LOGINPagi itu terasa aneh bagi Alena. Setiap detik berlalu seperti sebuah mimpi, sebuah kenyataan yang tidak pernah ia bayangkan akan terjadi secepat ini.
Sebentar lagi, ia akan menjadi istri seorang pria yang baru dikenal kemarin—Aziz, duda dengan dua anak yang berumur hampir sebaya dengannya.
"Ini benar-benar akan terjadi..." gumam Alena, meremas-remas ujung kerudungnya dengan gugup.
Aziz duduk di seberang ruangan, wajahnya tanpa ekspresi. Tampak tenang, namun ada sesuatu di matanya yang sulit diartikan oleh Alena.
Di sisi lain, Alena merasa hatinya terus berdenyut dengan cepat. Pernikahan ini bukan tentang cinta. Semua hanya tentang hutang budi yang harus dibayar.
"Kau siap?" tanya Aziz dengan nada datar.
"Apa aku punya pilihan?" Alena membalas tanpa menatapnya.
Aziz menghela napas panjang. "Tidak ada."
Alena tahu itu benar. Keluarga Aziz telah membantu keluarganya saat mereka jatuh miskin setelah ayahnya meninggal. Kini, tanggung jawab itu menjadi beban di pundak. Aziz menuntutnya untuk menikah dan ia tidak bisa menolak.
Prosesi pernikahan sederhana itu berlangsung di ruang tamu rumah Aziz. Hanya ada beberapa saksi, tanpa teman-teman kuliahnya, tanpa keramaian, tanpa kebahagiaan. Alena bahkan merasa canggung dengan busana pernikahan yang terlalu sederhana, tanpa gaun putih seperti yang sering ia impikan. Aziz juga hanya mengenakan pakaian formal biasa, seolah ini hanyalah pertemuan bisnis.
"Sah!!"
Terdengar suara saksi pernikahan, menandakan bahwa Alena kini resmi menjadi istri Aziz. Dadanya terasa sesak, bukan karena bahagia, tetapi karena kenyataan yang begitu pahit untuk ditelan.
Alena duduk di pinggir ranjang, memandangi cincin pernikahan yang melingkar di jari manisnya. Rasanya aneh, sangat aneh. Hanya beberapa minggu yang lalu, ia adalah seorang mahasiswi biasa yang menghabiskan hari-harinya di kampus, mengejar target untuk menghadapi skripsi dan bergosip bersama teman-teman. Tetapi sekarang, ia menjadi istri seorang duda berusia 38 tahun yang bahkan tidak ia cintai, dan tinggal di rumah besar yang terasa asing.
Pernikahan itu berlangsung dengan cepat, bahkan lebih cepat dari yang pernah ia bayangkan. Aziz, pria yang kini menjadi suaminya, memutuskan semua dengan tegas. Tidak ada waktu untuk persiapan panjang, tidak ada pesta meriah seperti yang sering dibayangkan kebanyakan wanita tentang pernikahan mereka. Semuanya serba sederhana, dan seolah hanya formalitas.
Alena bahkan tidak sempat memberitahu teman-teman kampusnya. Entah apa yang akan mereka katakan jika tahu ia menikah dengan pria yang jauh lebih tua, pria yang sudah memiliki dua anak remaja.
"Aku sudah menikah..." Alena bergumam pada dirinya sendiri, masih belum percaya dengan perubahan besar dalam hidupnya.
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka dan Aziz masuk. Pria itu tampak tenang, seperti biasa, seolah tidak ada yang berubah dalam hidupnya. "Sudah siap bertemu dengan anak-anak?" tanyanya tanpa basa-basi.
Alena mengangguk pelan, meski jantungnya berdebar kencang. Ia belum bertemu dengan kedua anak Aziz. Mereka tinggal bersama nenek mereka sementara rumah disiapkan untuk kedatangan Alena. Sekarang, saatnya pertemuan yang selama ini ia takuti—bertemu dengan anak-anak tirinya.
Aziz menatapnya sejenak sebelum berkata, "Sasya dan Zizi mungkin butuh waktu untuk terbiasa. Mereka sudah cukup lama hidup tanpa ibu."
Kata-kata Aziz tidak banyak membantu menenangkan hati Alena. Ia hanya bisa berharap semuanya akan baik-baik saja, meskipun jauh di dalam hatinya, ia tahu itu tidak akan mudah.
Ketika Alena turun ke ruang tamu, ia disambut oleh suasana dingin. Sasya, gadis berusia 15 tahun, duduk di sofa dengan raut wajah penuh skeptisisme. Sedangkan Zizi, yang lebih muda, hanya melirik Alena dengan tatapan tak terbaca. Tidak ada senyuman, tidak ada sapaan hangat. Hanya keheningan yang canggung.
"Hai, aku Alena..." Alena memulai percakapan, berusaha ramah. "Senang bertemu kalian."
Sasya menatap Alena dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah menilai setiap detail dari penampilan ibu tiri barunya. "Papa bilang kau masih kuliah?" tanyanya dingin.
Alena mengangguk, sedikit gugup. "Iya, aku masih kuliah di semester enam."
Sasya menyeringai tipis, lalu berkata dengan nada sinis, "Jadi, kau nikah sama Papa biar enggak usah kerja, ya? Enak juga hidupmu."
Ucapan itu seperti tamparan bagi Alena. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Aziz, yang berdiri di sampingnya, menghela napas panjang dan berkata tegas, "Sasya, cukup."
Namun, Sasya hanya mendengus dan mengalihkan pandangan ke layar ponsel di tangannya. "Aku cuma ngomong apa yang aku lihat."
Alena merasa tubuhnya kaku, dan suasana menjadi semakin tegang. Zizi, yang duduk di samping kakaknya, hanya diam, tidak menunjukkan reaksi apapun. Wajahnya datar, seolah tidak peduli dengan kehadiran Alena.
"Maaf kalau aku mungkin belum bisa jadi ibu yang baik," Alena berkata pelan, mencoba meredakan suasana. "Aku harap kita bisa pelan-pelan belajar saling mengenal."
Sasya hanya tertawa sinis. "Ibu? Jangan harap deh. Kami enggak butuh ibu tiri."
Aziz menatap putrinya dengan tatapan tajam. "Sasya, aku bilang cukup."
Namun, gadis itu hanya mengangkat bahu acuh tak acuh, seolah tidak peduli dengan teguran ayahnya.
Alena menunduk, menahan perasaan sedih yang mulai menghimpit dadanya. Ia tahu ini akan sulit, tetapi tidak pernah membayangkan akan seberat ini. Pertemuan pertama dengan anak-anak Aziz sudah membuatnya merasa ditolak, dan ia tidak tahu bagaimana harus melanjutkan hidup dalam rumah tangga ini.
Setelah makan malam yang sunyi dan penuh kecanggungan, Alena kembali ke kamar. Kamar itu luas dan mewah, tetapi ia merasa terasing di dalam sana. Ini bukan rumahnya, bukan tempat di mana ia merasa nyaman.
Ia duduk di tepi ranjang, memandang cermin besar di sudut ruangan. Wajahnya terlihat lelah, lebih lelah dari biasanya. Pernikahan ini terlalu cepat, dan ia belum siap menghadapi semua perubahan yang datang bersamanya.
Saat ia tenggelam dalam pikiran, pintu kamar terbuka perlahan. Aziz masuk dan menatapnya dengan raut wajah serius.
"Aku tahu ini tidak mudah untukmu," kata Aziz sambil mendekat. "Tapi tolong beri mereka waktu. Sasya dan Zizi butuh waktu untuk menerima keadaan ini."
Alena hanya mengangguk, meski di dalam hatinya ia merasa ragu. Waktu? Berapa lama waktu yang diperlukan agar mereka mau menerima dirinya? Apakah ia bisa bertahan sampai saat itu tiba?
Aziz menghela napas dan duduk di samping Alena. "Aku menikahimu karena aku percaya kau bisa menjadi bagian dari keluarga ini. Aku tahu kau punya hati yang baik, dan itu yang mereka butuhkan."
Kata-kata itu terdengar tulus, namun entah mengapa Alena merasa masih ada jarak yang jauh antara mereka. Aziz selalu tenang dan rasional, seolah-olah semuanya bisa diselesaikan dengan kepala dingin. Tetapi bagi Alena, ini lebih dari sekadar adaptasi. Ini tentang bagaimana ia harus menemukan tempatnya di dunia yang tidak ia pilih sendiri.
“Dan … maaf.” Aziz kembali bersuara. “Aku tahu kita masih butuh waktu untuk beradaptasi. Jadi sekarang aku … hmmm maksudku sebaiknya kita tidak perlu melakukan hal layaknya malam pertama. Kau mengerti maksudku bukan?”
“I-iya.” Alena mengangguk-angguk sekaligus bernapas lega. Ketakutan yang sempat menghimpit dadanya berangsur sirna.
Malam semakin larut dan Alena masih belum bisa tidur. Pikirannya terus berputar, membayangkan bagaimana ia harus menghadapi hari-hari ke depan. Pertemuan pertama dengan Sasya dan Zizi jelas tidak berjalan baik. Bahkan, rasanya seperti gagal total.
Tiba-tiba ponselnya bergetar. Ada pesan masuk dari salah satu teman kampusnya.
[Lena, kau ke mana aja? Kapan kita nongkrong lagi?]
Alena menatap layar ponsel itu dengan perasaan campur aduk. Bagaimana ia bisa menjelaskan semua kepada teman-temannya? Mereka tidak tahu apa yang terjadi, mereka tidak tahu bahwa Alena sekarang sudah menikah dan harus hidup dengan dua anak tiri yang membencinya.
[Maaf, aku sibuk banget akhir-akhir ini,] balas Alena, memilih untuk tidak mengatakan yang sebenarnya.
Setelah mengirim pesan itu, ia menatap cincin di jarinya sekali lagi. Bagaimana hidupnya bisa berubah secepat ini? Dan apa yang akan terjadi selanjutnya?
Alena terjaga dari tidurnya, menatap ponsel di tangan dengan bingung. Pesan misterius yang baru saja ia terima menggetarkan hati. Kalimat yang singkat namun penuh ancaman itu membuatnya terdiam beberapa detik.Siapa yang bisa mengirim pesan seperti itu? Apakah itu dari seseorang di rumah ini? Atau mungkin dari luar? Hatinya bertanya-tanya. Namun, ia tidak punya banyak petunjuk. Nomor yang mengirim pesan itu adalah nomor tak dikenal, tanpa nama atau tanda-tanda lain. Tiba-tiba, ia merasa sendirian, terjebak dalam pernikahan yang penuh rahasia dan ketidakpastian.Alena mencoba menenangkan diri. Ia memutuskan untuk tidak membahas ini pada siapa pun dulu. Bahkan pada Aziz. Ia masih belum yakin siapa yang bisa dipercaya. Apakah mungkin salah satu dari anak-anak Aziz yang mengirim pesan ini? Tidak mungkin, pikirnya. Meski Sasya memang masih marah dan Zizi tampak canggung, rasanya pesan itu terlalu dingin dan mengancam untuk datang dari mereka."Mungkin ini cuma orang iseng," bisiknya pada d
Pagi hari di rumah Aziz terasa seperti mimpi buruk bagi Alena. Setelah kejadian malam itu, saat ia menemukan Zizi menangis di lorong, Alena semakin yakin bahwa ada sesuatu yang disembunyikan di rumah ini. Namun, yang lebih mengganggu adalah perasaannya yang semakin tidak diterima. Zizi dan Sasya masih menjaga jarak, sementara Aziz tampak semakin sibuk dengan pekerjaannya dan mengabaikan masalah yang jelas ada di depan mata.Alena berusaha keras untuk tetap tegar. Setiap pagi ia mencoba memulai hari dengan senyuman, meski hatinya dipenuhi kekhawatiran. Ketika Aziz sudah berangkat ke kantor, Alena berusaha mendekati kedua anak tirinya."Sasya, Zizi... gimana kalau hari ini kita keluar bareng? Jalan-jalan ke mall atau makan es krim?" tanyanya ceria saat mereka sarapan.Namun, respon yang diterima membuatnya kembali terpukul."Enggak perlu," kata Sasya tanpa melihat Alena. "Aku ada tugas sekolah, dan Zizi juga."Zizi hanya menunduk, tidak berkata apa-apa, tetapi jelas terlihat bahwa ia me
Hari-hari setelah pernikahan Alena terasa semakin berat. Hubungan dengan Sasya dan Zizi tak kunjung membaik, bahkan cenderung semakin memburuk. Setiap kali mereka berada di ruangan yang sama, suasana menjadi tegang. Kedua anak itu jelas tidak mau menerima Alena sebagai bagian dari hidup mereka. Di mata mereka, ia hanyalah orang asing yang tiba-tiba muncul dan merebut tempat ibu mereka.Pagi itu, Alena mencoba untuk lebih berusaha. Ia bangun lebih awal dan memutuskan untuk membuat sarapan. Meski tahu kemampuan memasak yang dimiliki sangat terbatas, tetapi setidaknya ini bisa menjadi upaya kecil untuk mendekatkan diri."Aku bisa, aku pasti bisa," gumamnya pada diri sendiri sambil membuka buku resep yang baru ia unduh dari internet. Pandangannya terhenti pada menu sederhana—omelet sayur dan roti panggang. "Enggak terlalu sulit ‘kan?"Dengan semangat, Alena mulai memotong sayuran dan menyiapkan bahan-bahan lainnya. Namun, kenyataan segera menghantam. Telur yang ia kocok terlalu encer, dan
Pagi itu terasa aneh bagi Alena. Setiap detik berlalu seperti sebuah mimpi, sebuah kenyataan yang tidak pernah ia bayangkan akan terjadi secepat ini.Sebentar lagi, ia akan menjadi istri seorang pria yang baru dikenal kemarin—Aziz, duda dengan dua anak yang berumur hampir sebaya dengannya."Ini benar-benar akan terjadi..." gumam Alena, meremas-remas ujung kerudungnya dengan gugup.Aziz duduk di seberang ruangan, wajahnya tanpa ekspresi. Tampak tenang, namun ada sesuatu di matanya yang sulit diartikan oleh Alena.Di sisi lain, Alena merasa hatinya terus berdenyut dengan cepat. Pernikahan ini bukan tentang cinta. Semua hanya tentang hutang budi yang harus dibayar."Kau siap?" tanya Aziz dengan nada datar."Apa aku punya pilihan?" Alena membalas tanpa menatapnya.Aziz menghela napas panjang. "Tidak ada."Alena tahu itu benar. Keluarga Aziz telah membantu keluarganya saat mereka jatuh miskin setelah ayahnya meninggal. Kini, tanggung jawab itu menjadi beban di pundak. Aziz menuntutnya untu
Alena duduk di sudut kafe yang agak sepi, jaraknya cukup jauh dari keramaian yang biasa memenuhi tempat itu. Matanya menatap kosong pada segelas kopi yang mulai dingin di hadapan. Tangan pun tak bisa berhenti menggenggam ujung kerudung, memainkan kain tersebut seolah itu adalah satu-satunya cara yang bisa mengalihkan kegugupan. Pikirannya berlarian tak menentu, antara kebingungan, cemas, dan... sedikit rasa penyesalan.Kenapa aku mau datang?Jantungnya berdebar tak karuan, semakin keras setiap detik, karena dia tahu pertemuan ini akan mengubah seluruh hidupnya. Pertemuan dengan orang yang tak pernah dia bayangkan akan menjadi suaminya—Aziz.Aziz, pria berumur 38 tahun yang selama ini hanya dia dengar dari cerita orang-orang di kampungnya. Seorang pria yang dianggap dermawan, tetapi juga terkenal karena sifat tegas dan otoriter. Dan kini, dia berada di ambang menjadi istri pria itu.Om Aziz...Pintu kafe terbuka dengan suara halus, namun detik itu Alena tahu siapa yang datang. Seolah u
“Apa? Aku harus nikah sama dia?!”Alena hampir menjatuhkan ponselnya. Suara di seberang sana terlalu mengejutkan untuk dicerna begitu saja. Jalanan di sekitar Medan sore itu penuh kendaraan berlalu-lalang, tetapi seakan lenyap dari pandangannya. Yang tersisa hanya gemuruh di telinga, berdering bersama suara sang ibu yang menggelegar di ponsel.“Kau dengar ‘kan? Udah diputuskan, Na. Aziz itu orang baik. Keluarga kita berhutang budi sama mereka!” Ibunya terdengar tegas, bahkan nyaris tak memberi ruang untuk perlawanan. Sore yang cerah mendadak berubah menjadi kelabu bagi Alena.Perempuan berusia 21 tahun itu mengerjapkan mata, menatap sepatu flat yang dipakainya, seolah berharap jawaban muncul dari sana. “Tapi... Tapi, Mak. Aku masih kuliah. Gimana aku bisa nikah? Lagi pula, aku enggak kenal sama dia!” ucapnya dengan nada putus asa. Suara lalu lintas yang bising mendadak menjadi latar yang sunyi dibandingkan ketakutan yang mendera di hatinya.Ibunya mendesah di seberang, seperti berusah







