Home / Romansa / Istri Barbar Direktur Sad Boy / 1. Perjanjian Pranikah

Share

Istri Barbar Direktur Sad Boy
Istri Barbar Direktur Sad Boy
Author: Hara Kiew

1. Perjanjian Pranikah

Author: Hara Kiew
last update Last Updated: 2025-06-21 19:39:04

"Halo, Ma---"

"Apa lagi, sih?! Mama sibuk!!"

"El---"

Tut...tut...tut...!!

Alda menghela panjang. Kembali menekan nomor mamanya saat tidak punya pilihan lain.

"Kenapa lagi?! Kamu ini nyusahin aja!!"

Gadis itu memejamkan mata. Mencoba menetralisir pedih yang lagi-lagi terasa mencekiknya. "Ella ada di rumah sakit---"

"Kamu kan kakaknya. Urusin dong. Gantiin mama selagi mama sibuk. Gitu aja kok nggak becus?!"

"Tap---"

"Udahlah, mama banyak kerjaan. Urusin adik kamu! Becus dikit jadi kakak!"

"El---"

Tut...tut...tut...!!

Alda akhirnya menyerah. Mamanya sepertinya memang enggan peduli. "Ella leukemia, Ma," lirihnya sedih. Sejak tadi, ini yang hendak ia sampaikan. Tapi bahkan mamanya tak memberinya kesempatan berbicara lebih dari enam kata.

Bukannya ia tidak mau meminta bantuan pada papanya. Hanya saja, papanya juga adalah orang yang tingkat kepeduliannya sangat kurang. Lagipula, sejak satu jam lalu panggilan telepon darinya ditolak.

Dengan sedikit harapan yang tersisa, Alda mencoba menelepon Amel sahabatnya. Tadi ia sempat menghubungi sahabatnya yang lain Vivi dan juga Chaca. Namun keadaan mereka yang tidak baik-baik saja membuat ia tidak jadi menceritakan masalahnya.

"Halo, Da. Kenapa?"

"Jadi, gini---"

"Sebentar, aku lagi di rumah sakit. Kakek kemarin masuk rumah sakit karena serangan jantung."

Ia menghela nafas sebelum berbicara lebih jauh. "Yaudah, aku tutup aja telponnya. Kamu bicara dulu sama dokternya. Semoga kakek kamu cepat sembuh."

"Iya, aamiin. Makasih doanya, Da."

"Sama-sama." Setelahnya, sambungan telepon terputus.

"Aku harus cari bantuan ke mana lagi?" Alda mengusap wajahnya kasar. "Tabungan dan penghasilan cafe juga udah habis."

"Saya bisa bantu kamu."

Ia yang semula menunduk kontan mengangkat wajah. Kini di hadapannya tengah berdiri sosok yang begitu menjulang tinggi.

"Kakak nggak bohong? Bener bisa bantu saya?" Refleks ia berdiri. Meraih tangan itu dan menggenggamnya erat. Tatapannya menyiratkan harapan dan permohonan.

Pemuda itu mengangguk. "Tapi, ada syaratnya. Saya bantu kamu. Kamu juga harus bantu saya. Semacam simbiosis mutualisme. Jadi, nggak ada yang dirugikan. Gimana?"

"Oke, apa syaratnya? Demi Ella, saya siap lakuin apa aja."

"Apa saja?"

Lagi-lagi, ia mengangguk. "Apapun itu. Mau saya dijadiin babu selama setahun juga nggak apa-apa. Saya rela."

"Silakan tanda tangan di sini." Pemuda itu mengangsurkan selembar kertas kosong yang ia genggam sedari tadi.

Alda menatap pena yang disodorkan. Tubuhnya gemetar. Seolah tinta yang nanti mengalir akan menuliskan nasibnya, entah untuk beberapa bulan... atau mungkin bertahun-tahun ke depan.

Di seberangnya, seorang pemuda duduk dengan tenang. Wajahnya datar, nyaris tanpa ekspresi, tapi wibawanya cukup untuk membuat siapa saja terdiam. Ardian, nama itu baru ia kenal beberapa waktu lalu, dan sejauh ini mereka hanya bertemu beberapa kali.

“Boleh saja kalau kamu nggak mau tanda tangan,” suara Ardian tenang. “Tapi bukankah kamu butuh banyak uang untuk biaya kemoterapi adikmu?”

Seketika bayangan Ella melintas. Gadis itu terbaring lemah di rumah sakit, menanti jadwal kemoterapi yang terus tertunda karena biaya.

"Pasien mengidap penyakit leukemia. Dan karena leukemia yang dideritanya sudah cukup parah, kemoterapi harus segera dilakukan. Jika tidak, dikhawatirkan kanker akan menyebar dan yang paling buruk bisa mengancam nyawa pasien," begitu kata dokter saat itu.

Alda menggigit bibir bawahnya. Ia tak punya pilihan.

Ardian menuliskan tulisan lebih dulu di dinding terdekatnya.

‘Perjanjian Nikah’

Maka, saat Ardian menyodorkan pena untuk kedua kalinya, gadis itu menghela.

“Menikah?” tanyanya menatap laki-laki itu. Ardian mengangguk.

"Memang kondisi saya sedang terdesak dan tawaran ini mungkin pilihan satu-satunya untuk saya. Tapi, sebelum saya tanda tangan, apa ada jaminan agar saya nggak terlalu dirugikan di dalam pernikahan ini nantinya?"

"Selain biaya pengobatan adik kamu, setelah menikah saya juga akan menjamin semua fasilitas yang kamu butuhkan. Tempat tinggal, uang bulanan, biaya kuliah dan juga biaya sekolah adik kamu. Itu semua akan saya tanggung."

Ardian menatap Alda yang balas menatapnya. "Kalau ada permintaan lain, silahkan diajukan."

“Harus menikah?” tanyanya gagu.

Laki-laki itu menatapnya singkat. “Saya lagi butuh orang.”

“Kalau kamu gak mau. Gapapa sih,” tukasnya mulai melangkah mundur.

“Sebentar,” ujar Alda menggigit bibirnya. "Tapi... saya mau pernikahan ini nantinya dipublikasikan. Bukan pernikahan yang dirahasiakan." Itu adalah syarat yang Alda ajukan.

"Oke. Ada syarat lain?"

Alda menggeleng. Ia tidak tahu, apakah ini mukjizat atau malah musibah. Ia juga tidak tahu betul mengenai alasan Ardian yang tiba-tiba mengajaknya menikah. Namun, tidak ada pilihan lain. Ia yang sedang terdesak keadaan membuatnya pasrah.

Dengan tangan gemetar, Alda membubuhkan tanda tangannya. Seluruh harapan, ketegangan, dan ketidakpastian mengalir bersamaan dengan goresan tinta di atas kertas.

"Nih, saya sudah tanda tangan."

"Oke, karena kamu sudah tanda tangan, kita nikah minggu depan." Ardian berdiri tanpa basa-basi. "Saya akan urus semua biaya rumah sakit adik kamu."

Belum sempat Alda membuka suara, pemuda itu menatapnya tajam.

"Besok saya jemput, kita ke rumah orang tua kamu." Nada suaranya tegas, tak memberi ruang untuk bantahan. Dan sebelum benar-benar pergi, ia sempat menoleh dan berkata, "Jangan coba-coba kabur. Kamu sudah tanda tangan!"

“Sini nomor kamu,” ujar Ardian seraya mengulurkan handphonenya ke arah Alda.

Alda menerimanya dan mengetikkan beberapa angka di sana, lalu mengembalikannya kepada pemiliknya.

“Siapa namanya?”

“Alda,” eja Alda.

Ardian mengetikkan sesuai dikte gadis itu. “Coba ulang.”

“A-L-D-A.”

Ia hanya ber-oh-ria seraya mengetik.

“C-A-L-O-N I-S-T-R-I.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Barbar Direktur Sad Boy    129. Pelangi setelah hujan

    Sore itu, di tengah langit yang mulai memerah, Meira, Irwan, dan Netta akhirnya tiba di kediaman Alda dan Ardian. Ketiganya datang bersamaan. Suasana sore yang hangat seakan menyambut kedatangan mereka. ​Pintu rumah dibuka oleh Bi Sumi, sosok yang sudah tak asing lagi bagi mereka. Senyum ramah Bi Sumi mengembang. "Silakan masuk, Nyonya sama Tuan ada di dalam," ujarnya hangat. Meira balas tersenyum. "Terima kasih, Bi." Disusul Netta dan Irwan yang ikut tersenyum ke arah Bi Sumi. Bi Sumi balas mengangguk. Setelahnya, ia mengantar ketiganya menemui sang majikan. "Selamat sore!" Meira langsung menyapa ketika mendapati Alda, Ardian dan si kembar sedang berbincang di ruang tamu. "Barusan kalian nongol. Sini gabung!" ujar Alda yang membuat ketiga orang yang berada di sana kompak mengangguk. "Mentang-mentang udah nikah jadi jarang ke sini, ya," ledek Alda pada Meira. Wanita itu terkekeh. Ia menatap Irwan yang kini sudah menjadi suaminya. "Biasa, kami akhir-akhir ini banyak kasus y

  • Istri Barbar Direktur Sad Boy    128. Pasar malam

    Malam itu, Ardian dan keluarga kecilnya mengunjungi pasar malam. Udara malam yang sejuk menerpa wajah mereka, membawa aroma sate, bakso bakar, dan jajanan lainnya yang berbaur di udara. Suara riuh pengunjung, tawa anak-anak dan musik dari wahana permainan menciptakan melodi khas yang membuat suasana semakin meriah. "Papa, nanti kita beli bakso bakar, ya," Ezzel mendongak, tangannya masih erat menggandeng Ardian. Matanya berbinar penuh harap. Ngomong-ngomong, Ezzel sudah lebih bisa ngomong 'r' meski lidahnya masih sering terpeleset. Laki-laki itu mengangguk. "Boleh, tapi belinya jangan banyak-banyak, ya." Sontak Ezzel mengerucutkan bibirnya. "Papa pelit!" katanya sebal. Ardian hanya bisa tersenyum sambil mengusap rambut putranya. "Sayang, bukannya papa pelit. Tapi jajan terlalu banyak itu juga nggak baik buat kesehatan," ujarnya lembut. Alda yang berjalan di sisi Ardian ikut mengangguk setuju. "Nah, bener tuh kata papa. Jajan secukupnya aja, jangan berlebihan," peringatnya.

  • Istri Barbar Direktur Sad Boy    127. Keluarga kecil Aksa

    TING TONG! "Kayaknya ada tamu, Kak. Buka pintunya dulu ya, aku pake kerudung bentar." Ardian yang semula menyuapi Alda mengangguk. Selanjutnya laki-laki itu bergerak ke arah pintu utama. "Barusan lo mampir ke rumah gue." Ardian mencibir pada sosok laki-laki yang sudah berdiri di hadapannya. "Gue kira lo udah lupa sama gue." "Gue orang sibuk. Makanya baru sempat ke sini." Laki-laki yang tak lain adalah Aksa itu menuntun putranya masuk ke rumah Ardian tanpa dipersilahkan. "Nggak berubah sejak dulu. Suka nyelonong masuk rumah orang tanpa dipersilahkan." Ardian lagi-lagi mencibir. "Bikinin minum. Anak sama bini gue kehausan," perintah Aksa tak tahu malu. "Kamu haus kan, sayang?" tanyanya yang diangguki langsung oleh Chio. "Mas!" Ini teguran langsung dari Nada. "Anggap aja rumah sendiri, sayang." Aksa mengusap kepala istrinya. "Nggak ada adab lo!" Ardian berdecak namun tetap ke dapur untuk meminta bi Sumi membuat minuman. Alda yang sudah memakai hijabnya lantas beralih

  • Istri Barbar Direktur Sad Boy    126. Baby

    "Dua garis?" Ardian menatap Alda serius. Sekali lagi wanita itu mengangguk. "Ini beneran?" tanya Ardian lagi. Raut wajahnya berubah cerah. Alda mengangguk. "Kakak senang?" tanyanya ragu. Laki-laki itu berdecak. "Iyalah, ya kali sedih." Setelahnya ia memeluk Alda. Dikecupnya dahi wanita itu lama menyampaikan betapa ia sangat mencintai ibu dari anak-anaknya ini. Alda tersenyum. Ia tatap Ardian yang masih diam menatap perutnya. "So, Kakak nggak ada niatan gitu buat nyapa calon baby-nya?" Ardian lantas berjongkok di depan Alda. Setelahnya tangannya terangkat untuk mengusap perut itu. "Sehat-sehat ya di sana. Papa nggak sabar ketemu kamu," bisiknya lalu mengecup lembut perut sang istri. "Aku pikir Kakak nggak bakal senang dengar kabar ini." Alda terkekeh. Ia usap rambut Ardian yang masih berjongkok di depan perutnya. "Kamu ya, suka banget mikir macem-macem!" decak laki-laki itu. "Mama kenapa, Pa?" tanya Ezzel langsung usai tiba di depan orang tuanya. Ardian sudah ber

  • Istri Barbar Direktur Sad Boy    125. Dua garis

    Di dalam kamar, Ardian terlihat duduk santai di sofa sambil bermain ponsel sementara Alda yang sibuk menonton drama Korea di laptop. BRAK!! "MAMA, PAPA!!!" Tanpa aba-aba, pintu kamar dibuka secara bar-bar dari luar.Alda dan Ardian terlonjak bersamaan. Seharusnya, tak perlu mereka tebak-tebak lagi siapa itu. Ezzel si bungsu. "Bagus ya, masuk kamar mama papa caranya kayak gitu!!" Alda yang menegur. Wanita itu kini berkacak pinggang. "Bukannya ngetuk pintu dulu atau ucap salam, pintunya malah didorong keras kayak tadi!!" Ardian yang menyaksikan tingkah sang istri terkekeh sendiri. Bukannya menakutkan, perempuan itu malah kelihatan lucu. Lihat saja, Alda bahkan seperti tak punya keahlian marah sama sekali. "Maaf, Ma." Tapi, ternyata itu cukup ampuh untuk membuat Ezzel menundukkan kepala. Terlihat bocah itu sedang memainkan jari-jari kakinya. "Maafin adek. Nggak akan diulangi lagi kok. Janji," ujarnya sembari mengangkat dua jarinya. "Awas ya, kedapatan mama lagi kayak tadi

  • Istri Barbar Direktur Sad Boy    124. Keluarga Elfaero

    Sore hari, Alda terlihat sibuk pada beberapa model rancangan gaun yang baru saja dikirimkan oleh beberapa desainer. Saat sedang sibuk-sibuknya, tiba-tiba Ezzel datang menghampirinya. "Mama, ayo masak-masak!" ajak bocah itu antusias. Ia bahkan sudah menarik tangan Alda untuk ke dapur. "Loh, mama nggak pinter masak, sayang." Rasanya malu mengakui hal ini. Namun, bagaimana pun fakta tidak bisa disembunyikan. Kenyataannya, meski Alda sudah belajar masak mati-matian tetap saja hasil masakannya tak pernah memuaskan. Jika masakannya tidak asin ya hambar. Jika tidak hambar pasti gosong atau berantakan. Wanita itu menghela napas. Mungkin memang selamanya hanya Ardian yang bisa menguasai dapur seutuhnya. Dirinya tidak. "Nanti minta ajarin papa aja, ya?" ujarnya meminta pengertian. Memilih pasrah pada satu kekurangannya, Alda membiarkan struktur keluarganya terbalik. Ardian si suami yang ahli memasak dan Alda si istri yang tak tahu apa-apa tentang dapur. "Assalamualaikum, papa pulan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status