Share

6.Sastra Rahayu Ginata

Tubuh Citra menegang mendengar pertanyaan itu. Sejenak ia menolehkan wajahnya untuk melihat arah pandang Sakti, dan ketika akhirnya mengerti, ia pun buru-buru mengambil kemejanya dan segera memakainya lagi.

"Sejak kapan luka-luka dan lebam itu ada di sana, Citra? Uluh hati, perut, area tulang rusuk, lalu punggung? Suami kamu hampir membunuhmu, kenapa cuma diam? Kenapa gak bilang dari awal kalo kamu di siksa sama suami kamu? Mungkin dari awal aku bakal menarik suami kamu itu dan menjebloskannya ke penjara. Kalo aja perawat dan dokter gak bilang kondisi kamu ini padaku, aku gak mungkin tahu."

"Saya mau istirahat," tandas Citra tak sekalipun mengindahkan ucapan Sakti.

Kali ini, tanpa ragu ia langsung membaringkan tubuhnya dengan posisi memunggungi Sakti, lalu ia perlahan menutup matanya.

Helaan napas kasar pun terdengar dari Sakti. "Tangan laki-laki diciptakan oleh Tuhan bukan untuk memukul istrinya. Semua luka di tubuh kamu itu bukan luka ringan, itu udah masuk percobaan pembunuhan. Daripada diam kayak gitu, seharusnya kamu pergi ke kantor polisi dan penjarakan suami kamu itu."

Citra tetap diam.

Hal itu pun membuat Sakti kembali menghela napas kasar lalu akhirnya melenggang pergi ke luar dari kamar rawat inap itu.

Sepeninggalnya Sakti, Citra pun perlahan membuka matanya. Ia menatap lurus ke depan dengan sorot mata yang kosong dan hampa. Sejenak, Citra pun mengurut dadanya dengan kasar untuk sekadar berusaha melenyapkan segala sakit yang sangat menyesakkan di sana.

Munafik kalau Citra ikhlas dengan semua ini, ia tak pernah ikhlas sama sekali. Kemarahan jelas-jelas ada di sudut hatinya yang terdalam karena berusaha ia redam. Penyiksaan Badra terhadapnya selama satu tahun terakhir pernikahan mereka, tak pernah sekalipun bisa lupakan. Hidup dalam garis kemiskinan dengan pria yang tak bisa menafkahi ataupun memberikan rasa aman pada dirinya, benar-benar membuat Citra merasa seperti hidup dalam neraka.

Suara pintu yang dibuka pun menarik Citra dari lamunannya. Ia melirik ke arah sumber suara, untuk sekadar mendapati seorang perawat datang menghampirinya.

"Pasien atas nama ibu Citra?" tanyanya ramah sembari membaca sebuah map yang berisi rekam medis.

"Iya," jawab Citra singkat.

"Saya bantu buat pumping ya, bu, karena bayi prematur belum bisa disusui secara langsung." Masih dengan sikap ramah yang sama, pun mengeluarkan sebuah alat pumping dan kemudian dengan hati-hati membantu Citra untuk susuk.

Dengan telaten, perawat itu membantu menjelaskan pada Citra bagaimana pumping yang nyaman tanpa menyebabkan rasa sakit ataupun menyebabkan asi yang keluar adalah asi berdarah.

"Bagus ya, bu. Air ASI-Nya langsung keluar. Secepatnya semoga bayi ibu berat badannya naik ke berat badan ideal biar bisa dibawa pulang kalo ASI mamanya sesubur ini," pujinya.

Dan Citra hanya bisa diam tanpa sekalipun menanggapi ucapan perawat itu. Hati Citra terus berdenyut sakit tiap kali perawat itu membicarakan bayi dan ASI.

Setelah selesai, perawat itu pun memindahkan ASI dari alat pumping itu ke dalam kantong steril yang dikhususkan untuk menyimpan ASI lalu kemudian bergegas membereskan kembali alat pumping dan kantong ASI itu.

Ketika perawat itu hendak beranjak pergi, suara dari Citra membuat perawat itu berhenti melangkah dan menoleh pada Citra.

"Boleh saya liat bayinya? Saya mau memastikan keadaan dia," tanya Citra dengan suara lirih.

***

Di ruang inkubator itu, di atas kursi rodanya, Citra hanya bisa melihat bagaimana Sakti yang begitu telaten memberikan ASI pada bayi perempuan yang tampak sangat ringkih itu melalui pipet kecil.

Bayi merah yang harus merasakan sakitnya dipasangkan berbagai alat medis pada tubuhnya yang sangat kecil dan terlihat rapuh. Hati Citra teriris melihatnya. Kini ia tahu kenapa Sakti begitu putus asa memintanya untuk jadi ibu susu dari putrinya karena ternyata putrinya itu benar-benar dalam kondisi yang mengkhawatirkan.

"Apa bayinya bisa minum asinya?" cicit Citra bertanya.

Sakti menoleh pada Citra lalu mengangguk kecil. "Iya, putriku akhirnya bisa meminum ASI. Dokter yang menangani putriku juga bilang kalo peluang untuk berat badannya naik itu lebih besar."

Mendengar itu, Citra pun mengulas senyum lemah. Ada rasa lega di hatinya juga rasa senang karena ia bisa membantu bayi lain. Ia pun menatap bayi mungil itu lekat-lekat dengan perasaan yang tak bisa dideskripsikan.

"Namanya siapa, apa pak Sakti sudah memberinya nama?" tanya Citra lagi.

Sakti pun menggelengkan kepalanya pelan. "Belum sama sekali. Aku gak pandai memberi nama yang bagus. Kamu boleh memberinya nama, dia juga putrimu."

Citra terdiam. Hatinya sempat berdesir aneh saat mendengar ucapan Sakti, entah perasaan canggung ataupun senang. Semuanya terasa aneh dan bias. Terlebih saat Sakti mengatakan kalau bayi perempuan itu adalah putrinya juga.

"Saya boleh memberinya nama juga?"

"Iya."

Citra pun berpikir cukup lama, sampai akhirnya ia pun menemukan nama yang cantik untuk bayi mungil itu.

"Apa boleh saya menamainya Sastra Rahayu Ginata? Melalui nama ini, saya berharap dia bisa jadi anak cantik selalu punya pedoman dalam hidupnya."

***

Berhari-hari setelah menjalani perawatan setelah selesai mejalani perawatan setelah operasi, Sakti langsung membawa Citra ke rumahnya.

"Kamu istirahat di kamar ini. Pakaian ganti buat kamu ada di lemari. Kalo butuh apapun kamu bisa panggil aku," ujar Sakti seraya dengan hati-hati membantu Citra duduk pada tepian ranjang.

"Apa semua ini tak terlalu berlebihan buat saya, pak? Saya bisa tinggal di kamar pembantu yang lebih kecil dari ini saja, kamar ini terlalu luas. Anda juga gak perlu repot-repot beliin baju baru sebanyak itu buat saya, saya bisa ngambil baju saya di kampung. Bukannya saya cuma perlu jadi ibu susu aja? Semua ini terlalu mewah buat saya."

"Apa kamu gak ngerti juga soal alasanku yang memilihmu? Aku ini ingin membuat keluarga lengkap untuk putriku. Di dalam keluarga lengkap yang bahagia, harus ada ibu dan ayah yang memberikan kasih sayang untuknya. Jadi, kamu juga harus bersikap dan berpenampilan selayaknya seorang ibu dari anakku. Kamu harus tinggal di sini. Kamu harus beradaptasi dengan rumah ini dan juga lingkungan di sini. Setelah Gina cukup sehat dan sudah bisa dibawa pulang, kita buat foto keluarga. Pokoknya semuanya harus sempurna sesuai yang aku inginkan, agar di masa depan nanti tak ada celah yang bisa membuat Gina mempertanyakan siapa ibunya yang asli."

Citra diam. Ia berusaha mencerna semua penjelasan dari sakti, tapi tak secuilpun dari ucapan pria itu yang bisa ia mengerti. Dengan kondisi yang masih berduka seperti ini, membuat Citra tak mudah untuk bisa mengerti semua ini dengan cepat."

"Maksud anda, saya bukan cuma jadi ibu susu saja, tapi juga berpura-pura jadi ibunya Gina, putri anda?"

Sakti menganggukan kepalanya ringan. "Iya. Tapi gak sepenuhnya pura-pura. Setelah kita menikah, kamu secara otomatis jadi ibunya. Kamu cukup berpura-pura jadi ibu kandungnya. Maka dari itu aku yang akan mengurus semua hal yang akan menunjang hal yang membuatmu seolah-olah adalah ibu kandungnya yang asli. Ini akan jadi sandiwara yang sangat lama, Citra. Kamu harus bersedia ikut bersandiwara bersamaku, setidaknya sampai Ginata mulai bisa diberikan pengertian kalau orang tuanya tak lagi bisa bersama karena di waktu yang tepat, kita akan bercerai, Citra."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status