Harum bedak dan minyak wangi bayi memenuhi seisi kamar. Rengekan-rengekan kecil terdengar dari Gina saat sedang dipakaikan baju oleh Citra. Begitu selesai, tangis bayi itu pun lenyap seiring dengan Citra yang menggendongnya dan membawanya keluar dari kamar.Mereka pergi ke depan rumah untuk sekadar mengantarkan Sakti yang akan berangkat kerja."Kotak bekalnya gak ketinggalan kan?" tanya Citra dan langsung dijawab dengan anggukan kepala oleh Sakti.Kemudian, pria itu pun mencondongkan kepalanya untuk mengecup lembut pipi Ginata, sebelum tiba-tiba saja ia beralih mendaratkan kecupan singkat pada kening Citra."Papa pergi kerja dulu, ya, Gina. Kamu baik-baik sama Mama ya, " ucap Sakti begitu ringannya. Ia melirik ke arah Citra yang membeku di tempatnya, lalu mengulas senyum tipis sebelum kemudian ngibrit pergi menuju mobilnya.Citra yang masih berada dalam keterkejutannya itu pun hanya diam di ambang pintu dengan perasaan lingling. Baru, ketika mobil Sakti dinyalakan dan melaju pergi, Ci
"Aku pulang," ujar Sakti mengabarkan kepulangannya. Citra yang saat itu sedang memasak pun seketika menoleh dan tersenyum saat melihat Sakti menghampiri Ginata yang terlelap di strollernya."Kenapa gak ditidurkan di kamar?" tanya Sakti. Kemudian, ia pun berjalan menghampiri Citra untuk sekadar memberikan kotak bekal yang sudah kosong. "Saya cuma takut Gina jatuh dari atas ranjang pas saya tinggalin masak. Jadi, saya pikir lebih baik Gina tidur di stroller supaya bisa saya saya pantau sambil masak."Sakti hanya mengangguk-anggukan kepala lalu tanpa aba-aba dia mendaratkan kecupan di kening Citra dan seketika membuat perempuan itu mematung di tempatnya."Terima kasih sudah menjaga Gina dengan sangat baik dan memasak makanan enak untukku. Kalo gitu aku mau mandi dan ganti baju dulu," ujarnya tenang lalu kemudian melenggang pergi begitu saja. "Apa cium kening termasuk ke dalam peran yang harus dilakukan sampe kontrak berakhir?" tanya Citra tiba-tiba, sehingga membuat langkah Sakti pun
"Siapa perempuan itu?" desis Agnes bertanya sembari memberikan berkas yang perlu ditandatangai oleh Sakti."Bukan urusan kamu."Sakti dengan tenang membaca berkas itu lalu membubuhkan tanda tangannya di sana, tanpa sekalipun memperdulikan keberadaan Agnes yang masih setia berdiri di depannya."Apa perempuan itu Tiana?"Sakti diam. Ia tetap berusaha untuk tak memperdulikan keberadaan Agnia, juga berusaha menulikan telinganya dari segala ucapan perempuan itu."Kamu gak mungkin nikah sama kakak tiri kamu, kan, Sakti? Kamu jangan gila deh! Tolong sadar, Sakti... mau sampe kapan kamu suka sama kakak tiri kamu sendiri? Jangan buat duniamu sempit. Stop terobsesi sama Tiana," sungut Agnes.Seketika, Sakti pun berhenti dari kegiatannya. Ia terpaku di tempatnya untuk beberapa saat, sebelum akhirnya menghela napas berat dan kembali melanjutkan kegiatannya. Lagi-lagi ia berusaha mengabaikan keberadaan Agnes, sembari berharap kalau Agnes akan berhenti mengoceh dan segera pergi.Namun, harapannya i
Hari yang sangat mendebarkan kenapa pula harus selalu terasa cepat sekali datang. Padahal, Citra berharap bisa punya waktu untuk mempersiapkan hatinya jika harus kembali ke kampung halamannya."Gina tidur? Apa dia baik-baik aja?" tanya Sakti di tengah-tengah perjalanan mereka menuju rumah bedeng yang dulu di tempati Citra.Dengan jalanan bebatuan, membuat Sakti khawatir kalau Gina akan menangis karena perjalanan yang tidak nyaman.Citra mengangguk kecil. "Gina tidurnya anteng banget," jawabnya."Syukurlah. Aku sudah khawatir."Tak lama kemudian mereka pun memasuki area perkampungan, lalu Sakti pun memarkirkan mobilnya tepat di depan rumah bedeng. Mesin mobil dimatikan, lalu Sakti pun melepas sabuk pengamannya untuk kemudian mengubah posisi duduknya jadi menghadap ke arah Citra."Sini, Gina biar aku yang gendong. Udara di luar terlalu berdebu," ujar Sakti seraya mengulurkan kedua tangannya.Tanpa membantah, Citra pun menuruti permintaan Sakti. Ia mengurai ikatan gendongannya, lalu seca
"Apa kamu baik-baik saja? Apa lebih baik kita puter balik?" tanya Sakti risau sembari sesekali melirik ke arah Citra yang bergeming di tempatnya.Citra sendiri yang meminta Sakti untuk terus melaju mengambil jalur yang arahnya melewati lapangan tempat pesta pernikahan Badra diadakan. Bahkan, Citra meminta Sakti untuk menghentikan mobil tak jauh dari lapangan untuk sekadar melihat dengan jelas seperti apa pesta pernikahan ini."Saya baik-baik saja," jawab Citra dengan tatapan yang masih tertuju keluar jendela mobil tepat ke acara pernikahan yang berlangsung meriah.Untuk ukuran pesta pernikahan di kampung, pernikahan Badra dan Vina sangat megah. Satu lapangan bola yang luas itu hampir seluruhnya dipakai untuk acara pesta. Dekorasi yang sangat indah dan stan stan makanan prasmanan yang banyak, menandakan kalau mereka mengeluarkan banyak sekali uang untuk acara itu.Tak aneh. Badra menikahi Vina, anak seorang saudagar paling kaya di kampung ini. Mana mungkin pesta pernikahannya akan berl
Keterkejutan besar tercipta begitu jelas di wajah jelita Agnes. Lagi-lagi ia menatap ke arah Citra dan Gina yang berada dalam pelukannya."A-Anda sudah punya anak?" tanya Angnes sedikit terbata.Ada sorot terluka di kedua matanya, tapi Citra tak mengerti apa alasannya sehingga dia pun kemudian melirik ke arah Sakti untuk mencari jawabannya. Namun, nihil... Citra tak menemukan apa yang ia inginkan karena Sakti tak setitik pun menunjukan ekpresi di wajahnya. Wajah pria itu tetap datar."Iya. Putri pertamaku baru berusia 1 bulan lebih. Dia lahir lebih awal dan perkiraan dokternya," jawab Sakti tenang. Ia bahkan mengulas senyuman tipis yang tampak begitu bahagia ketika membicarakan Ginata.Tapi, berbanding terbalik dengan Agnes. Ia yang terluka saat tahu fakta kalau Sakti tinggal dengan seorang perempuan muda dan seorang bayi, jadi menganggap kalau senyuman tipis Sakti justru seperti sengaja ditujukan untuk mengejeknya.Sorot mata Agnes pun tiba-tiba berubah nanar. "Ternyata anda beneran
Beberapa hari ini Sakti dan Citra begitu sibuk mempersiapkan pernikahan mereka. Sakti yang lebih banyak mendominasi dalam persiapan itu, sedangkan Citra hanya mengangguk dan menggeleng tiap kali Sakti mintai pendapat. Tak ubahnya sebuah robot.Setelah mimpi buruk itu, sikap Citra berubah murung. Citra jadi tak banyak bicara dan tak banyak tersenyum, walau ketika ia sedang bersama Ginata. Citra seperti kembali kehilangan semangat dalam hidupnya, padahal saat ada Ginata, dia sudah"Apa kamu baik-baik saja? Bukankah aku bilang kamu bisa berbagi bebanmu denganku karena kita adalah teman?"Citra melirik ke arah Sakti yang kini duduk di sampingnya, lalu kemudian mengangguk kecil, tanpa bicara sama sekali. Hal itu pun seketika membuat Sakti menghela napas berat."Apa kamu gak bisa bicara, Citra? Aku sedang bertanya padamu. Bukan hanya padaku, tapi kamu juga jadi mogok bicara ketika bersama Ginata. Apa kamu gak tahu kalo mengajak bayi bicara itu sangat penting untuk tumbuh kembang bayi? Kalo k
"Apa kamu beneran bakal nikah perempuan muda itu, Sakti?" tanya Agnes yang begitu menerima undangan pernikahan dari Sakti. Kentara sekali kalau begitu berat hati dengan fakta bahwa Sakti yang akan bersanding dengan orang lain.Sementara Sakti menganggukan kepalanya dan begitu ringannya menyunggingkan senyuman lebar di wajahnya."Tentu saja, aku memang akan menikahi dia.""Baiklah selamat. Tapi, aku gak akan datang," tandasnya tanpa tedeng aling-aling. Lantas kemudian ia pun melenggang pergi dari ruangan Sakti tanpa pamit sama sekali. Sementara Sakti yang mendapat seperti itu pun hanya diam dan kembali fokus pada pekerjaannya, memilih tak memperdulikannya. Sebab tumpukan berkas di hadapannya butuh diselesaikan sesegera mungkin agar ia bisa terbebas dari pekerjaannya untuk beberapa hari dan menyelesaikam prosesi pernikahan sesuai rencana yang sudah disusunnya.Suara nyaring dari ponselnya yang berdering pun seketika membuat Sakti berhenti dari kegiatannya, untuk sekadar menemukan nama C