Suara gaduh dari arah dapur membuat Seruni terbangun lebih cepat dari biasanya. Ia mulai berimajinasi mungkin pelayan sedang menggeser lemari es raksasa atau tikus Ratatouille sedang ber-eksperiment. Bunyi dentingan sendok, spatula beradu dengan panci semakin nyaring memekakan telinga, layaknya gitaris bermain dengan nada kacau.
Seruni menyipitkan mata. "Apa MasterChef lagi syuting di sini?"
Ia kemudian melirik jam antik menggantung di dinding marmer, berbingkai ukiran detail daun anggur dan singa kecil di puncaknya. Jarum panjangnya terdiam menyentuh pukul empat. Matanya masih terasa berat, lalu terlelap lagi. Hingga, tepat pukul 06.00 ... Seruni melangkah keluar kamar masih mengenakan piyama kartun bergambar kucing terbang. Langkahnya gontai, rambut awut-awutannya menjuntai ke segala arah seperti sapu ijuk yang kehilangan gagangnya.
Begitu menyusuri lorong ke arah ruang makan ... Seruni mencium aroma kentang rebus memenuhi udara, tapi bukan aroma yang menggugah selera. Lebih mirip seperti ... air rendaman panci yang lupa dibuang semalaman. Pemandangan mencengangkan tersaji di hadapannya seketika membuat matanya membelalak. Seorang Aruna Mahadewa, si CEO berhati dingin, sedang menuangkan sup dari panci ke mangkuk keramik.
Seruni mengucek kedua matanya berulang kali. "Fix! Pasti mimpi."
Tiba-tiba, Aruna menepuk pelan bahu Seruni hingga membuat tubuhnya terpental sejauh 3 meter. Ia benar-benar terkejut dan kali ini merasa, bahwa Aruna lebih menakutkan dari hantu.
Aruna menarik kursi. “Duduk!”
Seruni tepaku menatap Aruna. Ia bengong seperti melihat dinosaurus hidup. Aruna hari ini sangat aneh hingga Seruni berpikir Aruna sedang merencanakan sesuatu yang membahayakan. Seruni merapatkan kedua kakinya, menurunkan napas pelan. Lalu, menurunkan tubuhnya perlahan ke kursi seolah takut kena jebakan mengerikan seperti di film squid game. Aruna memberikan Seruni satu mangkuk besar sup kentang berkuah pucat. Tidak ada garnish, tidak ada roti panggang, tidak ada hiasan daun seledri.
"Makanlah." ucap Aruna singkat.
Nada suara Aruna seakan sedang menawarkan saham. Seruni mengambil sendok dengan gemetar, mencicipi sesendok kecil. Begitu sup menyentuh lidahnya. Seketika wajah Seruni menegang. Rasanya ... hambar. Seperti air cucian beraroma kentang. Ekspresinya berubah cepat seperti iklan permen nano-nano jaman dulu. Kedua alis naik-turun bagai rollercoster. Kerongkongannya merajuk seperti baru mencicipi lem cair.
Seruni bangkit dari kursi. "Otobiografi ... aku dapat ide!"
Namun, saat Seruni hendak pergi ... Aruna yang duduk di sampingnya refleks menahan tangan Seruni. Lalu, Aruna berdiri tegak mendekatkan wajahnya ke Seruni.
"Hari ini ... Kamu libur." Aruna merapihkan rambut Seruni. "Lanjutkan sarapannya."
Seruni mengernyitkan dahi, kemudian mereka duduk kembali bersamaan. Aruna terus menatap Seruni hingga membuat benaknya menumpukkan pertanyaan tanpa jawaban.
“Hmm ...?" Seruni mengunyah penuh perjuangan. "Ini .. sehat sekali ya.”
Aruna menatap Seruni. “Nggak enak?”
“Bukan, cuma ... sup ini kayak ... kesepian." Seruni tersenyum canggung. "Butuh teman, kayak garam, merica, atau mungkin kaldu.”
Aruna mencondongkan tubuh. “Jadi, kamu ingin bilang supku gagal?”
“Bukan gagal.” balas Seruni cepat, “lebih kayak ... suapan meditasi, bikin sadar betapa pentingnya bumbu kehidupan.”
“Habiskan!” Aruna hampir tersenyum, tapi buru-buru memalingkan wajah. "Jangan mubazir. Nanti makanannya nangis ... yang masak juga ikut nangis."
Seruni bergidik ngeri. Lalu, menelan sisa sup dengan heroik. Suapan demi suapan ia kunyah dengan ekspresi absurd. Alis menyatu, mata perih ingin menangis, bibir meringis. Saat sendok terakhir masuk mulut, tangannya terpeleset. Seketika, segumpal sup kental tumpah ... mendarat tepat di atas tas kerja yang tersampir di kursi Aruna.
"Seruni menahan napas. "Ini tas ... yang kalau dijual bisa bayar kontrakan setahun.
Seruni merogoh tisu dari meja. Tangan mungilnya mengusap panik permukaan tas dengan hati-hati. Tapi saat ia bergerak lebih cepat, wajahnya sedekat nadi dengan wajah Aruna ... tanpa sengaja ... secepat embusan angin yang tak sempat ditahan ... bibirnya menyentuh pipi kanan Aruna. Seruni membeku. Aruna tak bergerak ... hanya menatap Seruni sekilas. Sejenak hening mendominasi, hingga hanya terdengar degup jantung mereka yang berpacu tak beraturan.
“Ups! Sumpah nggak sengaja.” Seruni mengangkat dua jari bersimbol peace.
Aruna menarik diri perlahan. Ia mengambil tisu dari tangan Seruni. Lalu, menyeka tasnya dengan sikap tenang.
“Ini tas mahal." Aruna menatap Seruni dengan sorot mata yang ambigu. "Noda sekotor apa pun mudah dibersihkan.”
Seruni menatap kesal CEO Es Batu. Aruna berdiri tegak, merapihkan jasnya. Meski tak kusut sedikit pun, bahkan masih tampak licin. Aruna menyampirkan tas di bahu, dan berjalan meninggalkan ruang makan tanpa menoleh lagi. Langkahnya, begitu santai seperti tak terjadi apapun. Tapi, jejak dinginnya tertempel membeku bak emoticon salju di lantai marmer hitam.
“Ya Tuhan, barusan aku nyium pipi suamiku ... yang dinginnya kayak freezer lima pintu.” Seruni menampar pelan pipinya. “Dan dia ... justru anggap aku ini noda?!”
Dari balik pintu yang baru saja tertutup otomatis, Aruna berhenti sejenak. Satu tangannya menyentuh pipinya dan tersenyum sipu. Lalu, kembali memasukkan tangan ke saku celana.
Tepat pukul 20.00, suara detik jam terdengar begitu keras di lorong mansion. Seruni berdiri mematung di depan pintu kaca besar yang menghadap ke taman belakang. Ia melangkah perlahan menuju taman belakang sambil menggenggam iPad berisi draf revisi ke-12. Sepatu rumahnya berdentum halus di atas lantai kayu mahal. Saat membuka pintu, embusan angin dingin menyambutnya. Udaranya segar ... berbanding terbalik dengan suasana hatinya. Seruni berdiri di tengah taman, menatap danau kecil.
"Cukup!" Seruni melempar iPad ke atas rumput.
Suara pintu kaca kembali tertutup otomatis terdengar di belakangnya. Seruni tidak menoleh. Ia mengira itu hanya hembusan angin. Tapi, ternyata ... Aruna yang sejak tadi menatap Seruni dari balkon lantai dua, kini berdiri di sana. Mengenakan kemeja putih yang lengannya digulung, tubuhnya tegak seperti patung pancoran.
"Aku bukan robot!" Seruni memeluk dirinya.
Tubuh Seruni masih bergetar, dan mata sembabnya memantulkan bayangan Aruna di danau. Aruna menyelimuti punggung Seruni dengan jasnya dari belakang. Seruni terkejut. Ia membalikkan kepala dan ... Aruna berdiri di bawah sinar rembulan. Wajahnya kosong. Matanya, tajam dan datar seperti biasanya.
“Ngapain ke sini?” ucap Aruna.
Seruni membulatkan matanya. "Seharusnya, aku yang tanya kamu ngapain di sini? Mau nambahin kritik lagi?!"
"Aku sudah bilang." balasnya dingin, "kontrak ini, bukan mainan."
Seruni mengangkat dagu, penuh amarah. “Aku tahu, tapi aku juga bukan boneka!”
"Ngapain kamu di sini, malam-malam?" ucap Aruna.
“Aku butuh ... udara segar." Seruni bangkit pelan, menyeka air mata dengan punggung tangannya. "Di dalam terlalu ... penuh emosi.”
“Kamu emosi?” Aruna mencondongkan tubuh. “Kenapa?”
“Lucu ya pertanyaan kamu." Seruni tertawa kering. "Padahal penyebabnya ... berdiri persis di depan aku sekarang.”
Aruna menaikan alisnya. Seruni melanjutkan ledakan amarahnya.
“Setiap kali aku berusaha bikin suasana jadi hangat, kamu malah makin dingin. Aku coba jadi istri baik ... kontrak atau nggak, aku tetap manusia, Aruna!” ucap Seruni.
Tatapan Aruna tetap dingin. Tapi ia melangkah pelan, mendekati Seruni yang kini mundur selangkah. Aruna berhenti hanya satu meter dari Seruni. Lalu, dari saku kemejanya, ia mengeluarkan selembar kertas.
Seruni menyipitkan mata. “Apa itu?”
“Perjanjian tambahan.” Aruna mengangkatnya tinggi.
Seruni melempar jas Aruna. “Larangan Jatuh Cinta!”
Aruna menangkapnya. Mulut Seruni terbuka. Ia menatap Aruna, lalu menatap kembali kertas itu dan perlahan senyum tipis muncul di wajahnya.
“Wow!” Seruni memicingkan matanya. “Kamu segitu ... takutnya aku naksir kamu?”
Aruna mendesis pelan. “Aku cuma antisipasi.”
“Antisipasi?” Seruni mendekatkan wajahnya ke Aruna. “Apa kamu pikir, aku akan jatuh hati hanya karena kamu tampan dan tajir? Maaf, Pak CEO ... aku lebih suka cowok yang bisa senyum, bukan robot pemusnah semangat!”
Aruna menyerahkan pulpen. “Tanda tangan!”
“Dengan senang hati!” Seruni menyeringai. “Ini ... akan sangat menguntungkan buatku.."
Namun, saat ujung pena nyaris menyentuh kertas, Aruna merebutnya dengan cepat. Ia merobek surat itu jadi dua, lalu membiarkannya jatuh ke tanah.
“Hah! Kau kenapa?” Seruni menatap tajam Aruna.
“Kamu terlalu antusias.” balas Aruna, “mencurigakan.”
“Kau yang buat larangan.” Seruni menggelengkan kepala. “Tapi kau juga yang merobeknya, kau aneh! Bisanya selalu mengoreksi, ini salah, terlalu beginilah ... tapi tak pernah memberitahu seperti apa yang benar? Setiap kali aku revisi, sebanyak itu juga, kamu menghapusnya seperti sampah! Kau tahu nggak, betapa sulitnya jadi aku! Kenapa ... aku setuju nikah kontrak denganmu?"
Detik itu juga wajah Aruna berubah. Pandangan matanya padam seperti cahaya yang dimatikan paksa. Bahunya menegang. Jemarinya mengepal. Aruna perlahan mengalihkan pandangan ke danau, napasnya berat, namun ia masih menjaga nada bicaranya tetap tenang. Terlalu tenang.
“Kalau menurutmu aku seburuk itu ….” suaranya dalam dan lirih, “kamu bisa pergi malam ini juga.”
Dan untuk pertama kalinya, Seruni tidak tahu harus berkata apa ... kata maaf pun tak akan bisa membalikkan waktu. Ia sadar, baru saja menghancurkan hati seseorang yang diam-diam berharap dipahami.
“Supir akan mengantar ke mana pun kau mau." Aruna menghubungi seseorang dari ponselnya. "Pembayaran ghostwriter akan kutransfer sesuai kesepakatan awal dan konferensi pers besok tugas terakhirmu, setelahnya kontrak kita ... selesai.”
Angin bertiup lembut dari arah danau, membuat rambut Seruni berantakan, menutupi bulir basah di pipinya. Tapi, Aruna melihat tangis Seruni.
Aruna menghela napas berat. “Kamu bisa berkemas sekarang!”
Seruni mengerjap. Ia ingin berkata sesuatu. Tapi ... mulutnya terkunci. Akhirnya, ia hanya mengangguk pelan. Dan saat Seruni melangkah pergi, meninggalkan danau, Aruna teduduk lemas di bangku taman. Matanya menatap air tenang yang kini memantulkan bayangan Seruni yang menjauh ... suara langkahnya menyatu dengan gemericik air terjun mini. Namun, bagi Aruna suara itu lebih menyakitkan daripada teriakan caci-maki Seruni. Setelah, suara pintu kaca tertutup otomatis, Seruni berbalik menatap Aruna. Tapi, begitu Aruna melihat ke arah pintu kaca tidak ada siapa-siapa.
Aruna menggenggam erat kedua tangannya. "Di depan media besok, aku buat kamu milikku selamanya."
"Aku ... Ingin membawamu, tapi kamu hanya pinjaman." Seruni meletakkan boneka Olaf di atas bantal. "Selamat tinggal."Malam itu, Seruni melangkah perlahan keluar kamar, pintu otomatis telah terbuka. Tapi, Seruni masih berdiri di ambang pintu."Besok aja perginya." Seruni menutup mulutnya yang menguap. "Ngantuk banget."Seruni meletakkan ranselnya di lantai, dekat ranjang mewahnya. Lalu, menjatuhkan tubuhnya di atas kasur level premium. Seruni memejamkan matanya sambil memeluk Olaf.Pagi itu, langit masih gelap. Burung pun belum sempat bernyanyi. Tapi, suara langkah sepatu kulit terdengar berderap cepat di sepanjang lorong mansion. Aruna berlari menuruni anak tangga. Napasnya terputus-putus. Satu tangan menggenggam gagang tangga, tangan lainnya memegang ponsel yang semalam tak kunjung berdering. Semalaman matanya terjaga 24 jam. Ia bahkan, belum mengganti pakaian semalam. Kemeja putih yang lengannya di gulung. Suasana mansion pagi itu begitu sunyi. Bahkan, suara detik jam di lorong te
Suara gaduh dari arah dapur membuat Seruni terbangun lebih cepat dari biasanya. Ia mulai berimajinasi mungkin pelayan sedang menggeser lemari es raksasa atau tikus Ratatouille sedang ber-eksperiment. Bunyi dentingan sendok, spatula beradu dengan panci semakin nyaring memekakan telinga, layaknya gitaris bermain dengan nada kacau.Seruni menyipitkan mata. "Apa MasterChef lagi syuting di sini?"Ia kemudian melirik jam antik menggantung di dinding marmer, berbingkai ukiran detail daun anggur dan singa kecil di puncaknya. Jarum panjangnya terdiam menyentuh pukul empat. Matanya masih terasa berat, lalu terlelap lagi. Hingga, tepat pukul 06.00 ... Seruni melangkah keluar kamar masih mengenakan piyama kartun bergambar kucing terbang. Langkahnya gontai, rambut awut-awutannya menjuntai ke segala arah seperti sapu ijuk yang kehilangan gagangnya.Begitu menyusuri lorong ke arah ruang makan ... Seruni mencium aroma kentang rebus memenuhi udara, tapi bukan aroma yang menggugah selera. Lebih mirip s
Seruni terdiam beku ... derap langkah kaki itu beradu cepat dengan marmer putih di kamarnya dan terdengar semakin mendekat ke arah tempat tidurnya. Suaranya menghantam ruang sunyi yang seirama dentingan waktu, seakan berniat memburu sesuatu. Seketika, Seruni langsung duduk tegak dari kasur. Ia tergesa menyisir rambutnya pakai jari. Lalu, memasang senyum manis seperti siap photoshoot dadakan. Tapi ternyata ... bukan Aruna yang muncul. Seorang wanita paruh baya datang membawa nampan perak mewah ala kerajaan dan sebuah catatan.“Dari Pak Aruna.” ucapnya datar sambil menyerahkan gelas berisi susu segar.Seruni tersenyum ramah. "Terima Kasih."Seketika itu juga, perut Seruni berbunyi nyaring seperti ayam jago di pagi hari. Tubuhnya melakukan aksi protes karena sejak tiba di rumah Aruna, ia hanya makan beberapa potong buah-buahan. Seruni langsung menegak susu pemberian dari Aruna tersebut dalam sekali teguk, hingga tetes terakhir. Dan entah kenapa ... detik itu hatinya men-deklarasikan, bah
Langkah-langkah panjang Aruna yang tanpa jeda membuat Seruni harus setengah berlari kecil mengejar di belakangnya, seperti anak ayam nyasar di lorong istana yang terlalu luas untuk kaki mungil Seruni.“Kamarmu, biar kutunjukkan.” Aruna melirik Seruni tanpa menoleh. Tiba-tiba tanpa sadar Aruna tersenyum, meski hanya setipis helai benang terbagi tujuh saat melihat wanita imut di belakangnya salah tingkah. Seruni menepuk-nepuk pelan jidatnya, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya dan berjalan dengan wajah tertunduk. Saat itu rasanya Seruni ingin menutup mukanya pakai gulungan karpet Persia yang mereka lewati barusan,. Seketika, kedua pipinya memerah seperti kepiting rebus dan itu bukan sekedar metafora, tapi realita. Seruni berusaha keras menyembunyikan rasa malu yang merasuk hingga ke tulang ekor."Ya, ampun!" Seruni mengipas-ngipaskan tangan ke wajahnya.Dalam suhu udara yang super dingin, Seruni merasa kulit mukanya seperti terbakar. Pikirannya baru saja mengimajinasikan hal bodoh tent
Gaun itu menggantung seperti beban yang memberatkan di tubuh Seruni. Seperti ujian penuh air mata. Tapi, bukan karena bahannya tidak terbuat dari sutra lembut atau satin yang berkilau seperti di dongeng. Bukan juga karena bajunya hanya kain putih murahan yang gatal di pinggang dan terlalu sempit di dada atau bahkan, bukan juga karena resleting belakangnya sempat macet hingga Mira harus menariknya paksa dengan gigi terkatup dan mulut mengumpat pelan. Namun, karena pernikahan seindah Pangeran dan Putri Salju yang penuh cinta tidak terjadi dalam kisah Seruni hari ini.“Silakan tanda tangan di sini.” notaris mendorong dokumen ke hadapan Seruni dan Aruna. Suara notaris itu terdengar kaku dan lelah seperti sudah menikahkan terlalu banyak pasangan tanpa cinta. Seruni menatap kolom kosong di atas kertas. Nama panjang Aruna sudah tercetak rapi, tanda tangannya lurus, tegas dan mantap. Seperti kontrak kerja jangka pendek sangat berbeda dengan dirinya yang memegang pulpen saja tangannya sudah b
Gedung Z-Gensitex milik Mahadewa Group berdiri menjulang laksana istana kaca di tengah hutan beton. Pilar-pilar ramping menopang bangunan dengan gaya industrial yang artistik, sementara pahatan logam menghiasi lobi seperti lukisan diam yang menegaskan satu hal: tempat ini bukan untuk orang biasa.Seruni berdiri terpaku di depan lobi, telapak tangannya dingin seperti baru tercelup salju. Napasnya sesak, dan jantungnya berdugup hebat seperti tabuhan drum marching band saat grand final.“Jangan bengong, jalan!" Mira mendekap tangan kiri Seruni di ketiaknya. "Sebelum nyali kamu, keburu kabur naik ojek online."Seruni menelan ludah, Mira menyeret langkah Seruni memasuki lift yang bergerak begitu cepat hingga telinganya berdenging. Lantai demi lantai terlewati tanpa suara, seolah dunia di luar terbekukan waktu. Suasana hening menemani mereka menuju lantai tertinggi. Mira berdiri di sebelah Seruni, menatap sahabatnya prihatin."Kenapa gue ikut ke sini? Seruni bergumam lirih, matanya menatap