Pagi itu, mendung terlihat menggantung di langit, seolah ingin memberi peringatan bahwa hari ini tidak akan berjalan dengan baik. Aku duduk di sofa ruang tamu, secangkir kopi yang mulai dingin tergeletak di meja. Aku memandangi jam dinding yang berdetak perlahan, seperti mengejek kebingunganku.
Mas Rey sudah berangkat lebih awal, seperti biasanya. Suamiku tidak berkata banyak, hanya sebuah statment, "Mas pergi" yang terdengar kaku sebelum menutup pintu. Aku tidak tahu apakah Mas Rey sadar aku terjaga sepanjang malam, menangis pelan di sampingnya. Keheningan di antara kami semakin hari semakin sulit untuk dijembatani, seperti jurang yang terus melebar. Aku menghela napas panjang, mencoba mengalihkan pikiranku dengan membereskan rumah. Namun, tak sampai setengah jam, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak kukenal. "Bu Ira, saya dr. Laila dari klinik kesuburan yang Bapak Rey kunjungi kemarin. Kami ingin menjadwalkan pertemuan lanjutan untuk membahas hasil tes." Aku membaca pesan itu berulang kali, memastikan bahwa aku tidak salah paham. Mas Rey pergi ke klinik kesuburan? Sendirian? Kenapa Mas tidak memberitahuku? Dadaku terasa sesak, dipenuhi oleh berbagai pertanyaan yang tidak kunjung terjawab. Aku mencoba menahan diri, tetapi rasa penasaran dan sakit hati akhirnya memaksaku untuk menghubungi Mas Rey. Tanganku gemetar ketika menekan nomor di ponsel. "Assalamualaikum, Mas Rey." “Waalaikumsalam, Sayang,” suara suamiku terdengar dari ujung sana, bercampur dengan suara ketikan keyboard yang cepat. “Mas Rey, aku dapat pesan dari klinik kesuburan,” kataku, tanpa membuang waktu untuk basa-basi. Mas Rey terdiam beberapa detik sebelum akhirnya menjawab, “Oh, itu. Mas hanya ingin memastikan semuanya. Tidak ada yang perlu Sayang khawatirkan.” Aku mengernyit, mencoba memahami nada suaranya yang datar. “Tidak perlu aku khawatirkan? Mas Rey, kenapa tidak memberitahuku? Bukankah ini tentang kita, Mas?” “Mas tidak ingin membebanimu, Yang,” jawabnya tenang. “Lagipula, Mas hanya ingin memastikan saja, tidak lebih.” Kata-kata Mas Rey terdengat tenang namun terasa seperti pisau yang menghujam. Apakah Mas Rey benar-benar berpikir aku adalah beban? Apakah Mas Rey menyalahkan aku sepenuhnya atas masalah ini? “Mas Rey, tidak perlu melindungi aku dari hal seperti ini. Kita yang seharusnya menghadapi situasi ini bersama,” balasku, mencoba menahan emosi yang mulai memuncak. “Aku tahu, Sayang,” jawabnya singkat. “Tapi aku hanya ingin memastikan semuanya berjalan lancar tanpa menambah tekanan untukmu.” “Apa Mas berpikir ini hanya tentang aku? Bahwa aku satu-satunya yang perlu dipastikan?” tanyaku dengan suara bergetar. Mas Rey terdiam lagi, dan keheningan itu terasa lebih menyakitkan daripada kata-kata apa pun yang mungkin Mas Rey ucapkan. “Sayang, aku tidak ingin kita bertengkar tentang ini,” katanya akhirnya. “Mas hanya ingin kita fokus mencari solusi.” “Tapi kita bahkan tidak melakukannya bersama,” jawabku dengan suara pelan. Akhirnya sambungan telepon itu berakhir tanpa adanya solusi, meninggalkan aku dengan lebih banyak kebingungan dan rasa sakit. --- Sore harinya, aku menerima pesan lain dari ibu mertua, memintaku datang ke rumahnya. Meski hatiku enggan, aku tahu aku tidak punya pilihan lain. Mengabaikan permintaannya hanya akan memperburuk hubungan kami yang sudah buruk. Rumah ibu mertua adalah rumah besar dengan arsitektur modern yang mencolok. Meski demikian, setiap sudutnya terasa dingin dan tidak ramah, mencerminkan hubunganku dengannya selama ini. Ketika aku tiba, ibu mertua sudah menungguku di ruang tamu, bersama seorang wanita yang sangat familiar—Citra. Detak jantungku mendadak naik turun tak beraturan. Citra, teman lama Rey dari masa kuliah berada di dekat ibu mertua. Aku tidak menyangka akan bertemu dengannya lagi dalam situasi seperti ini. “Ira, duduklah,” kata ibu mertua dengan nada datar, meskipun ada senyum tipis di wajahnya yang terasa seperti ejekan. Aku duduk dengan kaku, mencoba menenangkan diriku. “Ira, kamu tahu Ibu selalu menginginkan yang terbaik untuk Rey,” katanya, membuka pembicaraan. Aku hanya mengangguk, tidak tahu harus menjawab apa. “Lima tahun menikah, dan ibu tidak melihat ada perkembangan. Keluarga ini membutuhkan penerus, dan ibu tidak bisa terus menunggu.” Aku meremas tangan di pangkuanku, mencoba menahan emosi yang sebentar lagi mencapai puncaknya. “Dan Ibu terka, aku tidak berusaha?” tanyaku akhirnya, suaraku bergetar. Ibu tersenyum tipis. “Usaha itu tidak cukup jika tidak ada hasil. Rey butuh seseorang yang bisa memberikan apa yang dia butuhkan.” Aku menoleh ke arah Citra, yang hanya duduk diam dengan senyuman canggung. Dia tidak mengatakan apa-apa, tetapi kehadirannya sudah cukup untuk membuatku merasa terpojok. “Aku tidak akan menyerah begitu saja,” kataku, mencoba terdengar tegas meskipun hatiku hancur. “Kita lihat saja,” jawab ibu mertua sambil melirik Citra, seolah memberikan isyarat bahwa Ibu sudah punya rencana lain. --- Ketika aku kembali ke rumah malam ini, Mas Rey sudah ada di ruang tamu, menatap layar laptopnya. Seringkali pekerjaan kantor dibawanya pulang. “Baru pulang, Yang?” tanyanya tanpa menoleh. “Dari rumah ibumu, Mas,” jawabku datar sambil meletakkan tas di sofa. Mas Rey menutup laptopnya dan menatapku. “Apa lagi yang Ibu katakan?” Aku menatapnya tajam, mencoba membaca ekspresinya. “Mas tahu Ibu mengundang Citra ke sana?” Mas Rey terkejut sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Dan Mas tidak melakukan apa pun?” tanyaku, suaraku mulai meninggi. “Sayang, Mas tidak bisa terus melawan ibu,” jawabnya dengan nada lelah. “Sayang tahu bagaimana watak ibu.” “Mas tidak melawan. Mas hanya diam. Mas membiarkan aku menghadapi semuanya sendirian!” Mas Rey berdiri, berjalan mendekat. “Sayang, Mas tidak ingin kita terus begini. Mas ingin kita fokus pada solusi.” “Tapi bagaimana kita bisa menemukan solusi jika Mas bahkan tidak mau berdiri di pihakku?” tanyaku dengan air mata yang mulai mengalir. Mas Rey mencoba meraih tanganku, tetapi aku mundur. “Mas mencintaimu, Sayang. Tapi Mas juga mencintai ibu. Mas tidak tahu harus bagaimana." “Harus memilih, Mas. Mas tidak bisa terus-menerus berdiri di tengah tanpa arah.” Keheningan kembali mengisi ruangan, dan itu terasa lebih menghancurkan daripada kata-kata apa pun yang mungkin Mas Rey ucapkan. --- Malam itu, aku duduk sendirian di kamar, memeluk lututku dan merenungi apa yang telah terjadi. Cinta ini adalah pilihanku, tetapi apakah aku salah memilih untuk bertahan? Namun, aku tahu satu hal pasti—aku tidak akan menyerah tanpa perlawanan. Jika ini adalah awal dari pertempuran, maka aku akan melawannya dengan seluruh kekuatanku.Setelah percakapan panjang mereka di kafe, Rey melirik jam tangannya. Hari sudah mulai gelap. Ia menatap Ira yang masih tampak tenggelam dalam pikirannya."Mas antar pulang, Yang," kata Rey tiba-tiba.Ira menoleh, ragu sejenak. "Nggak usah, Mas. Aku bisa pulang sendiri."Rey menghela napas, menatapnya serius. "Yang, ini sudah malam. Mas nggak akan tenang kalau kamu pulang sendirian."Ira terdiam tidak menjawab.Rey melirik meja di samping mereka, matanya menyapu permukaannya dengan cepat. Dahinya mengernyit. "Sayang ga bawa mobil, kan?" tanyanya pelan, tapi penuh arti.Ira mengangkat bahu, berusaha tetap santai. "Memangnya kenapa?"Rey menatapnya lebih lama, seolah mencoba membaca pikirannya. "Sayang selalu naruh kunci mobil di atas meja. Sekarang nggak ada." Ia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, suaranya lebih pelan. "Berarti Sayang nggak bawa mobil, kan?"Ira menelan ludah, tidak langsung menjawab. Rey masih mengingat kebiasaannya dengan baik.Rey tersenyum kecil, sedikit menggel
Alnaira Riquina duduk di meja kerjanya, menatap dokumen-dokumen yang belum tersentuh. Namun, pikirannya melayang kepada sosok Reyvaldo Anggara, lelaki yang masih menghantuinya meskipun mereka tidak lagi tinggal seatap.Suara ponselnya bergetar di atas meja. Ia melirik layar—nama Karin muncul di sana. Dengan ragu, ia mengangkat telepon."Halo, assalamualaikum, Karin.""Waalaikumsalam, Ra, kamu sudah dengar kabar tentang Rey?" Suara Karin terdengar khawatir.Ira mengernyitkan dahi. "Kabar apa?""Rapat dewan direksi tadi pagi ... Aku dengar posisinya semakin terancam. Ada banyak pihak yang ingin menjatuhkannya."Ira menghela napas panjang. "Aku sudah menduga. Sejak masalah merger itu, semuanya pasti menjadi semakin sulit baginya.""Ya, tapi ini lebih dari sekadar merger. Ada pihak yang ingin menyingkirkannya secara permanen. Aku dengar beberapa pemegang saham mulai goyah."Ira menggigit bibirnya. "Rey itu orang yang sangat ambisius dalam pekerjaannya, tapi selalu profesional. Kalau sampa
Rapat yang berlangsung selama lebih dari dua jam akhirnya ditunda. Para direksi meninggalkan ruangan satu per satu, menyisakan Rey yang masih duduk sambil menatap layar laptopnya. Ia merasa lega karena merger tidak diputuskan secara tergesa-gesa, tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa tekanan dari berbagai pihak akan semakin besar.Pintu ruangan terbuka pelan, dan Nia masuk sambil membawa secangkir kopi di atas nampan. Ia melangkah dengan hati-hati, lalu meletakkan kopi di meja kerja Rey.Nia tersenyum kecil. “Kopi hitam tanpa gula, seperti biasa.”Rey menoleh ke arah Nia, menghela napas panjang sebelum meraih cangkir itu. “Terima kasih."Nia memperhatikan wajah Rey yang tampak lelah. “Rapat tadi cukup berat, ya, Pak?”Rey mengangguk sambil mengaduk kopinya pelan. “Lebih dari itu. Aku sudah menduga kalau mereka akan berusaha menekanku, tapi tidak kusangka sampai seintens ini.”Nia menarik kursi dan duduk sebentar. “Sepertinya Pak Rendra dan beberapa direksi benar-benar ingin merger ini se
Pak Surya mengetuk meja layaknya pak hakim memutuskan perkara. "Setelah mendengar berbagai pertimbangan, saya rasa kita perlu waktu lebih banyak untuk menganalisis semua kemungkinan. Keputusan sebesar ini tidak bisa diambil dalam satu pertemuan.”Pak Arman mengangguk setuju. “Saya juga merasa kita terlalu terburu-buru. Ada terlalu banyak hal yang belum jelas. Saya usul kita menunda rapat ini selama satu minggu agar semua pihak bisa mengkaji ulang proposal merger dengan lebih mendalam.”Rey menyambut usulan itu dengan tenang. “Saya setuju. Dalam waktu satu minggu, saya dan tim keuangan akan menyusun proyeksi dampak merger ini dalam berbagai skenario, termasuk risiko jangka panjangnya.”Pak Rendra terlihat tidak senang, tetapi ia berusaha menyembunyikannya. “Baik, kalau itu keputusan mayoritas, kita tunda dulu.”Pak Surya menutup rapat dengan ketukan meja. “Baiklah, rapat ditunda dan akan dilanjutkan minggu depan. Saya harap semua tim bisa membawa analisis yang lebih detail.”---Seming
Rey berjalan menuju ruang rapat dengan langkah tegap. Di tangannya, ia membawa dokumen yang telah direvisi oleh timnya. Ia tahu, pertemuan ini akan menjadi momen krusial. Dewan direksi sudah menunggu, begitu juga dengan beberapa pemegang saham utama yang memiliki pengaruh besar dalam keputusan merger.Begitu Rey memasuki ruang rapat, ia langsung menangkap pemandangan yang membuatnya sedikit waspada. Pak Rendra, kepala divisi hukum, sedang berbisik dengan beberapa anggota direksi lainnya, terutama dari pembelian dan investasi. Sesekali, mereka melirik ke arahnya sebelum kembali berbisik.Pak Surya, ketua dewan direksi, mengetuk meja sebagai tanda rapat dimulai. “Baiklah, kita langsung ke pokok pembahasan. Pak Rendra, Anda ingin menyampaikan sesuatu sebelum kita mulai membahas revisi proposal merger?”Pak Rendra menyunggingkan senyum tipis sebelum menatap Rey. “Tentu, Pak Surya. Sebelum Pak Rey menyampaikan analisanya, saya ingin menekankan bahwa revisi ini dibuat dengan mempertimbangka
BAB 45Bab 77Di ruangan kantornya yang luas, Reyvaldo Anggara duduk dengan wajah tegang. Berkas-berkas berserakan di atas mejanya, dan layar laptopnya menampilkan laporan keuangan yang masih belum ia selesaikan. Kepalanya terasa berat. Masalah pribadinya dengan Alnaira Riquina, istrinya, sudah cukup menguras pikirannya, tapi kini pekerjaannya juga mulai terancam.Pintu diketuk. Rey mendongak dan melihat Nia, asistennya, masuk dengan ekspresi ragu.“Pak Rey, rapat dengan dewan direksi dimajukan satu jam lebih cepat. Dan … ada beberapa revisi dalam proposal merger yang harus segera Bapak tinjau,” ucap Nia setelah masuk ruangan.Rey mengerutkan kening, meletakkan pulpen yang sedari tadi ia putar-putar di jarinya. “Dimajukan? Kenapa?”Nia meletakkan dokumen di meja atasannya, kemudian menghela napas pelan. “Dari informasi yang saya dapat, ada tekanan dari beberapa pemangku saham utama. Mereka ingin merger ini segera dieksekusi tanpa hambatan, Pak."Rey menyandarkan punggungnya, menatap d
Bab 76Ira duduk di sofa ruang tamu apartemen miliknya, jemarinya sibuk memijat pelipisnya yang terasa pusing. Semua perkataan Reyvaldo Anggara masih terngiang di pikirannya, membuatnya sulit berpikir jernih. Sidang pengadilan agama terakhir akan segera berlangsung, keputusan akhir ada di tangannya—melanjutkan perceraian atau memberi kesempatan untuk mediasi kembali.Mata wanita cantik itu terpejam mengingat percakapan tadi malam antara dirinya dan suaminya, Rey, melalui telepon."Sayang, kita harus bicara sebelum sidang terakhir," ajak laki-laki di seberang telepon dengan nada lembut tapi tegas.Ira menghela napas, suaranya datar, “Apa lagi yang perlu dibicarakan, Mas? Semuanya sudah jelas.”“Belum tentu. Kita masih bisa mencoba mediasi lagi. Mas yakin, kita bisa memperbaiki semuanya ini satu-persatu.” Suara Rey terdengar meyakinkan.Ira tertawa sinis, “Kita? Memperbaiki? Mas Rey, kita sudah sampai di titik ini bukan karena aku tidak mencoba. Aku sudah cukup lelah berusaha sendirian.
Bab 71Ira masih terdiam, memikirkan kata-kata Rizal."Aku tidak bisa terus seperti ini, Rizal. Aku butuh jawaban, tapi aku juga takut."Rizal tersenyum. "Takut bahwa jawaban itu bukan yang ingin kamu dengar?"Ira menatapnya dengan mata bimbang. "Aku takut, Rizal. Takut kalau pada akhirnya Mas Rey akhirnya memilih mendengarkan ibunya.""Maksudmu?" Rizal bertanya, meskipun ia sudah bisa menebak arah pembicaraan ini.Ira menggigit bibirnya, menunduk. "Ibunya selalu ingin dia bersama wanita yang bisa memberinya anak. Aku ... aku tidak tahu apakah Mas Rey cukup kuat untuk melawan keinginan ibunya."Rizal mengangguk pelan. "Dan kamu takut dia menyerah dan memilih wanita lain?"Ira mengangguk. "Aku takut dia memilih Erica. Dia pintar, datang dari keluarga sukses, dan sekarang bahkan membantu Mas Rey di bisnisnya. Itu seperti pasangan sempurna di mata ibunya."Rizal menarik napas panjang, mencoba memilih kata-kata yang tepat. "Ira, kamu tahu bahwa kebahagiaan sebuah pernikahan tidak hanya be
Bab 42Ira dan Rizal masih duduk berhadapan di dalam cafe. Percakapan mereka mengalir dengan mudah, membahas banyak hal, mulai dari pekerjaan hingga kenangan masa lalu."Jadi, bagaimana rasanya menjadi penasihat keuangan?" Rizal bertanya sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.Ira tersenyum tipis, menatap cangkir kopinya sebelum akhirnya menjawab. "Awalnya, aku tidak pernah berpikir akan sampai di titik ini. Dulu, aku hanyalah seorang manajer keuangan di perusahaan tempat aku dan Mas Rey bekerja."Rizal mengangkat alis, tertarik. "Oh? Jadi kamu dan Rey dulu satu kantor?"Ira mengangguk. "Iya. Aku dulu adalah atasan suamiku. Dia masih seorang staf keuangan waktu itu, dan aku yang membimbingnya dalam banyak hal. Aku ingat betul betapa keras kepalanya saat itu."Rizal terkekeh. "Jadi sejak awal kamu sudah terbiasa menghadapi sifat keras kepala Rey?"Ira tertawa kecil. "Bisa dibilang begitu. Tapi justru karena itulah kami semakin dekat. Aku melihat bagaimana dia berusaha membuktikan diriny