Share

Ledakan Emosi Pertama

Author: Xǐn Rose
last update Last Updated: 2025-07-11 21:50:26

Suara gaduh dari arah dapur membuat Seruni terbangun lebih cepat dari biasanya. Ia mulai berimajinasi mungkin pelayan sedang menggeser lemari es raksasa atau tikus Ratatouille sedang ber-eksperiment. Bunyi dentingan sendok, spatula beradu dengan panci semakin nyaring memekakan telinga, layaknya gitaris bermain dengan nada kacau.

Seruni menyipitkan mata. "Apa MasterChef lagi syuting di sini?"

Ia kemudian melirik jam antik menggantung di dinding marmer, berbingkai ukiran detail daun anggur dan singa kecil di puncaknya. Jarum panjangnya terdiam menyentuh pukul empat. Matanya masih terasa berat, lalu terlelap lagi. Hingga, tepat pukul 06.00 ... Seruni melangkah keluar kamar masih mengenakan piyama kartun bergambar kucing terbang. Langkahnya gontai, rambut awut-awutannya menjuntai ke segala arah seperti sapu ijuk yang kehilangan gagangnya.

Begitu menyusuri lorong ke arah ruang makan ... Seruni mencium aroma kentang rebus memenuhi udara, tapi bukan aroma yang menggugah selera. Lebih mirip seperti ... air rendaman panci yang lupa dibuang semalaman. Pemandangan mencengangkan tersaji di hadapannya seketika membuat matanya membelalak. Seorang Aruna Mahadewa, si CEO berhati dingin, sedang menuangkan sup dari panci ke mangkuk keramik.

Seruni mengucek kedua matanya berulang kali. "Fix! Pasti mimpi."

Tiba-tiba, Aruna menepuk pelan bahu Seruni hingga membuat tubuhnya terpental sejauh 3 meter. Ia benar-benar terkejut dan kali ini merasa, bahwa Aruna lebih menakutkan dari hantu.

Aruna menarik kursi. “Duduk!”

Seruni tepaku menatap Aruna. Ia bengong seperti melihat dinosaurus hidup. Aruna hari ini sangat aneh hingga Seruni berpikir Aruna sedang merencanakan sesuatu yang membahayakan. Seruni merapatkan kedua kakinya, menurunkan napas pelan. Lalu, menurunkan tubuhnya perlahan ke kursi seolah takut kena jebakan mengerikan seperti di film squid game. Aruna memberikan Seruni satu mangkuk besar sup kentang berkuah pucat. Tidak ada garnish, tidak ada roti panggang, tidak ada hiasan daun seledri.

"Makanlah." ucap Aruna singkat. 

Nada suara Aruna seakan sedang menawarkan saham. Seruni mengambil sendok dengan gemetar, mencicipi sesendok kecil. Begitu sup menyentuh lidahnya. Seketika wajah Seruni menegang. Rasanya ... hambar. Seperti air cucian beraroma kentang. Ekspresinya berubah cepat seperti iklan permen nano-nano jaman dulu. Kedua alis naik-turun bagai rollercoster. Kerongkongannya merajuk seperti baru mencicipi lem cair.

Seruni bangkit dari kursi. "Otobiografi ... aku dapat ide!"

Namun, saat Seruni hendak pergi ... Aruna yang duduk di sampingnya refleks menahan tangan Seruni. Lalu, Aruna berdiri tegak mendekatkan wajahnya ke Seruni.

"Hari ini ... Kamu libur." Aruna merapihkan rambut Seruni. "Lanjutkan sarapannya."

Seruni mengernyitkan dahi, kemudian mereka duduk kembali bersamaan. Aruna terus menatap Seruni hingga membuat benaknya menumpukkan pertanyaan tanpa jawaban.

“Hmm ...?" Seruni mengunyah penuh perjuangan. "Ini .. sehat sekali ya.”

Aruna menatap Seruni. “Nggak enak?”

“Bukan, cuma ... sup ini kayak ... kesepian." Seruni tersenyum canggung. "Butuh teman, kayak garam, merica, atau mungkin kaldu.”

Aruna mencondongkan tubuh. “Jadi, kamu ingin bilang supku gagal?”

“Bukan gagal.” balas Seruni cepat, “lebih kayak ... suapan meditasi, bikin sadar betapa pentingnya bumbu kehidupan.”

“Habiskan!” Aruna hampir tersenyum, tapi buru-buru memalingkan wajah. "Jangan mubazir. Nanti makanannya nangis ... yang masak juga ikut nangis."

Seruni bergidik ngeri. Lalu, menelan sisa sup dengan heroik. Suapan demi suapan ia kunyah dengan ekspresi absurd. Alis menyatu, mata perih ingin menangis, bibir meringis. Saat sendok terakhir masuk mulut, tangannya terpeleset. Seketika, segumpal sup kental tumpah ... mendarat tepat di atas tas kerja yang tersampir di kursi Aruna.

"Seruni menahan napas.  "Ini tas ...  yang kalau dijual bisa bayar kontrakan setahun.

Seruni merogoh tisu dari meja. Tangan mungilnya mengusap panik permukaan tas dengan hati-hati. Tapi saat ia bergerak lebih cepat, wajahnya sedekat nadi dengan wajah Aruna ... tanpa sengaja ... secepat embusan angin yang tak sempat ditahan ... bibirnya menyentuh pipi kanan Aruna. Seruni membeku. Aruna tak bergerak ... hanya menatap Seruni sekilas. Sejenak hening mendominasi, hingga hanya terdengar degup jantung mereka yang berpacu tak beraturan.

“Ups! Sumpah nggak sengaja.” Seruni mengangkat dua jari bersimbol peace.

Aruna menarik diri perlahan. Ia mengambil tisu dari tangan Seruni. Lalu, menyeka tasnya dengan sikap tenang. 

“Ini tas mahal." Aruna menatap Seruni dengan sorot mata yang ambigu. "Noda sekotor apa pun mudah dibersihkan.”

Seruni menatap kesal CEO Es Batu. Aruna berdiri tegak, merapihkan jasnya. Meski tak kusut sedikit pun, bahkan masih tampak licin. Aruna menyampirkan tas di bahu, dan berjalan meninggalkan ruang makan tanpa menoleh lagi. Langkahnya, begitu santai seperti tak terjadi apapun. Tapi, jejak dinginnya tertempel membeku bak emoticon salju di lantai marmer hitam.

“Ya Tuhan, barusan aku nyium pipi suamiku ... yang dinginnya kayak freezer lima pintu.” Seruni menampar pelan pipinya. “Dan dia ... justru anggap aku ini noda?!”

Dari balik pintu yang baru saja tertutup otomatis, Aruna berhenti sejenak. Satu tangannya menyentuh pipinya dan tersenyum sipu. Lalu, kembali memasukkan tangan ke saku celana.

Tepat pukul 20.00, suara detik jam terdengar begitu keras di lorong mansion. Seruni berdiri mematung di depan pintu kaca besar yang menghadap ke taman belakang. Ia melangkah perlahan menuju taman belakang sambil menggenggam iPad berisi draf revisi ke-12. Sepatu rumahnya berdentum halus di atas lantai kayu mahal. Saat membuka pintu, embusan angin dingin menyambutnya. Udaranya segar ... berbanding terbalik dengan suasana hatinya. Seruni berdiri di tengah taman, menatap danau kecil.

"Cukup!" Seruni melempar iPad ke atas rumput.

Suara pintu kaca kembali tertutup otomatis terdengar di belakangnya. Seruni tidak menoleh. Ia mengira itu hanya hembusan angin. Tapi, ternyata ... Aruna yang sejak tadi menatap Seruni dari balkon lantai dua, kini berdiri di sana. Mengenakan kemeja putih yang lengannya digulung, tubuhnya tegak seperti patung pancoran.

"Aku bukan robot!" Seruni memeluk dirinya.

Tubuh Seruni masih bergetar, dan mata sembabnya memantulkan bayangan Aruna di danau. Aruna menyelimuti punggung Seruni dengan jasnya dari belakang. Seruni terkejut. Ia membalikkan kepala dan ... Aruna berdiri di bawah sinar rembulan. Wajahnya kosong. Matanya, tajam dan datar seperti biasanya.

“Ngapain ke sini?” ucap Aruna.

Seruni membulatkan matanya. "Seharusnya, aku yang tanya kamu ngapain di sini? Mau nambahin kritik lagi?!"

"Aku sudah bilang." balasnya dingin, "kontrak ini, bukan mainan."

Seruni mengangkat dagu, penuh amarah. “Aku tahu, tapi aku juga bukan boneka!”

"Ngapain kamu di sini, malam-malam?" ucap Aruna.

“Aku butuh ... udara segar." Seruni bangkit pelan, menyeka air mata dengan punggung tangannya. "Di dalam terlalu ... penuh emosi.”

“Kamu emosi?” Aruna mencondongkan tubuh. “Kenapa?”

“Lucu ya pertanyaan kamu." Seruni tertawa kering. "Padahal penyebabnya ... berdiri persis di depan aku sekarang.”

Aruna menaikan alisnya. Seruni melanjutkan ledakan amarahnya.

“Setiap kali aku berusaha bikin suasana jadi hangat, kamu malah makin dingin. Aku coba jadi istri baik ... kontrak atau nggak, aku tetap manusia, Aruna!” ucap Seruni.

Tatapan Aruna tetap dingin. Tapi ia melangkah pelan, mendekati Seruni yang kini mundur selangkah. Aruna berhenti hanya satu meter dari Seruni. Lalu, dari saku kemejanya, ia mengeluarkan selembar kertas.

Seruni menyipitkan mata. “Apa itu?”

“Perjanjian tambahan.” Aruna mengangkatnya tinggi.

Seruni melempar jas Aruna. “Larangan Jatuh Cinta!”

Aruna menangkapnya. Mulut Seruni terbuka. Ia menatap Aruna, lalu menatap kembali kertas itu dan perlahan senyum tipis muncul di wajahnya.

“Wow!” Seruni memicingkan matanya. “Kamu segitu ... takutnya aku naksir kamu?”

Aruna mendesis pelan. “Aku cuma antisipasi.”

“Antisipasi?” Seruni mendekatkan wajahnya ke Aruna. “Apa kamu pikir, aku akan jatuh hati hanya karena kamu tampan dan tajir? Maaf, Pak CEO ... aku lebih suka cowok yang bisa senyum, bukan robot pemusnah semangat!”

Aruna menyerahkan pulpen. “Tanda tangan!”

“Dengan senang hati!” Seruni menyeringai. “Ini ... akan sangat menguntungkan buatku.."

Namun, saat ujung pena nyaris menyentuh kertas, Aruna merebutnya dengan cepat. Ia merobek surat itu jadi dua, lalu membiarkannya jatuh ke tanah.

“Hah! Kau kenapa?” Seruni menatap tajam Aruna.

“Kamu terlalu antusias.” balas Aruna, “mencurigakan.”

“Kau yang buat larangan.” Seruni menggelengkan kepala. “Tapi kau juga yang merobeknya, kau aneh! Bisanya selalu mengoreksi, ini salah, terlalu beginilah ... tapi tak pernah memberitahu seperti apa yang benar? Setiap kali aku revisi, sebanyak itu juga, kamu menghapusnya seperti sampah! Kau tahu nggak, betapa sulitnya jadi aku! Kenapa ... aku setuju nikah kontrak denganmu?"

Detik itu juga wajah Aruna berubah. Pandangan matanya padam seperti cahaya yang dimatikan paksa. Bahunya menegang. Jemarinya mengepal. Aruna perlahan mengalihkan pandangan ke danau, napasnya berat, namun ia masih menjaga nada bicaranya tetap tenang. Terlalu tenang.

“Kalau menurutmu aku seburuk itu ….” suaranya dalam dan lirih, “kamu bisa pergi malam ini juga.”

Dan untuk pertama kalinya, Seruni tidak tahu harus berkata apa ... kata maaf pun tak akan bisa membalikkan waktu. Ia sadar, baru saja menghancurkan hati seseorang yang diam-diam berharap dipahami.

“Supir akan mengantar ke mana pun kau mau." Aruna menghubungi seseorang dari ponselnya. "Pembayaran ghostwriter akan kutransfer sesuai kesepakatan awal dan konferensi pers besok tugas terakhirmu, setelahnya kontrak kita ... selesai.”

Angin bertiup lembut dari arah danau, membuat rambut Seruni berantakan, menutupi bulir basah di pipinya. Tapi, Aruna melihat tangis Seruni.

Aruna menghela napas berat. “Kamu bisa berkemas sekarang!”

Seruni mengerjap. Ia ingin berkata sesuatu. Tapi ... mulutnya terkunci. Akhirnya, ia hanya mengangguk pelan. Dan saat Seruni melangkah pergi, meninggalkan danau, Aruna teduduk lemas di bangku taman. Matanya menatap air tenang yang kini memantulkan bayangan Seruni yang menjauh ... suara langkahnya menyatu dengan gemericik air terjun mini. Namun, bagi Aruna suara itu lebih menyakitkan daripada teriakan caci-maki Seruni. Setelah, suara pintu kaca tertutup otomatis, Seruni berbalik menatap Aruna. Tapi, begitu Aruna melihat ke arah pintu kaca tidak ada siapa-siapa.

Aruna menggenggam erat kedua tangannya. "Di depan media besok, aku buat kamu milikku selamanya."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Bayangan Sang Miliarder   Sweet Ending: Honeymoon & Resepsi Istimewa

    Kereta malam itu melaju seperti sedang menyusuri rel kenangan. Di kursi berhadapan, Seruni dan Aruna duduk berdekatan, tangan saling menggenggam tanpa banyak kata. Di luar jendela, lampu-lampu kota Paris mulai memudar, digantikan siluet pepohonan yang berlari mundur."Tempat semua ini dimulai ...?" mata Seruni menerawang.“Kau lupa pernah menulis adegan ini di narasi awal autobiografi-ku yang dibatalkan ...,” Aruna melirik Seruni. “Tentang pertemuan kita ... terjadi karena kamu ingin 'menyelamatkan dongeng-mu'.”Seruni mengernyitkan dahi. “Aku bahkan lupa pernah menulisnya ... tapi, bukankah waktu itu kamu langsung menghapusnya?”Aruna tersenyum kecil. “Aku mengirim filenya ke laptop, sebelum menghapusnya.”Seruni menatap Aruna dengan pandangan menggoda.“Jadi ... sejak itu kamu

  • Istri Bayangan Sang Miliarder   Lamaran di Hadapan Dunia

    Dalam setiap dongeng, cinta selalu menemukan jalannya—kadang lewat sepatu kaca, kadang lewat apel beracun, dan kadang … lewat tulisan yang telah selesai. Dan pada akhirnya, semua kisah bahagia selalu dimulai di titik ketika dua jiwa berhenti berlari. Bukan karena dunia berhenti menuntut, tapi karena mereka menemukan seseorang yang membuat setiap langkah terasa pulang.Cinta sejati tidak datang dengan kembang api. Ia datang diam-diam, menyelusup lewat tawa kecil, lewat pelukan yang tertunda, dan lewat air mata yang akhirnya jatuh karena rasa telah menemukan waktu yang tepat.Sorotan lampu mengguyur panggung utama gala malam itu seperti pelangi turun dari langit. Kamera menyorot ke tengah ruangan, ke satu titik di mana semua mata kini tertuju. Aruna berdiri di antara lautan undangan yang memudar di balik cahaya. Namun matanya hanya terpaku pada satu hal—Seruni. Langkah kakinya terasa berat dan rin

  • Istri Bayangan Sang Miliarder   Kalimat yang Tak Pernah Terbit

    Aruna melangkah pelan, tapi setiap hentakan sepatunya di panggung terdengar seperti dentuman di dada Seruni. Sorot lampu menelusuri wajahnya—garis rahang yang dulu pernah ia sentuh, tatapan yang pernah jadi rumahnya, kini menembus ratusan pasang mata yang menatap penasaran. Kalimat berikutnya muncul di layar raksasa, huruf-hurufnya seolah bernafas di antara ketegangan."Kisah kita tidak pernah punya awal yang benar ... tapi izinkan aku menulis akhirnya malam ini."Aruna berhenti tepat di depan Seruni. Hanya satu langkah yang memisahkan mereka. Ruangan penuh sesak itu mendadak senyap, seakan seluruh gala premier hanyalah latar bagi pertemuan ini.Aruna menatap Seruni. “Aku di sini bukan hanya minta maaf, tapi juga untuk minta kesempatan.”Suara Aruna pecah sedikit, namun matanya tidak berpaling. Seruni berdiri kaku. Mikrofon di tangannya bergetar. Mira di

  • Istri Bayangan Sang Miliarder   Semua Mata ke Layar

    Kilatan lampu kamera berpendar seperti bintang-bintang yang meledak di langit malam. Blitz menyambar dari segala arah, menangkap setiap momen. Para undangan yang hadir berpose di depan banner raksasa bertuliskan:"Cinderella Gagal Move On – The Movie"Story by: Seruni Kusuma NingsihBallroom hotel mewah itu menjelma panggung dongeng. Karpet merah terbentang, selebritas, tokoh publik ternama, influencer dan kritikus film berdatangan. Gaun-gaun mewah berkilau di bawah lampu kristal. Berlian berpendar, parfum mewah menebar aroma ke seluruh ruangan. Kamera ratusan media tak henti mengabadikan senyuman dan vibes glamor. Produser kenamaan dan para aktor berpose sambil menandatangani backdrop acara.Namun semua sorot itu tetap tertuju pada satu sosok: Penulis muda yang mengubah luka jadi karya—Seruni Kusuma Ningsih. Ia berdiri di ambang pintu ballroom, menarik napas pan

  • Istri Bayangan Sang Miliarder   Undangan Tanpa Nama

    Hati, jika bisa berbicara ... mungkin akan berkata bahwa mencintai bukan sekadar perkara tinggal atau pergi. Ia adalah pergulatan ego dan rindu, antara ingin menggenggam atau melepaskan sepenuhnya. Namun, sadar bahwa sebuah genggaman bisa saja menyakitkan. Maka membebaskan rasa itu lebih menenangkan. Seiring musim yang berganti, ada luka yang tak bisa sembuh dengan maaf, dan ada cinta yang tak mampu padam, meski waktu mencoba menghapusnya. Terkadang ... ada pula waktu-waktu di mana, masa lalu datang dalam diam—bukan dalam teriakan, bukan dalam air mata, tapi dalam selembar kertas bisu yang menyelipkan detak jantungmu di antara kata-kata yang tak selesai.Tiga hari sebelumnya ... Bel pintu berdenting. Seruni berjalan pelan, membukanya. Ia berdiri mematung di ambang pintu. Amplop hitam elegan bersegel emas tergeletak di lantai. Ia menatapnya, seolah itu adalah pintu ke masa lalu yang telah ia segel rapat-rapat. Jemarinya gemetar saat menarik is

  • Istri Bayangan Sang Miliarder   Dongeng Versi Seruni

    Dalam setiap dongeng yang ditulis dengan pena. Ada segenggam narasi yang hanya bisa ditangisi dalam diam oleh sang putri. Ada cinta yang tak mampu diucapkan, hanya bisa dirindukan dalam doa. Layaknya, kisah Little Mermaid. Rela berkorban, meski akhirnya menjadi butiran buih karena Pangeran menikah dengan seorang putri dari dunia nyata.Sebuah pilihan hati yang terasa seperti berdiri di ujung tebing—entah melompat atau mundur. Dua-duanya sama menyakitkan. Sisa-sisa keheningan menggumpal, mengendap di dasar dada. Membebani tiap langkah menuju keputusan yang tak pernah sederhana. Di persimpangan ini, cinta bukan lagi soal rasa. Tapi keberanian untuk melepaskan ego … atau mempertaruhkan segalanya.Satu tahun telah berlalu. Sejak kepergian Aruna dari sorotan dunia. Waktu terus berjalan, namun luka itu belum kering sepenuhnya. Dunia Seruni berubah total. Novel yang dulu hanya naskah pribadi penuh air mata kini menj

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status