Share

3.Dunia Yang Terasa Hancur

"Vina hamil anak akang. Dia butuh akang sekarang."

Ucapan Badra seakan menancapkan paku ke dalam hatinya. Dia bukan hanya menghamili dirinya, tapi juga menghamili wanita lain. Bukan hanya itu, Badra justru bertingkah seakan bayi yang ada di dalam perut Citra saat ini bukanlah bayinya.

"Terus aku gimana, Kang? Apa akang gak liat? Aku juga butuh akang.... Aku pendarahan, Kang. Anak kita harus segera lahir biar tetep bisa diselamatkan," sahut Citra yang kini mulai sangat putus asa.

Tak terkesan dengan ucapan sang istri, Badra justru mengangkat bahunya ringan. "Aku gak peduli, Citra. Dari awal aku gak pernah mengharapkan anak dari kamu. Yang ada di perut kamu itu ya anak kamu, bukan anak aku dan bukan tanggung jawab aku lagi. Terserah dia mau mati sekalipun aku gak peduli. Sekarang, jangan banyak omong lagi. Cepet tanda tangan, Citra... aku harus segera nikah sama Vina mumpung perutnya belum keliatan gede."

Sakit... hati Citra sangat sakit. Dunia terasa runtuh saat ini. Satu-satunya orang yang ia harapkan untuk bisa dijadikan sandaran, justru membuangnya begitu saja. Seolah bagi Badra, Citra dan nyawa calon bayinya hanyalah seonggok sampah.

Citra memejamkan matanya rapat-rapat untuk meredam gejolak nyeri di rongga dadanya. Ia membiarkan air mata terus mengalir membasahi pipi, tanpa sekalipun mengabulkan permintaan Badra. Uluran kertas dan pena itu bahkan tak ia sentuh.

"Aku gak mau tanda tangan sebelum kamu bantu aku cari pinjaman buat bayar biaya persalinan ini," tolak Citra berusaha menggertak Badra.

"Gak sudi! Gak akan ada yang mau minjemin duit juga! Sekarang tanda tangan aja, Citra!" sentaknya yang kemudian dengan kasar mencengkram pergelangan tangan Citra dan memaksanya untuk segera tanda tangan.

Pada akhirnya, Citra tetap kalah dari Badra. Dengan nelangsa ia menandatangani surat gugatan cerai itu.

"Seharusnya gitu dari tadi. Kamu bikin semuanya jadi ribet. Sekarang karena aku udah selesai dengan urusanku, kamu urus diri kamu sendiri. Bayar sendiri biaya rumah sakitnya. Kalo gak bisa bayar, ya udah biarin saja. Lagian mau kamu atau bayimu itu sama-sama gak berguna!" ujar pria itu dengan begitu kejam. Tanpa rasa belas kasihan sama sekali, Badra lekas melangkah pergi meninggalkan Citra yang hancur terdiam di tempatnya.

Tak lama setelah kepergian Badra, dokter kembali datang menanyai keputusan Citra. Dan tentu saja, jawaban Citra saat itu hanyalah jawaban penuh rasa putus asa.

"Saya mau pulang aja, Dokter. Saya gak punya biaya sama sekali untuk lahiran caesar. Buat biaya pengobatan pun gak punya. Saya mau lahiran di dukun beranak aja," cicitnya pilu.

Dokter itu hanya bisa menatap iba pada Citra. "Bu... maaf, tapi ibu gak bisa lahiran normal. Karena saya tidak menemukan ada pergerakan, ada kemungkinan bayi Ibu sudah meninggal di dalam perut. Ibu juga gak bisa dipulangkan dalam kondisi seperti ini. Biaya administrasi juga belum terbayarkan. Apa ibu punya nomor aparat desa, RT atau kepala desa? Biar pihak rumah sakit bantu hubungi untuk bala bantuan.”

"Bayi saya meninggal? Gak mungkin, Dokter! Bayi saya memang gak banyak bergerak dari awal! Bayi saya gak mungkin meninggal, Dok…" Suara wanita itu terdengar melemah, tak terima dengan perkataan dari sang Dokter terkait keadaan bayi dalam perutnya.

Dunianya kian hancur. Ia menyalahkan dirinya sendiri yang sempat berniat membunuh bayinya. Ia menyesal. Seharusnya saat itu ia tak berpikir untuk mengakhiri hidup. Ia sudah menarik kembali niatnya untuk bunuh diri, tapi kenapa bayinya harus tetap meninggal di saat ia ingin bayinya tetap hidup?

Citra mulai menangis histeris. Ia meraung-raung, masih tak terima kalau bayinya meninggal di dalam perutnya sendiri. Tangisan yang menyayat hati itu memenuhi seluruh isi ruangan sampai ke lorong.

Dokter yang melihat itu pun memeluk Citra. Ia merasa iba karena usia yang masih terlalu muda seperti Citra ini justru sudah bergelut dengan peliknya masalah rumah tangga dan masalah persalinan.

"Yang kuat ya bu... semuanya sudah takdir dari Tuhan. Sekarang ibu tenangkan diri dulu. Biar kami bantu minta tolong menghubungi orang-orang yang dekat dengan Ibu, dengan harapan ada jalan keluar buat bantuan biaya Rumah Sakit."

Sepeninggalnya dokter itu, Citra hanya menangis sendirian. Ia mengusap perutnya dengan nelangsa saat benar-benar tak merasakan pergerakan di dalam sana.

Bayinya tak lagi bernyawa.

"Maafin mamah, nak... maaf. Maaf... karena gak menyadari kalo mamah bikin kamu tersiksa di dalam sana. Seharusnya… mamah gak maksain kerja. Maaf... maafin mamah." Ribuan maaf penuh sesal itu Citra gumamkan dengan pilu, sembari menatap perutnya dengan pandangan yang buram karena air mata.

Di detik itu, Citra terdiam sejenak saat sudut matanya melihat siluet seorang pria yang masuk ke dalam ruangannya. Ada secercah harapan lagi yang muncul di dalam hatinya kalau itu adalah Badra.

"Kang... kamu datang lagi buat nolong aku kan, kang? Kamu-"

Bukan. Itu bukan Badra, sehingga Citra tak melanjutkan kalimatnya. Dengan wajah pucatnya yang berurai air mata, ia menatap kosong ke arah seorang pria asing yang kini berdiri menjulang di hadapannya dengan sorot mata yang entah kenapa terlihat sama terlukanya dengan Citra.

“S-Siapa kamu?!” ucap Citra sambil memperhatikan secara detil pria yang kini mendekatinya. Pria itu terkesan berwibawa, dengan rambut hitam legamnya yang membuatnya terlihat muda.

"Aku gak sengaja denger percakapan antara kamu dengan suami kamu dan juga gak sengaja baru aja denger percakapan kamu dengan dokter," kata pria asing itu dengan suara beratnya yang terdengar begitu dingin. Tanpa emosi ataupun nada sama sekali. Seolah-olah dia adalah sebuah robot.

Citra diam. Masih dengan air mata yang terus mengalir dan ia masih terisak, tapi kedua telinganya begitu setia mendengarkan ucapan pria itu.

Sejenak, Citra melihat bagaimana pria asing itu menghela napas berat karena sisa kalimat yang akan diucapkannya sepertinya terasa sangat menyakitkan.

"Aku bisa bantu bayar seluruh biaya kamu di rumah sakit ini, termasuk biaya operasi caesar. Tapi, kamu harus membantuku.”

Ucapan dari pria bermanik hitam yang kini menatapnya dalam itu membuatnya penasaran. Terlebih, Citra sama sekali tidak pernah bertemu dengan pria itu di desa. Mengingat kondisi dirinya yang saat ini keterbatasan segalanya, Citra tak punya pilihan lain.

“Memangnya, apa yang harus saya bantu?” tanya Citra.

“Kamu harus jadi istri sekaligus ibu susu untuk putriku”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Juwita Katili Ummi SultanMulya
memamg suami tdktahu diri
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status