ucap Ardian sambil memegangi bahunya. “Pelakunya bisa lukai kamu kapan saja.”Alda menghela. “Kita pergi malam ini?”Ardian mengangguk. “Para bodyguard udah standby. CCTV apartemen ini sementara dimatikan. Nggak akan ada jejak ke mana kita pindah.”Alda mengangguk pasrah.Ardian menatap Alda dalam-dalam. Wajahnya tidak setegang tadi. “Saya tahu kamu capek. Saya tahu kamu muak diikuti ke mana-mana. Tapi selama pelakunya masih berkeliara
Matahari pagi menyusup malu-malu lewat sela tirai kamar Ardian. Suara alarm dari ponsel Alda membuat kaget keduanya. Alda yang tidur di ujung ranjang langsung bangkit kaget, rambutnya berantakan, wajahnya masih mengantuk. "Astagaaa... udah pagi aja," gumamnya sambil buru-buru merapikan rambut. "Emang paling bener nggak usah tidur lagi kalo habis shalat subuh." Ardian masih selonjoran di sisi ranjang dengan mata setengah terbuka. Ia menatap istrinya itu dengan senyum geli. “Tumben nggak nendang saya pagi ini,” ledeknya. Alda mendelik. “Mau aku tendang sekalian?” “Baru juga muji.” Alda berdecak. Ia lalu turun dari tempat tidur. Tapi sebelum sempat keluar kamar, Ardian memanggil lagi. “Alda.” “Kenapa?” “Makasih, ya. Udah cerita banyak soal kamu semalam. Saya senang kamu mulai terbuka.”Alda sempat diam. Matanya melirik Ardian yang duduk sambil menggulung lengan bajunya. Gayanya selalu rapi tapi tetap bossy. Dia menunduk sebentar, lalu tersenyum tipis. “Iya. Karena aku p
Langit malam menggantung tenang saat Alda kembali dari kamar mandi dengan wajah basah. Di ranjang, Ardian masih sibuk menatap layar laptop, tapi kepalanya langsung menoleh ketika mendengar pintu terbuka. "Udah cuci muka?" tanyanya. Alda mengangguk. Ia berjalan pelan, kemudian ikut naik ke atas ranjang, duduk bersandar di samping Ardian. Beberapa detik hening. Hanya suara klik mouse dan napas yang terdengar. "Kak, aku tadi ketemu Meira," ujar Alda akhirnya. "Mantan Kakak." Ia memperjelas. Ardian berhenti menggerakkan kursornya. "Aku nggak sengaja ketemu dia di depan kampus. Dia ngajak ngobrol, terus ngajakin makan juga. Yaudah, aku ikut aja." Ardian diam. Tatapannya masih tertuju ke layar, tapi ekspresinya perlahan berubah. Campuran antara siaga, penasaran, dan cemas. "Kamu sendirian waktu ketemu sama dia?" "Iya." Alda menggigit bibir bawahnya. "Tapi dia nggak aneh-aneh kok. Malah dia yang nyelametin aku." Kini Ardian benar-benar menoleh. "Nyelametin?" Alda menganggu
Jarum jam di dinding menunjukkan pukul 17.52 ketika Alda membuka pintu apartemen mereka. Gadis itu melirik ke sana ke mari. Memantau situasi sebelum akhirnya mengendap-endap masuk. "Bagus, ya! Habis kuliah bukannya langsung pulang malah kelayapan!" Alda terkesiap. Kontan membatu di tempat ketika Ardian mendekatinya dengan tatapan tajam. Layaknya ibu-ibu yang tengah memarahi anaknya, pemuda itu kini berkacak pinggang. "Ke mana aja seharian?!" Alda menunduk. Melihat tatapan Ardian membuat nyalinya seketika menciut. "Jalan-jalan sama teman," sahutnya pelan. "Jalan-jalan sampai hampir jam enam? Kamu udah shalat asar?" Pertanyaan itu membuat Alda menggelengkan kepalanya pelan. Ardian menghela panjang. "Buruan shalat. Habis itu makan! Makanan di meja udah siap." Alda mengangguk samar. Benar-benar melangkahkan kaki dengan gontai ketika tatapan tajam Ardian seakan ingin mengulitinya saat itu juga. Usai Alda berlalu, Ardian memijat pelipisnya pelan. "Ngurusin istri satu aja pusi
Alda menatap lama pada Meira yang masih makan. Merasa diperhatikan, gadis itu menoleh dan tersenyum."Kamu kenapa? Heran ya, sama sikapku?"Alda cepat-cepat menggeleng. "Ah, nggak kok." Buru-buru ia menyangkal.Meira menyunggingkan senyum kecil. “Kalau mau bilang sesuatu, bilang aja kali. Jangan ragu.”Alda berdehem pelan. Mendadak ia berpikir, jangan-jangan mantan suaminya ini cenayang. “Aku bukan cenayang.” 'Tuh, kan? Beneran bisa baca pikiran orang,' batin Alda. “Muka kamu tuh nggak bisa bohong, Alda. Kamu mau bilang sesuatu, kan? Jangan ditahan. Ngomong aja.” Alda mengangkat pandangannya. “Apa kamu... mau balikan sama Kak Ardian?”Meira berhenti mengunyah. Ia diam sejenak, menatap Alda dengan tatapan tenang, tapi matanya sedikit redup. “Dulu iya. Aku sempat berharap kami bisa balikan lagi. Tapi akhirnya aku sadar, nggak sepantasnya aku berharap.” Ia tertawa getir. “Dulu, aku yang selingkuh. Mana mungkin dia mau nerima aku lagi?"“Lagian kamu kan udah jadi istrinya. Perempu