“Neng Citra?!” Suara seorang pria membangunkan wanita yang terkapar lemas di pintu masuk rumahnya.
Citra tak bisa melihat jelas siapa yang menolongnya, namun dia tahu pria itu adalah satu-satunya yang bisa membawanya ke rumah persalinan terdekat. “Mang … Bantu saya, Mang … Selamatkan anak saya …”“Iya, Neng Citra. Ayo kita ke rumah sakit. Mari, amang bantu." Pria yang merupakan tetangga dekatnya itu menggopoh Citra dan membantunya untuk naik ke ojeknya.Si tetangga menatap Citra dengan iba, bertanya-tanya di mana Badra, suami Citra yang seharusnya menemani sang istri yang akan melahirkan.“Kang Badra udah dikasih tahu? Itu kamu teh pendarahan," kata tukang ojek yang kini sudah mengendarai motornya melewati jalan di tengah-tengah kebun teh untuk bisa segera mengantar Citra ke rumah sakit."Saya tidak tahu Kang Badra ada di mana, Mang. Kalau Amang ketemu dia nanti, tolong bilangin anaknya akan lahir hari ini. Sekalian minta kang Badra nyari pinjaman buat biaya lahiran, biar nanti saya yang melunasi pinjamannya sambil kerja."***Pemeriksaan USG itu hanya sebentar, dan tak lama setelah kembali lagi ke IGD, Citra mulai dipindahkan ke ruang bersalin karena pendarahannya yang masih terus berlangsung.Di salah satu ruangan yang hanya ditutupi tirai itu, sembari terus dipantau oleh perawat dan Bidan, Citra meringis kesakitan. Area kewanitaannya sangat sakit, seperti ada yang berusaha keluar dari tubuhnya, tapi tak menemukan jalan dan berakhir terjebak. Itu membuatnya merasakan nyeri yang luar biasa.Seorang perempuan setengah baya bersneli itu masuk ke dalam ruangan dan langsung memeriksa Citra sembari melihat hasil USG yang diserahkan oleh bidan."Bu, ini bayinya harus segera dilahirkan. Buat lahiran normal udah gak memungkinkan karena ibu mengalami pendarahan dan detak jantung bayi udah gak ada. Kondisinya sangat membahayakan ibu, jadi lebih baik ibu di operasi caesar aja ya bu? Saya khawatir sama kondisi ibu," ujar wanita paruh baya itu yang ternyata seorang dokter spesialis kandungan yang sedari tadi fokus untuk mengecek keadaan bayi di dalam perut Citra. Wajah dokter itu terlihat khawatir, mengingat kondisi wanita di hadapannya saat ini.Namun, ucapan dari sang dokter justru membuat Citra kian bimbang. Dengan wajah yang pucat, ia menatap sayu ke arah dokter itu."Saya mau nungguin suami saya dulu, dokter," pintanya yang mau tak mau membuat dokter pun mengalah.***Badra datang menemui Citra saat kondisi Citra benar-benar sudah lemas dan sangat pucat karena menahan rasa sakit. Perawat dan dokter sedari tadi hanya bisa membantu meminimalisir gejala, karena Citra yang masih enggan untuk segera menjalani operasi caesar.Melihat kedatangan suaminya itu, Citra pun mengulas senyum lemah, lalu perlahan berusaha bangkit terduduk di atas pembaringannya."Kang... anak kita bakal lahir hari ini. Dokter bilang aku gak bisa lahiran normal, Kang. Akang udah pinjem uang kan? Uangnya mana? Aku katanya harus dioperasi caesar, aku-" Citra tak menyelesaikan kalimatnya saat tiba-tiba Badra justru mengulurkan selembar kertas dan pena yang membuat Citra membeku di tempatnya."Ayo kita bercerai, Citra. Akang sudah tanda tangan di surat cerai itu, tinggal kamu yang sekarang tanda tangan di kolom tanda tangan istri. Kamu gak perlu datang ke persidangannya juga, biar proses cerai lebih cepat dan gak ribet. Persidangan ini pun dibayarin sama orang tuanya Vina, jadi kamu jangan mempersulit situasi, biar gak makan banyak biaya." Badra berucap dengan entengnya, tak sekalipun mempedulikan perasaan Citra.Citra merasakan perih di dadanya, ia tak pernah sekalipun menyangka akan mendengar kalimat seperti itu, ketika dirinya sedang dalam nestapa seperti ini. Dirinya kini merasa bodoh karena harapannya sendiri kepada sang suami. Ia salah besar karena terlalu berharap banyak pada kebaikan Badra yang tak pernah sekalipun ada. Menyesal pun sudah sangat terlambat.Kucuran air mata tak lagi Citra tahan. Ia menatap nanar ke arah Badra yang terlihat begitu tak peduli dengan keadaannya."Vina? Kang... hari ini aku bakal lahiran. Aku cuma minta tolong kamu pinjam uang untuk persalinan bayi ini, nanti pinjamannya akan aku cicil dari upah kerja aku. T-Tapi... kenapa... kamu bawa surat gugatan cerai?" tanya Citra dengan suara yang terdengar gemetar, tapi sebisa mungkin ia tetap berbicara dengan nada tenang tanpa menyelipkan kemarahan sama sekali, hanya agar tak mematik amukan Badra.Air mata tetap mengalir membasahi pipinya. Begitu pedih hati Citra saat ini, tapi ia tetap berusaha menahan dirinya untuk tetap tenang dan agar bisa tetap bicara dengan jelas. Namun, yang Badra ucapkan berikutnya justru semakin menghancurkan Citra lebih parah, lebih kejam, dan jauh lebih sakit."Vina hamil anak akang. Dia butuh akang sekarang."Sejak kepergian Daniel ke Belanda, dunia Kinara masih berputar seperti biasa, seolah eksistensi pria itu di dalam hidupnya tidak pernah ada. Meskipun begitu, Kinara tidak menampik kalau di sudut hati yang paling dalam ia merasa kosong dan kehilangan. “Kamu lembur lagi?” Salah seorang teman kerja Kinara menyemburnya dengan pertanyaan itu begitu mendapati Kinara tengah memasang hair cap di ruang ganti pegawai. Semua pegawai yang bekerja di toko kue ini wajib mengenakan pelindung kepala untuk menjaga higine dan steril kue yang dijual. “Iya, karena aku gak punya kegiatan penting di rumah. Daripada mati bosan karena rebahan terus, aku pikir lebih baik dipake kerja aja,” jawab Kinara sambil memamerkan senyum lima jarinya. Teman kerja yang umurnya setahun lebih tua dari Kinara itu hanya bisa geleng-geleng kepala takjub dengan dedikasi Kinara untuk toko kue ini. “Kalau punya waktu libur itu dipakai untuk istirahat jangan kerja saja,” sarannya wanita itu lagi. “Istirahatku cukup, kok,”
"Ini melelahkan, tapi aku tak keberatan untuk melakukannya karena aku tetap menyukai momen ini," gumam Sakti sembari menatap teduh baby Kanigara yang terlelap dengan bibir yang terus bergerak seperti sedang menyusu. Itu terlihat menggemaskan. Bayi mungkil itu sepertinya tengah bermimpi minum ASI.Menjadi seorang Ayah dari dua orang anak membuat Sakti semakin dewasa, setelah mendapatkan putri cantik seperti Ginata kini keluarga kecilnya semakin lengkap dengan kehadiran Kanigara. Sekarang dia dan juga Citra resmi menjadi orang tua dari dua anak, anak laki-laki dan perempuan. Sudah sangat lengkap.Setiap hari hati Sakti selalu diselimuti dengan rasa bahagia, setiap kali melihat perkembangan Ginata membuatnya merasa lega karena berhasil melihat tumbuh kembang putri kecilnya itu, selain itu Kanigara juga tidak lepas dari perhatiannya. Bayi kecil itu selalu berhasil membuat energinya penuh setiap kali melihat geliatan kecilnya.Seperti halnya malam ini, Sakti masih saja terjaga sambil meman
Sakti membantu Citra untuk duduk di atas kursi roda. Hari ini tepat hari kepulangan Citra ke rumah. Tentu saja Kanigara ikut serta. Sesampainya di rumah, Mbok segera membantu Citra menggendong bayinya. Kepulangan Citra disambut hangat oleh orang-orang di sekitarnya. "Kanigara hobi sekali tidur, ya?" gumam Citra mengelus pipi bayinya. "Ayo dong, bangun. Mama kan pengin ajak Kanigara mengobrol," kata Citra. "Biarkan saja Kanigara tidur, Sayang," kata Sakti. "Sekarang, giliran kamu istirahat yang cukup. Kan di rumah lebih banyak yang membantu mengurus putra kita." Citra mendongak, "Tapi aku lebih suka bersama Kanigara, Andhika. Bisa tidak, dia tidur di kasur kita? Jangan di box." "Tidak," jawab Sakti. "Aku malah khawatir dia terluka. Bagaimana kalau kamu tidak sengaja menindihnya saat tidur?" goda Sakti. Citra mendelik. "Mana mungkin!" Sakti terkekeh. Ia mencubit pipi Citra gemas. Ia meraih Citra, membawa istrinya menuju ke dalam pelukannya yang erat sekaligus hangat. "Jangan bil
"Kenapa, Pak? Bu Citra kenapa?" tanya Mbok ikut panik. "Coba lihat Citra di kamar, Mbok! Dia mengeluh sakit perut," jawab Sakti. Lantas keduanya sama-sama pergi ke kamar untuk melihat kondisi Citra. "Pak, air ketuban Bu Citra sudah pecah. Cepat, bawa Bu Citra ke rumah sakit sekarang!" seru Mbok. Mendengar itu, kedua mata Sakti pun terbelalak sempurna."Pak Hasan!" teriak Sakti. Tanpa membuang waktu lama, Dia berlari keluar sambil terus memanggil supir pribadinya itu. Sedangkan Mbok menemani Citra di kamar. Sakti berlari seperti orang gila ketika memanggil sang supir. Beruntung, Pak Hasan ada di tempat sedang memanaskan mobilnya. Pak Hasan mendengar suara besar Sakti. Ia lantas menatap kemunculan Sakti di depan pintu rumah dengan setelan tidur yang masih melekat. "Lho, Pak Sakti," sapa Pak Hasan. "Ada apa teriak-teriak, Pak? Pak Sakti belum mau siap-siap ke kantor?" tanyanya. Sakti sempat kesusahan bicara karena terlalu panik. "Siapkan mobil sekarang, Pak Hasan. Istri saya ...
"Aduh," ringis Citra ketika menggerakkan kedua kakinya di atas ranjang. Sakti yang mendengar ringisan Citra, lantas menolehkan wajahnya pada istrinya itu. "Kamu kenapa, Sayang? Ada yang sakit?" Tentu saja Sakti tidak tinggal diam, pria itu berjalan mendekat ke arah ranjang, merangkak naik lalu duduk di sebelah istrinya untuk melihat keadaan sang istri lebih dekat dan memastikan apa kiranya penyebab ringis kesakitan itu.Mendengar itu, Citra pun menunjuk kakinya dengan dagunya. Sakti mengikutinya, lantas bertanya, "Kaki kamu sakit, Sayang? Mau aku pijit?" Ia malah menawari. Padahal yang dimaksud Citra bukan itu. Citra agak kesal melihat reaksi Sakti yang menurutnya kurang peka. "Bukan itu yang aku maksud, Andhika," tuturnya agar menurunkan kekesalannya. "Coba kamu lihat dulu. Kaki aku sekarang kelihatan besar banget!" Sakti mengangguk kecil. Ia sekarang paham apa maksud Citra. Ternyata Citra tadi menunjukkan ke Sakti, kalau kakinya bengkak. "Terus kenapa sih, Sayang? Apa sekarang
Daniel baru saja menyelesaikan semua pekerjaan kantornya, laki-laki itu segera membereskan semua barang-barangnya dan bergegas untuk pulang. "Tumben kayak buru-buru gitu?" komentar teman Daniel yang ada di sebelahnya.Mendengar pertanyaan itu membuat Daniel menoleh sebentar, lalu tangannya sibuk memasukkan laptopnya ke dalam tas. "Iya, nih. Lagi pengen cepet pulang aja," jawabnya.Temannya itu pun hanya menanggapinya dengan anggukan sebanyak tiga kali."Duluan ya, Bro!" seru Daniel sambil menepuk pundak temannya itu seklias, lalu melenggang pergi begitu saja.Sebenarnya Daniel tidak benar-benar langsung pulang ke rumah, sudah satu minggu ini dia rutin datang ke toko kue milik Citra. Awalnya dia datang karena Kinara pernah menyuruhnya untuk mampir, tapi sekarang seperti sudah menjadi tutinitas baru bagi Daniel setelah pulang kantor.Menurutnya, toko kue Citra terasa sangat nyaman dan membuatnya betah berlama-lama di sana. Selain itu, Daniel juga memiliki maksud lain, yaitu memastikan
Aroma kopi tercium sangat harum saat Daniel menuangkan air panas yang baru saja matang dari mesin pemanas, tinggal sendirian di apartemen membuat laki-laki itu sedikit kesepian disaat malam. Setelah mengaduk dan memastikan rasa kopinya sudah sesuai dengan keinginannya, barulah Daniel membawa secangkir kopi panas itu bersamanya."Aku pikir sedikit kafein dimalam hari bisa membantu menenangkan pikiran," gumamnya. Laki-laki itu berjalan ke arah balkon, seperti sudah menjadi rutinitas malam harinya untuk duduk di balkon sambil menikmati udara malam. Apalagi saat ini pikirannya dipenuhi oleh banyak hal, jadi balkon adalah tempat yang pas baginya untuk merilekskan semuanya.Saat menggser pintu penghubung ke balkon, Daniel langsung disambut dengan angin malam yang cukup kencang malam ini. Saat dia mendongak untuk melihat keadaan langit, benar saja malam ini sedikit mendung. Jadi malam ini tidak ada bintang dan bulan yang akan menemaninya. Daniel pun menaruh secangkir kopi panasnya di atas m
Sakti tiba di rumah sekitar pukul delapan malam. Ia harus lembur mengerjakan beberapa dokumen penting yang harus selesai dan mendapatkan persetujuannya. Di jam segini, Citra pasti tengah berada di kamar sedang menunggunya. “Apa semuanya baik-baik saja seharian ini, mbok?” tanya Sakti kepada asisten rumah tangganya. Ia sudah selesai mandi dan makan malam. Kini, ia tengah membuatkan susu cokelat untuk Citra. Ini adalah aktivitas rutin Sakti setiap malam. Baginya, ini salah satu cara untuk menunjukkan cinta dan kasih sayang kepada istri dan anak. “Iya, pak,” balas wanita paruh baya yang sudah cukup lama bekerja dengan keluarga Sakti. “Apa Citra mengeluh sakit?” Sakti tahu betul kalau istrinya itu pintar menutupi rasa sakitnya karena tidak ingin membuat dirinya khawatir dan kepikiran ketika bekerja. Maka dari itu Sakti menyuruh asisten rumah tangga di sini untuk memberikan semua informasi dan perkembangan mengenai Citra sekecil apa pun untuknya. “Tidak, pak. Hari ini ibu Citra sibuk
Di sela-sela mendengarkan perkembangan toko kuenya lewat penuturan Kinara, Citra tidak sengaja melihat Daniel yang tampak diam saja sejak kedatangan Kinara tadi. Awalnya Citra ingin meminta maaf karena kedatangan Daniel ke sini sedikit terganggu akibat Citra mementingkan pekerjaan daripada menimpali pria itu yang baru saja datang. Namun, niatnya berubah saat menyadari diamnya Daniel justru karena Kinara. Ia pun mengerling jahil. “Ekhmmm ….” Citra pura-pura terbatuk. Di balik buku laporannya, ia mencolek lengan Daniel yang duduk tidak jauh darinya. Citra mengulum senyum saat mendapati Daniel yang terperangah. Wajah pria itu merah dan salah tingkah yang membuat Citra ingin tertawa dan meledek Daniel karena terang-terangan menatap Kinara dalam waktu yang cukup lama.Sayangnya, Citra tidak ingin melakukan itu, sebab ia tidak mau nantinya baik Daniel dan Kinara sama-sama malu karena hal tersebut. “Sakti lagi di kantor ya?” tanya Daniel berusaha untuk mengalihkan keadaan setelah tertang