“Maaf, Mas,” ucapku terbata pada seorang pria yang sedang menatapku dengan tajam.
Baru juga menginjakkan kaki di perusahaan baru, kok malah bertemu dengan singa jantan.
Aku mencoba untuk melebarkan bibir yang terpoles dengan lipstik berwarna merah kecokelatan ini, tapi hasilnya malah dia makin memasang wajah jutek.
Sial banget sih aku hari ini!
Maunya cepat bertemu dengan teman lama, eh ketemu sama.
“Hi, Nath,” sapa Widya pada pria yang melotot ke arahku. “Ada apa?”
“Nothing!”
Aku mengembuskan napas ketika pria yang dipanggil Nath itu berlalu dari kami berdua.
Widya yang bingung dengan keadaan melihatku, “Ada apa?”
“Tadi aku nabrak dia nggak sengaja. Trus kopiku tumpah, Beb,” jawabku.
Aku memainkan jemariku dan mengigit bibir. Jujur, aku sangat cemas saat ini. Bagaimana aku bisa memperbaiki kesalahan sama pria tersebut.
“Ikut gue!”
Hari ini aku akan bertemu dengan CEO perusahaan yang cukup ternama ini. Dengan bantuan temanku, akhirnya pekerjaan ini bisa aku dapatkan dengan cukup mudah.
Menginjakkan kaki di Jakarta dengan membawa dua orang anak adalah keputusan yang sangat beresiko.
Tentu aku tahu segala konsekuensi dari apa yang sedang aku hadapi.
Namun, kalau harus menunggu pekerjaan di Klaten setelah bercerai dari mas Dirga itu juga tindakan yang lama. Aku tidak sabar karena masih ada tiga nyawa yang harus aku penuhi kebutuhannya.
Sekarang hanya ini yang menjadi tumpuan harapanku. Kami bertiga hidup dalam keadaan yang tidak pasti.
Hanya satu hal yang pasti, aku akan menghidupi dua anak dengan tanganku sendiri. Tidak ada suami lagi yang memberikan nafkah materi pada kami.
Dia sudah mati. Dia meninggalkan kami demi wanita yang lebih kaya.
Aku juga bersyukur karena dapat melakukan hal ini dengan restu orang tua. Kata orang apabila sudah mendapatkan restu orang tua, Tuhan pun akan beserta kami.
Di depan sebuah ruangan yang cukup besar dan tertutup rapat, Widya menyuruhku menunggu. Nanti kami akan masuk berdua.
Aku dan kedua putraku menunggu di depan sebuah kaca besar. Kami duduk di kursi panjang yang terbuat dari alumunium.
Kata Widya tadi sih mau ke kamar mandi tapi kok lama ya. Mana aku tidak tahu harus berbuat apa?
Apakah aku harus mengetuk pintu kaca yang besar tersebut? Atau memang aku harus menunggu sahabatku itu?
Susah banget sih punya otak yang terkadang bingung memutuskan hal yang sederhana sekalipun.
Seperti sekarang ini? Apa yang harus aku lakukan?
Sementara anak keduaku sudah merengek minta pulang ke kosnya Widya. Tidak bisakah aku mendapatkan privilage untuk masuk dan mengakhiri sesi interview secepatnya.
Oke, aku akan membujuk anakku supaya mau menunggu dengan tenang. Namun, bagaimana dia bisa tenang kalau aku saja sudah ingin cepat pulang.
Jadi apa yang harus aku lakukan ini? Menunggu? Lha kok lama sekali.
Auh! Sakit!
Apa yang terjadi di dalam ruangan tersebut? Kok aku bisa mendengar suara orang dari dalam? Apa tidak kedap suara gitu? Atau jangan-jangan terjadi hal yang buruk?
Masuk? Tidak? Masuk? Tidak?
Ah jangan! Kata Widya harus menunggu dia. Namun, lama banget lho dianya. Malah meninggalkan aku yang sedang bingung ini.
Aku mencoba mengintip ke dalam ruangan. Percuma juga. Semua gelap, ruangan di tutupi oleh tirai yang besar.
Jadi aku harus apa sekarang?
Aku hanya bolak-balik dari pintu ruangan tersebut, lalu kembali ke kursi lagi. Kemudian bangkit berdiri sembari mengigit ujung kukuku.
Ya Allah, aku malah bingung sendiri.
Bruk!
Apalagi itu? Sebenarnya apa yang terjadi? Jangan Run! Jangan masuk!
Oke aku tunggu Widya saja.
Hirup napas dari hidung, keluarkan perlahan. Tenangin diri dulu, Aruna!
“Hi, Beb! Maaf lama ya karena tadi aku harus mengurus dokumen lu. Kalau tidak beres dalam satu kali waktu. Dianya nanti mempersulit,” terang Widya dengan membawa map yang mungkin berisi dokumen untuk aku bekerja di perusahaan ini.
Aku mengikuti Widya di depan pintu. Wanita tinggi dan langsing tersebut mengetuk pintu.
Setelah ada suara dari dalam yang cukup lama, kami masuk ke ruangan dingin dengan aroma apel yang segar. Dengan terpaksa pula, aku membawa kedua putraku untuk menemui CEO perusahaan ini.
Aku menundukkan kepala ketika bertemu ibu Yolanda. Kalau orang Jawa menundukkan kepala kemudian tersenyum itu adalah tanda menghormati orang lain.
Wanita yang cantik dengan kemeja dan rok yang cukup aduhai untuk ukuran umur yang aku rasa tidak muda lagi.
Di sudut ruangan tepatnya di depan meja dengan jajaran buku yang banyak, ada seorang pria yang sedang berdiri. Tampaknya dia asyik membaca salah satu buku yang aku tahu ketika dulu mengerjakan skripsi.
Kayaknya dia pintar. Em, sebentar, apakah aku pernah bertemu dengan dia.
“Nath, dia nanti yang akan menggantikan Tia. Jadi lu ajari dia sebentar,” kata ibu Yolanda pada pria yang masih asyik bergumul dengan bukunya.
Pria yang dipanggil Nath tadi hanya mengangguk.
“Lu nggak mau lihat sebentar?” tanya ibu CEO pada pria yang membelakanginya.
Pria tersebut menutup buku dengan cukup keras hingga anak-anakku kaget. Anak keduaku mulai merapatkan tubuhnya ke arahku.
“Udah tadi. Nih hasilnya.”
Dia menunjukkan kemeja yang masih kotor karena tumpahan kopiku tadi.
Yah, tadi aku memang buru-buru. Karena sedang memarahi anak pertamaku malah tidak sengaja menabrak pria itu dan kopi yang berada di tangan tumpah. Padahal masih panas.
Mati aku! Dia yang akan menjadi atasan sekarang! Bakalan kerja keras ini!
“Oke, ikut saja sama Natha ke ruangan editor. Dan anak-anakmu gimana?” tanya ibu Yolanda.
“Apakah untuk hari ini saja boleh ikut saya kerja,” pintaku pada CEO yang cantik itu.
“Ck, merepotkan saja!” kata Natha.
Aku mengembuskan napas. Mau gimana lagi. Ini hari pertama kerja dan mereka belum masuk ke sekolah masing-masing. Aku baru membereskan urusan sekolah hari ini.
Jadi ya begitulah, urusan sekolah, urusan kantor. Membuat otakku harus berpikir seratus ribu kali dalam satu hari. Ditambah kakak yang usil terus sama adiknya. Yang terakhir adalah kejadian kopi tumpah bersama kepala editorku.
Kacau banget hari ini. Kacau!
Widya menyuruhku mengikuti pria jutek yang telah keluar ruangan terlebih dahulu. Aku menggandeng anakku dengan baik supaya bisa berada di belakang Natha. Ya Allah pria ini seolah tidak punya empati pada kami.
Dia benar-benar tidak menghiraukan aku yang bersama dua anak kecil. Tanpa menengok ke belakang pula. Bahkan tidak menanyakan basa-basi tentang kedua anakku.
Dendam banget jadi orang!
“Nanti lu duduk dekat dengan Jaka karena kalian sama-sama ngerjain bahasa Inggris,” Natha melihat kedua anakku sebentar baru melanjutkan perkataan, “Gue kasih lu waktu tiga bulan percobaan. Kalau bagus lanjut, kalau nggak. Angkat kaki dari kantor ini. Jangan mentang-mentang temen lu di HRD bisa punya privilage.”
Aku mengangguk tanda paham.
“Sebagai awalan, lu edit buku yang hampir ke QC ini! Gue kasih waktu seminggu. Waktu yang sangat lama itu!”
Natha memberikan aku satu bendel naskah lengkap dengan kelengkapan datanya.
Aku menerima naskah tersebut, sementara Natha pergi dari ruangan ini. Aku pikir dia satu ruangan, ternyata beda.
Anak-anak bermain di dekat mejaku. Semua pasang mata menatap aku yang baru datang ke ruangan editor sembari membawa dua anak.
Aku hanya tersenyum dan mencoba biasa saja dengan keadaan yang memang aneh ini. Lalu ada seorang wanita cantik memperkenalkan dirinya.
“Aku Mala. Aku di pojok sana.” Telunjuknya mengarah pada satu meja di dekat jendela. Aku mengangguk tanda mengerti. “Oiya, aku kasih tahu ya. Kalau mau ke ruangan Natha jangan jam-jam segini.”
Aku melihat jam bulat di dinding. Masih sekitar pukul dua siang.
“Mengapa?” tanyaku heran.
Mala kemudian berbisik kepadaku, “Pokoknya jangan! Atau kamu akan dibunuh sama Natha. Mungkin kamu bisa tanya sama Widya nanti. Kamu temennya Widya, kan?”
Aku mengangguk sekaligus heran. Apa ada rahasia di kantor ini?
“Ada apa?” tanyaku pada seorang wanita yang mungkin siap untuk melempar granat dari mulutnya.“Gue sudah tahu kalau sama lu, Natha pasti celaka. Sama seperti Dirga!” Dia menaikkan satu oktaf lebih tinggi dari nada semula.Namun, aku tetap akan memasang wajah yang akan dia benci sekaligus ingat.“Lagipula, yang melakukan ini juga anak buah yang paling kamu banggakan itu, Yolanda,” kataku dengan nada yang tetap dingin.Kami berdiri saling berhadapan. Mata kami saling menatap. Ada semburat merah yang merekah di kedua indra penglihatan wanita yang memakai blouse pink itu.Dia ingin mendominasi situasi yang memanas ini, tapi bukan Aruna kalau tidak akan membuat api yang membakar hatinya itu bertambah meletup.Natha benar, dia licik. Akan tetapi, suamiku mungkin lupa kalau air yang dapat memadamkan api adalah cinta yang tak berujung.Bukankah akan menarik untuk memanfaatkan hasrat yang belum sepenuhnya berakhir itu?“Lu janji Run tinggalin dia! Apapun keadaannya!” teriaknya sekali lagi sebe
“Bagaimana keadaan Natha?” tanya ambu padaku.Aku menggeleng. Tidak dapat berkata apa pun. Sandy kemudian mendekat kepada bibinya. “Doakan Natha Bi. Biar dia kuat!”Aku menelepon Sandy untuk menolong kami. Karena hanya dia yang bisa aku percayai saat ini. Dia bukan orang jahat yang ingin menghancurkan diriku atau Natha.Ambu datang kepadaku dan memeluk tubuh yang hampir jatuh ini. “Kamu yang kuat Run! Kuat! Hanya kamu yang Natha inginkan saat dia bangun!” Tangan ambu mengusap punggung yang bergoyang menahan sesak di dada.Air mataku mungkin sudah membasahi baju ambu. Ambu tetap mengusap punggung ini seraya berkata, “Maafkan kami Aruna! Kami yang memasukkan kamu ke dalam lingkaran ini. Namun, yakinlah Dirga adalah orang yang telah mengkhianati dirimu. Bukan hanya soal cinta, tetapi juga uang dan kepercayaan.”“Kepercayaan?” Badanku perlahan lepas dari pelukan ambu. Aku heran mengapa kepercayaan. Apa yang ambu maksud dengan kata itu? Bukankah pengkhianatan cinta sudah termasuk kepercaya
“Run ayo cepat pulang!” Tiba-tiba Natha masuk ruangan Yolanda tanpa mengetuk, tanpa permisi.“Nyelonong aja!” bentak si ibu CEO.“Gue culik Aruna dulu!” Tangan Natha langsung menarik tanganku yang sedang mengetik.Mataku hanya bisa melotot. “Maaf aku terburu-buri, cepat Sayang!” perintah Natha.Aku melihat Yolanda sebentar, ya kan masih kerja. Aku ingin profesional saja meski itu sebenarnya tidak perlu.“Pulanglah daripada gue yang pusing karena suami lu!” usir Yolanda pada kami.“Tu boleh pulang kan, cepetan!” paksa Natha.Aku bersiap-siap mematikan telepon dan Natha menerima telepon. Dia langsung keluar ruangan. Biasanya juga ada Yolanda Natha akan bersikap biasa saja. Tapi ini, apa mungkin dari Axel lagi.“Aku tungguin di kafe bawah, oke.” Natha mengacungkan ibu jarinya ke atas.Natha sudah berlalu dari hadapan kami lalu Yolandapun bertanya, “Aku? Apa dia selalu bilang begitu sama lu?”“Iya,” jawabku sembari merias tipis-tipis wajahku. “Kenapa memangnya? Aneh?”“Enggak, hanya nggak
Widya pikir dia yang telah bersama Dirga. Apa sahabatku itu lupa kalau Yolanda punya kekuasaan di atas dia?Mengapa dengan sok malah bersembunyi di dalam toilet lalu menangisi pria yang membuat dia sengsara?Yolanda dan Widya adalah dua wanita yang kencanduan akan adanya sosok pria. Mungkin harusnya aku lebih peka sedikit ketika Widya saat pernikahanku dulu memperhatikan Dirga dengan saksama.Seolah dia adalah orang yang paling terluka atas pernikahan kami? Atau mungkinkah dia sudah menjalin asmara dengan mantan suamiku itu?Segala kemungkinan ada. Hanya aku yang mencari seribu jalan itu. Sedangkan mereka bermain dengan gaya yang sok pintar. Padahal juga belum tentu memahami alur yang ada.Langkah pertama masuk ke dalam lingkaran Yolanda sudah berhasil. Selanjutkan akan menampakkan diri untuk menjauhi Natha. Meskipun, akan berat rasanya.“Run, bagaimana jadwal hari ini?” tanya si bos besar kepadaku.Aku dengan pakaian dinas yang diberikan oleh Yolanda. Atasan kemeja dengan jas serta r
Ternyata menjadi bodoh itu tidak selamanya buruk. Hanya butuh kesabaran hingga waktu akan membuka sediki demi sedikit.Aku seolah terperosok pada lingkaran yang tak berujung. Sebuah labirin tanpa jalan keluar. Mereka semua memiliki tujuan dan niat yang belum bisa ditebak semuanya.Namun, aku harus menjalankan satu per satu hal yang telah tersusun. Saatnya Aruna tampil walau masih di belakang layar. Tidak perlu untuk menonjol. Hanya membutuhkan sedikit privasi yang tidak seorang pun tahu maksudnya di belakang.Akan tetapi, aku juga harus mewasdai Niko. Dia orang yang cukup paham dengan langkah yang akan kuambil. Ya, karena dia adalah teman masa kecil.“Hi, Run,” sapa Widya saat makan siang. “Kamu masih mikirin Dir-ga?” tanya Widya. Kepalaku mengiyakan soalnya mulut ini masih terisi makan siang. “Kenapa kamu masih penasaran dengan mantan suamimu itu?”“Aku ketemu sama mas Dirga di Jakarta,” jawabku.“Ketemu? Tidak mungkin Run!” kata Widya seperti orang ketakutan.“Kenapa tidak mungkin?
Hari ini aku mengantar anak-anak sendirian. Bapaknya sedang bermanja dengan kekasih tuanya. Untung Natha membuatku mampu menyetir. Ya, aku dipaksa untuk belajar menggunakan kendaraan beroda empat meskipun aku sangat takut.Jadi ini maksudnya. Sungguh, dia adalah seorang konseptor yang sangat ulung. Membuat otakku harus mampu menari dengan hati yang berdetak kencang. Tapi baguslah! Setidaknya hal ini berguna untuk diriku.Mungkin pikiranku benar, Natha sayang sama aku. Yah meskipun aku hanyalah salah satu alat untuk dia balas dendam. Kepada Yolanda dan Dirga.Namun, yang ada di dalam pikiranku, perkataan suamiku tercinta tentang Widya. Aku tidak menyangka kalau pertengkaran mereka sampai kebencian.Sampailah mobil di parkiran. Yah masalahku dimulai. Memarkirkan mobil tanpa harus menyentuh kendaraan yang lain. Cuma, aku tidak yakin kalau otakku mampu untuk mendaratkan mobil yang Natha belikan ini dengan benar pada tempatnya.Kedua tanganku masih pada setang bundar, Kepalaku juga bersend