Citra berjalan gontai memeluk jenazah bayinya sendiri menuju ke tanah pemakaman yang dibeli oleh Sakti.
"Luka operasimu masih basah. Kembali ke kursi rodamu," tegur Sakti sembari terus berjalan di belakang Citra dengan terus mendorong kursi roda dan menatap iba pada Citra.Sakti cukup tahu kalau bahu perempuan yang berjalan sembari menggendong sendiri jenazah putranya itu sangat tak baik-baik saja. Beban luka dan trauma yang diterima oleh Citra akan sangat besar. Luka akibat kehilangan orang tersayang akan terus menghantuinya dan membuatnya tak akan pernah sembuh.Bahu seorang ibu yang harus memakamkan darah dagingnya sendiri jauh lebih rapuh daripada yang terlihat.Namun Citra tak sekalipun mengindahkannya, Ia terus melangkahkan kakinya pergi, sembari terus memeluk erat jenazah putranya sendiri. Tak ada tangisan. Mata Citra kering, sekalipun ia merasa dunianya hancur lebur, tapi kali ini tak setetes pun ia bisa menangis.Di depan lubang pemakaman itu, Citra dengan berat hati memberikan jenazah putranya pada petugas pemakaman yang berada di liang lahat. Dengan mata sayu yang sarat akan rasa duka yang mendalam, Citra menatap putranya sendiri di tidurkan di dalam galian tanah itu.Bukan hanya jenazah putranya yang disemayamkan di sana, tapi Citra juga menaruh seluruh jiwanya ke dalam liang lahat itu. Citra mengubur seluruh jiwanya bersamaan dengan jasad putranya sendiri.Setelah proses pemakaman itu, Citra terduduk lesu di samping pusara putranya sendiri, lalu menatap sayu ke arah batu nisan bertuliskan Argantara Mahameru."Nak... maaf karena Mamah pada akhirnya cuma bisa ngasih nama untuk ditulis di atas nisan kamu. Maaf karena kamu harus pergi dengan cara ini. Maaf karena pemakaman kamu cuma dianter sama Mama. Maaf karena kamu harus punya Bapak yang gak mengharapkan kamu. Ini semua salah Mama," gumam Citra nelangsa.Bahunya merosot. Matanya kembali memanas dan dadanya kembali dilingkupi rasa nyeri luar biasa. Berulang kali ia meminta maaf pada mendiang putra yang tak punya kesempatan untuk menangis saat dilahirkan ke dunia. Sepenuhnya, Citra menyalahkan dirinya sendiri karena membuat bayi yang harusnya segera lahir jadi terbunuh di dalam rahimnya sendiri.Ah, di usia yang baru 19 tahun, Citra harus kehilangan putra pertamanya. Di pemakaman khusus ini, Badra ataupun kedua orang tuanya tak ada yang datang. Citra benar-benar kehilangan segala hal dalam hidupnya. Ia sebatang kara.Usapan singkat di bahunya membuat Citra menengadah untuk sekadar menemukan Sakti yang menatapnya dengan tatapan kosong."Jangan terlalu menyalahkan dirimu sendiri. Bukan salahmu kalau bayimu harus pergi menghadap Tuhan lebih dulu. Kepergiannya hanya sesuai tanggal dari takdirnya," ucap Sakti sedikit menenangkan Citra.Air mata Citra tiba-tiba meleleh dari sudut matanya setelah mendengar semua kalimat itu, padahal ia pikir ia sudah tak lagi punya sisa air mata untuk sekadar menangis."S-Saya... pernah berpikir untuk melompat ke dalam sumur karena ingin membawa anak saya untuk ikut terbunuh bersama saya.K-Ketika dokter bilang kalo anak saya meninggal… itu adalah salah saya.""Kamu pasti punya alasan kenapa sampai punya pemikiran putus asa seperti itu. Jadi, berhenti menyalahkan diri sendiri. Kamu terlihat masih sangat muda, hidupmu masih panjang. Kesempatan untuk hidup lebih baik di masa depan, masih berpeluang besar bisa kamu gapai.""Saya tak punya lagi alasan untuk hidup di masa depan.""Kalo gitu hiduplah untuk aku dan putriku. Kamu tentunya gak akan lupa soal perjanjian yang kita buat, kan?" pungkas Sakti.Citra diam. Ia kehilangan kata-katanya, sedangkan Sakti tampak berbalik dan pergi ke pusara di samping makam putra Citra untuk sekadar menaruh rangkaian bunga lily putih di sana."Aku tahu rasa sakitmu, Citra.""Anda gak akan tahu rasanya, pak.""Aku juga kehilangan orang yang aku cintai setelah dia berhasil melahirkan putri mungil yang sangat cantik." Sakti menoleh dan menatap dingin pada Citra. " Setidaknya, penuhi dulu janjimu padaku untuk merawat putri mungilku. Aku sudah mengeluarkan banyak uang dan aku sudah berjasa untuk membantu kesulitanmu, jadi aku harap kamu sadar bahwa nyawamu juga jadi tanggung jawabku. Tanpa seizinku, kamu gak boleh mengakhiri hidupmu."Citra bisa melihat Sakti yang mendelik tajam padanya, sebelum kemudian beralih menatap sendu pada sebuah potret perempuan cantik yang di simpan di atas pusara itu untuk beberapa saat. Di detik berikutnya, tatapan sendu itu pun kembali berubah jadi tatapan dingin."Kita kembali ke rumah sakit sekarang. Luka operasimu bisa infeksi," imbuh Sakti yang tiba-tiba mengulurkan tangannya untuk membatu Citra bangkit berdiri dan kembali duduk di kursi roda.***Di ruang rawat VIP itu, seorang perawat baru saja selesai menbersihkan dan mengobati luka operasi di perut Citra, juga mengganti perbannya.Setelah perawat itu pamit pergi, Citra baru saja hendak membaringkan tubuhnya, ketika Sakti masuk ke dalam ruangan dan langsung menghampirinya sambil melayangkan tatapan yang sulit dimengerti oleh Citra."Apa ada masalah pak?" tanya Citra bingung. Ia mengurungkan niatnya untuk berbaring tidur, dan memilih tetap duduk di atas tempat tidurnya itu, sembari menunggu jawaban dari Sakti.Namun, Sakti tak sekalipun menjawabnya. Di detik berikutnya, Citra terkesiap keras saat tiba-tiba Sakti membuka kancing kemejanya dan tanpa izin melepaskan kemeja itu dari tubuhnya. Citra yang sempat syok itu pun lekas-lekas menutup bagian dadanya, walau sedikit terlambat."Tidakkah kamu ingin aku melaporkan suami kamu itu ke polisi, Citra?" tanya Sakti tiba-tiba.Tubuh Citra menegang mendengar pertanyaan itu. Sejenak ia menolehkan wajahnya untuk melihat arah pandang Sakti, dan ketika akhirnya mengerti, ia pun buru-buru mengambil kemejanya dan segera memakainya lagi."Sejak kapan luka-luka dan lebam itu ada di sana, Citra? Uluh hati, perut, area tulang rusuk, lalu punggung? Suami kamu hampir membunuhmu, kenapa cuma diam? Kenapa gak bilang dari awal kalo kamu di siksa sama suami kamu? Mungkin dari awal aku bakal menarik suami kamu itu dan menjebloskannya ke penjara. Kalo aja perawat dan dokter gak bilang kondisi kamu ini padaku, aku gak mungkin tahu.""Saya mau istirahat," tandas Citra tak sekalipun mengindahkan ucapan Sakti. Kali ini, tanpa ragu ia langsung membaringkan tubuhnya dengan posisi memunggungi Sakti, lalu ia perlahan menutup matanya.Helaan napas kasar pun terdengar dari Sakti. "Tangan laki-laki diciptakan oleh Tuhan bukan untuk memukul istrinya. Semua luka di tubuh kamu itu bukan luka ringan, itu udah masuk percobaan pembunuhan. Dar
"Apa kamu bisa ngerti semuanya?" tanyanya memastikan.Sakti mengajari Citra bagaimana cara berjalan yang harus anggun dan bermartabat, mengajari table manner dan mengajari memadupadankan pakaian sesuai jenis acara yang akan didatangi.Di momen itu, Citra duduk perlahan pada tepian tempat tidur lalu kemudian ia pun menggelengkan kepalanya lemah."Saya belum bisa ngerti semuanya. Cara berjalan mungkin bisa saya pelajari lebih cepat, tapi untuk yang lainnya... kayaknya saya butuh waktu lebih lama dari itu." Citra menjawab dengan takut-takut, ia bahkan tak berani menengadahkan wajahnya untuk menatap Sakti yang pasti kesal setelah mengajarinya banyak hal tapi tak satupun dari semua hal itu bisa Citra pelajari dengan baik.Helaan napas kasar kemudian terdengar dari Sakti. "Gak ada tambahan waktu, Citra. Pelajari semua itu secepatnya, tak peduli sekalipun itu sulit bagimu. Aku gak mau tahu, kamu harus bisa semua hal yang kuajari tadi," tegasnya tanpa bisa diganggu gugat.Nada suara Sakti yan
Dengan susah payah, Citra menahan rasa sakit dan linu pada pergelangan kakinya tiap kali ia menggunakan kakinya untuk berjalan. Apalagi ketika harus menaiki tangga, Citra benar-benar merasa sangat tersiksa. Ia ingin sekali menjerit, tapi karena rasa segan dan rasa takutnya pada Sakti, pada akhirnya Citra pun hanya memilih bungkam."Kenapa?" tanya Sakti saat memergoki ekspresi wajah Citra yang terlihat meringis saat mereka selesai melewati tangga.Mendengar itu, Citra pun buru-buru menetralkan espresi wajahnya dan di detik itu pula ia pun menggelengkan kepalanya pelan."Saya gak apa-apa kok, pak," sahut Citra yang kemudian melenggang pergi begitu saja dan berjalan mendahului Sakti.Sementara Sakti yang kini berada di belakang Citra pun terdiam untuk beberapa saat memandangi Citra lamat-lamat, sebelum kemudian ia pun melangkahkan kakinya menyusul Citra.Di dalam NICU, mereka berdua bertemu dokter yang menjelaskan kondisi terkini dan juga perkembangan kesehatan dari bayinya Sakti. Dokter
Alarm bahaya di kepala Citra sudah berdenging nyaring saat Sakti mulai menanggalkan piyama dari tubuhnya, tapi anehnya, Citra sama sekali tak bisa bergerak menjauh atau sekadar menampar pria itu.Tubuhnya kaku dan kepalanya mendadak kosong."P-Pak Sakti," cicitnya dengan suara tercekik.Sementara Sakti tak menanggapinya. Dengan tenangnya, ia malah membuka kontrainer kecil itu lalu mengambil sebotol obat oles dalam berbahan minyak, lalu secara perlahan ia mulai mengoleskan minyak itu pada area uluh hati dan area tulang rusuk lalu menuju perut Citra.Citra dibuat merinding saat jemari tangan Sakti menyentuh permukaan kulitnya. "Anda sedang melakukan apa?" Citra mengulangi pertanyaannya dengan tubuh yang masih kaku di tempatnya."Apa kamu gak lihat? Aku sedang mengoleskan obat," jawab Sakti ketus. Kali ini, Citra yang mulai tersadar dari keterkejutannya itu pun perlahan berdeham dan menatap tenang ke arah Sakti."Seharusnya anda gak perlu repot-repot ngobatin saya. Saya gak kenapa-kena
Pagi-pagi sekali, Sakti sudah mengajak Citra untuk berpergian. Kali ini tujuan mereka bukan ke rumah sakit, tapi ke rumah bedeng Citra."Cukup ambil berkas-berkas penting aja buat kebutuhan administrasi pendaftaran pernikahan," perintahnya begitu penuh penegasan.Sementara, Citra yang mendengar itu justru tak langsung menjawab. Ia hanya menoleh dan menatap wajah Sakti lekat-lekat untuk sekadar memastikan apa kiranya benar-benar ada jejak air mata di wajah Sakti dan ternyata...ia menemukannya. Mata pria itu sedikit sembab. Sakti benar-benar menangis semalaman.Apa dia merindukan mendiang istrinya sampai menangis diam-diam di tengah malam? Gumam Citra dalam hatinya."Denger gak apa yang aku bilang?" tanya Sakti dengan nada suara yang terdengar ketus.Seketika Citra pun tersentak dari lamunannya lalu buru-buru mengganggukan kepalanya."I-Iya saya denger," sahut Citra akhirnya. Walaupun sedikit terbata."Kamu melamun.""Saya? enggak.""Kamu menatapku juga cukup lama.""E-Enggak. Saya gak-
"Surat cerai bakal keluar setelah satu bulan. Dan begitu surat perceraiannya keluar aku bakal nikah sama Vina. Kamu jangan berani-beraninya dateng ke kampung ini lagi, Citra," ujar Badra memberikan peringatan tegas pada Citra.Citra tersenyum miring mendengar hal itu. "Gak akan. Ini terakhir kalinya aku ke sini, tenang aja. Kamu bisa hidup bahagia sama pilihanmu itu kang."Tanpa banyak bicara lagi, Citra pun bergegas keluar kamar tak sekalipun memperdulikan keberadaan Badra, walau lengan mereka sempat saling bersenggolan saat ia melewati ambang pintu."Anakmu juga," pungkas Badra lagi. Membuat Citra yang baru saja hendak membuka pintu rumah pun seketika terdiam membeku di tempatnya untuk beberapa saat. "Jangan sekalipun bawa anakmu ke hadapanku lagi. Jangan ceritakan aku ayah dari anakmu. Aku gak sudi kalo dikemudian hari dia nyari-nyari aku. Aku bakal bahagia sama Vina, kamu dan anakmu gak boleh ganggu kebahagiaan kami."Citra tersenyum kecut. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi sekuat
"Duduk dulu," pinta Sakti seraya menepuk sisi kosong pada sofa di sampingnya.Saat itu kondisinya mereka baru saja pulang ke rumah dalam kondisi hari yang sudah malam, setelah menempuh perjalan jauh dari kampung Citra. Padahal tadinya Citra ingin segera istirahat di kamarnya, tapi ketika Sakti mengajaknya untuk duduk dulu, tentu saja ia tak akan bisa menolak.Tanpa kata, ia pun melangkah mendekat pada Sakti dan mengambil posisi duduk di samping pria itu dengan sedikit memberi jarak."Ada yang mau aku tanyakan padamu," ujar Sakti seraya mengubah posisi duduknya jadi menghadap Citra. Sedangkan Citra hanya tertunduk tanpa merespon apapun.Kekesalannya pada Sakti yang belum juga reda, membuatnya enggan untuk bicara pada pria itu."Citra, apa kamu dengar ucapanku?" lanjutnya bertanya.Sementara Citra hanya menganggukan kepalanya, tanpa berniat bersuara. Ia bahkan tak sekalipun mengangkat wajahnya untuk sekadar manatap pada Sakti, dan tentunya hal itu membuat Sakti pun berada di ambang kek
"Saya hidup serba kekurangan. Padahal alasan Bapak saya menjodohkan saya dengan Kang Badra katanya supanya saya bisa hidup bahagia, tapi ternyata gak begitu hasil akhirnya. Dengan kondisi hamil, saya harus kerja jadi buruh pemetik tomat dengan upah 15 ribu aja. Uangnya kadang bisa untuk beli beras dan makan untuk hari itu, tapi besoknya harus bingung lagi. Kadang kami tak makan karena upahnya selalu Kang Badra habiskan buat beli rokok. Saya-" Citra menjeda ucapannya untuk sekadar mengambil napas karena dadanya kian sesak. Ia merasa berat untuk melanjutkan ceritanya, tapi ia pun tak punya alasan untuk berhenti menjelaskan. "Demi bisa tetap bertahan hidup, saya memaksakan diri untuk bekerja. Sampe saya gak sadar kalo tenangnya janin di dalam perut saya, bukan karena dia mengerti kalau ibunya sedang bekerja, tapi karena dia sudah lama tak bernyawa."Sakti termangu di tempatnya mendengar semua cerita hidup dari Citra. Kini Sakti mengerti kenapa Citra bisa sampai tinggal di sebuah rumah be