Beranda / Rumah Tangga / Istri Bayangan Sang Miliarder / Pertengkaran Kecil yang Manis

Share

Pertengkaran Kecil yang Manis

Penulis: Xǐn Rose
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-22 11:51:15

Seruni terdiam beku ... derap langkah kaki itu beradu cepat dengan marmer putih di kamarnya dan terdengar semakin mendekat ke arah tempat tidurnya. Suaranya menghantam ruang sunyi yang seirama dentingan waktu, seakan berniat memburu sesuatu. Seketika, Seruni langsung duduk tegak dari kasur. Ia tergesa menyisir rambutnya pakai jari. Lalu, memasang senyum manis seperti siap photoshoot dadakan. Tapi ternyata ... bukan Aruna yang muncul. Seorang wanita paruh baya datang membawa nampan perak mewah ala kerajaan dan sebuah catatan.

“Dari Pak Aruna.” ucapnya datar sambil menyerahkan gelas berisi susu segar.

Seruni tersenyum ramah. "Terima Kasih."

Seketika itu juga, perut Seruni berbunyi nyaring seperti ayam jago di pagi hari. Tubuhnya melakukan aksi protes karena sejak tiba di rumah Aruna, ia hanya makan beberapa potong buah-buahan. Seruni langsung menegak susu pemberian dari Aruna tersebut dalam sekali teguk, hingga tetes terakhir. Dan entah kenapa ... detik itu hatinya men-deklarasikan, bahwa Aruna adalah 'penyelamat hidupnya' yang membuatnya terbebas dari perih lambung yang pasti akan menyiksanya semalaman.

Setelah tugasnya terlaksana, pelayan suruhan Aruna itu keluar dari kamar Seruni dan pintu otomatis pun tertutup kembali. Seruni mengambil kertas kecil di pangkuannya, note itu diitulis tangan, kalimatnya tegas, singkat, padat dan jelas. Lalu, ia membacanya perlahan dan terkejut dengan imajinasinya sendiri.

"Tugas ghostwriter dimulai besok jam 07.00." Seruni terbayang wajah dingin Aruna muncul di tengah kertas. "Lantai dua, lorong kanan. Jangan telat!"

Seruni menggelengkan kepala untuk menepis bayangan Aruna dari mata dan pikirannya. Lalu, memgambil napas dalam-dalam. Lalu, melanjutkan ritual malam pertama pernikahan absurd-nya itu dengan keluhan tentang Aruna ... CEO berhati es.

“Suami macam apa ini?" Seruni meremas kertas itu, "Kasih memo, kayak atasan HRD!"

Tapi di balik dengusan kesal, terselip rasa penasaran yang tak bisa Seruni hindari tentang pria itu: Aruna. Tentang batas yang mereka bangun berasaskan janji pernikahan absurd untuk tidak saling jatuh cinta dan Seruni tak tahu ... Bahwa malam ini adalah malam terakhir, ia bisa tidur tenang tanpa kegelisahan. Beberapa detik kemudian, Seruni menguap beberapa kali, matanya mulai berat dan ia terlelap pulas seperti putri tidur dalam peti kaca yang menunggu sang pangeran membangunkannya dengan penuh cinta. Namun, di alam mimpi pun adegan romantis itu belum terjadi untuk kisahnya.

Keesokan paginya, tepat pukul tujuh tanpa kurang sedetik pun dengan langkah hati-hati dan me-lafalkan doa, Seruni masuk ke ruang kerja Aruna yang seperti goa. Di ruangan, Aruna sudah duduk di balik meja besar dengan laptop terbuka. Wajahnya sangat serius, ia sedang menilai proposal merger senilai miliaran dollar dan saat Seruni hendak menyapa, Aruna bersikap arogan. Ia langsung berkata tanpa mengangkat kepala.

“Draft keseluruhan dan bab pertama. Tulis sekarang!” Aruna sibuk menganalisa lembaran kertas berharga di hadapannya.

Dan detik itu juga Seruni sadar, bahwa ia sedang menghadapi gunung es terbeku di kutub utara dan penderitaan sebenarnya baru saja dimulai sekarang dan hari ini untuk pertama kali dalam sejarah hidupnya, Seruni siap menyatakan 'perang'! Bukan pada Aruna. Bukan pada siapa pun. Tapi, tertuju untuk dirinya sendiri!

"Ini draft outline dan bab satu." Seruni meletakkan iPad di hadapan Aruna yang duduk dengan pose CEO-nya, tegak, kaku, dan tanpa senyum.

Aruna tidak langsung bicara. Ia membaca dan terus membaca. Sementara Seruni duduk di seberang, menanti dengan jantung yang berdebar tak karuan. Setelah lima menit yang terasa seperti lima tahun, Aruna mengangkat wajahnya.

"Kalimat ini terlalu dramatis." Aruna menunjuk layar iPad Seruni. "Apa kamu pikir, saya karakter fiksi?"

Seruni membuka mulut, tapi tak sempat menjawab karena Aruna sudah menggeser iPad ke arahnya. Mata Aruna menyorot tajam seluruh tulisan Seruni. Mulai dari paragraf pembuka, paragraf tengah, paragraf selanjutnya hingga akhir. Seruni hanya bisa memasang wajah kecut, saat jari Aruna berkali-kali meng-klik tombol delete. Namun, Seruni hanya istigfar dalam hati, ia masih sanggup bersabar menahan api kemarahannya. Begitu pun dengan pagi berikutnya, Seruni menyerahkan hasil revisi yang ketiga kalinya. Aruna masih bereaksi sama. Respon Seruni pun masih sa-bar.

"Terlalu pribadi." Aruna menunjuk paragraf yang terletak di tengah. " Aku bukan tokoh romantis."

Dan begitu pun hari-hari selanjutnya. Aruna masih bersikap dingin dan ketus. Ia masih belum juga menyetujui tulisan Seruni. Bahkan, pagi ini pun ... kalimat kritik Aruna lebih sadis dari hari-hari sebelumnya.

"Kamu nulis pakai logika atau," ucap Aruna curiga, "pakai data yang tinggal copy-paste?"

Seruni berkali-kali menahan napas kuat-kuat, lalu berkali-kali pula menghembuskannya perlahan. Ia hanya terdiam menatap benci pada jari telunjuk Aruna yang begitu buas seperti nyamuk yang haus darah. Ia tak hentinya, terus saja menekan icon keranjang sampah pada setiap tulisannya.

"Ulangi!" Aruna melempar pelan iPad ke arah Seruni.

Seruni menghela napas. Ia sudah menyerahkan draf kesepuluhnya dan hanya berakhir dengan satu kata dari Aruna yang cukup untuk membuat semangatnya remuk. Di kamarnya, Seruni hampir bangkit dan melempar iPad-nya. Tapi, tidak jadi ... ia memilih untuk memeluk bantal di pojokkan kasur.

Sudah lima hari, Seruni tinggal di rumah Aruna Mahadewa. Lima hari itu pun, ia merasa seperti hidup di negeri salju. Seruni juga merasa seperti Putri Belle yang tertawan di istana Pangeran Beast. Rumah itu ... terlalu mewah dan 'dingin' untuk dirinya. Dimata Seruni, sosok Aruna layaknya raja kutub berhati gletser. Aruna adalah musim dingin yang tak pernah mencair. Bahkan, seekor Penguin Kaisar pun akan membeku kalau berada di dekatnya.

Sejak menikah dengan Aruna, Seruni harus memaksakan diri untuk terbiasa hidup dalam diam. Ia makan sendiri, bekerja sendiri, tidur sendiri. Setiap malam, Seruni merasa seperti tidur di dalam kulkas. Satu-satunya moment Seruni tidak merasa sendiri di kastil megah itu hanyalah ketika interaksinya dengan Aruna tiba, yaitu saat ia menyerahkan draft autobiografi tulisannya. Namun itu pun, berakhir dengan hati yang patah. Seruni merasa sudah bekerja keras menulis versi terbaik, tapi ... Aruna men-delete semuanya tanpa ragu seperti monster Hibrida yang ahli menimbulkan kecemasan psikologis.

Hingga pagi itu, kesabaran Seruni mencapai puncaknya. Tepat di ujung ubun-ubun, emosinya membara. Saat Seruni masuk ruangan, Aruna sudah duduk di balik meja kerja Seruni. Aruna mengenakan setelan abu-abu, wajahnya ... seperti Excel Sheet yang terus menghitung kalkulasi profit investasi. Seketika, Seruni rasanya ingin melempar iPad ke wajah pria di depannya itu, tapi ...  sepertinya ia lebih ingin menangis saat mendengar kalimat tajam untuk kesekian kalinya dari mulut Aruna.

"Ulang lagi semua dari nol."  Aruna menggeser iPad ke arah seruni. "Tanpa ... drama!"

"Hah! Mulai dari nol? Dikira pom bensin." protes Seruni, "Ini tentang hidup kamu ... Masa kecil, mimpi, trauma ... yang semuanya ada nilai emosinya."

"Aku tak butuh empati, aku butuh efisiensi." Aruna bangkit dari kursinya. “Kalau kamu tak bisa profesional, kontrak kita akan berakhir hari ini juga.”

"Anda memang cocok hidup di spreadsheet, Pak!" ucap Seruni ketus.

Seruni mengepalkan tangan di bawah meja karena Aruna berjalan keluar tanpa mendengar sepatah pun keluhannya. Begitu Aruna pergi, emosi Seruni pecah. Langkah panjang Aruna berderap pelan, tapi bagi Seruni terdengar seperti gemuruh yang menyakitkan. Pintu otomatis tertutup perlahan, Seruni mematung di kesunyian yang mendominasi ruangan. Udara dingin menusuk hingga ke hati Seruni. Lalu perlahan, wajahnya tertunduk lemas. Ia merasa marah juga frustrasi. Tapi lebih dari itu ... ia merasa kecil, seperti pekerja rendahan yang tidak dihargai.

Seruni termenung, ia menatap boneka kecil di atas meja kerjanya. Sejak awal benda imut itu sudah duduk manis di sana. Seruni bahkan, sempat senyum-senyum sendiri kala itu karena ia berpikir Aruna yang sengaja memberikan sebagai suntikkan semangat untuknya. Tapi, kini ... Seruni merasa harus mengembalikan pada pemiliknya.

Seruni melemparkan boneka itu ke pintu. “Dasar CEO menyebalkan!”

Namun, detik itu juga pintu otomatis tiba-tiba terbuka lebar. Sebuah tangan besar menangkapnya. Seruni melongo seperti baru makan seblak setan level 100, napasnya berat. Boneka Olaf yang tadi nyaris mendarat di kepala Aruna, kini terdiam beku di tangan Aruna, terjepit di seluruh genggaman jari-jarinya yang kokoh dan dingin seperti ekspresinya saat ini.

“Apa kau ini anak kecil?!” Aruna melebarkan matanya.

Lima hari yang lalu, Aruna memang menyuruh salah satu staf-nya untuk membeli dan meletakkan benda kecil yang cocok untuk wanita di meja kerja Seruni. Tapi, Aruna tidak menyangka kalau benda itu adalah boneka imut yang ia genggam saat ini.

Seruni membeku. Ia cemas dengan reaksi selanjutnya dari pria dingin tersebut. Tapi aneh ... Aruna hanya terdiam dengan tatapan kosong. Seruni merasa bersalah, ia mengkhawatirkan kesehatan mental Aruna. Seruni berpikir jangan-jangan ... Aruna mengalami shock berlebih atau gangguan psikis lainnya. Ia menatap iba ke arah Aruna dan hendak menghampirinya. Tapi, tiba-tiba ... Aruna menatapnya tajam hingga membuat Seruni kikuk.

 “Aku ... sengaja, eh tidak." Seruni menggaruk-garuk kepala. "Eh,  gimana?"

“Lemparanmu payah." Aruna melangkah masuk ke ruang kerja Seruni.

Aruna berhenti sejenak memandangi boneka itu lama. Gumpalan putih menyerupai manusia salju mungil dengan wortel bengkok yang menempel di hidungnya. Tubuhnya ... tersusun dari tiga bulatan putih halus mengkilap serta kedua bola matanya bundar, berbinar, senyumnya lebar dan ... Tangan rantingnya terbentang lebar, seolah hendak memeluk siapa pun yang datang.

Aruna memutar boneka itu di tangannya. “Hewan apa ini?”

“Itu Olaf, manusia salju.” balas Seruni cepat, “Kau pikir apa? Tikus?”

“Lucu.” ucap Aruna ketus.

Aruna bergerak masif ke arah Seruni, ia menatap Seruni lama. Terlalu lama. Namun, saat Seruni bersiap mundur. Aruna bergerak lebih cepat dari angin, ia berjalan ke meja kerja Seruni.

"Aku tak butuh, manusia yang baperan." Aruna maju selangkah mendekat ke arah Seruni. "Kalau kau ingin bertahan, ubah caramu memandang dunia.”

Seruni ingin sekali membalas kata-kata tajam Aruna yang seperti hujan es yang menghantam tepat ke dadanya itu ... tapi, sebelum Seruni sempat membuka mulut ... Aruna terus melangkah pelan, selangkah demi selangkah. Sekarang, ia berdiri begitu dekat dengan Seruni. Tubuh Aruna hanya sejengkal darinya. Bahkan, Seruni bisa mencium aroma parfumnya yang elegan yang berupa campuran wood, mint dan sesuatu yang ... sunyi. Seruni yang terlalu fokus menghirup parfum Aruna yang seperti aromatheraphy itu, tiba-tiba terkejut ketika menyadari wajah Aruna hanya berjarak 7 centimeter dari matanya.

“Jangan menulis aku seperti tokoh dongeng, aku bukan pangeran." Aruna menyapu lembut poni Seruni yang nyaris menutupi matanya. "Aku bukan pria ... yang akan jatuh cinta hanya karena kau menulis dengan perasaan.”

Seruni tercekat. “Aku nggak minta itu.”

 “Bagus." Aruna mendekatkan wajahnya. “Karena itu berbahaya. Untukmu … dan untukku.”

Seketika, Seruni merasa sesak. Ia merasakan panas napas Aruna di kulitnya hingga membuat detak jantungnya seakan terhenti sejenak. 

"Bahaya?" bisik Seruni.

"Ya berbahaya, karena aku tidak bisa menjamin ...." Aruna menghentikan ucapannya karena tak berniat melanjutannya.

Seruni menatap Aruna dalam, berusaha membaca pikiran dan isi hati Aruna. Namun, Aruna segera menarik diri dan mundur selangkah. Dengan tergesa Aruna membalikkan tubuhnya dan berjalan keluar ruangan, meninggalkan Seruni yang masih tercengang menatap punggung Aruna.

"Besok, jam enam." Aruna menoleh. "Sarapan denganku.”

Seruni mengangguk pelan tanpa kata. Lalu, ia hanya menatap datar lurus ke depan mendengarkan Aruna melanjutkan bicaranya dengan nada dingin dan ekspresi beku yang sudah Seruni hafal di luar kepala.

“Biar kau tahu, seperti apa hidupku. " Aruna menatap Seruni. "Bukan drama, bukan dongeng.”

Mendengar pernyataan Aruna yang seakan menghina mimpinya, Seruni nyaris meledakkan emosinya. Ia mengangkat kepalan tangan ke arah Aruna. Tapi, pria dingin itu sudah membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju pintu. Namun, saat satu kakinya hendak menyentuh lantai luar ruangan, Aruna tiba-tiba menoleh ke arah Seruni sekali lagi. Seruni buru-buru mengalihkan kepalan tangannya ke arah lain dan ber-acting sedang mengulet seperti baru bangun tidur. Tapi, Aruna mengabaikan sikap absurd Seruni. Lalu, memberi peringatan pada Seruni.

“Oh, satu hal lagi ... besok jaga sikapmu." Aruna menaikkan kedua alisnya. "Kalau kelakuan kekanak-kanakanmu terulang, bersiaplah kemasi kopermu."

Ketika pintu otomatis tertutup perlahan. Seruni mendesah kesal, ia mengulangi kalimat terakhir Aruna itu dengan muka jelek. Lalu, Seruni memandangi Olaf di atas meja yang seakan tersenyum mengejeknya. Ia seketika, menggembungkan pipinya seperti ikan buntal yang tubuh beracun dan berdurinya mengembang saat disentuh demi melindungi diri dari ancaman. Seruni menggenggam erat-erat boneka Olaf, ia ingin melemparnya ke tempat sampah. Tapi akhirnya ... Seruni menghela napas panjang.

"Kamu tidak bersalah." Seruni memeluk boneka Olaf. "Kamu lucu banget sih, gemes."

Sementara, Seruni sibuk menenangkan diri. Aruna bergulat dengan logika dan batinnya. Ia melangkah pelan menyusuri lorong panjang mansion sambil merasakan gejolak aneh. Entah kenapa, bagian dari hatinya yang keras dan letih itu ... tiba-tiba terasa hangat. Dan untuk pertama kalinya sejak pernikahan absurd itu terjadi, hati Aruna terasa hidup ...  dia mendadak ingin setiap detik harinya selalu seru seperti pagi ini. Bersama Seruni ... Istrinya.

Aruna tersenyum tipis. "Mulai besok, aku akan memperlakukanmu dengan cara yang berbeda."

--- To Be Continued

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Bayangan Sang Miliarder   Istri Kontrak Tercinta ...?

    "Aku ... Ingin membawamu, tapi kamu hanya pinjaman." Seruni meletakkan boneka Olaf di atas bantal. "Selamat tinggal."Malam itu, Seruni melangkah perlahan keluar kamar, pintu otomatis telah terbuka. Tapi, Seruni masih berdiri di ambang pintu."Besok aja perginya." Seruni menutup mulutnya yang menguap. "Ngantuk banget."Seruni meletakkan ranselnya di lantai, dekat ranjang mewahnya. Lalu, menjatuhkan tubuhnya di atas kasur level premium. Seruni memejamkan matanya sambil memeluk Olaf.Pagi itu, langit masih gelap. Burung pun belum sempat bernyanyi. Tapi, suara langkah sepatu kulit terdengar berderap cepat di sepanjang lorong mansion. Aruna berlari menuruni anak tangga. Napasnya terputus-putus. Satu tangan menggenggam gagang tangga, tangan lainnya memegang ponsel yang semalam tak kunjung berdering. Semalaman matanya terjaga 24 jam. Ia bahkan, belum mengganti pakaian semalam. Kemeja putih yang lengannya di gulung. Suasana mansion pagi itu begitu sunyi. Bahkan, suara detik jam di lorong te

  • Istri Bayangan Sang Miliarder   Ledakan Emosi Pertama

    Suara gaduh dari arah dapur membuat Seruni terbangun lebih cepat dari biasanya. Ia mulai berimajinasi mungkin pelayan sedang menggeser lemari es raksasa atau tikus Ratatouille sedang ber-eksperiment. Bunyi dentingan sendok, spatula beradu dengan panci semakin nyaring memekakan telinga, layaknya gitaris bermain dengan nada kacau.Seruni menyipitkan mata. "Apa MasterChef lagi syuting di sini?"Ia kemudian melirik jam antik menggantung di dinding marmer, berbingkai ukiran detail daun anggur dan singa kecil di puncaknya. Jarum panjangnya terdiam menyentuh pukul empat. Matanya masih terasa berat, lalu terlelap lagi. Hingga, tepat pukul 06.00 ... Seruni melangkah keluar kamar masih mengenakan piyama kartun bergambar kucing terbang. Langkahnya gontai, rambut awut-awutannya menjuntai ke segala arah seperti sapu ijuk yang kehilangan gagangnya.Begitu menyusuri lorong ke arah ruang makan ... Seruni mencium aroma kentang rebus memenuhi udara, tapi bukan aroma yang menggugah selera. Lebih mirip s

  • Istri Bayangan Sang Miliarder   Pertengkaran Kecil yang Manis

    Seruni terdiam beku ... derap langkah kaki itu beradu cepat dengan marmer putih di kamarnya dan terdengar semakin mendekat ke arah tempat tidurnya. Suaranya menghantam ruang sunyi yang seirama dentingan waktu, seakan berniat memburu sesuatu. Seketika, Seruni langsung duduk tegak dari kasur. Ia tergesa menyisir rambutnya pakai jari. Lalu, memasang senyum manis seperti siap photoshoot dadakan. Tapi ternyata ... bukan Aruna yang muncul. Seorang wanita paruh baya datang membawa nampan perak mewah ala kerajaan dan sebuah catatan.“Dari Pak Aruna.” ucapnya datar sambil menyerahkan gelas berisi susu segar.Seruni tersenyum ramah. "Terima Kasih."Seketika itu juga, perut Seruni berbunyi nyaring seperti ayam jago di pagi hari. Tubuhnya melakukan aksi protes karena sejak tiba di rumah Aruna, ia hanya makan beberapa potong buah-buahan. Seruni langsung menegak susu pemberian dari Aruna tersebut dalam sekali teguk, hingga tetes terakhir. Dan entah kenapa ... detik itu hatinya men-deklarasikan, bah

  • Istri Bayangan Sang Miliarder   Satu Atap. Dua Dunia

    Langkah-langkah panjang Aruna yang tanpa jeda membuat Seruni harus setengah berlari kecil mengejar di belakangnya, seperti anak ayam nyasar di lorong istana yang terlalu luas untuk kaki mungil Seruni.“Kamarmu, biar kutunjukkan.” Aruna melirik Seruni tanpa menoleh. Tiba-tiba tanpa sadar Aruna tersenyum, meski hanya setipis helai benang terbagi tujuh saat melihat wanita imut di belakangnya salah tingkah. Seruni menepuk-nepuk pelan jidatnya, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya dan berjalan dengan wajah tertunduk. Saat itu rasanya Seruni ingin menutup mukanya pakai gulungan karpet Persia yang mereka lewati barusan,. Seketika, kedua pipinya memerah seperti kepiting rebus dan itu bukan sekedar metafora, tapi realita. Seruni berusaha keras menyembunyikan rasa malu yang merasuk hingga ke tulang ekor."Ya, ampun!" Seruni mengipas-ngipaskan tangan ke wajahnya.Dalam suhu udara yang super dingin, Seruni merasa kulit mukanya seperti terbakar. Pikirannya baru saja mengimajinasikan hal bodoh tent

  • Istri Bayangan Sang Miliarder   Janji dibalik Tanda Tangan

    Gaun itu menggantung seperti beban yang memberatkan di tubuh Seruni. Seperti ujian penuh air mata. Tapi, bukan karena bahannya tidak terbuat dari sutra lembut atau satin yang berkilau seperti di dongeng. Bukan juga karena bajunya hanya kain putih murahan yang gatal di pinggang dan terlalu sempit di dada atau bahkan, bukan juga karena resleting belakangnya sempat macet hingga Mira harus menariknya paksa dengan gigi terkatup dan mulut mengumpat pelan. Namun, karena pernikahan seindah Pangeran dan Putri Salju yang penuh cinta tidak terjadi dalam kisah Seruni hari ini.“Silakan tanda tangan di sini.” notaris mendorong dokumen ke hadapan Seruni dan Aruna. Suara notaris itu terdengar kaku dan lelah seperti sudah menikahkan terlalu banyak pasangan tanpa cinta. Seruni menatap kolom kosong di atas kertas. Nama panjang Aruna sudah tercetak rapi, tanda tangannya lurus, tegas dan mantap. Seperti kontrak kerja jangka pendek sangat berbeda dengan dirinya yang memegang pulpen saja tangannya sudah b

  • Istri Bayangan Sang Miliarder   Bertemu CEO Berhati Es Batu

    Gedung Z-Gensitex milik Mahadewa Group berdiri menjulang laksana istana kaca di tengah hutan beton. Pilar-pilar ramping menopang bangunan dengan gaya industrial yang artistik, sementara pahatan logam menghiasi lobi seperti lukisan diam yang menegaskan satu hal: tempat ini bukan untuk orang biasa.Seruni berdiri terpaku di depan lobi, telapak tangannya dingin seperti baru tercelup salju. Napasnya sesak, dan jantungnya berdugup hebat seperti tabuhan drum marching band saat grand final.“Jangan bengong, jalan!" Mira mendekap tangan kiri Seruni di ketiaknya. "Sebelum nyali kamu, keburu kabur naik ojek online."Seruni menelan ludah, Mira menyeret langkah Seruni memasuki lift yang bergerak begitu cepat hingga telinganya berdenging. Lantai demi lantai terlewati tanpa suara, seolah dunia di luar terbekukan waktu. Suasana hening menemani mereka menuju lantai tertinggi. Mira berdiri di sebelah Seruni, menatap sahabatnya prihatin."Kenapa gue ikut ke sini? Seruni bergumam lirih, matanya menatap

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status