Tubuh Citra menegang mendengar pertanyaan itu. Sejenak ia menolehkan wajahnya untuk melihat arah pandang Sakti, dan ketika akhirnya mengerti, ia pun buru-buru mengambil kemejanya dan segera memakainya lagi.
"Sejak kapan luka-luka dan lebam itu ada di sana, Citra? Uluh hati, perut, area tulang rusuk, lalu punggung? Suami kamu hampir membunuhmu, kenapa cuma diam? Kenapa gak bilang dari awal kalo kamu di siksa sama suami kamu? Mungkin dari awal aku bakal menarik suami kamu itu dan menjebloskannya ke penjara. Kalo aja perawat dan dokter gak bilang kondisi kamu ini padaku, aku gak mungkin tahu.""Saya mau istirahat," tandas Citra tak sekalipun mengindahkan ucapan Sakti.Kali ini, tanpa ragu ia langsung membaringkan tubuhnya dengan posisi memunggungi Sakti, lalu ia perlahan menutup matanya.Helaan napas kasar pun terdengar dari Sakti. "Tangan laki-laki diciptakan oleh Tuhan bukan untuk memukul istrinya. Semua luka di tubuh kamu itu bukan luka ringan, itu udah masuk percobaan pembunuhan. Daripada diam kayak gitu, seharusnya kamu pergi ke kantor polisi dan penjarakan suami kamu itu."Citra tetap diam.Hal itu pun membuat Sakti kembali menghela napas kasar lalu akhirnya melenggang pergi ke luar dari kamar rawat inap itu.Sepeninggalnya Sakti, Citra pun perlahan membuka matanya. Ia menatap lurus ke depan dengan sorot mata yang kosong dan hampa. Sejenak, Citra pun mengurut dadanya dengan kasar untuk sekadar berusaha melenyapkan segala sakit yang sangat menyesakkan di sana.Munafik kalau Citra ikhlas dengan semua ini, ia tak pernah ikhlas sama sekali. Kemarahan jelas-jelas ada di sudut hatinya yang terdalam karena berusaha ia redam. Penyiksaan Badra terhadapnya selama satu tahun terakhir pernikahan mereka, tak pernah sekalipun bisa lupakan. Hidup dalam garis kemiskinan dengan pria yang tak bisa menafkahi ataupun memberikan rasa aman pada dirinya, benar-benar membuat Citra merasa seperti hidup dalam neraka.Suara pintu yang dibuka pun menarik Citra dari lamunannya. Ia melirik ke arah sumber suara, untuk sekadar mendapati seorang perawat datang menghampirinya."Pasien atas nama ibu Citra?" tanyanya ramah sembari membaca sebuah map yang berisi rekam medis."Iya," jawab Citra singkat."Saya bantu buat pumping ya, bu, karena bayi prematur belum bisa disusui secara langsung." Masih dengan sikap ramah yang sama, pun mengeluarkan sebuah alat pumping dan kemudian dengan hati-hati membantu Citra untuk susuk.Dengan telaten, perawat itu membantu menjelaskan pada Citra bagaimana pumping yang nyaman tanpa menyebabkan rasa sakit ataupun menyebabkan asi yang keluar adalah asi berdarah."Bagus ya, bu. Air ASI-Nya langsung keluar. Secepatnya semoga bayi ibu berat badannya naik ke berat badan ideal biar bisa dibawa pulang kalo ASI mamanya sesubur ini," pujinya.Dan Citra hanya bisa diam tanpa sekalipun menanggapi ucapan perawat itu. Hati Citra terus berdenyut sakit tiap kali perawat itu membicarakan bayi dan ASI.Setelah selesai, perawat itu pun memindahkan ASI dari alat pumping itu ke dalam kantong steril yang dikhususkan untuk menyimpan ASI lalu kemudian bergegas membereskan kembali alat pumping dan kantong ASI itu.Ketika perawat itu hendak beranjak pergi, suara dari Citra membuat perawat itu berhenti melangkah dan menoleh pada Citra."Boleh saya liat bayinya? Saya mau memastikan keadaan dia," tanya Citra dengan suara lirih.***Di ruang inkubator itu, di atas kursi rodanya, Citra hanya bisa melihat bagaimana Sakti yang begitu telaten memberikan ASI pada bayi perempuan yang tampak sangat ringkih itu melalui pipet kecil.Bayi merah yang harus merasakan sakitnya dipasangkan berbagai alat medis pada tubuhnya yang sangat kecil dan terlihat rapuh. Hati Citra teriris melihatnya. Kini ia tahu kenapa Sakti begitu putus asa memintanya untuk jadi ibu susu dari putrinya karena ternyata putrinya itu benar-benar dalam kondisi yang mengkhawatirkan."Apa bayinya bisa minum asinya?" cicit Citra bertanya.Sakti menoleh pada Citra lalu mengangguk kecil. "Iya, putriku akhirnya bisa meminum ASI. Dokter yang menangani putriku juga bilang kalo peluang untuk berat badannya naik itu lebih besar."Mendengar itu, Citra pun mengulas senyum lemah. Ada rasa lega di hatinya juga rasa senang karena ia bisa membantu bayi lain. Ia pun menatap bayi mungil itu lekat-lekat dengan perasaan yang tak bisa dideskripsikan."Namanya siapa, apa pak Sakti sudah memberinya nama?" tanya Citra lagi.Sakti pun menggelengkan kepalanya pelan. "Belum sama sekali. Aku gak pandai memberi nama yang bagus. Kamu boleh memberinya nama, dia juga putrimu."Citra terdiam. Hatinya sempat berdesir aneh saat mendengar ucapan Sakti, entah perasaan canggung ataupun senang. Semuanya terasa aneh dan bias. Terlebih saat Sakti mengatakan kalau bayi perempuan itu adalah putrinya juga."Saya boleh memberinya nama juga?""Iya."Citra pun berpikir cukup lama, sampai akhirnya ia pun menemukan nama yang cantik untuk bayi mungil itu."Apa boleh saya menamainya Sastra Rahayu Ginata? Melalui nama ini, saya berharap dia bisa jadi anak cantik selalu punya pedoman dalam hidupnya."***Berhari-hari setelah menjalani perawatan setelah selesai mejalani perawatan setelah operasi, Sakti langsung membawa Citra ke rumahnya."Kamu istirahat di kamar ini. Pakaian ganti buat kamu ada di lemari. Kalo butuh apapun kamu bisa panggil aku," ujar Sakti seraya dengan hati-hati membantu Citra duduk pada tepian ranjang."Apa semua ini tak terlalu berlebihan buat saya, pak? Saya bisa tinggal di kamar pembantu yang lebih kecil dari ini saja, kamar ini terlalu luas. Anda juga gak perlu repot-repot beliin baju baru sebanyak itu buat saya, saya bisa ngambil baju saya di kampung. Bukannya saya cuma perlu jadi ibu susu aja? Semua ini terlalu mewah buat saya.""Apa kamu gak ngerti juga soal alasanku yang memilihmu? Aku ini ingin membuat keluarga lengkap untuk putriku. Di dalam keluarga lengkap yang bahagia, harus ada ibu dan ayah yang memberikan kasih sayang untuknya. Jadi, kamu juga harus bersikap dan berpenampilan selayaknya seorang ibu dari anakku. Kamu harus tinggal di sini. Kamu harus beradaptasi dengan rumah ini dan juga lingkungan di sini. Setelah Gina cukup sehat dan sudah bisa dibawa pulang, kita buat foto keluarga. Pokoknya semuanya harus sempurna sesuai yang aku inginkan, agar di masa depan nanti tak ada celah yang bisa membuat Gina mempertanyakan siapa ibunya yang asli."Citra diam. Ia berusaha mencerna semua penjelasan dari sakti, tapi tak secuilpun dari ucapan pria itu yang bisa ia mengerti. Dengan kondisi yang masih berduka seperti ini, membuat Citra tak mudah untuk bisa mengerti semua ini dengan cepat.""Maksud anda, saya bukan cuma jadi ibu susu saja, tapi juga berpura-pura jadi ibunya Gina, putri anda?"Sakti menganggukan kepalanya ringan. "Iya. Tapi gak sepenuhnya pura-pura. Setelah kita menikah, kamu secara otomatis jadi ibunya. Kamu cukup berpura-pura jadi ibu kandungnya. Maka dari itu aku yang akan mengurus semua hal yang akan menunjang hal yang membuatmu seolah-olah adalah ibu kandungnya yang asli. Ini akan jadi sandiwara yang sangat lama, Citra. Kamu harus bersedia ikut bersandiwara bersamaku, setidaknya sampai Ginata mulai bisa diberikan pengertian kalau orang tuanya tak lagi bisa bersama karena di waktu yang tepat, kita akan bercerai, Citra.""Apa kamu bisa ngerti semuanya?" tanyanya memastikan.Sakti mengajari Citra bagaimana cara berjalan yang harus anggun dan bermartabat, mengajari table manner dan mengajari memadupadankan pakaian sesuai jenis acara yang akan didatangi.Di momen itu, Citra duduk perlahan pada tepian tempat tidur lalu kemudian ia pun menggelengkan kepalanya lemah."Saya belum bisa ngerti semuanya. Cara berjalan mungkin bisa saya pelajari lebih cepat, tapi untuk yang lainnya... kayaknya saya butuh waktu lebih lama dari itu." Citra menjawab dengan takut-takut, ia bahkan tak berani menengadahkan wajahnya untuk menatap Sakti yang pasti kesal setelah mengajarinya banyak hal tapi tak satupun dari semua hal itu bisa Citra pelajari dengan baik.Helaan napas kasar kemudian terdengar dari Sakti. "Gak ada tambahan waktu, Citra. Pelajari semua itu secepatnya, tak peduli sekalipun itu sulit bagimu. Aku gak mau tahu, kamu harus bisa semua hal yang kuajari tadi," tegasnya tanpa bisa diganggu gugat.Nada suara Sakti yan
Dengan susah payah, Citra menahan rasa sakit dan linu pada pergelangan kakinya tiap kali ia menggunakan kakinya untuk berjalan. Apalagi ketika harus menaiki tangga, Citra benar-benar merasa sangat tersiksa. Ia ingin sekali menjerit, tapi karena rasa segan dan rasa takutnya pada Sakti, pada akhirnya Citra pun hanya memilih bungkam."Kenapa?" tanya Sakti saat memergoki ekspresi wajah Citra yang terlihat meringis saat mereka selesai melewati tangga.Mendengar itu, Citra pun buru-buru menetralkan espresi wajahnya dan di detik itu pula ia pun menggelengkan kepalanya pelan."Saya gak apa-apa kok, pak," sahut Citra yang kemudian melenggang pergi begitu saja dan berjalan mendahului Sakti.Sementara Sakti yang kini berada di belakang Citra pun terdiam untuk beberapa saat memandangi Citra lamat-lamat, sebelum kemudian ia pun melangkahkan kakinya menyusul Citra.Di dalam NICU, mereka berdua bertemu dokter yang menjelaskan kondisi terkini dan juga perkembangan kesehatan dari bayinya Sakti. Dokter
Alarm bahaya di kepala Citra sudah berdenging nyaring saat Sakti mulai menanggalkan piyama dari tubuhnya, tapi anehnya, Citra sama sekali tak bisa bergerak menjauh atau sekadar menampar pria itu.Tubuhnya kaku dan kepalanya mendadak kosong."P-Pak Sakti," cicitnya dengan suara tercekik.Sementara Sakti tak menanggapinya. Dengan tenangnya, ia malah membuka kontrainer kecil itu lalu mengambil sebotol obat oles dalam berbahan minyak, lalu secara perlahan ia mulai mengoleskan minyak itu pada area uluh hati dan area tulang rusuk lalu menuju perut Citra.Citra dibuat merinding saat jemari tangan Sakti menyentuh permukaan kulitnya. "Anda sedang melakukan apa?" Citra mengulangi pertanyaannya dengan tubuh yang masih kaku di tempatnya."Apa kamu gak lihat? Aku sedang mengoleskan obat," jawab Sakti ketus. Kali ini, Citra yang mulai tersadar dari keterkejutannya itu pun perlahan berdeham dan menatap tenang ke arah Sakti."Seharusnya anda gak perlu repot-repot ngobatin saya. Saya gak kenapa-kena
Pagi-pagi sekali, Sakti sudah mengajak Citra untuk berpergian. Kali ini tujuan mereka bukan ke rumah sakit, tapi ke rumah bedeng Citra."Cukup ambil berkas-berkas penting aja buat kebutuhan administrasi pendaftaran pernikahan," perintahnya begitu penuh penegasan.Sementara, Citra yang mendengar itu justru tak langsung menjawab. Ia hanya menoleh dan menatap wajah Sakti lekat-lekat untuk sekadar memastikan apa kiranya benar-benar ada jejak air mata di wajah Sakti dan ternyata...ia menemukannya. Mata pria itu sedikit sembab. Sakti benar-benar menangis semalaman.Apa dia merindukan mendiang istrinya sampai menangis diam-diam di tengah malam? Gumam Citra dalam hatinya."Denger gak apa yang aku bilang?" tanya Sakti dengan nada suara yang terdengar ketus.Seketika Citra pun tersentak dari lamunannya lalu buru-buru mengganggukan kepalanya."I-Iya saya denger," sahut Citra akhirnya. Walaupun sedikit terbata."Kamu melamun.""Saya? enggak.""Kamu menatapku juga cukup lama.""E-Enggak. Saya gak-
"Surat cerai bakal keluar setelah satu bulan. Dan begitu surat perceraiannya keluar aku bakal nikah sama Vina. Kamu jangan berani-beraninya dateng ke kampung ini lagi, Citra," ujar Badra memberikan peringatan tegas pada Citra.Citra tersenyum miring mendengar hal itu. "Gak akan. Ini terakhir kalinya aku ke sini, tenang aja. Kamu bisa hidup bahagia sama pilihanmu itu kang."Tanpa banyak bicara lagi, Citra pun bergegas keluar kamar tak sekalipun memperdulikan keberadaan Badra, walau lengan mereka sempat saling bersenggolan saat ia melewati ambang pintu."Anakmu juga," pungkas Badra lagi. Membuat Citra yang baru saja hendak membuka pintu rumah pun seketika terdiam membeku di tempatnya untuk beberapa saat. "Jangan sekalipun bawa anakmu ke hadapanku lagi. Jangan ceritakan aku ayah dari anakmu. Aku gak sudi kalo dikemudian hari dia nyari-nyari aku. Aku bakal bahagia sama Vina, kamu dan anakmu gak boleh ganggu kebahagiaan kami."Citra tersenyum kecut. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi sekuat
"Duduk dulu," pinta Sakti seraya menepuk sisi kosong pada sofa di sampingnya.Saat itu kondisinya mereka baru saja pulang ke rumah dalam kondisi hari yang sudah malam, setelah menempuh perjalan jauh dari kampung Citra. Padahal tadinya Citra ingin segera istirahat di kamarnya, tapi ketika Sakti mengajaknya untuk duduk dulu, tentu saja ia tak akan bisa menolak.Tanpa kata, ia pun melangkah mendekat pada Sakti dan mengambil posisi duduk di samping pria itu dengan sedikit memberi jarak."Ada yang mau aku tanyakan padamu," ujar Sakti seraya mengubah posisi duduknya jadi menghadap Citra. Sedangkan Citra hanya tertunduk tanpa merespon apapun.Kekesalannya pada Sakti yang belum juga reda, membuatnya enggan untuk bicara pada pria itu."Citra, apa kamu dengar ucapanku?" lanjutnya bertanya.Sementara Citra hanya menganggukan kepalanya, tanpa berniat bersuara. Ia bahkan tak sekalipun mengangkat wajahnya untuk sekadar manatap pada Sakti, dan tentunya hal itu membuat Sakti pun berada di ambang kek
"Saya hidup serba kekurangan. Padahal alasan Bapak saya menjodohkan saya dengan Kang Badra katanya supanya saya bisa hidup bahagia, tapi ternyata gak begitu hasil akhirnya. Dengan kondisi hamil, saya harus kerja jadi buruh pemetik tomat dengan upah 15 ribu aja. Uangnya kadang bisa untuk beli beras dan makan untuk hari itu, tapi besoknya harus bingung lagi. Kadang kami tak makan karena upahnya selalu Kang Badra habiskan buat beli rokok. Saya-" Citra menjeda ucapannya untuk sekadar mengambil napas karena dadanya kian sesak. Ia merasa berat untuk melanjutkan ceritanya, tapi ia pun tak punya alasan untuk berhenti menjelaskan. "Demi bisa tetap bertahan hidup, saya memaksakan diri untuk bekerja. Sampe saya gak sadar kalo tenangnya janin di dalam perut saya, bukan karena dia mengerti kalau ibunya sedang bekerja, tapi karena dia sudah lama tak bernyawa."Sakti termangu di tempatnya mendengar semua cerita hidup dari Citra. Kini Sakti mengerti kenapa Citra bisa sampai tinggal di sebuah rumah be
Sakti yang mengurungkan niatnya untuk segera pergi pun seketika kembali membuka pintu kamar itu dan berdiri di ambang pintu untuk sekadar malayangkan tatapan penuh rasa sungkannya pasa Citra."Erm... sama sepertimu. Kisah hidupku juga sedikit tak nyaman untuk didengar. Aku juga merasa cukup berat hati untuk menceritakannya, tapi nanti aku pasti akan menceritakannya padamu sedikit demi sedikit."Setelah mengatakan hal itu, tanpa menunggu respon dari Citra, Sakti pun langsung melenggang pergi dan membiarkan pintu kamar itu terayun dan menutup rapat di belakangnya.Saat itu, Sakti hanya berharap kalau Citra bisa mengerti bahwa Sakti butuh sedikit waktu untuk benar-benar merasa siap ketika membicarakan tentang hidupnya sendiri.Begitu sampai di kamarnya, Sakti langsung melempar tubuhnya ke atas tempat tidur lalu berbaring terlentang. Dengan berbantalkan lengannya sendiri, di momen itu Sakti hanya menatap nanar pada plafon kamarnya ketika pikirannya mulai melayang jauh ke hari di mana Sakt