LOGINAlena duduk di sudut kafe yang agak sepi, jaraknya cukup jauh dari keramaian yang biasa memenuhi tempat itu. Matanya menatap kosong pada segelas kopi yang mulai dingin di hadapan. Tangan pun tak bisa berhenti menggenggam ujung kerudung, memainkan kain tersebut seolah itu adalah satu-satunya cara yang bisa mengalihkan kegugupan. Pikirannya berlarian tak menentu, antara kebingungan, cemas, dan... sedikit rasa penyesalan.
Kenapa aku mau datang?
Jantungnya berdebar tak karuan, semakin keras setiap detik, karena dia tahu pertemuan ini akan mengubah seluruh hidupnya. Pertemuan dengan orang yang tak pernah dia bayangkan akan menjadi suaminya—Aziz.
Aziz, pria berumur 38 tahun yang selama ini hanya dia dengar dari cerita orang-orang di kampungnya. Seorang pria yang dianggap dermawan, tetapi juga terkenal karena sifat tegas dan otoriter. Dan kini, dia berada di ambang menjadi istri pria itu.
Om Aziz...
Pintu kafe terbuka dengan suara halus, namun detik itu Alena tahu siapa yang datang. Seolah udara di sekitarnya berubah. Seorang pria berjas abu-abu masuk, dengan postur tubuh tinggi dan tegap. Wajahnya keras, garis-garis tajam di pipi dan rahangnya menunjukkan sosok yang tegas dan tak kenal kompromi. Matanya, sejenak melirik ke arah Alena, lalu kembali fokus pada langkahnya.
Alena menelan ludah. Ini dia.
Aziz menghampiri meja tempat Alena duduk. Langkahnya teratur dan mantap, seperti seseorang yang tahu persis apa yang diinginkan dan bagaimana mendapatkannya.
“Kau Alena?” tanyanya dengan suara berat, nyaris tanpa nada basa-basi.
Alena mengangguk cepat, perasaannya seperti terkunci di tempat. “Iya, Om Aziz.” Suaranya bergetar sedikit, tapi dia berusaha tetap tenang.
Aziz langsung duduk di seberang tanpa bicara lebih lanjut. Ia memanggil pelayan, memesan kopi hitam dengan nada singkat dan cepat. Tak ada senyuman, tak ada salam hangat—semua terasa dingin dan formal. Setelah pelayan pergi, barulah Aziz menoleh kembali ke arah Alena.
“Aku enggak suka basa-basi,” kata Aziz tajam, menatap langsung ke mata Alena. “Kita bicarakan langsung saja apa yang penting.”
Alena mengerjapkan mata, merasa tiba-tiba tenggelam dalam tatapan pria itu. Rasanya seperti ditelanjangi secara mental, seolah semua pikirannya bisa dibaca dengan mudah oleh Aziz. “Ba... baik, Om,” jawabnya, berusaha tetap tenang meski gugupnya tak tertahankan.
Aziz duduk dengan tubuh condong ke depan, kedua tangannya disilangkan di depan dada. “Kau tahu kenapa aku memilihmu?”
Pertanyaan itu membuat hati Alena semakin berdebar. Kenapa aku? Dia memang tahu sedikit alasan di balik semua ini, tetapi mendengarnya langsung dari pria di depan mata, membuat semuanya terasa lebih nyata.
“Karena... mamak saya bilang... kita berhutang budi pada keluarga Om,” jawabnya, menundukkan pandangan ke bawah, merasa kecil di hadapan pria yang begitu kuat dan mendominasi ini.
Aziz tersenyum tipis, tapi senyuman itu dingin, tanpa emosi hangat. “Bukan cuma itu. Aku butuh istri. Seseorang yang bisa ngurus rumah, ngurus anak-anakku, dan... yang enggak ribet. Kau cocok untuk itu.”
Alena terdiam. Kata-kata Aziz terasa seperti pukulan keras ke dalam hatinya. Hanya itu? Aku dipilih karena aku cocok untuk jadi ibu bagi anak-anaknya? Dia menelan ludah, mencoba mengatasi perasaan tidak nyaman yang menjalar di sekujur tubuhnya. “Tapi... Om, saya... saya masih kuliah. Saya enggak tahu apakah saya bisa...”
Aziz mengangkat tangan, menghentikan ucapan Alena. “Aku tahu kau masih kuliah. Itu bukan masalah buatku. Aku enggak akan melarang kau terusin kuliah. Tapi kau harus tahu, tanggung jawabmu di rumah itu lebih penting.”
Alena terdiam lagi. Kepalanya menunduk lebih dalam, jari-jarinya menggenggam erat tepi meja.
Anak-anaknya... dua remaja yang bahkan belum pernah aku temui. Bagaimana kalau mereka tidak suka padaku? Bagaimana aku bisa menjadi ibu yang baik untuk mereka?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantam pikirannya, menambah kecemasan yang sejak tadi sudah memenuhi dada.
“Takut?” tanya Aziz tiba-tiba, nadanya masih sama dingin dan datar.
Alena tak bisa menjawab langsung. Tentu saja dia takut. Siapa yang tidak akan merasa takut dalam situasi seperti ini? Tapi melihat sorot mata Aziz, dia tahu jawabannya tak akan mengubah apa pun. Pria itu sudah memutuskan semuanya.
Aziz kembali menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Alena dengan tatapan tajam dan dalam. “Aku enggak peduli kau takut atau tidak. Yang penting, kalau kau jadi istriku, kau tahu tugasmu. Kau tahu apa yang kuharapkan. Kalau kau bisa jalani peranmu dengan baik, enggak akan ada masalah. Tapi kalau tidak...”
Aziz menggantung kalimatnya, membuat Alena semakin merasa tertekan. Dia bisa merasakan ada ancaman terselubung di balik kata-kata itu.
Dengan susah payah, Alena memberanikan diri berbicara. “Bagaimana kalau... anak-anak Om enggak suka sama saya?”
Aziz mengangkat bahu. “Itu tugasmu untuk buat mereka suka. Mereka enggak suka sama siapa pun. Tapi aku butuh seseorang yang bisa buat mereka tenang. Seorang ibu tiri.”
Seorang ibu tiri...
Kata-kata itu membuat Alena merasa semakin tenggelam. Ini bukan hidup yang dia bayangkan. Dia belum pernah terpikirkan akan menjadi istri kedua seorang pria, apalagi menjadi ibu tiri bagi dua anak remaja yang bahkan tidak pernah mengenalnya.
Aziz bangkit dari kursinya, menoleh ke jam tangan mahal yang melingkar di pergelangannya. “Aku ada meeting sebentar lagi,” katanya singkat. “Aku harap kau pikirkan baik-baik. Kalau kau mau mundur, lakukan sekarang. Aku enggak butuh perempuan yang ragu-ragu.”
Alena terkejut mendengar ultimatum itu. Mundur? Apakah itu benar-benar pilihan yang dia punya? Keluarganya sudah banyak berhutang budi pada keluarga Aziz, terutama setelah ayahnya meninggal. Sang ibu sudah setuju, keluarganya sudah menyerahkan semua keputusan padanya. Mundur sekarang, artinya mengkhianati mereka.
“Saya...” Alena menghela napas panjang, suaranya terdengar kecil. “Saya enggak punya pilihan, Pak. Eh .. Om.”
Aziz menatapnya lama sebelum mendekatkan wajahnya ke arah Alena, berbicara dengan nada yang lebih rendah namun tegas. “Hidup ini soal pilihan. Jangan salahkan ibumu atau keluargamu. Kalau kau terima, jalani dengan baik. Kalau tidak, pergi.”
Aziz menatap tajam. “Kau paham maksudku?”
Alena menatap pria di depannya dengan mata berkaca-kaca, tetapi dia tidak bisa mengeluarkan suara. Suaranya seolah tersangkut di tenggorokan.
Aziz mendekat, berbicara dengan suara dingin, "Jadi, kau pilih mana? Menjadi ibu tiri dan istri... atau terpaksa menghentikan kuliahmu di tengah jalan?"
Alena terjaga dari tidurnya, menatap ponsel di tangan dengan bingung. Pesan misterius yang baru saja ia terima menggetarkan hati. Kalimat yang singkat namun penuh ancaman itu membuatnya terdiam beberapa detik.Siapa yang bisa mengirim pesan seperti itu? Apakah itu dari seseorang di rumah ini? Atau mungkin dari luar? Hatinya bertanya-tanya. Namun, ia tidak punya banyak petunjuk. Nomor yang mengirim pesan itu adalah nomor tak dikenal, tanpa nama atau tanda-tanda lain. Tiba-tiba, ia merasa sendirian, terjebak dalam pernikahan yang penuh rahasia dan ketidakpastian.Alena mencoba menenangkan diri. Ia memutuskan untuk tidak membahas ini pada siapa pun dulu. Bahkan pada Aziz. Ia masih belum yakin siapa yang bisa dipercaya. Apakah mungkin salah satu dari anak-anak Aziz yang mengirim pesan ini? Tidak mungkin, pikirnya. Meski Sasya memang masih marah dan Zizi tampak canggung, rasanya pesan itu terlalu dingin dan mengancam untuk datang dari mereka."Mungkin ini cuma orang iseng," bisiknya pada d
Pagi hari di rumah Aziz terasa seperti mimpi buruk bagi Alena. Setelah kejadian malam itu, saat ia menemukan Zizi menangis di lorong, Alena semakin yakin bahwa ada sesuatu yang disembunyikan di rumah ini. Namun, yang lebih mengganggu adalah perasaannya yang semakin tidak diterima. Zizi dan Sasya masih menjaga jarak, sementara Aziz tampak semakin sibuk dengan pekerjaannya dan mengabaikan masalah yang jelas ada di depan mata.Alena berusaha keras untuk tetap tegar. Setiap pagi ia mencoba memulai hari dengan senyuman, meski hatinya dipenuhi kekhawatiran. Ketika Aziz sudah berangkat ke kantor, Alena berusaha mendekati kedua anak tirinya."Sasya, Zizi... gimana kalau hari ini kita keluar bareng? Jalan-jalan ke mall atau makan es krim?" tanyanya ceria saat mereka sarapan.Namun, respon yang diterima membuatnya kembali terpukul."Enggak perlu," kata Sasya tanpa melihat Alena. "Aku ada tugas sekolah, dan Zizi juga."Zizi hanya menunduk, tidak berkata apa-apa, tetapi jelas terlihat bahwa ia me
Hari-hari setelah pernikahan Alena terasa semakin berat. Hubungan dengan Sasya dan Zizi tak kunjung membaik, bahkan cenderung semakin memburuk. Setiap kali mereka berada di ruangan yang sama, suasana menjadi tegang. Kedua anak itu jelas tidak mau menerima Alena sebagai bagian dari hidup mereka. Di mata mereka, ia hanyalah orang asing yang tiba-tiba muncul dan merebut tempat ibu mereka.Pagi itu, Alena mencoba untuk lebih berusaha. Ia bangun lebih awal dan memutuskan untuk membuat sarapan. Meski tahu kemampuan memasak yang dimiliki sangat terbatas, tetapi setidaknya ini bisa menjadi upaya kecil untuk mendekatkan diri."Aku bisa, aku pasti bisa," gumamnya pada diri sendiri sambil membuka buku resep yang baru ia unduh dari internet. Pandangannya terhenti pada menu sederhana—omelet sayur dan roti panggang. "Enggak terlalu sulit ‘kan?"Dengan semangat, Alena mulai memotong sayuran dan menyiapkan bahan-bahan lainnya. Namun, kenyataan segera menghantam. Telur yang ia kocok terlalu encer, dan
Pagi itu terasa aneh bagi Alena. Setiap detik berlalu seperti sebuah mimpi, sebuah kenyataan yang tidak pernah ia bayangkan akan terjadi secepat ini.Sebentar lagi, ia akan menjadi istri seorang pria yang baru dikenal kemarin—Aziz, duda dengan dua anak yang berumur hampir sebaya dengannya."Ini benar-benar akan terjadi..." gumam Alena, meremas-remas ujung kerudungnya dengan gugup.Aziz duduk di seberang ruangan, wajahnya tanpa ekspresi. Tampak tenang, namun ada sesuatu di matanya yang sulit diartikan oleh Alena.Di sisi lain, Alena merasa hatinya terus berdenyut dengan cepat. Pernikahan ini bukan tentang cinta. Semua hanya tentang hutang budi yang harus dibayar."Kau siap?" tanya Aziz dengan nada datar."Apa aku punya pilihan?" Alena membalas tanpa menatapnya.Aziz menghela napas panjang. "Tidak ada."Alena tahu itu benar. Keluarga Aziz telah membantu keluarganya saat mereka jatuh miskin setelah ayahnya meninggal. Kini, tanggung jawab itu menjadi beban di pundak. Aziz menuntutnya untu
Alena duduk di sudut kafe yang agak sepi, jaraknya cukup jauh dari keramaian yang biasa memenuhi tempat itu. Matanya menatap kosong pada segelas kopi yang mulai dingin di hadapan. Tangan pun tak bisa berhenti menggenggam ujung kerudung, memainkan kain tersebut seolah itu adalah satu-satunya cara yang bisa mengalihkan kegugupan. Pikirannya berlarian tak menentu, antara kebingungan, cemas, dan... sedikit rasa penyesalan.Kenapa aku mau datang?Jantungnya berdebar tak karuan, semakin keras setiap detik, karena dia tahu pertemuan ini akan mengubah seluruh hidupnya. Pertemuan dengan orang yang tak pernah dia bayangkan akan menjadi suaminya—Aziz.Aziz, pria berumur 38 tahun yang selama ini hanya dia dengar dari cerita orang-orang di kampungnya. Seorang pria yang dianggap dermawan, tetapi juga terkenal karena sifat tegas dan otoriter. Dan kini, dia berada di ambang menjadi istri pria itu.Om Aziz...Pintu kafe terbuka dengan suara halus, namun detik itu Alena tahu siapa yang datang. Seolah u
“Apa? Aku harus nikah sama dia?!”Alena hampir menjatuhkan ponselnya. Suara di seberang sana terlalu mengejutkan untuk dicerna begitu saja. Jalanan di sekitar Medan sore itu penuh kendaraan berlalu-lalang, tetapi seakan lenyap dari pandangannya. Yang tersisa hanya gemuruh di telinga, berdering bersama suara sang ibu yang menggelegar di ponsel.“Kau dengar ‘kan? Udah diputuskan, Na. Aziz itu orang baik. Keluarga kita berhutang budi sama mereka!” Ibunya terdengar tegas, bahkan nyaris tak memberi ruang untuk perlawanan. Sore yang cerah mendadak berubah menjadi kelabu bagi Alena.Perempuan berusia 21 tahun itu mengerjapkan mata, menatap sepatu flat yang dipakainya, seolah berharap jawaban muncul dari sana. “Tapi... Tapi, Mak. Aku masih kuliah. Gimana aku bisa nikah? Lagi pula, aku enggak kenal sama dia!” ucapnya dengan nada putus asa. Suara lalu lintas yang bising mendadak menjadi latar yang sunyi dibandingkan ketakutan yang mendera di hatinya.Ibunya mendesah di seberang, seperti berusah







