Share

5.Memakamkan Jiwa Yang Mati

Citra berjalan gontai memeluk jenazah bayinya sendiri menuju ke tanah pemakaman yang dibeli oleh Sakti.

"Luka operasimu masih basah. Kembali ke kursi rodamu," tegur Sakti sembari terus berjalan di belakang Citra dengan terus mendorong kursi roda dan menatap iba pada Citra.

Sakti cukup tahu kalau bahu perempuan yang berjalan sembari menggendong sendiri jenazah putranya itu sangat tak baik-baik saja. Beban luka dan trauma yang diterima oleh Citra akan sangat besar. Luka akibat kehilangan orang tersayang akan terus menghantuinya dan membuatnya tak akan pernah sembuh.

Bahu seorang ibu yang harus memakamkan darah dagingnya sendiri jauh lebih rapuh daripada yang terlihat.

Namun Citra tak sekalipun mengindahkannya, Ia terus melangkahkan kakinya pergi, sembari terus memeluk erat jenazah putranya sendiri. Tak ada tangisan. Mata Citra kering, sekalipun ia merasa dunianya hancur lebur, tapi kali ini tak setetes pun ia bisa menangis.

Di depan lubang pemakaman itu, Citra dengan berat hati memberikan jenazah putranya pada petugas pemakaman yang berada di liang lahat. Dengan mata sayu yang sarat akan rasa duka yang mendalam, Citra menatap putranya sendiri di tidurkan di dalam galian tanah itu.

Bukan hanya jenazah putranya yang disemayamkan di sana, tapi Citra juga menaruh seluruh jiwanya ke dalam liang lahat itu. Citra mengubur seluruh jiwanya bersamaan dengan jasad putranya sendiri.

Setelah proses pemakaman itu, Citra terduduk lesu di samping pusara putranya sendiri, lalu menatap sayu ke arah batu nisan bertuliskan Argantara Mahameru.

"Nak... maaf karena Mamah pada akhirnya cuma bisa ngasih nama untuk ditulis di atas nisan kamu. Maaf karena kamu harus pergi dengan cara ini. Maaf karena pemakaman kamu cuma dianter sama Mama. Maaf karena kamu harus punya Bapak yang gak mengharapkan kamu. Ini semua salah Mama," gumam Citra nelangsa.

Bahunya merosot. Matanya kembali memanas dan dadanya kembali dilingkupi rasa nyeri luar biasa. Berulang kali ia meminta maaf pada mendiang putra yang tak punya kesempatan untuk menangis saat dilahirkan ke dunia. Sepenuhnya, Citra menyalahkan dirinya sendiri karena membuat bayi yang harusnya segera lahir jadi terbunuh di dalam rahimnya sendiri.

Ah, di usia yang baru 19 tahun, Citra harus kehilangan putra pertamanya. Di pemakaman khusus ini, Badra ataupun kedua orang tuanya tak ada yang datang. Citra benar-benar kehilangan segala hal dalam hidupnya. Ia sebatang kara.

Usapan singkat di bahunya membuat Citra menengadah untuk sekadar menemukan Sakti yang menatapnya dengan tatapan kosong.

"Jangan terlalu menyalahkan dirimu sendiri. Bukan salahmu kalau bayimu harus pergi menghadap Tuhan lebih dulu. Kepergiannya hanya sesuai tanggal dari takdirnya," ucap Sakti sedikit menenangkan Citra.

Air mata Citra tiba-tiba meleleh dari sudut matanya setelah mendengar semua kalimat itu, padahal ia pikir ia sudah tak lagi punya sisa air mata untuk sekadar menangis.

"S-Saya... pernah berpikir untuk melompat ke dalam sumur karena ingin membawa anak saya untuk ikut terbunuh bersama saya.K-Ketika dokter bilang kalo anak saya meninggal… itu adalah salah saya."

"Kamu pasti punya alasan kenapa sampai punya pemikiran putus asa seperti itu. Jadi, berhenti menyalahkan diri sendiri. Kamu terlihat masih sangat muda, hidupmu masih panjang. Kesempatan untuk hidup lebih baik di masa depan, masih berpeluang besar bisa kamu gapai."

"Saya tak punya lagi alasan untuk hidup di masa depan."

"Kalo gitu hiduplah untuk aku dan putriku. Kamu tentunya gak akan lupa soal perjanjian yang kita buat, kan?" pungkas Sakti.

Citra diam. Ia kehilangan kata-katanya, sedangkan Sakti tampak berbalik dan pergi ke pusara di samping makam putra Citra untuk sekadar menaruh rangkaian bunga lily putih di sana.

"Aku tahu rasa sakitmu, Citra."

"Anda gak akan tahu rasanya, pak."

"Aku juga kehilangan orang yang aku cintai setelah dia berhasil melahirkan putri mungil yang sangat cantik." Sakti menoleh dan menatap dingin pada Citra. " Setidaknya, penuhi dulu janjimu padaku untuk merawat putri mungilku. Aku sudah mengeluarkan banyak uang dan aku sudah berjasa untuk membantu kesulitanmu, jadi aku harap kamu sadar bahwa nyawamu juga jadi tanggung jawabku. Tanpa seizinku, kamu gak boleh mengakhiri hidupmu."

Citra bisa melihat Sakti yang mendelik tajam padanya, sebelum kemudian beralih menatap sendu pada sebuah potret perempuan cantik yang di simpan di atas pusara itu untuk beberapa saat. Di detik berikutnya, tatapan sendu itu pun kembali berubah jadi tatapan dingin.

"Kita kembali ke rumah sakit sekarang. Luka operasimu bisa infeksi," imbuh Sakti yang tiba-tiba mengulurkan tangannya untuk membatu Citra bangkit berdiri dan kembali duduk di kursi roda.

***

Di ruang rawat VIP itu, seorang perawat baru saja selesai menbersihkan dan mengobati luka operasi di perut Citra, juga mengganti perbannya.

Setelah perawat itu pamit pergi, Citra baru saja hendak membaringkan tubuhnya, ketika Sakti masuk ke dalam ruangan dan langsung menghampirinya sambil melayangkan tatapan yang sulit dimengerti oleh Citra.

"Apa ada masalah pak?" tanya Citra bingung. Ia mengurungkan niatnya untuk berbaring tidur, dan memilih tetap duduk di atas tempat tidurnya itu, sembari menunggu jawaban dari Sakti.

Namun, Sakti tak sekalipun menjawabnya. Di detik berikutnya, Citra terkesiap keras saat tiba-tiba Sakti membuka kancing kemejanya dan tanpa izin melepaskan kemeja itu dari tubuhnya. Citra yang sempat syok itu pun lekas-lekas menutup bagian dadanya, walau sedikit terlambat.

"Tidakkah kamu ingin aku melaporkan suami kamu itu ke polisi, Citra?" tanya Sakti tiba-tiba.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status