Share

4.Sebuah Penawaran Diambang Putus Asa

Dengan wajah yang berurai air mata, Citra mulai berpikir keras dan menimbang-nimbang tawaran yang diutarakan oleh pria asing di hadapannya ini. Sampai kemudian, tanpa berpikir lebih jauh lagi, Citra pun benar-benar mengambil keputusan paling putus asa itu.

"Saya terima tawarannya. T-Tolong... bantu saya. Saya harus segera melahirkan anak saya. K-Kalo... b-bayi saya... meninggal... saya harus segera memakamkannya," pinta Citra dengan suara yang beberapa kali tersenggal karena dirinya yang tak kuasanya menahan gejolak rasa sedih yang kembali menyayat-nyayat hatinya, ketika fakta kematian janin di dalam perutnya benar-benar membuatnya hancur.

"Baiklah. Kalo gitu mulai detik ini kamu sudah jadi tanggung jawabku, seluruh biayamu di rumah sakit ini dan juga biaya pemakaman anakmu akan jadi tanggunganku," janjinya lalu kemudian melenggang keluar begitu saja dari ruangan itu.

Sampai tak lama kemudian, beberapa perawat pun datang dan mulai mengurus Citra untuk segera menjalani operasi darurat. Brankar Citra di dorong ke luar ruangan, sehingga ia bisa melihat pria asing itu berdiri di lorong tampak menunggunya dengan kedua tangan yang ia silangkan di dada.

"Anda harus menepati janji anda. Tolong jangan menipu saya," ujar Citra yang ia tujukan pada pria asing itu.

"Sakti Andhikara. Itu namaku. Aku akan duduk menunggumu di depan ruang operasi, sehingga kamu bisa menemuiku setelah operasinya selesai. Aku gak akan ingkar janji," sahutnya menimpali ucapan Citra dengan sungguh-sunguh.

"Pak Sakti... saya percaya pada anda."

Brankar terus dibawa pergi melewati lorong untuk segera ke ruang operasi, sedangkan Sakti mengikutinya dari belakang. Selama perjalanan itu, Citra hanya menatap langit-langit dari lorong itu, sembari memeluk perutnya yang terasa sangat sakit.

Saat itu, Citra tak menyesali keputusannya untuk menerima tawaran pria asing itu. Sekalipun ia tahu ini bisa saja jadi keputusan yang gegabah, tapi Citra tak lagi memikirkannya. Sebab Citra merasa kalau tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan dari kehidupannya yang tak berharga ini. Ia dibuang oleh orang tuanya dengan dinikahkan paksa pada Badra, diselingkuhi dan dibuang untuk kedua kalinya, lalu kini ia kehilangan bayinya. Bagi Citra, rasanya, jika ia harus mati di tangan Sakti pun tak apa karena di dunia ini ia tak lagi punya tujuan untuk bertahan hidup.

Untuk terakhir kalinya Citra menitikan air mata dan menatap sejenak ke arah Sakti, sebelum pintu ruang operasi itu ditutup rapat-rapat. Di ruang ganti, suster melepas semua pakaian Citra dan menggantinya dengan baju steril lalu setelahnya ia pun segera dibawa masuk dan dibaringkan ke atas meja operasi.

Anestesi disuntikan di tulang punggung Citra. Tak terasa sakit sekalipun jarum panjang itu benar-benar menusuk begitu dalam di punggungnya karena yang ia rasakan setelahnya adalah setengah tubuhnya terasa kebas.

Citra menjalani operasi caesar itu dengan perasaan yang cukup risau. Lagi-lagi yang ia lakukan hanyalah menatap langit-langit ruang operasi dengan tatapan kosong. Oksigen terasa dingin di rongga hidungnya, lalu tak lama kemudian ia pun sedikit tersentak saat merasakan sesuatu di keluarkan dari dalam perutnya dan membuatnya seketika merasa kosong.

Saat itu Citra pikir, dokter sudah mengeluarkan bayinya. Tapi, tak sekalipun terdengar tangisan bayi yang nyaring itu. Justru di detik itu Citra lah yang menangis, tangis pilu tanpa suara karena kali ini Citra harus sepenuhnya menerima bahwa bayi mungil yang dikandungnya selama sembilan bulan ini benar-benar tak bernyawa.

"Bayinya laki-laki. Bayinya ganteng, mirip banget sama ibu. Dia jadi anak surganya ibu. Di surga, dia pasti doain ibu, dia pasti juga bangga karena sebegitunya diperjuangkan untuk lahir ke dunia. Saya turut berduka cita, semoga ibu dilimpahi keikhlasan dan ketabahan. Kalo begitu, Saya permisi memandikan dulu bayunya biar bisa dibawa pulang oleh ibu," ucap dokter itu dengan nada suara yang terdengar sendu. Doa dan rasa berdukanya terdengar tulus, tentu saja.

Tapi, Citra tak menanggapinya . Walaupun semua kalimat yang diucapkan oleh dokter itu terdengar oleh telinga kanan dan langsung merasuk ke dalam hatinya. Citra merasa tak punya cukup tenaga untuk sekadar membalas ucapan duka dan doa itu. Pada akhirnya, Citra hanya menangis sampai matanya sakit, sampai dadanya sakit, tanpa sekalipun menemukan titik lega.

Ia justru menolehkan wajahnya ke samping dan menatap kosong ke arah sudut ruangan operasi itu yang tampak dingin, sembari berurai air mata. Isak tangis yang terdengar pedih itu bahkan beberapa kali lolos dari bibirnya yang pucat pasi.

Kucuran air mata bahkan tak bisa dibendungnya lagi. Tatapannya pada sudut ruangan itu mulai buram karena genangan air matanya sendiri. "Membunuh bayi di dalam perutku demi menghidupi janin di dalam perut wanita lain… itu gak adil, Kang Badra."

Komen (2)
goodnovel comment avatar
anne annisa
sedih aku.
goodnovel comment avatar
Juwita Katili Ummi SultanMulya
ssmoga kehidupan Citra akan berubah jadi bahagia
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status