Aruna - janda dia anak - cerai dengan Dirga karena mantan suaminya selingkuh. Kemudian, dia bekerja di Jakarta dengan membawa anak-anaknya. Di perusahaan tempat dia bekerja, Aruna bertemu dengan Natha sebagai kepala editor divisi bahasa. Hidup Aruna berubah ketika bertemu dengan sang kepala editor. Hingga Natha menawarkan sebuah pernikahan. Pernikahan yang penuh dengan misteri! Natha mulai menampakkan hal yang mencurigakan hingga Aruna ingin menyelidikinya. Namun, Natha selalu menghalangi niat Aruna. Aruna pun harus menghadapi Yolanda, tante tiri Natha yang menjadi kekasih suaminya tersebut. Wanita tersebut selalu ingin merebut Natha. Hingga suatu saat, kebenaran sedikit demi sedikit terbongkar di depan mata Aruna. Dan dia harus menghadapi kenyataan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Kebenaran apa yang harus dihadapi oleh wanita tersebut hingga membuat dia terkejut?
Lihat lebih banyak“Maaf, Mas,” ucapku terbata pada seorang pria yang sedang menatapku dengan tajam.
Baru juga menginjakkan kaki di perusahaan baru, kok malah bertemu dengan singa jantan.
Aku mencoba untuk melebarkan bibir yang terpoles dengan lipstik berwarna merah kecokelatan ini, tapi hasilnya malah dia makin memasang wajah jutek.
Sial banget sih aku hari ini!
Maunya cepat bertemu dengan teman lama, eh ketemu sama.
“Hi, Nath,” sapa Widya pada pria yang melotot ke arahku. “Ada apa?”
“Nothing!”
Aku mengembuskan napas ketika pria yang dipanggil Nath itu berlalu dari kami berdua.
Widya yang bingung dengan keadaan melihatku, “Ada apa?”
“Tadi aku nabrak dia nggak sengaja. Trus kopiku tumpah, Beb,” jawabku.
Aku memainkan jemariku dan mengigit bibir. Jujur, aku sangat cemas saat ini. Bagaimana aku bisa memperbaiki kesalahan sama pria tersebut.
“Ikut gue!”
Hari ini aku akan bertemu dengan CEO perusahaan yang cukup ternama ini. Dengan bantuan temanku, akhirnya pekerjaan ini bisa aku dapatkan dengan cukup mudah.
Menginjakkan kaki di Jakarta dengan membawa dua orang anak adalah keputusan yang sangat beresiko.
Tentu aku tahu segala konsekuensi dari apa yang sedang aku hadapi.
Namun, kalau harus menunggu pekerjaan di Klaten setelah bercerai dari mas Dirga itu juga tindakan yang lama. Aku tidak sabar karena masih ada tiga nyawa yang harus aku penuhi kebutuhannya.
Sekarang hanya ini yang menjadi tumpuan harapanku. Kami bertiga hidup dalam keadaan yang tidak pasti.
Hanya satu hal yang pasti, aku akan menghidupi dua anak dengan tanganku sendiri. Tidak ada suami lagi yang memberikan nafkah materi pada kami.
Dia sudah mati. Dia meninggalkan kami demi wanita yang lebih kaya.
Aku juga bersyukur karena dapat melakukan hal ini dengan restu orang tua. Kata orang apabila sudah mendapatkan restu orang tua, Tuhan pun akan beserta kami.
Di depan sebuah ruangan yang cukup besar dan tertutup rapat, Widya menyuruhku menunggu. Nanti kami akan masuk berdua.
Aku dan kedua putraku menunggu di depan sebuah kaca besar. Kami duduk di kursi panjang yang terbuat dari alumunium.
Kata Widya tadi sih mau ke kamar mandi tapi kok lama ya. Mana aku tidak tahu harus berbuat apa?
Apakah aku harus mengetuk pintu kaca yang besar tersebut? Atau memang aku harus menunggu sahabatku itu?
Susah banget sih punya otak yang terkadang bingung memutuskan hal yang sederhana sekalipun.
Seperti sekarang ini? Apa yang harus aku lakukan?
Sementara anak keduaku sudah merengek minta pulang ke kosnya Widya. Tidak bisakah aku mendapatkan privilage untuk masuk dan mengakhiri sesi interview secepatnya.
Oke, aku akan membujuk anakku supaya mau menunggu dengan tenang. Namun, bagaimana dia bisa tenang kalau aku saja sudah ingin cepat pulang.
Jadi apa yang harus aku lakukan ini? Menunggu? Lha kok lama sekali.
Auh! Sakit!
Apa yang terjadi di dalam ruangan tersebut? Kok aku bisa mendengar suara orang dari dalam? Apa tidak kedap suara gitu? Atau jangan-jangan terjadi hal yang buruk?
Masuk? Tidak? Masuk? Tidak?
Ah jangan! Kata Widya harus menunggu dia. Namun, lama banget lho dianya. Malah meninggalkan aku yang sedang bingung ini.
Aku mencoba mengintip ke dalam ruangan. Percuma juga. Semua gelap, ruangan di tutupi oleh tirai yang besar.
Jadi aku harus apa sekarang?
Aku hanya bolak-balik dari pintu ruangan tersebut, lalu kembali ke kursi lagi. Kemudian bangkit berdiri sembari mengigit ujung kukuku.
Ya Allah, aku malah bingung sendiri.
Bruk!
Apalagi itu? Sebenarnya apa yang terjadi? Jangan Run! Jangan masuk!
Oke aku tunggu Widya saja.
Hirup napas dari hidung, keluarkan perlahan. Tenangin diri dulu, Aruna!
“Hi, Beb! Maaf lama ya karena tadi aku harus mengurus dokumen lu. Kalau tidak beres dalam satu kali waktu. Dianya nanti mempersulit,” terang Widya dengan membawa map yang mungkin berisi dokumen untuk aku bekerja di perusahaan ini.
Aku mengikuti Widya di depan pintu. Wanita tinggi dan langsing tersebut mengetuk pintu.
Setelah ada suara dari dalam yang cukup lama, kami masuk ke ruangan dingin dengan aroma apel yang segar. Dengan terpaksa pula, aku membawa kedua putraku untuk menemui CEO perusahaan ini.
Aku menundukkan kepala ketika bertemu ibu Yolanda. Kalau orang Jawa menundukkan kepala kemudian tersenyum itu adalah tanda menghormati orang lain.
Wanita yang cantik dengan kemeja dan rok yang cukup aduhai untuk ukuran umur yang aku rasa tidak muda lagi.
Di sudut ruangan tepatnya di depan meja dengan jajaran buku yang banyak, ada seorang pria yang sedang berdiri. Tampaknya dia asyik membaca salah satu buku yang aku tahu ketika dulu mengerjakan skripsi.
Kayaknya dia pintar. Em, sebentar, apakah aku pernah bertemu dengan dia.
“Nath, dia nanti yang akan menggantikan Tia. Jadi lu ajari dia sebentar,” kata ibu Yolanda pada pria yang masih asyik bergumul dengan bukunya.
Pria yang dipanggil Nath tadi hanya mengangguk.
“Lu nggak mau lihat sebentar?” tanya ibu CEO pada pria yang membelakanginya.
Pria tersebut menutup buku dengan cukup keras hingga anak-anakku kaget. Anak keduaku mulai merapatkan tubuhnya ke arahku.
“Udah tadi. Nih hasilnya.”
Dia menunjukkan kemeja yang masih kotor karena tumpahan kopiku tadi.
Yah, tadi aku memang buru-buru. Karena sedang memarahi anak pertamaku malah tidak sengaja menabrak pria itu dan kopi yang berada di tangan tumpah. Padahal masih panas.
Mati aku! Dia yang akan menjadi atasan sekarang! Bakalan kerja keras ini!
“Oke, ikut saja sama Natha ke ruangan editor. Dan anak-anakmu gimana?” tanya ibu Yolanda.
“Apakah untuk hari ini saja boleh ikut saya kerja,” pintaku pada CEO yang cantik itu.
“Ck, merepotkan saja!” kata Natha.
Aku mengembuskan napas. Mau gimana lagi. Ini hari pertama kerja dan mereka belum masuk ke sekolah masing-masing. Aku baru membereskan urusan sekolah hari ini.
Jadi ya begitulah, urusan sekolah, urusan kantor. Membuat otakku harus berpikir seratus ribu kali dalam satu hari. Ditambah kakak yang usil terus sama adiknya. Yang terakhir adalah kejadian kopi tumpah bersama kepala editorku.
Kacau banget hari ini. Kacau!
Widya menyuruhku mengikuti pria jutek yang telah keluar ruangan terlebih dahulu. Aku menggandeng anakku dengan baik supaya bisa berada di belakang Natha. Ya Allah pria ini seolah tidak punya empati pada kami.
Dia benar-benar tidak menghiraukan aku yang bersama dua anak kecil. Tanpa menengok ke belakang pula. Bahkan tidak menanyakan basa-basi tentang kedua anakku.
Dendam banget jadi orang!
“Nanti lu duduk dekat dengan Jaka karena kalian sama-sama ngerjain bahasa Inggris,” Natha melihat kedua anakku sebentar baru melanjutkan perkataan, “Gue kasih lu waktu tiga bulan percobaan. Kalau bagus lanjut, kalau nggak. Angkat kaki dari kantor ini. Jangan mentang-mentang temen lu di HRD bisa punya privilage.”
Aku mengangguk tanda paham.
“Sebagai awalan, lu edit buku yang hampir ke QC ini! Gue kasih waktu seminggu. Waktu yang sangat lama itu!”
Natha memberikan aku satu bendel naskah lengkap dengan kelengkapan datanya.
Aku menerima naskah tersebut, sementara Natha pergi dari ruangan ini. Aku pikir dia satu ruangan, ternyata beda.
Anak-anak bermain di dekat mejaku. Semua pasang mata menatap aku yang baru datang ke ruangan editor sembari membawa dua anak.
Aku hanya tersenyum dan mencoba biasa saja dengan keadaan yang memang aneh ini. Lalu ada seorang wanita cantik memperkenalkan dirinya.
“Aku Mala. Aku di pojok sana.” Telunjuknya mengarah pada satu meja di dekat jendela. Aku mengangguk tanda mengerti. “Oiya, aku kasih tahu ya. Kalau mau ke ruangan Natha jangan jam-jam segini.”
Aku melihat jam bulat di dinding. Masih sekitar pukul dua siang.
“Mengapa?” tanyaku heran.
Mala kemudian berbisik kepadaku, “Pokoknya jangan! Atau kamu akan dibunuh sama Natha. Mungkin kamu bisa tanya sama Widya nanti. Kamu temennya Widya, kan?”
Aku mengangguk sekaligus heran. Apa ada rahasia di kantor ini?
Sore ini, aku dan Natha ke taman. Dia yang maksa kami untuk pergi bersama. Padahal kalau lihat anak-anak sih, sudah cukup kelelahan dengan kegiatan sekolah.Dia memakirkan mobil di dekat mainan anak-anak. Ada pelosotan, ayunan, sama jungkat-jungkit. Pinter banget ini orang membuat anak-anak bergembira lihat mainan.Aku sudah penat sekali hari ini dengan drama dia dan Yolanda. Turun dari mobil, anak-anak bermain bertiga, sementara aku memilih untuk duduk di bangku panjang yang terbuat dari kayu dicat warna cokelat.Natha duduk di samping dan seperti biasa mengeluarkan senjata yang katanya mampu membunuh stres di kepala.Dia mengembuskan napas yang mengeluarkan asap. Aku sedikit menghindari kepulan gas yang menyesakkan hidung serta paru-paru tersebut.Dia malah tersenyum. Tanpa ada kalimat yang keluar dari mulut masing-masing, suasana hening dan kaku.Aku melihat anak-anak sedang main kejar-kejaran. Mereka tampak menikmati dunia yang belum tercemar masalah-masalah rumit. Seperti kami or
Pagi ini, kantor sempat heboh karena Yolanda sudah memuntahkan lava panasnya ke semua orang.Mungkin kesambet kali ya ini orang. Kalau aku perhatikan, akhir-akhir ini sering banget wanita tua ini marah dengan cepat.Mungkinkah gara-gara? Namun, kan aku tidak punya hubungan juga dengan pacar berondongnya itu.“Cieleh, pagi-pagi sudah keramas aja tu!” ledek Mala kepadaku.Aku yang baru saja ingin membuka naskah langsung menoleh pada temanku di pojokan ruang editor ini.“Natha juga tu tadi keramas! Kalian satu rumah to!” tambah Jaka.Tanganku langsung memukulkan kamus yang tebal ke lengan pemuda yang berada di sampingku ini. Dia mengelus lengan kirinya sambil memajukan bibirnya.“Makanya jangan buat gosip aneh!” bentakku. “Eh, ibu negara kenapa kok aku datang tadi sudah marah-marah ke kalian?”Mala menggeleng, begitu juga dengan Jaka. Mereka saja tidak tahu, akunya malah kepedean. Berpikir kalau Yolanda cemburu karena aku cukup dekat dengan anaknya.“Nath, gue minta naskahnya Aruna cepat
Saat aku pulang ke rumah, ada seorang anak kecil di depan pintu kami. Seorang gadis kecil dengan rambut panjang dan wajah yang bulat. Badan pun juga agak gembul ditambah kulit yang putih, ya Allah dia sangat cantik dan lucu.“Sedang apa, Dek?” tanyaku.Dia tampak bergerak mundur dari pintu kamarku. Sementara kedua anakku sudah tampak kelelahan.“Luna!” panggil seseorang dari dalam kamar Natha. Seorang wanita yang cukup tua aku rasa. Yang pasti bukan ibu negara.Seorang wanita tua dengan baju gamis berwarna ungu pastel keluar dari kamar Natha. Aku tersenyum kepadanya.“Maaf ya Nak, apa Luna mengganggu kalian?”“Oh, tidak Bu. Dia hanya berdiri di depan pintu saya,” jawabku.“Ayo, Luna tunggu Papa di dalam saja,” ajak wanita tersebut dengan menggandeng tangan mungil si gadis kecil.Namun, ketika aku sedang memasukkan kunci ke dalam tempatnya, dia memanggilku, “Tante Aruna, kan. Papa udah banyak cerita. Kapan-kapan kita main ya.”Aku membalikkan badan ke arah dua orang di belakang. “Iya,
Sampai juga di kantor. Aku harus secepatnya masuk ke ruangan editor. Ada satu naskah baru yang aku tangani. Yah, meskipun amburadul tidak jelas.Namun, aku semangat untuk menorehkan namaku di dalam buku pemerintah tersebut.Siapa tahu ada orang yang ngeh gitu dengan penulis buku pelajaran yang akan dicetak untuk kepentingan satu negara tersebut.Keren juga sih Yolanda mendapatkan proyek sebagus ini. Cerdas, cantik, dan tegas, Ya Allah paket komplit memang.Pantes saja Natha mau sama wanita yang lebih tua darinya itu.“Run, dipanggil ibu negara,” kata Jaka kepadaku.Aku hanya melongo. Ibu negara? Siapa? Aku belum familiar dengan julukan di kantor ini.“Yolanda,” jawab Mala seolah tahu kebingunganku.Aku hanya menjawab heh. Buat apa coba dia memintaku ke ruangannya? Apakah ada hubungan dengan Natha pagi ini?Ah, taulah! Yang penting ke sana dulu!Setelah mengetuk pintu dan memastikan tidak ada suara yang mencurigakan, aku masuk ke ruangan. Ya, karena Yolanda sudah mempersilahkan masuk j
Aku kembali ke kamar dengan membawa lauk dan nasi. Anak-anak tampaknya sangat lapar. Padahal sebelum ke sini sudah makan.Tak lama, ada yang mengetuk pintu. Aku membukanya dan ternyata pemilik perusahaan tempatku bekerja.Aku mempersilahkan dia masuk ke kamar.“Gimana Run, it’s enough?” tanyanya.“Iya, Bu. Sudah lebih dari cukup,” jawabku.“Boleh saya bicara? Saya bukan tipe yang basa-basi. Ini menyangkut Natha. Yah, seperti yang kamu tahu kalau aku dan Natha.” Yolanda terdiam untuk beberapa saat, kemudian melanjutkan perkataannya, “Jangan terlalu dekat dengan dia!”Aku yang masih mencerna kalimat dari wanita cantik ini hanya dapat tersenyum.“Maaf, Bu. Saya tidak suka mencampuri urusan orang lain?” jawabku.“Bagus. Semoga betah di rumah dan kantor,” lanjutnya.Wanita yang menjadi selingkuhan Natha tersebut lalu keluar dari kamar. Aku menemani anak-anak makan lagi.Maksudnya apa coba? Apa aku terlihat sedang menggoda pacarnya yang dingin itu? Ih, males banget.Tidak lama, Natha masuk
Aku mengetuk pintu kantor CEO perusahaan ini. Setelah ada kata yang menyatakan boleh masuk ke ruangan, aku melangkahkan kaki ke dalam. Daripada berujung nasib naas seperti tadi.“Maaf Bu Yolanda, kata Bapak Natha tadi saya disuruh ke sini,” ucapku.Wanita cantik yang sedang memakai lipstik tersebut mengangguk dan mempersilahkan aku untuk duduk di kursi.“Saya hanya ingin memberi tahu kalau ada fasilitas rumah untuk karyawan. Hanya ada 15 kamar dan sepertinya kamu membutuhkannya,” terang Bu Yolanda.“Jadi saya diberi kesempatan untuk mendapatkan fasilitas tersebut, Bu?” tanyaku untuk menyakinkan apa yang baru saja aku dengar.“Iya nanti kamu datang ke rumah saya. Minta alamat dan rute bis sama Widya dari kos kamu,” lanjut pemilik perusahaan ini.“Terima kasih, Bu,” kataku mengakhiri pembicaraan ini dan aku berpamitan pada Bu Yolanda.Ketika berada di pintu, aku berpapasan dengan Natha. Dia sedikit menyunggingkan bibir kanannya, sementara aku hanya menundukkan kepala.Ya bagaimanapun di
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen