"Vina hamil anak akang. Dia butuh akang sekarang."
Ucapan Badra seakan menancapkan paku ke dalam hatinya. Dia bukan hanya menghamili dirinya, tapi juga menghamili wanita lain. Bukan hanya itu, Badra justru bertingkah seakan bayi yang ada di dalam perut Citra saat ini bukanlah bayinya."Terus aku gimana, Kang? Apa akang gak liat? Aku juga butuh akang.... Aku pendarahan, Kang. Anak kita harus segera lahir biar tetep bisa diselamatkan," sahut Citra yang kini mulai sangat putus asa.Tak terkesan dengan ucapan sang istri, Badra justru mengangkat bahunya ringan. "Aku gak peduli, Citra. Dari awal aku gak pernah mengharapkan anak dari kamu. Yang ada di perut kamu itu ya anak kamu, bukan anak aku dan bukan tanggung jawab aku lagi. Terserah dia mau mati sekalipun aku gak peduli. Sekarang, jangan banyak omong lagi. Cepet tanda tangan, Citra... aku harus segera nikah sama Vina mumpung perutnya belum keliatan gede."Sakit... hati Citra sangat sakit. Dunia terasa runtuh saat ini. Satu-satunya orang yang ia harapkan untuk bisa dijadikan sandaran, justru membuangnya begitu saja. Seolah bagi Badra, Citra dan nyawa calon bayinya hanyalah seonggok sampah.Citra memejamkan matanya rapat-rapat untuk meredam gejolak nyeri di rongga dadanya. Ia membiarkan air mata terus mengalir membasahi pipi, tanpa sekalipun mengabulkan permintaan Badra. Uluran kertas dan pena itu bahkan tak ia sentuh."Aku gak mau tanda tangan sebelum kamu bantu aku cari pinjaman buat bayar biaya persalinan ini," tolak Citra berusaha menggertak Badra."Gak sudi! Gak akan ada yang mau minjemin duit juga! Sekarang tanda tangan aja, Citra!" sentaknya yang kemudian dengan kasar mencengkram pergelangan tangan Citra dan memaksanya untuk segera tanda tangan.Pada akhirnya, Citra tetap kalah dari Badra. Dengan nelangsa ia menandatangani surat gugatan cerai itu."Seharusnya gitu dari tadi. Kamu bikin semuanya jadi ribet. Sekarang karena aku udah selesai dengan urusanku, kamu urus diri kamu sendiri. Bayar sendiri biaya rumah sakitnya. Kalo gak bisa bayar, ya udah biarin saja. Lagian mau kamu atau bayimu itu sama-sama gak berguna!" ujar pria itu dengan begitu kejam. Tanpa rasa belas kasihan sama sekali, Badra lekas melangkah pergi meninggalkan Citra yang hancur terdiam di tempatnya.Tak lama setelah kepergian Badra, dokter kembali datang menanyai keputusan Citra. Dan tentu saja, jawaban Citra saat itu hanyalah jawaban penuh rasa putus asa."Saya mau pulang aja, Dokter. Saya gak punya biaya sama sekali untuk lahiran caesar. Buat biaya pengobatan pun gak punya. Saya mau lahiran di dukun beranak aja," cicitnya pilu.Dokter itu hanya bisa menatap iba pada Citra. "Bu... maaf, tapi ibu gak bisa lahiran normal. Karena saya tidak menemukan ada pergerakan, ada kemungkinan bayi Ibu sudah meninggal di dalam perut. Ibu juga gak bisa dipulangkan dalam kondisi seperti ini. Biaya administrasi juga belum terbayarkan. Apa ibu punya nomor aparat desa, RT atau kepala desa? Biar pihak rumah sakit bantu hubungi untuk bala bantuan.”"Bayi saya meninggal? Gak mungkin, Dokter! Bayi saya memang gak banyak bergerak dari awal! Bayi saya gak mungkin meninggal, Dok…" Suara wanita itu terdengar melemah, tak terima dengan perkataan dari sang Dokter terkait keadaan bayi dalam perutnya.Dunianya kian hancur. Ia menyalahkan dirinya sendiri yang sempat berniat membunuh bayinya. Ia menyesal. Seharusnya saat itu ia tak berpikir untuk mengakhiri hidup. Ia sudah menarik kembali niatnya untuk bunuh diri, tapi kenapa bayinya harus tetap meninggal di saat ia ingin bayinya tetap hidup?Citra mulai menangis histeris. Ia meraung-raung, masih tak terima kalau bayinya meninggal di dalam perutnya sendiri. Tangisan yang menyayat hati itu memenuhi seluruh isi ruangan sampai ke lorong.Dokter yang melihat itu pun memeluk Citra. Ia merasa iba karena usia yang masih terlalu muda seperti Citra ini justru sudah bergelut dengan peliknya masalah rumah tangga dan masalah persalinan."Yang kuat ya bu... semuanya sudah takdir dari Tuhan. Sekarang ibu tenangkan diri dulu. Biar kami bantu minta tolong menghubungi orang-orang yang dekat dengan Ibu, dengan harapan ada jalan keluar buat bantuan biaya Rumah Sakit."Sepeninggalnya dokter itu, Citra hanya menangis sendirian. Ia mengusap perutnya dengan nelangsa saat benar-benar tak merasakan pergerakan di dalam sana.Bayinya tak lagi bernyawa."Maafin mamah, nak... maaf. Maaf... karena gak menyadari kalo mamah bikin kamu tersiksa di dalam sana. Seharusnya… mamah gak maksain kerja. Maaf... maafin mamah." Ribuan maaf penuh sesal itu Citra gumamkan dengan pilu, sembari menatap perutnya dengan pandangan yang buram karena air mata.Di detik itu, Citra terdiam sejenak saat sudut matanya melihat siluet seorang pria yang masuk ke dalam ruangannya. Ada secercah harapan lagi yang muncul di dalam hatinya kalau itu adalah Badra."Kang... kamu datang lagi buat nolong aku kan, kang? Kamu-"Bukan. Itu bukan Badra, sehingga Citra tak melanjutkan kalimatnya. Dengan wajah pucatnya yang berurai air mata, ia menatap kosong ke arah seorang pria asing yang kini berdiri menjulang di hadapannya dengan sorot mata yang entah kenapa terlihat sama terlukanya dengan Citra.“S-Siapa kamu?!” ucap Citra sambil memperhatikan secara detil pria yang kini mendekatinya. Pria itu terkesan berwibawa, dengan rambut hitam legamnya yang membuatnya terlihat muda."Aku gak sengaja denger percakapan antara kamu dengan suami kamu dan juga gak sengaja baru aja denger percakapan kamu dengan dokter," kata pria asing itu dengan suara beratnya yang terdengar begitu dingin. Tanpa emosi ataupun nada sama sekali. Seolah-olah dia adalah sebuah robot.Citra diam. Masih dengan air mata yang terus mengalir dan ia masih terisak, tapi kedua telinganya begitu setia mendengarkan ucapan pria itu.Sejenak, Citra melihat bagaimana pria asing itu menghela napas berat karena sisa kalimat yang akan diucapkannya sepertinya terasa sangat menyakitkan."Aku bisa bantu bayar seluruh biaya kamu di rumah sakit ini, termasuk biaya operasi caesar. Tapi, kamu harus membantuku.”Ucapan dari pria bermanik hitam yang kini menatapnya dalam itu membuatnya penasaran. Terlebih, Citra sama sekali tidak pernah bertemu dengan pria itu di desa. Mengingat kondisi dirinya yang saat ini keterbatasan segalanya, Citra tak punya pilihan lain.“Memangnya, apa yang harus saya bantu?” tanya Citra.“Kamu harus jadi istri sekaligus ibu susu untuk putriku”Dengan wajah yang berurai air mata, Citra mulai berpikir keras dan menimbang-nimbang tawaran yang diutarakan oleh pria asing di hadapannya ini. Sampai kemudian, tanpa berpikir lebih jauh lagi, Citra pun benar-benar mengambil keputusan paling putus asa itu."Saya terima tawarannya. T-Tolong... bantu saya. Saya harus segera melahirkan anak saya. K-Kalo... b-bayi saya... meninggal... saya harus segera memakamkannya," pinta Citra dengan suara yang beberapa kali tersenggal karena dirinya yang tak kuasanya menahan gejolak rasa sedih yang kembali menyayat-nyayat hatinya, ketika fakta kematian janin di dalam perutnya benar-benar membuatnya hancur."Baiklah. Kalo gitu mulai detik ini kamu sudah jadi tanggung jawabku, seluruh biayamu di rumah sakit ini dan juga biaya pemakaman anakmu akan jadi tanggunganku," janjinya lalu kemudian melenggang keluar begitu saja dari ruangan itu.Sampai tak lama kemudian, beberapa perawat pun datang dan mulai mengurus Citra untuk segera menjalani operasi darurat.
Citra berjalan gontai memeluk jenazah bayinya sendiri menuju ke tanah pemakaman yang dibeli oleh Sakti."Luka operasimu masih basah. Kembali ke kursi rodamu," tegur Sakti sembari terus berjalan di belakang Citra dengan terus mendorong kursi roda dan menatap iba pada Citra.Sakti cukup tahu kalau bahu perempuan yang berjalan sembari menggendong sendiri jenazah putranya itu sangat tak baik-baik saja. Beban luka dan trauma yang diterima oleh Citra akan sangat besar. Luka akibat kehilangan orang tersayang akan terus menghantuinya dan membuatnya tak akan pernah sembuh.Bahu seorang ibu yang harus memakamkan darah dagingnya sendiri jauh lebih rapuh daripada yang terlihat.Namun Citra tak sekalipun mengindahkannya, Ia terus melangkahkan kakinya pergi, sembari terus memeluk erat jenazah putranya sendiri. Tak ada tangisan. Mata Citra kering, sekalipun ia merasa dunianya hancur lebur, tapi kali ini tak setetes pun ia bisa menangis.Di depan lubang pemakaman itu, Citra dengan berat hati memberika
Tubuh Citra menegang mendengar pertanyaan itu. Sejenak ia menolehkan wajahnya untuk melihat arah pandang Sakti, dan ketika akhirnya mengerti, ia pun buru-buru mengambil kemejanya dan segera memakainya lagi."Sejak kapan luka-luka dan lebam itu ada di sana, Citra? Uluh hati, perut, area tulang rusuk, lalu punggung? Suami kamu hampir membunuhmu, kenapa cuma diam? Kenapa gak bilang dari awal kalo kamu di siksa sama suami kamu? Mungkin dari awal aku bakal menarik suami kamu itu dan menjebloskannya ke penjara. Kalo aja perawat dan dokter gak bilang kondisi kamu ini padaku, aku gak mungkin tahu.""Saya mau istirahat," tandas Citra tak sekalipun mengindahkan ucapan Sakti. Kali ini, tanpa ragu ia langsung membaringkan tubuhnya dengan posisi memunggungi Sakti, lalu ia perlahan menutup matanya.Helaan napas kasar pun terdengar dari Sakti. "Tangan laki-laki diciptakan oleh Tuhan bukan untuk memukul istrinya. Semua luka di tubuh kamu itu bukan luka ringan, itu udah masuk percobaan pembunuhan. Dar
"Apa kamu bisa ngerti semuanya?" tanyanya memastikan.Sakti mengajari Citra bagaimana cara berjalan yang harus anggun dan bermartabat, mengajari table manner dan mengajari memadupadankan pakaian sesuai jenis acara yang akan didatangi.Di momen itu, Citra duduk perlahan pada tepian tempat tidur lalu kemudian ia pun menggelengkan kepalanya lemah."Saya belum bisa ngerti semuanya. Cara berjalan mungkin bisa saya pelajari lebih cepat, tapi untuk yang lainnya... kayaknya saya butuh waktu lebih lama dari itu." Citra menjawab dengan takut-takut, ia bahkan tak berani menengadahkan wajahnya untuk menatap Sakti yang pasti kesal setelah mengajarinya banyak hal tapi tak satupun dari semua hal itu bisa Citra pelajari dengan baik.Helaan napas kasar kemudian terdengar dari Sakti. "Gak ada tambahan waktu, Citra. Pelajari semua itu secepatnya, tak peduli sekalipun itu sulit bagimu. Aku gak mau tahu, kamu harus bisa semua hal yang kuajari tadi," tegasnya tanpa bisa diganggu gugat.Nada suara Sakti yan
Dengan susah payah, Citra menahan rasa sakit dan linu pada pergelangan kakinya tiap kali ia menggunakan kakinya untuk berjalan. Apalagi ketika harus menaiki tangga, Citra benar-benar merasa sangat tersiksa. Ia ingin sekali menjerit, tapi karena rasa segan dan rasa takutnya pada Sakti, pada akhirnya Citra pun hanya memilih bungkam."Kenapa?" tanya Sakti saat memergoki ekspresi wajah Citra yang terlihat meringis saat mereka selesai melewati tangga.Mendengar itu, Citra pun buru-buru menetralkan espresi wajahnya dan di detik itu pula ia pun menggelengkan kepalanya pelan."Saya gak apa-apa kok, pak," sahut Citra yang kemudian melenggang pergi begitu saja dan berjalan mendahului Sakti.Sementara Sakti yang kini berada di belakang Citra pun terdiam untuk beberapa saat memandangi Citra lamat-lamat, sebelum kemudian ia pun melangkahkan kakinya menyusul Citra.Di dalam NICU, mereka berdua bertemu dokter yang menjelaskan kondisi terkini dan juga perkembangan kesehatan dari bayinya Sakti. Dokter
Alarm bahaya di kepala Citra sudah berdenging nyaring saat Sakti mulai menanggalkan piyama dari tubuhnya, tapi anehnya, Citra sama sekali tak bisa bergerak menjauh atau sekadar menampar pria itu.Tubuhnya kaku dan kepalanya mendadak kosong."P-Pak Sakti," cicitnya dengan suara tercekik.Sementara Sakti tak menanggapinya. Dengan tenangnya, ia malah membuka kontrainer kecil itu lalu mengambil sebotol obat oles dalam berbahan minyak, lalu secara perlahan ia mulai mengoleskan minyak itu pada area uluh hati dan area tulang rusuk lalu menuju perut Citra.Citra dibuat merinding saat jemari tangan Sakti menyentuh permukaan kulitnya. "Anda sedang melakukan apa?" Citra mengulangi pertanyaannya dengan tubuh yang masih kaku di tempatnya."Apa kamu gak lihat? Aku sedang mengoleskan obat," jawab Sakti ketus. Kali ini, Citra yang mulai tersadar dari keterkejutannya itu pun perlahan berdeham dan menatap tenang ke arah Sakti."Seharusnya anda gak perlu repot-repot ngobatin saya. Saya gak kenapa-kena
Pagi-pagi sekali, Sakti sudah mengajak Citra untuk berpergian. Kali ini tujuan mereka bukan ke rumah sakit, tapi ke rumah bedeng Citra."Cukup ambil berkas-berkas penting aja buat kebutuhan administrasi pendaftaran pernikahan," perintahnya begitu penuh penegasan.Sementara, Citra yang mendengar itu justru tak langsung menjawab. Ia hanya menoleh dan menatap wajah Sakti lekat-lekat untuk sekadar memastikan apa kiranya benar-benar ada jejak air mata di wajah Sakti dan ternyata...ia menemukannya. Mata pria itu sedikit sembab. Sakti benar-benar menangis semalaman.Apa dia merindukan mendiang istrinya sampai menangis diam-diam di tengah malam? Gumam Citra dalam hatinya."Denger gak apa yang aku bilang?" tanya Sakti dengan nada suara yang terdengar ketus.Seketika Citra pun tersentak dari lamunannya lalu buru-buru mengganggukan kepalanya."I-Iya saya denger," sahut Citra akhirnya. Walaupun sedikit terbata."Kamu melamun.""Saya? enggak.""Kamu menatapku juga cukup lama.""E-Enggak. Saya gak-
"Surat cerai bakal keluar setelah satu bulan. Dan begitu surat perceraiannya keluar aku bakal nikah sama Vina. Kamu jangan berani-beraninya dateng ke kampung ini lagi, Citra," ujar Badra memberikan peringatan tegas pada Citra.Citra tersenyum miring mendengar hal itu. "Gak akan. Ini terakhir kalinya aku ke sini, tenang aja. Kamu bisa hidup bahagia sama pilihanmu itu kang."Tanpa banyak bicara lagi, Citra pun bergegas keluar kamar tak sekalipun memperdulikan keberadaan Badra, walau lengan mereka sempat saling bersenggolan saat ia melewati ambang pintu."Anakmu juga," pungkas Badra lagi. Membuat Citra yang baru saja hendak membuka pintu rumah pun seketika terdiam membeku di tempatnya untuk beberapa saat. "Jangan sekalipun bawa anakmu ke hadapanku lagi. Jangan ceritakan aku ayah dari anakmu. Aku gak sudi kalo dikemudian hari dia nyari-nyari aku. Aku bakal bahagia sama Vina, kamu dan anakmu gak boleh ganggu kebahagiaan kami."Citra tersenyum kecut. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi sekuat