Pagi itu terasa berat. Aku duduk di meja makan, menatap cangkir teh yang sudah dingin, mencoba mencari alasan untuk tidak berpikir terlalu banyak. Keheningan yang mengisi rumah tangga kami semakin mencekik, dan setiap detik terasa semakin berat. Mas Rey sudah pergi bekerja, meninggalkan aku dengan pikiran yang berlarian.
Ke mana perginya kedamaian yang dulu kami miliki? Apa yang terjadi dengan kami? Rasanya aku sudah berusaha terlalu keras untuk mempertahankan hubungan ini, namun aku hanya semakin merasa jauh dari suamiku. Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari nomor yang sudah tidak asing lagi: dokter Laila dari klinik kesuburan. "Bu Ira, kami ingin mengonfirmasi jadwal pertemuan lanjutan untuk hasil tes. Mohon konfirmasi segera." Aku terdiam sejenak. Mas Rey belum memberitahuku apa-apa tentang hasil tes ini. Aku merasa seperti sebuah bagian dari hidupnya yang disembunyikan dariku, dan itu memicu rasa sakit yang kucoba untuk tidak rasakan. Aku menekan nomor Mas Rey. Panggilan diterima setelah beberapa nada dering berbunyi. “Sayang, ada apa?” suara Mas Rey terdengar datar, seolah-olah tidak ada yang penting di ujung sana. “Mas, aku baru saja mendapat pesan dari klinik kesuburan. Kenapa Mas tidak memberitahuku tentang pertemuan besok?” tanyaku, suaraku bergetar karena bercampur rasa kecewa dan bingung. “Oh, itu,” jawabnya tanpa tersirat nada penyesalan. “Aku hanya lupa memberitahumu, Sayang. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kita bisa bicara nanti.” Aku bisa merasakan ketegangan yang menambah jarak antara kami. “Lupa? Mas, ini masalah besar. Aku ingin Mas lebih terbuka padaku, aku ingin tahu apa yang terjadi.” “Mas hanya ingin memastikan semuanya, Sayang. Tidak ada yang perlu Sayang khawatirkan,” jawabnya. Namun nada suaranya terdengar seperti seseorang yang mencoba menenangkan diri sendiri, bukan aku. “Mas, jika kamu ingin aku ikut serta, Mas harus memberi tahu aku. Kita sedang menghadapi masalah besar dalam hubungan kita, dan aku tidak akan merasa dihargai jika Mas terus menyembunyikan hal-hal ini dariku.” Keheningan kembali mengisi ruang percakapan. Aku bisa merasakan Mas Rey menarik napas panjang di sisi sana. “Mas tahu ini salah. Mas akan memberitahumu lebih banyak, Mas janji. Tapi sekarang, Mas harus pergi. Kita bicarakan lagi nanti, Yang.” Aku hanya mengangguk meskipun tidak ada yang benar-benar selesai. Panggilan itu berakhir, dan aku duduk dengan hati yang penuh keraguan. --- Sepanjang hari, aku merasa jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Ada kegelisahan yang menggerogoti, dan meskipun aku mencoba tetap sibuk dengan pekerjaan rumah, pikiranku tidak bisa berhenti melayang ke sana—ke pertemuan dengan ibu mertuaku yang penuh ketegangan, ke dokter yang tidak aku kenal, dan ke perasaan semakin hilangnya ikatan antara aku dan Mas Rey. Sore harinya, ketika aku sedang duduk di ruang tamu, Mas Rey pulang lebih larut dari biasanya. Aku memutuskan untuk memulai percakapan yang sudah tertunda lama. Ketika Mas membuka pintu, aku berdiri dan menatapnya langsung. “Mas, kita perlu bicara.” Mas Rey mengangkat alis, sedikit terkejut dengan nada serius yang aku gunakan. “Tentang apa, Sayang?” tanyanya sambil melepas jas kerjanya, berusaha tenang. “Bukan tentang apa, Mas. Tentang kita. Tentang hubungan ini,” jawabku dengan tegas. Aku tidak bisa lagi menunggu. Hatiku terlalu penuh. Mas Rey menatapku, lalu meletakkan jasnya di sofa. “Kita sudah bicara banyak, Yang. Apa lagi yang perlu kita bicarakan?” jawabnya, berusaha terdengar tenang, meskipun ada kerutan di dahinya. “Aku merasa semakin jauh darimu, Mas,” kataku, mencoba mengatur suara agar tidak pecah. “Kenapa Mas tidak bisa berbicara dengan aku? Kenapa Mas selalu menghindari masalah ini?” Mas Rey terdiam. Matanya tampak menghindari pandanganku. “Mas tidak menghindar, Yang. Mas hanya ... Mas tidak ingin menambah bebanmu, Yang." “Beban? Mas, kamu tidak melihatku seperti seseorang yang bisa kamu percayai? Kita menikah, Mas. Kita seharusnya menghadapi masalah ini bersama-sama. Tapi Mas justru semakin menjauh. Mas pergi ke klinik tanpa memberitahuku, Mas diam tentang apa yang terjadi. Aku merasa seperti aku bukan lagi bagian dari hidupmu, Mas," kataku, hampir tidak bisa menahan air mata yang menyembul ingin keluar. Mas Rey menghela napas panjang, kemudian berjalan mendekat. “Yang ... Mas mencoba untuk melakukan yang terbaik. Mas ingin kita berhasil. Tapi Mas juga bingung. Mas tidak tahu bagaimana cara berbicara denganmu tentang hal-hal ini.” “Jadi Mas memilih untuk bersembunyi dariku?” tanyaku, suaraku semakin keras. “Aku tidak mau merasa seperti ini lagi, Mas. Aku tidak bisa terus berjuang sendirian.” Mas Rey menundukkan kepala, terlihat seperti seseorang yang sangat lelah. “Mas tidak tahu harus bagaimana. Ini bukan hanya tentang kita, Yang. Ini tentang keluarga, tentang ibu, tentang harapan yang sudah begitu lama aku pertahankan.” “Apa maksudmu, Mas?” tanyaku, hampir tidak percaya dengan apa yang dia katakan. “Mas ... Mas takut mengecewakan mereka. Mereka sudah terlalu berharap, Sayang. Mas takut kalau Mas gagal, semuanya akan berakhir. Sayang tahu betapa kerasnya ibu.” Aku merasakan rasa sakit ini langsung menembus hatiku. “Jadi ini semua karena ibu? Jadi Mas memilih untuk menyembunyikan segalanya dari aku, hanya karena takut mengecewakan mereka?” “Bukan begitu, Sayang. Mas hanya tidak ingin memaksamu untuk memilih antara aku dan keluargaku. Mas ingin kita baik-baik saja tanpa harus melibatkan mereka terlalu banyak.” “Tapi Mas adalah suamiku,” kataku, air mata mulai menetes di pipiku. “Aku tidak akan memilih mereka di atasmu. Aku akan selalu ada untukmu, bahkan jika itu sulit, Mas.” Mas Rey terlihat bingung, wajahnya penuh keraguan. “Mas tidak tahu bagaimana melanjutkannya, Sayang. Mas merasa ... terjebak.” “Aku juga merasa terjebak, Mas. Kita sudah lama terjebak dalam kebisuan ini,” jawabku dengan penuh kesedihan. Mas Rey mendekat, mencoba meraih tanganku. “Mas tidak ingin kita berpisah, Sayang. Mas benar-benar mencintaimu, Yang.” “Tapi Mas tidak tahu apa yang benar-benar aku butuhkan, Mas. Aku butuh lebih dari sekadar kata-kata kosong. Aku butuh kejujuran. Aku butuh Mas, bukan hanya bayanganmu yang ada di sampingku, Mas,” kataku, menyeka air mata di pipiku dengan punggung tangan. Keheningan kembali mengisi ruang itu. Kami berdua saling menatap, namun rasanya semakin sulit untuk menjembatani jarak yang ada. Tidak ada kata-kata yang bisa memperbaiki semuanya. --- Saat malam datang, aku berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang gelap. Aku merasa terombang-ambing antara cinta dan kebingungannya Mas Rey. Di satu sisi, aku tahu Mas Rey tidak bermaksud menyakitiku. Namun, di sisi lain, aku merasa semakin jauh darinya. Setiap detik yang berlalu seperti semakin menegaskan bahwa kami tidak lagi berjalan seiring. Jika kepercayaan itu sudah terguncang, apakah ada yang tersisa untuk diperbaiki?Setelah percakapan panjang mereka di kafe, Rey melirik jam tangannya. Hari sudah mulai gelap. Ia menatap Ira yang masih tampak tenggelam dalam pikirannya."Mas antar pulang, Yang," kata Rey tiba-tiba.Ira menoleh, ragu sejenak. "Nggak usah, Mas. Aku bisa pulang sendiri."Rey menghela napas, menatapnya serius. "Yang, ini sudah malam. Mas nggak akan tenang kalau kamu pulang sendirian."Ira terdiam tidak menjawab.Rey melirik meja di samping mereka, matanya menyapu permukaannya dengan cepat. Dahinya mengernyit. "Sayang ga bawa mobil, kan?" tanyanya pelan, tapi penuh arti.Ira mengangkat bahu, berusaha tetap santai. "Memangnya kenapa?"Rey menatapnya lebih lama, seolah mencoba membaca pikirannya. "Sayang selalu naruh kunci mobil di atas meja. Sekarang nggak ada." Ia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, suaranya lebih pelan. "Berarti Sayang nggak bawa mobil, kan?"Ira menelan ludah, tidak langsung menjawab. Rey masih mengingat kebiasaannya dengan baik.Rey tersenyum kecil, sedikit menggel
Alnaira Riquina duduk di meja kerjanya, menatap dokumen-dokumen yang belum tersentuh. Namun, pikirannya melayang kepada sosok Reyvaldo Anggara, lelaki yang masih menghantuinya meskipun mereka tidak lagi tinggal seatap.Suara ponselnya bergetar di atas meja. Ia melirik layar—nama Karin muncul di sana. Dengan ragu, ia mengangkat telepon."Halo, assalamualaikum, Karin.""Waalaikumsalam, Ra, kamu sudah dengar kabar tentang Rey?" Suara Karin terdengar khawatir.Ira mengernyitkan dahi. "Kabar apa?""Rapat dewan direksi tadi pagi ... Aku dengar posisinya semakin terancam. Ada banyak pihak yang ingin menjatuhkannya."Ira menghela napas panjang. "Aku sudah menduga. Sejak masalah merger itu, semuanya pasti menjadi semakin sulit baginya.""Ya, tapi ini lebih dari sekadar merger. Ada pihak yang ingin menyingkirkannya secara permanen. Aku dengar beberapa pemegang saham mulai goyah."Ira menggigit bibirnya. "Rey itu orang yang sangat ambisius dalam pekerjaannya, tapi selalu profesional. Kalau sampa
Rapat yang berlangsung selama lebih dari dua jam akhirnya ditunda. Para direksi meninggalkan ruangan satu per satu, menyisakan Rey yang masih duduk sambil menatap layar laptopnya. Ia merasa lega karena merger tidak diputuskan secara tergesa-gesa, tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa tekanan dari berbagai pihak akan semakin besar.Pintu ruangan terbuka pelan, dan Nia masuk sambil membawa secangkir kopi di atas nampan. Ia melangkah dengan hati-hati, lalu meletakkan kopi di meja kerja Rey.Nia tersenyum kecil. “Kopi hitam tanpa gula, seperti biasa.”Rey menoleh ke arah Nia, menghela napas panjang sebelum meraih cangkir itu. “Terima kasih."Nia memperhatikan wajah Rey yang tampak lelah. “Rapat tadi cukup berat, ya, Pak?”Rey mengangguk sambil mengaduk kopinya pelan. “Lebih dari itu. Aku sudah menduga kalau mereka akan berusaha menekanku, tapi tidak kusangka sampai seintens ini.”Nia menarik kursi dan duduk sebentar. “Sepertinya Pak Rendra dan beberapa direksi benar-benar ingin merger ini se
Pak Surya mengetuk meja layaknya pak hakim memutuskan perkara. "Setelah mendengar berbagai pertimbangan, saya rasa kita perlu waktu lebih banyak untuk menganalisis semua kemungkinan. Keputusan sebesar ini tidak bisa diambil dalam satu pertemuan.”Pak Arman mengangguk setuju. “Saya juga merasa kita terlalu terburu-buru. Ada terlalu banyak hal yang belum jelas. Saya usul kita menunda rapat ini selama satu minggu agar semua pihak bisa mengkaji ulang proposal merger dengan lebih mendalam.”Rey menyambut usulan itu dengan tenang. “Saya setuju. Dalam waktu satu minggu, saya dan tim keuangan akan menyusun proyeksi dampak merger ini dalam berbagai skenario, termasuk risiko jangka panjangnya.”Pak Rendra terlihat tidak senang, tetapi ia berusaha menyembunyikannya. “Baik, kalau itu keputusan mayoritas, kita tunda dulu.”Pak Surya menutup rapat dengan ketukan meja. “Baiklah, rapat ditunda dan akan dilanjutkan minggu depan. Saya harap semua tim bisa membawa analisis yang lebih detail.”---Seming
Rey berjalan menuju ruang rapat dengan langkah tegap. Di tangannya, ia membawa dokumen yang telah direvisi oleh timnya. Ia tahu, pertemuan ini akan menjadi momen krusial. Dewan direksi sudah menunggu, begitu juga dengan beberapa pemegang saham utama yang memiliki pengaruh besar dalam keputusan merger.Begitu Rey memasuki ruang rapat, ia langsung menangkap pemandangan yang membuatnya sedikit waspada. Pak Rendra, kepala divisi hukum, sedang berbisik dengan beberapa anggota direksi lainnya, terutama dari pembelian dan investasi. Sesekali, mereka melirik ke arahnya sebelum kembali berbisik.Pak Surya, ketua dewan direksi, mengetuk meja sebagai tanda rapat dimulai. “Baiklah, kita langsung ke pokok pembahasan. Pak Rendra, Anda ingin menyampaikan sesuatu sebelum kita mulai membahas revisi proposal merger?”Pak Rendra menyunggingkan senyum tipis sebelum menatap Rey. “Tentu, Pak Surya. Sebelum Pak Rey menyampaikan analisanya, saya ingin menekankan bahwa revisi ini dibuat dengan mempertimbangka
BAB 45Bab 77Di ruangan kantornya yang luas, Reyvaldo Anggara duduk dengan wajah tegang. Berkas-berkas berserakan di atas mejanya, dan layar laptopnya menampilkan laporan keuangan yang masih belum ia selesaikan. Kepalanya terasa berat. Masalah pribadinya dengan Alnaira Riquina, istrinya, sudah cukup menguras pikirannya, tapi kini pekerjaannya juga mulai terancam.Pintu diketuk. Rey mendongak dan melihat Nia, asistennya, masuk dengan ekspresi ragu.“Pak Rey, rapat dengan dewan direksi dimajukan satu jam lebih cepat. Dan … ada beberapa revisi dalam proposal merger yang harus segera Bapak tinjau,” ucap Nia setelah masuk ruangan.Rey mengerutkan kening, meletakkan pulpen yang sedari tadi ia putar-putar di jarinya. “Dimajukan? Kenapa?”Nia meletakkan dokumen di meja atasannya, kemudian menghela napas pelan. “Dari informasi yang saya dapat, ada tekanan dari beberapa pemangku saham utama. Mereka ingin merger ini segera dieksekusi tanpa hambatan, Pak."Rey menyandarkan punggungnya, menatap d