Share

Bab 5 : Jalan Terpecah

Penulis: RiQueena
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-24 11:44:24

Hari ini terasa lebih panas dari biasanya. Aku berdiri di balkon rumah kami, menatap pemandangan kota yang tampak sibuk dengan rutinitas penduduknya. Udara terasa lembap, dan aroma aspal yang terkena paparan sinar matahari berhembus ke dalam ruangan. Hati ini penuh dengan prasangka, namun tak ada yang bisa kuungkapkan. Bahkan angin yang berhembus pun tidak bisa menenangkan pikiranku.

Mas Rey belum pulang sampai saat ini. Pikiranku kembali berlarian, mencoba mencari cara agar semuanya kembali normal, tetapi setiap kali aku berpikir begitu, kenyataan datang seperti sebuah tamparan yang sangat keras. Hubungan kami yang dulu penuh dengan canda tawa, kini terasa hampa. Setiap percakapan terasa seperti adu argumen yang tak pernah selesai.

Klinik kesuburan telah memberikan hasil tes terakhir, dan semuanya sudah jelas—kami berdua memiliki masalah. Namun, ada satu hal yang semakin menyakitkan, yang tak pernah kami bicarakan secara jujur: ibu mertuaku.

Aku memikirkan kata-kata ibu mertuaku yang seringkali menusuk hati, kata-kata yang terus bergema di kepala. “Istri yang tidak berguna.” “Kenapa kamu tidak bisa memberikan apa yang diinginkan keluarga?” Kata-kata itu seperti luka lama yang semakin membusuk. Mas Rey tidak pernah benar-benar membelaku, itulah yang kurasakan, dan aku—aku merasa seperti berada di tengah-tengah medan perang yang tak bisa kuhindari.

Langkah kaki yang terdengar kian mendekat membuyarkan lamunan. Aku menoleh, dan melihat Mas Rey berdiri di ambang pintu, dengan wajah yang lelah, namun tatapannya kosong. “Yang, tidak makan?” tanyanya dengan nada yang sedikit kesal.

Aku menatapnya, mencoba menyamarkan perasaan yang berkecamuk. “Aku tidak lapar, Mas," jawabku datar, meskipun aku tahu itu bukan alasan yang sebenarnya.

Mas Rey mendekat, lalu duduk persis di sebelahku, memandang ke arah kota yang sama. “Apa yang terjadi, Yang? Kenapa tidak pernah mau berbicara dengan Mas akhir-akhir ini?”

Suara itu—suara yang dulu menenangkan, kini hanya terdengar seperti sebuah permintaan yang terlambat. Aku menarik napas panjang, berusaha menemukan kata-kata yang tepat. "Pembahasan kita selalu jalan di tempat, Mas. Aku merasa Mas semakin jauh dariku, dan aku … aku lelah, Mas.”

“Lelah? Lelah dengan apa, Yang?” Mas Rey tampaknya tidak mengerti.

“Dengan semuanya, Mas. Dengan perasaan bahwa aku tidak pernah dianggap. Dengan kenyataan bahwa aku merasa selalu dipersalahkan,” jawabku, dengan suara yang semakin bergetar. “Aku lelah merasa seperti tidak ada tempat untukku di sini.”

Aku bisa melihat ekspresi di wajah Mas Rey berubah. Ada campuran antara bingung dan marah yang tergambar jelas. “Yang ... kamu tahu itu tidaklah benar. Sayang bukanlah orang yang salah dalam hubungan ini.”

“Tapi aku merasa seperti itu, Mas. Aku merasa seperti Mas lebih memilih keluarga Mas daripada aku. Setiap kali kita menghadapi masalah, yang selalu membahasnya adalah keluarga Mas, bukan kita lebih dulu yang berusaha mencari solusi,” kataku, berusaha menahan air mata yang sudah menggenang.

Mas Rey terdiam, seolah terjebak antara dua pilihan—mendengarkan atau membela keluarganya. “Mas mencoba menyeimbangkan semuanya, Yang. Kamu harus mengerti. Ibu …”

“Cukup dengan ibu, Mas!” potongku keras, suaraku mulai pecah. “Setiap kali kita berbicara, ibu selalu ada di antara kita. Aku merasa seperti tidak pernah bisa cukup baik di mata keluargamu, Mas. Apa Mas tidak pernah merasa seperti itu? Apa Mas tidak pernah merasa bahwa kita harus memilih—antara aku dan keluarga Mas?”

Mas Rey menunduk, tak bisa menjawab. Aku bisa merasakan ketegangan yang memuncak antara kami. Aku ingin Mas Rey mengerti. Aku ingin Mas Rey bisa melihat betapa aku berjuang untuk tetap bertahan, meskipun aku merasa begitu terasing meski sudah menjalin ikatan pernikahan yang resmi.

“Apa yang kamu inginkan, Yang?” tanya Mas Rey akhirnya, suaranya terdengar putus asa. “Sayang ingin Mas memilih? Sayang ingin Mas memilih antara Sayang dan keluarga Mas?”

Aku menggigit bibir, berusaha menahan tangis. “Aku tidak ingin dipilih, Mas. Aku hanya ingin Mas berada di sini, denganku. Aku hanya ingin Mas hadir untukku, bukan hanya tubuhmu yang ada, tetapi hatimu entah kemana ... tolong mengerti, Mas.”

Mas Rey menarik napas dalam-dalam, dan aku bisa melihatnya mulai merasakan beratnya kata-kataku yang baru saja terucap. “Mas ... Mas tidak tahu harus bagaimana lagi, Yang. Semua ini terasa semakin rumit. Mas rasa kita berdua sudah terlalu jauh dari apa yang seharusnya kita bina bersama.”

Aku menunduk, mencoba menahan isak yang mulai mengguncang tubuhku. “Aku tidak tahu apakah kita bisa kembali seperti dulu, Mas. Aku tidak tahu apa yang harus kita lakukan lagi.”

Mas Rey mengulurkan tangannya, menyentuh bahuku dengan lembut. “Yang, jangan bilang seperti itu. Mas sungguh mencintaimu. Tapi Mas juga takut kehilangan semuanya.”

Aku menatapnya, mencoba mencari kejujuran dalam matanya, namun yang aku temui hanya ketakutan yang sama. “Tapi apa yang sudah kita bangun ini, Mas? Apa yang kita bangun jika kita terus seperti ini? Hanya dua orang yang terjebak dalam ketakutan mereka sendiri?”

Mas Rey menarik napas lagi, kali ini lebih panjang. “Kita bisa memperbaikinya. Kita harus memperbaikinya, Yang.”

Aku ingin percaya padanya. Aku ingin merasakan ada harapan dalam kata-katanya, tetapi entah kenapa, rasanya semua itu hanya janji kosong. Kami telah berjanji sebelumnya, banyak sekali janji yang terlontar tanpa pernah terwujud.

“Aku ingin percaya padamu, Mas. Tetapi setiap kali aku mencoba, Mas selalu pergi. Setiap kali kita mencoba, kita selalu terhenti di tempat yang sama.”

Mas Rey diam, dan untuk beberapa detik, kami hanya duduk bersama dalam keheningan. Tidak ada kata-kata yang bisa mengubah apa yang sudah terjadi.

---

Beberapa hari kemudian, aku kembali ke rumah orang tuaku untuk mencoba mencari ketenangan. Tentunya dengan izin terlebih dahulu pada Mas Rey. Sambil melihat ke luar jendela kamar, aku memikirkan tentang Mas Rey dan semua yang terjadi. Apakah ini akhir dari semuanya? Apakah kami benar-benar tidak bisa lagi menemukan jalan keluar?

Pikiran itu membuatku merasa bingung. Setiap percakapan yang kami lakukan, setiap upaya yang kami coba, terasa seperti menambah jarak di antara kami. Aku merasa seolah-olah Mas Rey semakin terperangkap dalam kebisuan, terhimpit antara aku dan keluarganya.

Akhirnya kuputuskan malam itu aku kembali ke rumah, karena tidak ada perubahan yang signifikan bagi permasalahanku. Mas Rey ternyata menungguku di ruang tamu. Wajahnya penuh penyesalan. “Yang, Mas tahu Mas sudah banyak bersalah. Mas ingin memperbaiki semuanya. Mas ingin kita kembali seperti dulu.”

“Dulu, Mas, itu sudah lama sekali. Aku tidak tahu apakah kita bisa kembali seperti dulu. Apa Mas siap untuk melepaskan semua yang menghalangi? Apakah Mas siap untuk memilih aku?” tanyaku, menatap matanya dengan serius.

Mas Rey terdiam. “Aku …”

“Apa Mas mencintaiku?” aku memotong, kali ini suaraku penuh keraguan. “Apa Mas benar-benar mencintaiku, atau hanya takut kehilangan?”

Mas Rey tampaknya terkejut dengan pertanyaanku, tetapi akhirnya Mas menjawab, “Mas mencintaimu, Sayang. Mas takut kehilanganmu.”

“Tapi jika cinta itu hanya berdasarkan ketakutan, Mas, apakah itu benar-benar cinta?” tanyaku, hatiku terasa kosong. “Aku tidak ingin cinta yang didasarkan pada ketakutan. Aku ingin cinta yang kuat, yang bisa bertahan menghadapi apa pun.”

Mas Rey menatapku dengan mata yang penuh penyesalan. “Mas tidak tahu apakah kita bisa melewati ini, Yang.”

Aku menarik napas dalam-dalam. “Mungkin kita sudah terlalu jauh dari itu, Mas. Mungkin kita sudah tidak bisa lagi menemukan jalan kembali.”

Keheningan yang lama mengisi ruangan. Dan aku tahu, tanpa kata-kata yang keluar dari bibir kami, kami berdua telah tiba di persimpangan jalan yang tak bisa lagi kami persatukan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 50

    Setelah percakapan panjang mereka di kafe, Rey melirik jam tangannya. Hari sudah mulai gelap. Ia menatap Ira yang masih tampak tenggelam dalam pikirannya."Mas antar pulang, Yang," kata Rey tiba-tiba.Ira menoleh, ragu sejenak. "Nggak usah, Mas. Aku bisa pulang sendiri."Rey menghela napas, menatapnya serius. "Yang, ini sudah malam. Mas nggak akan tenang kalau kamu pulang sendirian."Ira terdiam tidak menjawab.Rey melirik meja di samping mereka, matanya menyapu permukaannya dengan cepat. Dahinya mengernyit. "Sayang ga bawa mobil, kan?" tanyanya pelan, tapi penuh arti.Ira mengangkat bahu, berusaha tetap santai. "Memangnya kenapa?"Rey menatapnya lebih lama, seolah mencoba membaca pikirannya. "Sayang selalu naruh kunci mobil di atas meja. Sekarang nggak ada." Ia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, suaranya lebih pelan. "Berarti Sayang nggak bawa mobil, kan?"Ira menelan ludah, tidak langsung menjawab. Rey masih mengingat kebiasaannya dengan baik.Rey tersenyum kecil, sedikit menggel

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 49

    Alnaira Riquina duduk di meja kerjanya, menatap dokumen-dokumen yang belum tersentuh. Namun, pikirannya melayang kepada sosok Reyvaldo Anggara, lelaki yang masih menghantuinya meskipun mereka tidak lagi tinggal seatap.Suara ponselnya bergetar di atas meja. Ia melirik layar—nama Karin muncul di sana. Dengan ragu, ia mengangkat telepon."Halo, assalamualaikum, Karin.""Waalaikumsalam, Ra, kamu sudah dengar kabar tentang Rey?" Suara Karin terdengar khawatir.Ira mengernyitkan dahi. "Kabar apa?""Rapat dewan direksi tadi pagi ... Aku dengar posisinya semakin terancam. Ada banyak pihak yang ingin menjatuhkannya."Ira menghela napas panjang. "Aku sudah menduga. Sejak masalah merger itu, semuanya pasti menjadi semakin sulit baginya.""Ya, tapi ini lebih dari sekadar merger. Ada pihak yang ingin menyingkirkannya secara permanen. Aku dengar beberapa pemegang saham mulai goyah."Ira menggigit bibirnya. "Rey itu orang yang sangat ambisius dalam pekerjaannya, tapi selalu profesional. Kalau sampa

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 48

    Rapat yang berlangsung selama lebih dari dua jam akhirnya ditunda. Para direksi meninggalkan ruangan satu per satu, menyisakan Rey yang masih duduk sambil menatap layar laptopnya. Ia merasa lega karena merger tidak diputuskan secara tergesa-gesa, tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa tekanan dari berbagai pihak akan semakin besar.Pintu ruangan terbuka pelan, dan Nia masuk sambil membawa secangkir kopi di atas nampan. Ia melangkah dengan hati-hati, lalu meletakkan kopi di meja kerja Rey.Nia tersenyum kecil. “Kopi hitam tanpa gula, seperti biasa.”Rey menoleh ke arah Nia, menghela napas panjang sebelum meraih cangkir itu. “Terima kasih."Nia memperhatikan wajah Rey yang tampak lelah. “Rapat tadi cukup berat, ya, Pak?”Rey mengangguk sambil mengaduk kopinya pelan. “Lebih dari itu. Aku sudah menduga kalau mereka akan berusaha menekanku, tapi tidak kusangka sampai seintens ini.”Nia menarik kursi dan duduk sebentar. “Sepertinya Pak Rendra dan beberapa direksi benar-benar ingin merger ini se

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 47

    Pak Surya mengetuk meja layaknya pak hakim memutuskan perkara. "Setelah mendengar berbagai pertimbangan, saya rasa kita perlu waktu lebih banyak untuk menganalisis semua kemungkinan. Keputusan sebesar ini tidak bisa diambil dalam satu pertemuan.”Pak Arman mengangguk setuju. “Saya juga merasa kita terlalu terburu-buru. Ada terlalu banyak hal yang belum jelas. Saya usul kita menunda rapat ini selama satu minggu agar semua pihak bisa mengkaji ulang proposal merger dengan lebih mendalam.”Rey menyambut usulan itu dengan tenang. “Saya setuju. Dalam waktu satu minggu, saya dan tim keuangan akan menyusun proyeksi dampak merger ini dalam berbagai skenario, termasuk risiko jangka panjangnya.”Pak Rendra terlihat tidak senang, tetapi ia berusaha menyembunyikannya. “Baik, kalau itu keputusan mayoritas, kita tunda dulu.”Pak Surya menutup rapat dengan ketukan meja. “Baiklah, rapat ditunda dan akan dilanjutkan minggu depan. Saya harap semua tim bisa membawa analisis yang lebih detail.”---Seming

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 46

    Rey berjalan menuju ruang rapat dengan langkah tegap. Di tangannya, ia membawa dokumen yang telah direvisi oleh timnya. Ia tahu, pertemuan ini akan menjadi momen krusial. Dewan direksi sudah menunggu, begitu juga dengan beberapa pemegang saham utama yang memiliki pengaruh besar dalam keputusan merger.Begitu Rey memasuki ruang rapat, ia langsung menangkap pemandangan yang membuatnya sedikit waspada. Pak Rendra, kepala divisi hukum, sedang berbisik dengan beberapa anggota direksi lainnya, terutama dari pembelian dan investasi. Sesekali, mereka melirik ke arahnya sebelum kembali berbisik.Pak Surya, ketua dewan direksi, mengetuk meja sebagai tanda rapat dimulai. “Baiklah, kita langsung ke pokok pembahasan. Pak Rendra, Anda ingin menyampaikan sesuatu sebelum kita mulai membahas revisi proposal merger?”Pak Rendra menyunggingkan senyum tipis sebelum menatap Rey. “Tentu, Pak Surya. Sebelum Pak Rey menyampaikan analisanya, saya ingin menekankan bahwa revisi ini dibuat dengan mempertimbangka

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 45

    BAB 45Bab 77Di ruangan kantornya yang luas, Reyvaldo Anggara duduk dengan wajah tegang. Berkas-berkas berserakan di atas mejanya, dan layar laptopnya menampilkan laporan keuangan yang masih belum ia selesaikan. Kepalanya terasa berat. Masalah pribadinya dengan Alnaira Riquina, istrinya, sudah cukup menguras pikirannya, tapi kini pekerjaannya juga mulai terancam.Pintu diketuk. Rey mendongak dan melihat Nia, asistennya, masuk dengan ekspresi ragu.“Pak Rey, rapat dengan dewan direksi dimajukan satu jam lebih cepat. Dan … ada beberapa revisi dalam proposal merger yang harus segera Bapak tinjau,” ucap Nia setelah masuk ruangan.Rey mengerutkan kening, meletakkan pulpen yang sedari tadi ia putar-putar di jarinya. “Dimajukan? Kenapa?”Nia meletakkan dokumen di meja atasannya, kemudian menghela napas pelan. “Dari informasi yang saya dapat, ada tekanan dari beberapa pemangku saham utama. Mereka ingin merger ini segera dieksekusi tanpa hambatan, Pak."Rey menyandarkan punggungnya, menatap d

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status