LOGINHari-hari setelah pernikahan Alena terasa semakin berat. Hubungan dengan Sasya dan Zizi tak kunjung membaik, bahkan cenderung semakin memburuk. Setiap kali mereka berada di ruangan yang sama, suasana menjadi tegang. Kedua anak itu jelas tidak mau menerima Alena sebagai bagian dari hidup mereka. Di mata mereka, ia hanyalah orang asing yang tiba-tiba muncul dan merebut tempat ibu mereka.
Pagi itu, Alena mencoba untuk lebih berusaha. Ia bangun lebih awal dan memutuskan untuk membuat sarapan. Meski tahu kemampuan memasak yang dimiliki sangat terbatas, tetapi setidaknya ini bisa menjadi upaya kecil untuk mendekatkan diri.
"Aku bisa, aku pasti bisa," gumamnya pada diri sendiri sambil membuka buku resep yang baru ia unduh dari internet. Pandangannya terhenti pada menu sederhana—omelet sayur dan roti panggang. "Enggak terlalu sulit ‘kan?"
Dengan semangat, Alena mulai memotong sayuran dan menyiapkan bahan-bahan lainnya. Namun, kenyataan segera menghantam. Telur yang ia kocok terlalu encer, dan roti yang ia panggang malah gosong di satu sisi. Kepanikan mulai menyerang ketika aroma hangus mulai tercium dari dapur.
"Oh tidak, gimana ini?" Alena berusaha keras memperbaiki keadaan, tapi semuanya sudah terlambat. Omeletnya gosong dan tak berbentuk, sementara roti panggangnya hampir tak bisa dimakan. Ia menatap hasil karyanya dengan putus asa.
Saat itulah, Sasya muncul di pintu dapur. Gadis itu menatap pemandangan di depan matanya dengan tatapan yang penuh ejekan. "Kau masak apa? Atau lebih tepatnya … kau membakar apa?"
Alena berusaha tersenyum meski malu. "Aku cuma mencoba bikin sarapan buat kalian. Maaf, mungkin enggak sempurna, tapi..."
"Jangan repot-repot," potong Sasya sambil melipat tangannya di depan dada. "Aku dan Zizi enggak butuh kau masakin. Kita udah biasa masak sendiri sejak mama pergi."
Alena merasa dadanya sesak mendengar kata-kata itu. Setiap kali Sasya menyebut "Mama", ada kepahitan yang jelas tergambar di wajahnya. Gadis itu belum bisa menerima kehadiran Alena, dan mungkin tidak akan pernah bisa.
"Tapi aku cuma ingin membantu..." kata Alena, suaranya hampir tak terdengar.
Sasya mendengus dan berjalan keluar dari dapur tanpa berkata apa-apa lagi, meninggalkan Alena sendirian dengan piring-piring yang berantakan di meja.
Satu jam kemudian, Aziz turun ke ruang makan. Ia melihat piring sarapan yang tak tersentuh dan menatap Alena yang duduk di meja dengan wajah muram.
"Ada apa?" tanyanya.
Alena menggeleng pelan. "Aku udah coba masak, tapi enggak ada yang mau makan."
Aziz menghela napas panjang. "Sasya dan Zizi masih butuh waktu. Jangan dipaksakan."
"Tapi sampai kapan?" Alena menatapnya dengan perasaan kecewa yang dalam. "Aku merasa seperti tamu di rumah ini. Aku mencoba mendekat, tapi mereka selalu mendorongku pergi."
Aziz menatap Alena dengan raut wajah yang sulit ditebak. "Aku tahu ini sulit, tapi kau harus lebih sabar. Sasya dan Zizi punya luka yang dalam, dan mereka butuh waktu untuk sembuh."
Alena hanya bisa terdiam. Kata-kata Aziz terdengar masuk akal, tetapi tetap saja, rasanya seperti ia sedang berjalan di atas kaca. Setiap langkah terasa salah, dan setiap kata yang ia ucapkan sepertinya memperburuk keadaan.
"Kenapa Om mau menikah denganku kalau Om tahu ini akan sulit?" Alena tiba-tiba bertanya, suaranya bergetar.
Aziz tampak terkejut dengan pertanyaan itu. Ia tidak segera menjawab, hanya menatap Alena dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan.
"Karena aku percaya kita bisa menjalani ini bersama," jawab Aziz akhirnya, meskipun nada suaranya terdengar ragu.
Alena menghela napas panjang. Ia ingin percaya bahwa segalanya akan membaik, tetapi semakin hari, ia merasa semakin jauh dari Aziz. Seolah ada tembok tak terlihat yang terus membesar di antara mereka.
Malam itu, Alena duduk sendirian di ruang tamu, merenungkan kehidupannya yang berubah drastis dalam beberapa minggu terakhir. Aziz sibuk dengan pekerjaannya, dan anak-anak terus menjaga jarak. Ia merasa seperti orang asing di dalam rumahnya sendiri.
Tiba-tiba, Zizi muncul di ambang pintu. Gadis itu menatap Alena sejenak, lalu berjalan masuk dan duduk di sofa tanpa berkata apa-apa. Alena terkejut dengan kehadirannya, tapi ia berusaha tidak menunjukkan kegugupannya.
"Zizi, ada apa?" tanya Alena hati-hati.
Zizi hanya menggeleng pelan, masih menunduk tanpa menatap Alena. Gadis itu kemudian mengeluarkan buku gambar dari tasnya dan mulai menggambar, sementara Alena hanya bisa menatapnya dari kejauhan.
Setelah beberapa saat, Zizi tiba-tiba berkata pelan, "Kau enggak bisa gantiin Mama."
Alena merasa hatinya mencelos mendengar ucapan itu. "Aku tahu," jawabnya pelan. "Aku enggak berniat menggantikan posisinya."
Zizi berhenti menggambar dan menatap Alena dengan mata besar yang penuh kesedihan. "Kalau gitu, kenapa kau ada di sini?"
Pertanyaan itu terasa seperti tusukan di dada. Alena tidak tahu harus menjawab apa. Ia sendiri masih bertanya-tanya, kenapa ia ada di sana? Kenapa ia setuju menikah dengan Aziz ketika semuanya terasa begitu salah?
Sebelum Alena sempat menjawab, suara pintu depan terdengar. Aziz pulang dari kantornya, dan suasana di ruangan itu berubah. Zizi langsung berdiri dan berlari menuju ayahnya, meninggalkan Alena sendirian lagi.
Aziz duduk di meja kerja di kamarnya malam itu, sementara Alena berbaring di ranjang, menatap langit-langit. Ia merasa semakin terasing dari suaminya, seolah-olah jarak antara mereka semakin membesar. Setiap malam, Aziz sibuk dengan pekerjaannya, dan mereka jarang berbicara, kecuali hal-hal yang bersifat praktis.
Alena merasa kesepian, bahkan di hadapan orang yang sekarang menjadi suaminya.
"Om, kita harus bicara," ucap Alena akhirnya.
Aziz menoleh dari meja kerjanya dan menatap Alena sejenak sebelum berkata, "Bicara apa?"
"Tentang kita... tentang pernikahan ini. Aku merasa seperti orang asing di sini. Sasya dan Zizi jelas-jelas tidak mau menerima aku, dan Om..." Alena berhenti sejenak, suaranya bergetar. "Seperti menjauh dariku."
Aziz menghela napas panjang dan berdiri dari kursinya. "Aku tidak menjauh. Aku hanya butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan semua ini."
"Tapi aku juga butuh Om," kata Alena lirih. "Aku enggak bisa terus menghadapi ini sendirian."
Aziz menatap Alena dengan tatapan yang lembut, tapi ada sesuatu yang tertahan di dalam matanya. "Aku tahu. Tapi tolong beri aku waktu."
Alena hanya bisa mengangguk, meski di dalam hatinya, ia merasa waktu mungkin bukanlah jawabannya. Ada sesuatu yang hilang dalam pernikahan ini, sesuatu yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Dan malam itu, Alena tidur dengan perasaan hampa yang terus menghantui hatinya.
Entah jam berapa sekarang. Namun, Alena terbangun dari tidurnya karena mendengar suara tangisan dari luar kamar. Saat membuka pintu, ia melihat Zizi berdiri di lorong, menangis sendirian di kegelapan. Apa yang membuat gadis itu menangis? Apa yang sedang terjadi di dalam rumah ini?
Alena terjaga dari tidurnya, menatap ponsel di tangan dengan bingung. Pesan misterius yang baru saja ia terima menggetarkan hati. Kalimat yang singkat namun penuh ancaman itu membuatnya terdiam beberapa detik.Siapa yang bisa mengirim pesan seperti itu? Apakah itu dari seseorang di rumah ini? Atau mungkin dari luar? Hatinya bertanya-tanya. Namun, ia tidak punya banyak petunjuk. Nomor yang mengirim pesan itu adalah nomor tak dikenal, tanpa nama atau tanda-tanda lain. Tiba-tiba, ia merasa sendirian, terjebak dalam pernikahan yang penuh rahasia dan ketidakpastian.Alena mencoba menenangkan diri. Ia memutuskan untuk tidak membahas ini pada siapa pun dulu. Bahkan pada Aziz. Ia masih belum yakin siapa yang bisa dipercaya. Apakah mungkin salah satu dari anak-anak Aziz yang mengirim pesan ini? Tidak mungkin, pikirnya. Meski Sasya memang masih marah dan Zizi tampak canggung, rasanya pesan itu terlalu dingin dan mengancam untuk datang dari mereka."Mungkin ini cuma orang iseng," bisiknya pada d
Pagi hari di rumah Aziz terasa seperti mimpi buruk bagi Alena. Setelah kejadian malam itu, saat ia menemukan Zizi menangis di lorong, Alena semakin yakin bahwa ada sesuatu yang disembunyikan di rumah ini. Namun, yang lebih mengganggu adalah perasaannya yang semakin tidak diterima. Zizi dan Sasya masih menjaga jarak, sementara Aziz tampak semakin sibuk dengan pekerjaannya dan mengabaikan masalah yang jelas ada di depan mata.Alena berusaha keras untuk tetap tegar. Setiap pagi ia mencoba memulai hari dengan senyuman, meski hatinya dipenuhi kekhawatiran. Ketika Aziz sudah berangkat ke kantor, Alena berusaha mendekati kedua anak tirinya."Sasya, Zizi... gimana kalau hari ini kita keluar bareng? Jalan-jalan ke mall atau makan es krim?" tanyanya ceria saat mereka sarapan.Namun, respon yang diterima membuatnya kembali terpukul."Enggak perlu," kata Sasya tanpa melihat Alena. "Aku ada tugas sekolah, dan Zizi juga."Zizi hanya menunduk, tidak berkata apa-apa, tetapi jelas terlihat bahwa ia me
Hari-hari setelah pernikahan Alena terasa semakin berat. Hubungan dengan Sasya dan Zizi tak kunjung membaik, bahkan cenderung semakin memburuk. Setiap kali mereka berada di ruangan yang sama, suasana menjadi tegang. Kedua anak itu jelas tidak mau menerima Alena sebagai bagian dari hidup mereka. Di mata mereka, ia hanyalah orang asing yang tiba-tiba muncul dan merebut tempat ibu mereka.Pagi itu, Alena mencoba untuk lebih berusaha. Ia bangun lebih awal dan memutuskan untuk membuat sarapan. Meski tahu kemampuan memasak yang dimiliki sangat terbatas, tetapi setidaknya ini bisa menjadi upaya kecil untuk mendekatkan diri."Aku bisa, aku pasti bisa," gumamnya pada diri sendiri sambil membuka buku resep yang baru ia unduh dari internet. Pandangannya terhenti pada menu sederhana—omelet sayur dan roti panggang. "Enggak terlalu sulit ‘kan?"Dengan semangat, Alena mulai memotong sayuran dan menyiapkan bahan-bahan lainnya. Namun, kenyataan segera menghantam. Telur yang ia kocok terlalu encer, dan
Pagi itu terasa aneh bagi Alena. Setiap detik berlalu seperti sebuah mimpi, sebuah kenyataan yang tidak pernah ia bayangkan akan terjadi secepat ini.Sebentar lagi, ia akan menjadi istri seorang pria yang baru dikenal kemarin—Aziz, duda dengan dua anak yang berumur hampir sebaya dengannya."Ini benar-benar akan terjadi..." gumam Alena, meremas-remas ujung kerudungnya dengan gugup.Aziz duduk di seberang ruangan, wajahnya tanpa ekspresi. Tampak tenang, namun ada sesuatu di matanya yang sulit diartikan oleh Alena.Di sisi lain, Alena merasa hatinya terus berdenyut dengan cepat. Pernikahan ini bukan tentang cinta. Semua hanya tentang hutang budi yang harus dibayar."Kau siap?" tanya Aziz dengan nada datar."Apa aku punya pilihan?" Alena membalas tanpa menatapnya.Aziz menghela napas panjang. "Tidak ada."Alena tahu itu benar. Keluarga Aziz telah membantu keluarganya saat mereka jatuh miskin setelah ayahnya meninggal. Kini, tanggung jawab itu menjadi beban di pundak. Aziz menuntutnya untu
Alena duduk di sudut kafe yang agak sepi, jaraknya cukup jauh dari keramaian yang biasa memenuhi tempat itu. Matanya menatap kosong pada segelas kopi yang mulai dingin di hadapan. Tangan pun tak bisa berhenti menggenggam ujung kerudung, memainkan kain tersebut seolah itu adalah satu-satunya cara yang bisa mengalihkan kegugupan. Pikirannya berlarian tak menentu, antara kebingungan, cemas, dan... sedikit rasa penyesalan.Kenapa aku mau datang?Jantungnya berdebar tak karuan, semakin keras setiap detik, karena dia tahu pertemuan ini akan mengubah seluruh hidupnya. Pertemuan dengan orang yang tak pernah dia bayangkan akan menjadi suaminya—Aziz.Aziz, pria berumur 38 tahun yang selama ini hanya dia dengar dari cerita orang-orang di kampungnya. Seorang pria yang dianggap dermawan, tetapi juga terkenal karena sifat tegas dan otoriter. Dan kini, dia berada di ambang menjadi istri pria itu.Om Aziz...Pintu kafe terbuka dengan suara halus, namun detik itu Alena tahu siapa yang datang. Seolah u
“Apa? Aku harus nikah sama dia?!”Alena hampir menjatuhkan ponselnya. Suara di seberang sana terlalu mengejutkan untuk dicerna begitu saja. Jalanan di sekitar Medan sore itu penuh kendaraan berlalu-lalang, tetapi seakan lenyap dari pandangannya. Yang tersisa hanya gemuruh di telinga, berdering bersama suara sang ibu yang menggelegar di ponsel.“Kau dengar ‘kan? Udah diputuskan, Na. Aziz itu orang baik. Keluarga kita berhutang budi sama mereka!” Ibunya terdengar tegas, bahkan nyaris tak memberi ruang untuk perlawanan. Sore yang cerah mendadak berubah menjadi kelabu bagi Alena.Perempuan berusia 21 tahun itu mengerjapkan mata, menatap sepatu flat yang dipakainya, seolah berharap jawaban muncul dari sana. “Tapi... Tapi, Mak. Aku masih kuliah. Gimana aku bisa nikah? Lagi pula, aku enggak kenal sama dia!” ucapnya dengan nada putus asa. Suara lalu lintas yang bising mendadak menjadi latar yang sunyi dibandingkan ketakutan yang mendera di hatinya.Ibunya mendesah di seberang, seperti berusah







