Se connecterSeruni terdiam beku ... derap langkah kaki itu beradu cepat dengan marmer putih di kamarnya dan terdengar semakin mendekat ke arah tempat tidurnya. Suaranya menghantam ruang sunyi yang seirama dentingan waktu, seakan berniat memburu sesuatu. Seketika, Seruni langsung duduk tegak dari kasur. Ia tergesa menyisir rambutnya pakai jari. Lalu, memasang senyum manis seperti siap photoshoot dadakan. Tapi ternyata ... bukan Aruna yang muncul. Seorang wanita paruh baya datang membawa nampan perak mewah ala kerajaan dan sebuah catatan.
“Dari Pak Aruna.” ucapnya datar sambil menyerahkan gelas berisi susu segar.
Seruni tersenyum ramah. "Terima Kasih."
Seketika itu juga, perut Seruni berbunyi nyaring seperti ayam jago di pagi hari. Tubuhnya melakukan aksi protes karena sejak tiba di rumah Aruna, ia hanya makan beberapa potong buah-buahan. Seruni langsung menegak susu pemberian dari Aruna tersebut dalam sekali teguk, hingga tetes terakhir. Dan entah kenapa ... detik itu hatinya men-deklarasikan, bahwa Aruna adalah 'penyelamat hidupnya' yang membuatnya terbebas dari perih lambung yang pasti akan menyiksanya semalaman.
Setelah tugasnya terlaksana, pelayan suruhan Aruna itu keluar dari kamar Seruni dan pintu otomatis pun tertutup kembali. Seruni mengambil kertas kecil di pangkuannya, note itu diitulis tangan, kalimatnya tegas, singkat, padat dan jelas. Lalu, ia membacanya perlahan dan terkejut dengan imajinasinya sendiri.
"Tugas ghostwriter dimulai besok jam 07.00." Seruni terbayang wajah dingin Aruna muncul di tengah kertas. "Lantai dua, lorong kanan. Jangan telat!"
Seruni menggelengkan kepala untuk menepis bayangan Aruna dari mata dan pikirannya. Lalu, memgambil napas dalam-dalam. Lalu, melanjutkan ritual malam pertama pernikahan absurd-nya itu dengan keluhan tentang Aruna ... CEO berhati es.
“Suami macam apa ini?" Seruni meremas kertas itu, "Kasih memo, kayak atasan HRD!"
Tapi di balik dengusan kesal, terselip rasa penasaran yang tak bisa Seruni hindari tentang pria itu: Aruna. Tentang batas yang mereka bangun berasaskan janji pernikahan absurd untuk tidak saling jatuh cinta dan Seruni tak tahu ... Bahwa malam ini adalah malam terakhir, ia bisa tidur tenang tanpa kegelisahan. Beberapa detik kemudian, Seruni menguap beberapa kali, matanya mulai berat dan ia terlelap pulas seperti putri tidur dalam peti kaca yang menunggu sang pangeran membangunkannya dengan penuh cinta. Namun, di alam mimpi pun adegan romantis itu belum terjadi untuk kisahnya.
Keesokan paginya, tepat pukul tujuh tanpa kurang sedetik pun dengan langkah hati-hati dan me-lafalkan doa, Seruni masuk ke ruang kerja Aruna yang seperti goa. Di ruangan, Aruna sudah duduk di balik meja besar dengan laptop terbuka. Wajahnya sangat serius, ia sedang menilai proposal merger senilai miliaran dollar dan saat Seruni hendak menyapa, Aruna bersikap arogan. Ia langsung berkata tanpa mengangkat kepala.
“Draft keseluruhan dan bab pertama. Tulis sekarang!” Aruna sibuk menganalisa lembaran kertas berharga di hadapannya.
Dan detik itu juga Seruni sadar, bahwa ia sedang menghadapi gunung es terbeku di kutub utara dan penderitaan sebenarnya baru saja dimulai sekarang dan hari ini untuk pertama kali dalam sejarah hidupnya, Seruni siap menyatakan 'perang'! Bukan pada Aruna. Bukan pada siapa pun. Tapi, tertuju untuk dirinya sendiri!
"Ini draft outline dan bab satu." Seruni meletakkan iPad di hadapan Aruna yang duduk dengan pose CEO-nya, tegak, kaku, dan tanpa senyum.
Aruna tidak langsung bicara. Ia membaca dan terus membaca. Sementara Seruni duduk di seberang, menanti dengan jantung yang berdebar tak karuan. Setelah lima menit yang terasa seperti lima tahun, Aruna mengangkat wajahnya.
"Kalimat ini terlalu dramatis." Aruna menunjuk layar iPad Seruni. "Apa kamu pikir, saya karakter fiksi?"
Seruni membuka mulut, tapi tak sempat menjawab karena Aruna sudah menggeser iPad ke arahnya. Mata Aruna menyorot tajam seluruh tulisan Seruni. Mulai dari paragraf pembuka, paragraf tengah, paragraf selanjutnya hingga akhir. Seruni hanya bisa memasang wajah kecut, saat jari Aruna berkali-kali meng-klik tombol delete. Namun, Seruni hanya istigfar dalam hati, ia masih sanggup bersabar menahan api kemarahannya. Begitu pun dengan pagi berikutnya, Seruni menyerahkan hasil revisi yang ketiga kalinya. Aruna masih bereaksi sama. Respon Seruni pun masih sa-bar.
"Terlalu pribadi." Aruna menunjuk paragraf yang terletak di tengah. " Aku bukan tokoh romantis."
Dan begitu pun hari-hari selanjutnya. Aruna masih bersikap dingin dan ketus. Ia masih belum juga menyetujui tulisan Seruni. Bahkan, pagi ini pun ... kalimat kritik Aruna lebih sadis dari hari-hari sebelumnya.
"Kamu nulis pakai logika atau," ucap Aruna curiga, "pakai data yang tinggal copy-paste?"
Seruni berkali-kali menahan napas kuat-kuat, lalu berkali-kali pula menghembuskannya perlahan. Ia hanya terdiam menatap benci pada jari telunjuk Aruna yang begitu buas seperti nyamuk yang haus darah. Ia tak hentinya, terus saja menekan icon keranjang sampah pada setiap tulisannya.
"Ulangi!" Aruna melempar pelan iPad ke arah Seruni.
Seruni menghela napas. Ia sudah menyerahkan draf kesepuluhnya dan hanya berakhir dengan satu kata dari Aruna yang cukup untuk membuat semangatnya remuk. Di kamarnya, Seruni hampir bangkit dan melempar iPad-nya. Tapi, tidak jadi ... ia memilih untuk memeluk bantal di pojokkan kasur.
Sudah lima hari, Seruni tinggal di rumah Aruna Mahadewa. Lima hari itu pun, ia merasa seperti hidup di negeri salju. Seruni juga merasa seperti Putri Belle yang tertawan di istana Pangeran Beast. Rumah itu ... terlalu mewah dan 'dingin' untuk dirinya. Dimata Seruni, sosok Aruna layaknya raja kutub berhati gletser. Aruna adalah musim dingin yang tak pernah mencair. Bahkan, seekor Penguin Kaisar pun akan membeku kalau berada di dekatnya.
Sejak menikah dengan Aruna, Seruni harus memaksakan diri untuk terbiasa hidup dalam diam. Ia makan sendiri, bekerja sendiri, tidur sendiri. Setiap malam, Seruni merasa seperti tidur di dalam kulkas. Satu-satunya moment Seruni tidak merasa sendiri di kastil megah itu hanyalah ketika interaksinya dengan Aruna tiba, yaitu saat ia menyerahkan draft autobiografi tulisannya. Namun itu pun, berakhir dengan hati yang patah. Seruni merasa sudah bekerja keras menulis versi terbaik, tapi ... Aruna men-delete semuanya tanpa ragu seperti monster Hibrida yang ahli menimbulkan kecemasan psikologis.
Hingga pagi itu, kesabaran Seruni mencapai puncaknya. Tepat di ujung ubun-ubun, emosinya membara. Saat Seruni masuk ruangan, Aruna sudah duduk di balik meja kerja Seruni. Aruna mengenakan setelan abu-abu, wajahnya ... seperti Excel Sheet yang terus menghitung kalkulasi profit investasi. Seketika, Seruni rasanya ingin melempar iPad ke wajah pria di depannya itu, tapi ... sepertinya ia lebih ingin menangis saat mendengar kalimat tajam untuk kesekian kalinya dari mulut Aruna.
"Ulang lagi semua dari nol." Aruna menggeser iPad ke arah seruni. "Tanpa ... drama!"
"Hah! Mulai dari nol? Dikira pom bensin." protes Seruni, "Ini tentang hidup kamu ... Masa kecil, mimpi, trauma ... yang semuanya ada nilai emosinya."
"Aku tak butuh empati, aku butuh efisiensi." Aruna bangkit dari kursinya. “Kalau kamu tak bisa profesional, kontrak kita akan berakhir hari ini juga.”
"Anda memang cocok hidup di spreadsheet, Pak!" ucap Seruni ketus.
Seruni mengepalkan tangan di bawah meja karena Aruna berjalan keluar tanpa mendengar sepatah pun keluhannya. Begitu Aruna pergi, emosi Seruni pecah. Langkah panjang Aruna berderap pelan, tapi bagi Seruni terdengar seperti gemuruh yang menyakitkan. Pintu otomatis tertutup perlahan, Seruni mematung di kesunyian yang mendominasi ruangan. Udara dingin menusuk hingga ke hati Seruni. Lalu perlahan, wajahnya tertunduk lemas. Ia merasa marah juga frustrasi. Tapi lebih dari itu ... ia merasa kecil, seperti pekerja rendahan yang tidak dihargai.
Seruni termenung, ia menatap boneka kecil di atas meja kerjanya. Sejak awal benda imut itu sudah duduk manis di sana. Seruni bahkan, sempat senyum-senyum sendiri kala itu karena ia berpikir Aruna yang sengaja memberikan sebagai suntikkan semangat untuknya. Tapi, kini ... Seruni merasa harus mengembalikan pada pemiliknya.
Seruni melemparkan boneka itu ke pintu. “Dasar CEO menyebalkan!”
Namun, detik itu juga pintu otomatis tiba-tiba terbuka lebar. Sebuah tangan besar menangkapnya. Seruni melongo seperti baru makan seblak setan level 100, napasnya berat. Boneka Olaf yang tadi nyaris mendarat di kepala Aruna, kini terdiam beku di tangan Aruna, terjepit di seluruh genggaman jari-jarinya yang kokoh dan dingin seperti ekspresinya saat ini.
“Apa kau ini anak kecil?!” Aruna melebarkan matanya.
Lima hari yang lalu, Aruna memang menyuruh salah satu staf-nya untuk membeli dan meletakkan benda kecil yang cocok untuk wanita di meja kerja Seruni. Tapi, Aruna tidak menyangka kalau benda itu adalah boneka imut yang ia genggam saat ini.
Seruni membeku. Ia cemas dengan reaksi selanjutnya dari pria dingin tersebut. Tapi aneh ... Aruna hanya terdiam dengan tatapan kosong. Seruni merasa bersalah, ia mengkhawatirkan kesehatan mental Aruna. Seruni berpikir jangan-jangan ... Aruna mengalami shock berlebih atau gangguan psikis lainnya. Ia menatap iba ke arah Aruna dan hendak menghampirinya. Tapi, tiba-tiba ... Aruna menatapnya tajam hingga membuat Seruni kikuk.
“Aku ... sengaja, eh tidak." Seruni menggaruk-garuk kepala. "Eh, gimana?"
“Lemparanmu payah." Aruna melangkah masuk ke ruang kerja Seruni.
Aruna berhenti sejenak memandangi boneka itu lama. Gumpalan putih menyerupai manusia salju mungil dengan wortel bengkok yang menempel di hidungnya. Tubuhnya ... tersusun dari tiga bulatan putih halus mengkilap serta kedua bola matanya bundar, berbinar, senyumnya lebar dan ... Tangan rantingnya terbentang lebar, seolah hendak memeluk siapa pun yang datang.
Aruna memutar boneka itu di tangannya. “Hewan apa ini?”
“Itu Olaf, manusia salju.” balas Seruni cepat, “Kau pikir apa? Tikus?”
“Lucu.” ucap Aruna ketus.
Aruna bergerak masif ke arah Seruni, ia menatap Seruni lama. Terlalu lama. Namun, saat Seruni bersiap mundur. Aruna bergerak lebih cepat dari angin, ia berjalan ke meja kerja Seruni.
"Aku tak butuh, manusia yang baperan." Aruna maju selangkah mendekat ke arah Seruni. "Kalau kau ingin bertahan, ubah caramu memandang dunia.”
Seruni ingin sekali membalas kata-kata tajam Aruna yang seperti hujan es yang menghantam tepat ke dadanya itu ... tapi, sebelum Seruni sempat membuka mulut ... Aruna terus melangkah pelan, selangkah demi selangkah. Sekarang, ia berdiri begitu dekat dengan Seruni. Tubuh Aruna hanya sejengkal darinya. Bahkan, Seruni bisa mencium aroma parfumnya yang elegan yang berupa campuran wood, mint dan sesuatu yang ... sunyi. Seruni yang terlalu fokus menghirup parfum Aruna yang seperti aromatheraphy itu, tiba-tiba terkejut ketika menyadari wajah Aruna hanya berjarak 7 centimeter dari matanya.
“Jangan menulis aku seperti tokoh dongeng, aku bukan pangeran." Aruna menyapu lembut poni Seruni yang nyaris menutupi matanya. "Aku bukan pria ... yang akan jatuh cinta hanya karena kau menulis dengan perasaan.”
Seruni tercekat. “Aku nggak minta itu.”
“Bagus." Aruna mendekatkan wajahnya. “Karena itu berbahaya. Untukmu … dan untukku.”
Seketika, Seruni merasa sesak. Ia merasakan panas napas Aruna di kulitnya hingga membuat detak jantungnya seakan terhenti sejenak.
"Bahaya?" bisik Seruni.
"Ya berbahaya, karena aku tidak bisa menjamin ...." Aruna menghentikan ucapannya karena tak berniat melanjutannya.
Seruni menatap Aruna dalam, berusaha membaca pikiran dan isi hati Aruna. Namun, Aruna segera menarik diri dan mundur selangkah. Dengan tergesa Aruna membalikkan tubuhnya dan berjalan keluar ruangan, meninggalkan Seruni yang masih tercengang menatap punggung Aruna.
"Besok, jam enam." Aruna menoleh. "Sarapan denganku.”
Seruni mengangguk pelan tanpa kata. Lalu, ia hanya menatap datar lurus ke depan mendengarkan Aruna melanjutkan bicaranya dengan nada dingin dan ekspresi beku yang sudah Seruni hafal di luar kepala.
“Biar kau tahu, seperti apa hidupku. " Aruna menatap Seruni. "Bukan drama, bukan dongeng.”
Mendengar pernyataan Aruna yang seakan menghina mimpinya, Seruni nyaris meledakkan emosinya. Ia mengangkat kepalan tangan ke arah Aruna. Tapi, pria dingin itu sudah membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju pintu. Namun, saat satu kakinya hendak menyentuh lantai luar ruangan, Aruna tiba-tiba menoleh ke arah Seruni sekali lagi. Seruni buru-buru mengalihkan kepalan tangannya ke arah lain dan ber-acting sedang mengulet seperti baru bangun tidur. Tapi, Aruna mengabaikan sikap absurd Seruni. Lalu, memberi peringatan pada Seruni.
“Oh, satu hal lagi ... besok jaga sikapmu." Aruna menaikkan kedua alisnya. "Kalau kelakuan kekanak-kanakanmu terulang, bersiaplah kemasi kopermu."
Ketika pintu otomatis tertutup perlahan. Seruni mendesah kesal, ia mengulangi kalimat terakhir Aruna itu dengan muka jelek. Lalu, Seruni memandangi Olaf di atas meja yang seakan tersenyum mengejeknya. Ia seketika, menggembungkan pipinya seperti ikan buntal yang tubuh beracun dan berdurinya mengembang saat disentuh demi melindungi diri dari ancaman. Seruni menggenggam erat-erat boneka Olaf, ia ingin melemparnya ke tempat sampah. Tapi akhirnya ... Seruni menghela napas panjang.
"Kamu tidak bersalah." Seruni memeluk boneka Olaf. "Kamu lucu banget sih, gemes."
Sementara, Seruni sibuk menenangkan diri. Aruna bergulat dengan logika dan batinnya. Ia melangkah pelan menyusuri lorong panjang mansion sambil merasakan gejolak aneh. Entah kenapa, bagian dari hatinya yang keras dan letih itu ... tiba-tiba terasa hangat. Dan untuk pertama kalinya sejak pernikahan absurd itu terjadi, hati Aruna terasa hidup ... dia mendadak ingin setiap detik harinya selalu seru seperti pagi ini. Bersama Seruni ... Istrinya.
Aruna tersenyum tipis. "Mulai besok, aku akan memperlakukanmu dengan cara yang berbeda."
--- To Be Continued
Kereta malam itu melaju seperti sedang menyusuri rel kenangan. Di kursi berhadapan, Seruni dan Aruna duduk berdekatan, tangan saling menggenggam tanpa banyak kata. Di luar jendela, lampu-lampu kota Paris mulai memudar, digantikan siluet pepohonan yang berlari mundur."Tempat semua ini dimulai ...?" mata Seruni menerawang.“Kau lupa pernah menulis adegan ini di narasi awal autobiografi-ku yang dibatalkan ...,” Aruna melirik Seruni. “Tentang pertemuan kita ... terjadi karena kamu ingin 'menyelamatkan dongeng-mu'.”Seruni mengernyitkan dahi. “Aku bahkan lupa pernah menulisnya ... tapi, bukankah waktu itu kamu langsung menghapusnya?”Aruna tersenyum kecil. “Aku mengirim filenya ke laptop, sebelum menghapusnya.”Seruni menatap Aruna dengan pandangan menggoda.“Jadi ... sejak itu kamu
Dalam setiap dongeng, cinta selalu menemukan jalannya—kadang lewat sepatu kaca, kadang lewat apel beracun, dan kadang … lewat tulisan yang telah selesai. Dan pada akhirnya, semua kisah bahagia selalu dimulai di titik ketika dua jiwa berhenti berlari. Bukan karena dunia berhenti menuntut, tapi karena mereka menemukan seseorang yang membuat setiap langkah terasa pulang.Cinta sejati tidak datang dengan kembang api. Ia datang diam-diam, menyelusup lewat tawa kecil, lewat pelukan yang tertunda, dan lewat air mata yang akhirnya jatuh karena rasa telah menemukan waktu yang tepat.Sorotan lampu mengguyur panggung utama gala malam itu seperti pelangi turun dari langit. Kamera menyorot ke tengah ruangan, ke satu titik di mana semua mata kini tertuju. Aruna berdiri di antara lautan undangan yang memudar di balik cahaya. Namun matanya hanya terpaku pada satu hal—Seruni. Langkah kakinya terasa berat dan rin
Aruna melangkah pelan, tapi setiap hentakan sepatunya di panggung terdengar seperti dentuman di dada Seruni. Sorot lampu menelusuri wajahnya—garis rahang yang dulu pernah ia sentuh, tatapan yang pernah jadi rumahnya, kini menembus ratusan pasang mata yang menatap penasaran. Kalimat berikutnya muncul di layar raksasa, huruf-hurufnya seolah bernafas di antara ketegangan."Kisah kita tidak pernah punya awal yang benar ... tapi izinkan aku menulis akhirnya malam ini."Aruna berhenti tepat di depan Seruni. Hanya satu langkah yang memisahkan mereka. Ruangan penuh sesak itu mendadak senyap, seakan seluruh gala premier hanyalah latar bagi pertemuan ini.Aruna menatap Seruni. “Aku di sini bukan hanya minta maaf, tapi juga untuk minta kesempatan.”Suara Aruna pecah sedikit, namun matanya tidak berpaling. Seruni berdiri kaku. Mikrofon di tangannya bergetar. Mira di
Kilatan lampu kamera berpendar seperti bintang-bintang yang meledak di langit malam. Blitz menyambar dari segala arah, menangkap setiap momen. Para undangan yang hadir berpose di depan banner raksasa bertuliskan:"Cinderella Gagal Move On – The Movie"Story by: Seruni Kusuma NingsihBallroom hotel mewah itu menjelma panggung dongeng. Karpet merah terbentang, selebritas, tokoh publik ternama, influencer dan kritikus film berdatangan. Gaun-gaun mewah berkilau di bawah lampu kristal. Berlian berpendar, parfum mewah menebar aroma ke seluruh ruangan. Kamera ratusan media tak henti mengabadikan senyuman dan vibes glamor. Produser kenamaan dan para aktor berpose sambil menandatangani backdrop acara.Namun semua sorot itu tetap tertuju pada satu sosok: Penulis muda yang mengubah luka jadi karya—Seruni Kusuma Ningsih. Ia berdiri di ambang pintu ballroom, menarik napas pan
Hati, jika bisa berbicara ... mungkin akan berkata bahwa mencintai bukan sekadar perkara tinggal atau pergi. Ia adalah pergulatan ego dan rindu, antara ingin menggenggam atau melepaskan sepenuhnya. Namun, sadar bahwa sebuah genggaman bisa saja menyakitkan. Maka membebaskan rasa itu lebih menenangkan. Seiring musim yang berganti, ada luka yang tak bisa sembuh dengan maaf, dan ada cinta yang tak mampu padam, meski waktu mencoba menghapusnya. Terkadang ... ada pula waktu-waktu di mana, masa lalu datang dalam diam—bukan dalam teriakan, bukan dalam air mata, tapi dalam selembar kertas bisu yang menyelipkan detak jantungmu di antara kata-kata yang tak selesai.Tiga hari sebelumnya ... Bel pintu berdenting. Seruni berjalan pelan, membukanya. Ia berdiri mematung di ambang pintu. Amplop hitam elegan bersegel emas tergeletak di lantai. Ia menatapnya, seolah itu adalah pintu ke masa lalu yang telah ia segel rapat-rapat. Jemarinya gemetar saat menarik is
Dalam setiap dongeng yang ditulis dengan pena. Ada segenggam narasi yang hanya bisa ditangisi dalam diam oleh sang putri. Ada cinta yang tak mampu diucapkan, hanya bisa dirindukan dalam doa. Layaknya, kisah Little Mermaid. Rela berkorban, meski akhirnya menjadi butiran buih karena Pangeran menikah dengan seorang putri dari dunia nyata.Sebuah pilihan hati yang terasa seperti berdiri di ujung tebing—entah melompat atau mundur. Dua-duanya sama menyakitkan. Sisa-sisa keheningan menggumpal, mengendap di dasar dada. Membebani tiap langkah menuju keputusan yang tak pernah sederhana. Di persimpangan ini, cinta bukan lagi soal rasa. Tapi keberanian untuk melepaskan ego … atau mempertaruhkan segalanya.Satu tahun telah berlalu. Sejak kepergian Aruna dari sorotan dunia. Waktu terus berjalan, namun luka itu belum kering sepenuhnya. Dunia Seruni berubah total. Novel yang dulu hanya naskah pribadi penuh air mata kini menj







