Home / Rumah Tangga / Istri Bayangan Sang Miliarder / Pertengkaran Kecil yang Manis

Share

Pertengkaran Kecil yang Manis

Author: Xǐn Rose
last update Last Updated: 2025-06-22 11:51:15

Seruni terdiam beku ... derap langkah kaki itu beradu cepat dengan marmer putih di kamarnya dan terdengar semakin mendekat ke arah tempat tidurnya. Suaranya menghantam ruang sunyi yang seirama dentingan waktu, seakan berniat memburu sesuatu. Seketika, Seruni langsung duduk tegak dari kasur. Ia tergesa menyisir rambutnya pakai jari. Lalu, memasang senyum manis seperti siap photoshoot dadakan. Tapi ternyata ... bukan Aruna yang muncul. Seorang wanita paruh baya datang membawa nampan perak mewah ala kerajaan dan sebuah catatan.

“Dari Pak Aruna.” ucapnya datar sambil menyerahkan gelas berisi susu segar.

Seruni tersenyum ramah. "Terima Kasih."

Seketika itu juga, perut Seruni berbunyi nyaring seperti ayam jago di pagi hari. Tubuhnya melakukan aksi protes karena sejak tiba di rumah Aruna, ia hanya makan beberapa potong buah-buahan. Seruni langsung menegak susu pemberian dari Aruna tersebut dalam sekali teguk, hingga tetes terakhir. Dan entah kenapa ... detik itu hatinya men-deklarasikan, bahwa Aruna adalah 'penyelamat hidupnya' yang membuatnya terbebas dari perih lambung yang pasti akan menyiksanya semalaman.

Setelah tugasnya terlaksana, pelayan suruhan Aruna itu keluar dari kamar Seruni dan pintu otomatis pun tertutup kembali. Seruni mengambil kertas kecil di pangkuannya, note itu diitulis tangan, kalimatnya tegas, singkat, padat dan jelas. Lalu, ia membacanya perlahan dan terkejut dengan imajinasinya sendiri.

"Tugas ghostwriter dimulai besok jam 07.00." Seruni terbayang wajah dingin Aruna muncul di tengah kertas. "Lantai dua, lorong kanan. Jangan telat!"

Seruni menggelengkan kepala untuk menepis bayangan Aruna dari mata dan pikirannya. Lalu, memgambil napas dalam-dalam. Lalu, melanjutkan ritual malam pertama pernikahan absurd-nya itu dengan keluhan tentang Aruna ... CEO berhati es.

“Suami macam apa ini?" Seruni meremas kertas itu, "Kasih memo, kayak atasan HRD!"

Tapi di balik dengusan kesal, terselip rasa penasaran yang tak bisa Seruni hindari tentang pria itu: Aruna. Tentang batas yang mereka bangun berasaskan janji pernikahan absurd untuk tidak saling jatuh cinta dan Seruni tak tahu ... Bahwa malam ini adalah malam terakhir, ia bisa tidur tenang tanpa kegelisahan. Beberapa detik kemudian, Seruni menguap beberapa kali, matanya mulai berat dan ia terlelap pulas seperti putri tidur dalam peti kaca yang menunggu sang pangeran membangunkannya dengan penuh cinta. Namun, di alam mimpi pun adegan romantis itu belum terjadi untuk kisahnya.

Keesokan paginya, tepat pukul tujuh tanpa kurang sedetik pun dengan langkah hati-hati dan me-lafalkan doa, Seruni masuk ke ruang kerja Aruna yang seperti goa. Di ruangan, Aruna sudah duduk di balik meja besar dengan laptop terbuka. Wajahnya sangat serius, ia sedang menilai proposal merger senilai miliaran dollar dan saat Seruni hendak menyapa, Aruna bersikap arogan. Ia langsung berkata tanpa mengangkat kepala.

“Draft keseluruhan dan bab pertama. Tulis sekarang!” Aruna sibuk menganalisa lembaran kertas berharga di hadapannya.

Dan detik itu juga Seruni sadar, bahwa ia sedang menghadapi gunung es terbeku di kutub utara dan penderitaan sebenarnya baru saja dimulai sekarang dan hari ini untuk pertama kali dalam sejarah hidupnya, Seruni siap menyatakan 'perang'! Bukan pada Aruna. Bukan pada siapa pun. Tapi, tertuju untuk dirinya sendiri!

"Ini draft outline dan bab satu." Seruni meletakkan iPad di hadapan Aruna yang duduk dengan pose CEO-nya, tegak, kaku, dan tanpa senyum.

Aruna tidak langsung bicara. Ia membaca dan terus membaca. Sementara Seruni duduk di seberang, menanti dengan jantung yang berdebar tak karuan. Setelah lima menit yang terasa seperti lima tahun, Aruna mengangkat wajahnya.

"Kalimat ini terlalu dramatis." Aruna menunjuk layar iPad Seruni. "Apa kamu pikir, saya karakter fiksi?"

Seruni membuka mulut, tapi tak sempat menjawab karena Aruna sudah menggeser iPad ke arahnya. Mata Aruna menyorot tajam seluruh tulisan Seruni. Mulai dari paragraf pembuka, paragraf tengah, paragraf selanjutnya hingga akhir. Seruni hanya bisa memasang wajah kecut, saat jari Aruna berkali-kali meng-klik tombol delete. Namun, Seruni hanya istigfar dalam hati, ia masih sanggup bersabar menahan api kemarahannya. Begitu pun dengan pagi berikutnya, Seruni menyerahkan hasil revisi yang ketiga kalinya. Aruna masih bereaksi sama. Respon Seruni pun masih sa-bar.

"Terlalu pribadi." Aruna menunjuk paragraf yang terletak di tengah. " Aku bukan tokoh romantis."

Dan begitu pun hari-hari selanjutnya. Aruna masih bersikap dingin dan ketus. Ia masih belum juga menyetujui tulisan Seruni. Bahkan, pagi ini pun ... kalimat kritik Aruna lebih sadis dari hari-hari sebelumnya.

"Kamu nulis pakai logika atau," ucap Aruna curiga, "pakai data yang tinggal copy-paste?"

Seruni berkali-kali menahan napas kuat-kuat, lalu berkali-kali pula menghembuskannya perlahan. Ia hanya terdiam menatap benci pada jari telunjuk Aruna yang begitu buas seperti nyamuk yang haus darah. Ia tak hentinya, terus saja menekan icon keranjang sampah pada setiap tulisannya.

"Ulangi!" Aruna melempar pelan iPad ke arah Seruni.

Seruni menghela napas. Ia sudah menyerahkan draf kesepuluhnya dan hanya berakhir dengan satu kata dari Aruna yang cukup untuk membuat semangatnya remuk. Di kamarnya, Seruni hampir bangkit dan melempar iPad-nya. Tapi, tidak jadi ... ia memilih untuk memeluk bantal di pojokkan kasur.

Sudah lima hari, Seruni tinggal di rumah Aruna Mahadewa. Lima hari itu pun, ia merasa seperti hidup di negeri salju. Seruni juga merasa seperti Putri Belle yang tertawan di istana Pangeran Beast. Rumah itu ... terlalu mewah dan 'dingin' untuk dirinya. Dimata Seruni, sosok Aruna layaknya raja kutub berhati gletser. Aruna adalah musim dingin yang tak pernah mencair. Bahkan, seekor Penguin Kaisar pun akan membeku kalau berada di dekatnya.

Sejak menikah dengan Aruna, Seruni harus memaksakan diri untuk terbiasa hidup dalam diam. Ia makan sendiri, bekerja sendiri, tidur sendiri. Setiap malam, Seruni merasa seperti tidur di dalam kulkas. Satu-satunya moment Seruni tidak merasa sendiri di kastil megah itu hanyalah ketika interaksinya dengan Aruna tiba, yaitu saat ia menyerahkan draft autobiografi tulisannya. Namun itu pun, berakhir dengan hati yang patah. Seruni merasa sudah bekerja keras menulis versi terbaik, tapi ... Aruna men-delete semuanya tanpa ragu seperti monster Hibrida yang ahli menimbulkan kecemasan psikologis.

Hingga pagi itu, kesabaran Seruni mencapai puncaknya. Tepat di ujung ubun-ubun, emosinya membara. Saat Seruni masuk ruangan, Aruna sudah duduk di balik meja kerja Seruni. Aruna mengenakan setelan abu-abu, wajahnya ... seperti Excel Sheet yang terus menghitung kalkulasi profit investasi. Seketika, Seruni rasanya ingin melempar iPad ke wajah pria di depannya itu, tapi ...  sepertinya ia lebih ingin menangis saat mendengar kalimat tajam untuk kesekian kalinya dari mulut Aruna.

"Ulang lagi semua dari nol."  Aruna menggeser iPad ke arah seruni. "Tanpa ... drama!"

"Hah! Mulai dari nol? Dikira pom bensin." protes Seruni, "Ini tentang hidup kamu ... Masa kecil, mimpi, trauma ... yang semuanya ada nilai emosinya."

"Aku tak butuh empati, aku butuh efisiensi." Aruna bangkit dari kursinya. “Kalau kamu tak bisa profesional, kontrak kita akan berakhir hari ini juga.”

"Anda memang cocok hidup di spreadsheet, Pak!" ucap Seruni ketus.

Seruni mengepalkan tangan di bawah meja karena Aruna berjalan keluar tanpa mendengar sepatah pun keluhannya. Begitu Aruna pergi, emosi Seruni pecah. Langkah panjang Aruna berderap pelan, tapi bagi Seruni terdengar seperti gemuruh yang menyakitkan. Pintu otomatis tertutup perlahan, Seruni mematung di kesunyian yang mendominasi ruangan. Udara dingin menusuk hingga ke hati Seruni. Lalu perlahan, wajahnya tertunduk lemas. Ia merasa marah juga frustrasi. Tapi lebih dari itu ... ia merasa kecil, seperti pekerja rendahan yang tidak dihargai.

Seruni termenung, ia menatap boneka kecil di atas meja kerjanya. Sejak awal benda imut itu sudah duduk manis di sana. Seruni bahkan, sempat senyum-senyum sendiri kala itu karena ia berpikir Aruna yang sengaja memberikan sebagai suntikkan semangat untuknya. Tapi, kini ... Seruni merasa harus mengembalikan pada pemiliknya.

Seruni melemparkan boneka itu ke pintu. “Dasar CEO menyebalkan!”

Namun, detik itu juga pintu otomatis tiba-tiba terbuka lebar. Sebuah tangan besar menangkapnya. Seruni melongo seperti baru makan seblak setan level 100, napasnya berat. Boneka Olaf yang tadi nyaris mendarat di kepala Aruna, kini terdiam beku di tangan Aruna, terjepit di seluruh genggaman jari-jarinya yang kokoh dan dingin seperti ekspresinya saat ini.

“Apa kau ini anak kecil?!” Aruna melebarkan matanya.

Lima hari yang lalu, Aruna memang menyuruh salah satu staf-nya untuk membeli dan meletakkan benda kecil yang cocok untuk wanita di meja kerja Seruni. Tapi, Aruna tidak menyangka kalau benda itu adalah boneka imut yang ia genggam saat ini.

Seruni membeku. Ia cemas dengan reaksi selanjutnya dari pria dingin tersebut. Tapi aneh ... Aruna hanya terdiam dengan tatapan kosong. Seruni merasa bersalah, ia mengkhawatirkan kesehatan mental Aruna. Seruni berpikir jangan-jangan ... Aruna mengalami shock berlebih atau gangguan psikis lainnya. Ia menatap iba ke arah Aruna dan hendak menghampirinya. Tapi, tiba-tiba ... Aruna menatapnya tajam hingga membuat Seruni kikuk.

 “Aku ... sengaja, eh tidak." Seruni menggaruk-garuk kepala. "Eh,  gimana?"

“Lemparanmu payah." Aruna melangkah masuk ke ruang kerja Seruni.

Aruna berhenti sejenak memandangi boneka itu lama. Gumpalan putih menyerupai manusia salju mungil dengan wortel bengkok yang menempel di hidungnya. Tubuhnya ... tersusun dari tiga bulatan putih halus mengkilap serta kedua bola matanya bundar, berbinar, senyumnya lebar dan ... Tangan rantingnya terbentang lebar, seolah hendak memeluk siapa pun yang datang.

Aruna memutar boneka itu di tangannya. “Hewan apa ini?”

“Itu Olaf, manusia salju.” balas Seruni cepat, “Kau pikir apa? Tikus?”

“Lucu.” ucap Aruna ketus.

Aruna bergerak masif ke arah Seruni, ia menatap Seruni lama. Terlalu lama. Namun, saat Seruni bersiap mundur. Aruna bergerak lebih cepat dari angin, ia berjalan ke meja kerja Seruni.

"Aku tak butuh, manusia yang baperan." Aruna maju selangkah mendekat ke arah Seruni. "Kalau kau ingin bertahan, ubah caramu memandang dunia.”

Seruni ingin sekali membalas kata-kata tajam Aruna yang seperti hujan es yang menghantam tepat ke dadanya itu ... tapi, sebelum Seruni sempat membuka mulut ... Aruna terus melangkah pelan, selangkah demi selangkah. Sekarang, ia berdiri begitu dekat dengan Seruni. Tubuh Aruna hanya sejengkal darinya. Bahkan, Seruni bisa mencium aroma parfumnya yang elegan yang berupa campuran wood, mint dan sesuatu yang ... sunyi. Seruni yang terlalu fokus menghirup parfum Aruna yang seperti aromatheraphy itu, tiba-tiba terkejut ketika menyadari wajah Aruna hanya berjarak 7 centimeter dari matanya.

“Jangan menulis aku seperti tokoh dongeng, aku bukan pangeran." Aruna menyapu lembut poni Seruni yang nyaris menutupi matanya. "Aku bukan pria ... yang akan jatuh cinta hanya karena kau menulis dengan perasaan.”

Seruni tercekat. “Aku nggak minta itu.”

 “Bagus." Aruna mendekatkan wajahnya. “Karena itu berbahaya. Untukmu … dan untukku.”

Seketika, Seruni merasa sesak. Ia merasakan panas napas Aruna di kulitnya hingga membuat detak jantungnya seakan terhenti sejenak. 

"Bahaya?" bisik Seruni.

"Ya berbahaya, karena aku tidak bisa menjamin ...." Aruna menghentikan ucapannya karena tak berniat melanjutannya.

Seruni menatap Aruna dalam, berusaha membaca pikiran dan isi hati Aruna. Namun, Aruna segera menarik diri dan mundur selangkah. Dengan tergesa Aruna membalikkan tubuhnya dan berjalan keluar ruangan, meninggalkan Seruni yang masih tercengang menatap punggung Aruna.

"Besok, jam enam." Aruna menoleh. "Sarapan denganku.”

Seruni mengangguk pelan tanpa kata. Lalu, ia hanya menatap datar lurus ke depan mendengarkan Aruna melanjutkan bicaranya dengan nada dingin dan ekspresi beku yang sudah Seruni hafal di luar kepala.

“Biar kau tahu, seperti apa hidupku. " Aruna menatap Seruni. "Bukan drama, bukan dongeng.”

Mendengar pernyataan Aruna yang seakan menghina mimpinya, Seruni nyaris meledakkan emosinya. Ia mengangkat kepalan tangan ke arah Aruna. Tapi, pria dingin itu sudah membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju pintu. Namun, saat satu kakinya hendak menyentuh lantai luar ruangan, Aruna tiba-tiba menoleh ke arah Seruni sekali lagi. Seruni buru-buru mengalihkan kepalan tangannya ke arah lain dan ber-acting sedang mengulet seperti baru bangun tidur. Tapi, Aruna mengabaikan sikap absurd Seruni. Lalu, memberi peringatan pada Seruni.

“Oh, satu hal lagi ... besok jaga sikapmu." Aruna menaikkan kedua alisnya. "Kalau kelakuan kekanak-kanakanmu terulang, bersiaplah kemasi kopermu."

Ketika pintu otomatis tertutup perlahan. Seruni mendesah kesal, ia mengulangi kalimat terakhir Aruna itu dengan muka jelek. Lalu, Seruni memandangi Olaf di atas meja yang seakan tersenyum mengejeknya. Ia seketika, menggembungkan pipinya seperti ikan buntal yang tubuh beracun dan berdurinya mengembang saat disentuh demi melindungi diri dari ancaman. Seruni menggenggam erat-erat boneka Olaf, ia ingin melemparnya ke tempat sampah. Tapi akhirnya ... Seruni menghela napas panjang.

"Kamu tidak bersalah." Seruni memeluk boneka Olaf. "Kamu lucu banget sih, gemes."

Sementara, Seruni sibuk menenangkan diri. Aruna bergulat dengan logika dan batinnya. Ia melangkah pelan menyusuri lorong panjang mansion sambil merasakan gejolak aneh. Entah kenapa, bagian dari hatinya yang keras dan letih itu ... tiba-tiba terasa hangat. Dan untuk pertama kalinya sejak pernikahan absurd itu terjadi, hati Aruna terasa hidup ...  dia mendadak ingin setiap detik harinya selalu seru seperti pagi ini. Bersama Seruni ... Istrinya.

Aruna tersenyum tipis. "Mulai besok, aku akan memperlakukanmu dengan cara yang berbeda."

--- To Be Continued

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Bayangan Sang Miliarder   Dongeng Versi Seruni

    Dalam setiap dongeng yang ditulis dengan pena. Ada segenggam narasi yang hanya bisa ditangisi dalam diam oleh sang putri. Ada cinta yang tak mampu diucapkan, hanya bisa dirindukan dalam doa. Layaknya, kisah Little Mermaid. Rela berkorban, meski akhirnya menjadi butiran buih karena Pangeran menikah dengan seorang putri dari dunia nyata.Sebuah pilihan hati yang terasa seperti berdiri di ujung tebing—entah melompat atau mundur. Dua-duanya sama menyakitkan. Sisa-sisa keheningan menggumpal, mengendap di dasar dada. Membebani tiap langkah menuju keputusan yang tak pernah sederhana. Di persimpangan ini, cinta bukan lagi soal rasa. Tapi keberanian untuk melepaskan ego … atau mempertaruhkan segalanya.Satu tahun telah berlalu. Sejak kepergian Aruna dari sorotan dunia. Waktu terus berjalan, namun luka itu belum kering sepenuhnya. Dunia Seruni berubah total. Novel yang dulu hanya naskah pribadi penuh air mata kini menj

  • Istri Bayangan Sang Miliarder   Kembali ke Dunia Nyata

    Ada kalanya mencintai seseorang ... berarti siap kapan pun harus melepaskannya. Karena hati bukan sekadar tempat singgah, tapi juga ladang perang. Di sana, harapan dan ego saling bertarung. Kadang kita menang, lebih sering kita patah. Dan ketika cinta diuji oleh kenyataan, bukan rasa yang paling menyakitkan. Tapi pilihan yang menguras air mata.Detik itu, pintu utama Z-Gensitex terbuka perlahan. Seruni, dengan langkah ragu dan napas tertahan, hendak melangkah masuk. Namun, suara Aruna menggema di seluruh lobi lewat siaran langsung, menahan langkahnya.“Katakan pada dunia ...,” Aruna menatap tegas ke arah kamera. “Aku memilih dia!"Langkah Seruni terhenti. Matanya membulat, dadanya tercekat. Dan ketika ia menoleh ke sumber suara, ia melihatnya—Varla, dengan senyum manis yang tak pernah ia percaya, melingkarkan tangan ke bahu Aruna. Rapat, penuh kepemilikan.

  • Istri Bayangan Sang Miliarder   Pilihan Aruna—Seruni atau Varla ...?

    Ada saat dalam hidup ketika sebuah pilihan tak lagi tentang benar atau salah. Tapi tentang apa yang masih bisa diselamatkan … dan siapa yang rela dikorbankan. Pagi itu, dalam ruang rapat yang lebih dingin dari musim dingin Eropa, Aruna duduk membatu. Dasi di lehernya seperti jerat, napasnya berat—seperti tengah menahan runtuhnya dunia dari balik jas mahal yang tak lagi memberinya kuasa. Di balik mata tenangnya, badai berkecamuk. Ini bukan sekadar rapat. Ini adalah pertaruhan terakhir antara cinta … dan kehancuran.Ponsel Seruni tak henti berdering dari Mira dan Juan sejak kemarin. Mereka berusaha menyakinkan Seruni. Tapi, ia mengabaikannya—pesan kemarin dari Mira yang memintanya datang ke Z-Gensitex, tempat pertama kali ia bertemu Aruna. Hingga, sebuah pesan teks Mira membuat Seruni meresponnya.“Percaya hati Aruna cuma mencintai kamu, Seruni!” suara Mira yakin, “s

  • Istri Bayangan Sang Miliarder   Pernikahan Tanpa Cinta

    Ada malam-malam yang begitu sunyi hingga suara napas sendiri terasa mengganggu. Ada luka-luka yang tak berdarah tapi membuat dada terasa berlubang. Dan malam ini, Seruni tinggal di dalam kedua hal itu—sunyi dan luka—yang saling memeluk erat, menelannya hidup-hidup.Suara tawa netizen menggema dari layar-layar kecil yang tak bisa dikendalikan siapa pun. Komentar-komentar tajam membanjiri lini masa, menghantam nama Seruni seperti gelombang tanpa ampun: “Plot twist tahun ini!" tulis satu akun gosip; “Ghostwriter-nya patah hati duluan!” ejek yang lain. Hashtag #VarlaxAruna merajalela di trending topic, seperti parade kemenangan yang menyayat di depan matanya sendiri.Ponsel di atas nakas bergetar, notifikasi dari media sosial tak berhenti berdatangan. Seruni mengulurkan tangan malas, membuka layar ponselnya, lalu... jari-jarinya berhenti. Matanya tertumbuk pada satu cuplikan video yang baru saja diunggah oleh akun g

  • Istri Bayangan Sang Miliarder   Retakan di Pintu maaf, Ancaman Varla Menggila

    Hati Seruni terasa sakit melihat fakta itu. Pintu maaf yang selangkah lagi terbuka, kini retak. Hingga ia terjebak dalam perasaannya sendiri. Tanpa ingin berpikir ... atau melakukan apa pun sekarang. Hanya ingin diam dan menangis seharian ....Di sebuah ruangan, foto itu masih menyala di layar ponsel Aruna. Ia menatapnya tanpa berkedip. Bukan karena ia baru melihatnya—tapi karena ia baru sadar dari mana foto itu diambil. Restoran Kyato Prime. Meja sudut. Hari ini, tiga jam lalu ... tepat sebelum rapat besar Z-Gensitex. Aruna ingat detiknya. Varla datang tanpa diundang, duduk seenaknya di depannya. Senyum tipua di bibir perempuan itu sama seperti di foto—seolah kamera tak pernah mengkhianatinya.“Aku cuma mau bilang ...,” jemari Varla menggenggam tangan Aruna. “Kita berdua masih bisa jadi berita besar. Tinggal kau mau atau tidak?”Aruna menepis

  • Istri Bayangan Sang Miliarder   Serangan Dari Layar

    Tak ada yang lebih bising dari dunia yang jatuh cinta pada kisah patah hati. Hari itu, ribuan notifikasi berdentang di ponsel netizen, seolah jagat maya menari di atas luka seorang pria. Video pengakuan Aruna yang tayang semalam mendadak jadi trending topic nomor satu di berbagai platform. Timeline penuh cuplikan, potongan kata, dan air mata—semuanya mengarah pada satu kalimat:Aruna menatap kamera. “Aku mencintainya ... dan aku kalah.”Wajah dingin sang CEO, yang selama ini disangka tak punya hati, kini tampak begitu rapuh di layar. Tak ada kemewahan. Tak ada jas abu-abu. Hanya Aruna dengan suara bergetar, dan mata yang tak bisa menutupi rindu yang membusuk dalam diam. Seruni duduk di taman kota yang sepi, angin menyapu rambut Seruni pelan. Ia duduk sendiri di bangku kayu tua, dikelilingi guguran daun kering.Ponsel di tangannya bergetar, notifikasi tak henti berdatangan. Tapi hanya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status