Dengan wajah yang berurai air mata, Citra mulai berpikir keras dan menimbang-nimbang tawaran yang diutarakan oleh pria asing di hadapannya ini. Sampai kemudian, tanpa berpikir lebih jauh lagi, Citra pun benar-benar mengambil keputusan paling putus asa itu.
"Saya terima tawarannya. T-Tolong... bantu saya. Saya harus segera melahirkan anak saya. K-Kalo... b-bayi saya... meninggal... saya harus segera memakamkannya," pinta Citra dengan suara yang beberapa kali tersenggal karena dirinya yang tak kuasanya menahan gejolak rasa sedih yang kembali menyayat-nyayat hatinya, ketika fakta kematian janin di dalam perutnya benar-benar membuatnya hancur."Baiklah. Kalo gitu mulai detik ini kamu sudah jadi tanggung jawabku, seluruh biayamu di rumah sakit ini dan juga biaya pemakaman anakmu akan jadi tanggunganku," janjinya lalu kemudian melenggang keluar begitu saja dari ruangan itu.Sampai tak lama kemudian, beberapa perawat pun datang dan mulai mengurus Citra untuk segera menjalani operasi darurat. Brankar Citra di dorong ke luar ruangan, sehingga ia bisa melihat pria asing itu berdiri di lorong tampak menunggunya dengan kedua tangan yang ia silangkan di dada."Anda harus menepati janji anda. Tolong jangan menipu saya," ujar Citra yang ia tujukan pada pria asing itu."Sakti Andhikara. Itu namaku. Aku akan duduk menunggumu di depan ruang operasi, sehingga kamu bisa menemuiku setelah operasinya selesai. Aku gak akan ingkar janji," sahutnya menimpali ucapan Citra dengan sungguh-sunguh."Pak Sakti... saya percaya pada anda."Brankar terus dibawa pergi melewati lorong untuk segera ke ruang operasi, sedangkan Sakti mengikutinya dari belakang. Selama perjalanan itu, Citra hanya menatap langit-langit dari lorong itu, sembari memeluk perutnya yang terasa sangat sakit.Saat itu, Citra tak menyesali keputusannya untuk menerima tawaran pria asing itu. Sekalipun ia tahu ini bisa saja jadi keputusan yang gegabah, tapi Citra tak lagi memikirkannya. Sebab Citra merasa kalau tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan dari kehidupannya yang tak berharga ini. Ia dibuang oleh orang tuanya dengan dinikahkan paksa pada Badra, diselingkuhi dan dibuang untuk kedua kalinya, lalu kini ia kehilangan bayinya. Bagi Citra, rasanya, jika ia harus mati di tangan Sakti pun tak apa karena di dunia ini ia tak lagi punya tujuan untuk bertahan hidup.Untuk terakhir kalinya Citra menitikan air mata dan menatap sejenak ke arah Sakti, sebelum pintu ruang operasi itu ditutup rapat-rapat. Di ruang ganti, suster melepas semua pakaian Citra dan menggantinya dengan baju steril lalu setelahnya ia pun segera dibawa masuk dan dibaringkan ke atas meja operasi.Anestesi disuntikan di tulang punggung Citra. Tak terasa sakit sekalipun jarum panjang itu benar-benar menusuk begitu dalam di punggungnya karena yang ia rasakan setelahnya adalah setengah tubuhnya terasa kebas.Citra menjalani operasi caesar itu dengan perasaan yang cukup risau. Lagi-lagi yang ia lakukan hanyalah menatap langit-langit ruang operasi dengan tatapan kosong. Oksigen terasa dingin di rongga hidungnya, lalu tak lama kemudian ia pun sedikit tersentak saat merasakan sesuatu di keluarkan dari dalam perutnya dan membuatnya seketika merasa kosong.Saat itu Citra pikir, dokter sudah mengeluarkan bayinya. Tapi, tak sekalipun terdengar tangisan bayi yang nyaring itu. Justru di detik itu Citra lah yang menangis, tangis pilu tanpa suara karena kali ini Citra harus sepenuhnya menerima bahwa bayi mungil yang dikandungnya selama sembilan bulan ini benar-benar tak bernyawa."Bayinya laki-laki. Bayinya ganteng, mirip banget sama ibu. Dia jadi anak surganya ibu. Di surga, dia pasti doain ibu, dia pasti juga bangga karena sebegitunya diperjuangkan untuk lahir ke dunia. Saya turut berduka cita, semoga ibu dilimpahi keikhlasan dan ketabahan. Kalo begitu, Saya permisi memandikan dulu bayunya biar bisa dibawa pulang oleh ibu," ucap dokter itu dengan nada suara yang terdengar sendu. Doa dan rasa berdukanya terdengar tulus, tentu saja.Tapi, Citra tak menanggapinya . Walaupun semua kalimat yang diucapkan oleh dokter itu terdengar oleh telinga kanan dan langsung merasuk ke dalam hatinya. Citra merasa tak punya cukup tenaga untuk sekadar membalas ucapan duka dan doa itu. Pada akhirnya, Citra hanya menangis sampai matanya sakit, sampai dadanya sakit, tanpa sekalipun menemukan titik lega.Ia justru menolehkan wajahnya ke samping dan menatap kosong ke arah sudut ruangan operasi itu yang tampak dingin, sembari berurai air mata. Isak tangis yang terdengar pedih itu bahkan beberapa kali lolos dari bibirnya yang pucat pasi.Kucuran air mata bahkan tak bisa dibendungnya lagi. Tatapannya pada sudut ruangan itu mulai buram karena genangan air matanya sendiri. "Membunuh bayi di dalam perutku demi menghidupi janin di dalam perut wanita lain… itu gak adil, Kang Badra."Sejak kepergian Daniel ke Belanda, dunia Kinara masih berputar seperti biasa, seolah eksistensi pria itu di dalam hidupnya tidak pernah ada. Meskipun begitu, Kinara tidak menampik kalau di sudut hati yang paling dalam ia merasa kosong dan kehilangan. “Kamu lembur lagi?” Salah seorang teman kerja Kinara menyemburnya dengan pertanyaan itu begitu mendapati Kinara tengah memasang hair cap di ruang ganti pegawai. Semua pegawai yang bekerja di toko kue ini wajib mengenakan pelindung kepala untuk menjaga higine dan steril kue yang dijual. “Iya, karena aku gak punya kegiatan penting di rumah. Daripada mati bosan karena rebahan terus, aku pikir lebih baik dipake kerja aja,” jawab Kinara sambil memamerkan senyum lima jarinya. Teman kerja yang umurnya setahun lebih tua dari Kinara itu hanya bisa geleng-geleng kepala takjub dengan dedikasi Kinara untuk toko kue ini. “Kalau punya waktu libur itu dipakai untuk istirahat jangan kerja saja,” sarannya wanita itu lagi. “Istirahatku cukup, kok,”
"Ini melelahkan, tapi aku tak keberatan untuk melakukannya karena aku tetap menyukai momen ini," gumam Sakti sembari menatap teduh baby Kanigara yang terlelap dengan bibir yang terus bergerak seperti sedang menyusu. Itu terlihat menggemaskan. Bayi mungkil itu sepertinya tengah bermimpi minum ASI.Menjadi seorang Ayah dari dua orang anak membuat Sakti semakin dewasa, setelah mendapatkan putri cantik seperti Ginata kini keluarga kecilnya semakin lengkap dengan kehadiran Kanigara. Sekarang dia dan juga Citra resmi menjadi orang tua dari dua anak, anak laki-laki dan perempuan. Sudah sangat lengkap.Setiap hari hati Sakti selalu diselimuti dengan rasa bahagia, setiap kali melihat perkembangan Ginata membuatnya merasa lega karena berhasil melihat tumbuh kembang putri kecilnya itu, selain itu Kanigara juga tidak lepas dari perhatiannya. Bayi kecil itu selalu berhasil membuat energinya penuh setiap kali melihat geliatan kecilnya.Seperti halnya malam ini, Sakti masih saja terjaga sambil meman
Sakti membantu Citra untuk duduk di atas kursi roda. Hari ini tepat hari kepulangan Citra ke rumah. Tentu saja Kanigara ikut serta. Sesampainya di rumah, Mbok segera membantu Citra menggendong bayinya. Kepulangan Citra disambut hangat oleh orang-orang di sekitarnya. "Kanigara hobi sekali tidur, ya?" gumam Citra mengelus pipi bayinya. "Ayo dong, bangun. Mama kan pengin ajak Kanigara mengobrol," kata Citra. "Biarkan saja Kanigara tidur, Sayang," kata Sakti. "Sekarang, giliran kamu istirahat yang cukup. Kan di rumah lebih banyak yang membantu mengurus putra kita." Citra mendongak, "Tapi aku lebih suka bersama Kanigara, Andhika. Bisa tidak, dia tidur di kasur kita? Jangan di box." "Tidak," jawab Sakti. "Aku malah khawatir dia terluka. Bagaimana kalau kamu tidak sengaja menindihnya saat tidur?" goda Sakti. Citra mendelik. "Mana mungkin!" Sakti terkekeh. Ia mencubit pipi Citra gemas. Ia meraih Citra, membawa istrinya menuju ke dalam pelukannya yang erat sekaligus hangat. "Jangan bil
"Kenapa, Pak? Bu Citra kenapa?" tanya Mbok ikut panik. "Coba lihat Citra di kamar, Mbok! Dia mengeluh sakit perut," jawab Sakti. Lantas keduanya sama-sama pergi ke kamar untuk melihat kondisi Citra. "Pak, air ketuban Bu Citra sudah pecah. Cepat, bawa Bu Citra ke rumah sakit sekarang!" seru Mbok. Mendengar itu, kedua mata Sakti pun terbelalak sempurna."Pak Hasan!" teriak Sakti. Tanpa membuang waktu lama, Dia berlari keluar sambil terus memanggil supir pribadinya itu. Sedangkan Mbok menemani Citra di kamar. Sakti berlari seperti orang gila ketika memanggil sang supir. Beruntung, Pak Hasan ada di tempat sedang memanaskan mobilnya. Pak Hasan mendengar suara besar Sakti. Ia lantas menatap kemunculan Sakti di depan pintu rumah dengan setelan tidur yang masih melekat. "Lho, Pak Sakti," sapa Pak Hasan. "Ada apa teriak-teriak, Pak? Pak Sakti belum mau siap-siap ke kantor?" tanyanya. Sakti sempat kesusahan bicara karena terlalu panik. "Siapkan mobil sekarang, Pak Hasan. Istri saya ...
"Aduh," ringis Citra ketika menggerakkan kedua kakinya di atas ranjang. Sakti yang mendengar ringisan Citra, lantas menolehkan wajahnya pada istrinya itu. "Kamu kenapa, Sayang? Ada yang sakit?" Tentu saja Sakti tidak tinggal diam, pria itu berjalan mendekat ke arah ranjang, merangkak naik lalu duduk di sebelah istrinya untuk melihat keadaan sang istri lebih dekat dan memastikan apa kiranya penyebab ringis kesakitan itu.Mendengar itu, Citra pun menunjuk kakinya dengan dagunya. Sakti mengikutinya, lantas bertanya, "Kaki kamu sakit, Sayang? Mau aku pijit?" Ia malah menawari. Padahal yang dimaksud Citra bukan itu. Citra agak kesal melihat reaksi Sakti yang menurutnya kurang peka. "Bukan itu yang aku maksud, Andhika," tuturnya agar menurunkan kekesalannya. "Coba kamu lihat dulu. Kaki aku sekarang kelihatan besar banget!" Sakti mengangguk kecil. Ia sekarang paham apa maksud Citra. Ternyata Citra tadi menunjukkan ke Sakti, kalau kakinya bengkak. "Terus kenapa sih, Sayang? Apa sekarang
Daniel baru saja menyelesaikan semua pekerjaan kantornya, laki-laki itu segera membereskan semua barang-barangnya dan bergegas untuk pulang. "Tumben kayak buru-buru gitu?" komentar teman Daniel yang ada di sebelahnya.Mendengar pertanyaan itu membuat Daniel menoleh sebentar, lalu tangannya sibuk memasukkan laptopnya ke dalam tas. "Iya, nih. Lagi pengen cepet pulang aja," jawabnya.Temannya itu pun hanya menanggapinya dengan anggukan sebanyak tiga kali."Duluan ya, Bro!" seru Daniel sambil menepuk pundak temannya itu seklias, lalu melenggang pergi begitu saja.Sebenarnya Daniel tidak benar-benar langsung pulang ke rumah, sudah satu minggu ini dia rutin datang ke toko kue milik Citra. Awalnya dia datang karena Kinara pernah menyuruhnya untuk mampir, tapi sekarang seperti sudah menjadi tutinitas baru bagi Daniel setelah pulang kantor.Menurutnya, toko kue Citra terasa sangat nyaman dan membuatnya betah berlama-lama di sana. Selain itu, Daniel juga memiliki maksud lain, yaitu memastikan