Mag-log inHari ini aku lalui dengan degub jantung yang berlari di padang rumput dengan kejaran kuda. Bisa kan membayangkan?
Kalau sedang bekerja dan diawasi oleh atasan yang jutek dan dingin, sedangkan anak-anak malah rewel meminta pulang.
Aku hanya bisa berdoa bisa menuntaskan pekerjaan yang hanya seminggu itu dengan baik ke depannya.
“Gimana?” tanya Widya saat kami sedang berada di kantin.
Aku yang sedari tadi mengembuskan napas untuk menenangkan diri menoleh pada wanita yang berada di samping.
Aku menggeleng dengan mata yang hampir mengeluarkan air mata. Mulutku mulai mengeluarkan kalimat yang terbata.
“Natha dingin banget.”
“Iya emang dia gitu,” jawab Widya sembari tersenyum. “Bekerja saja dengan baik.”
Aku mengangguk lalu mencecap kopi yang sudah dingin. Kami kemudian pulang ke kos. Aku dan Widya naik bis yang cukup membuat perut agak mual. Namun, masih bisa ditahan.
Rencana besok mau naik kereta sih, namanya juga nyobain. Mana yang nyaman aja kan.
Kayaknya sudah cukup drama untuk hari ini. Aku harap nanti sore dan malam mereka berdua menjadi anak baik yang membantu ibunya.
Malam telah berganti dengan pagi yang cukup segar. Aku memang bangun pukul tiga dini hari. Seperti biasa, aku membisikkan ampunan pada Allah dan menyematkan doa untuk kedua orang tua yang berada di Klaten.
Aku menoleh pada wajah-wajah kelelahan yang sedang terlelap. Kamar kos yang kecil ini menjadi saksi betapa kerasnya kehidupan yang kami alami saat ini.
Tanpa ayah yang membimbing mereka, apakah nantinya akan menjadi masalah? Sementara aku merasa kurang cakap menjadi ibu yang bijaksana?
Aku bahkan sering memarahi anak pertamaku hanya karena tidak sesuai harapan yang aku bangun sendiri. Ah, memang mulutku ini harusnya melembutkan suara untuk mereka.
Aku kemudian memasak dan menyiapkan bekal untuk kami nantinya. Kemarin kami sudah cukup banyak jajan. Uang pun menipis. Mau tidak mau, hanya ini yang aku bisa lakukan untuk mengirit sampai bulan depan.
Saatnya untuk berangkat sekolah dan kerja. Aku yang menitipkan mereka di sekolah full day dengan biaya yang cukup menohok. Ya, orang tuaku pula yang membantu untuk menalangi DP sekolah. Selebihnya nanti aku yang akan membayar.
Bekerja di perusahaan tersebut sebenarnya cukup membuatku lelah. Ditambah atasan yang judesnya minta ampun.
Semoga ini adalah keputusan yang benar dan diridhoi Allah.
Sampai di kantor, aku dan Widya berpisah di salah satu lorong. Aku ke kanan sedangkan dia ke kiri.
Di ruangan editor sudah ada Jaka yang sedang sarapan. Dia menundukkan kepala sembari menawarkan makan kepadaku. Aku mengangguk sembari tersenyum kepada pemuda yang tampaknya sih masih muda itu. Baru lulus mungkin.
Aku membuka naskah kemarin. Lumayan kan sudah dapat setengah bagian. Ya, karena memang naskahnya sudah oke banget. Mungkin hari ini aku bisa serahkan kepada bapak kepala editor.
“Rajin amat, Mak,” sapa Mala pagi ini.
Aku tersenyum kepada wanita cantik yang duduk di kursinya tersebut.
“Biar cepat kelar,” jawabku.
Kembali pada naskah yang sedang aku edit. Bekerja dengan baik Aruna atau akan dipecat oleh bapak kulkas itu.
Iya, anak buah Natha menamai dia dengan kulkas berjalan. Orang yang tidak punya empati kepada orang lain. Dingin, jutek, dan judes. Paket komplit untuk membunuh kepercayaan diri orang lain.
Tanpa terasa aku sudah bekerja, bahkan tanpa makan siang tadi. Emang sih, Mala menawariku untuk makan bersama, eh akunya asyik dengan naskah yang mau aku serahkan ini.
Jam dua siang, mungkin Natha ada di ruangan.
Aku berjalan ke ruangan kepala editor. Namun, mengapa tutup ya. Em, aku mengetuk pintu saja.
Tok tok tok
Apa tidak ada orang? Kok sepi? Eh bentar ada suara di dalam. Em, masuk, enggak, masuk, enggak.
Apa masuk aja ya? Kan makin cepat aku serahkan makin bagus.
Tanganku membuka kenop pintu. Namun, segera aku menutupnya kembali. Buru-buru aku ke ruangan editor.
“Dari mana lu?” tanya Mala heran karena aku yang ngos-ngosan.
Aku mencoba menghirup udara sebanyak mungkin. Kemudian tanganku meraih botol yang berisi air minum.
Setelah tenang, baru aku menceritakan apa yang terjadi.
“Aku baru saja dari kantor Natha,” ucapku.
Mala melihat jam ke dinding. “Lu gila apa? Kan udah gue bilang.”
“Aku lupa Mala. Apa yang harus aku lakukan?” rengekku.
Tidak berselang lama, Natha muncul di ruangan editor.
“Aruna! Ikut gue!” perintah si bapak kulkas dengan menggerakkan telunjuk.
Aku sih melangkah dengan kaki yang berat. Seolah ada beban 100 kg yang menyelimuti diriku. Ya elah, lebay kali otakku ini.
Mala melihatku dengan tatapan yang merasa kasihan. Aku tahu sekarang mengapa wanita cantik tersebut mengatakan jangan ke ruangan Natha pada jam tertentu.
Ya Allah apa yang aku lihat tadi sungguh membuatku terkejut bukan main. Memang aku pernah mendengar dari Widya kalau ada perselingkuhan antara Natha dengan Yolanda.
Namun, waktu itu aku tidak terlalu fokus. Tidak terlalu peduli juga dengan urusan orang lain. Apalagi orang yang belum aku temui.
Ah, sialnya! Aku malah masuk di saat mereka sedang bercinta.
Nasib! Nasib!
“Cepetan!”
Suara Natha cetar membahana di ruangan yang cukup luas untuk kami berdua. Iyes, kami ada di lorong menuju ke. Eh, eh, sebentar saudara. Ini kok malah menuju ke dapur.
“Maaf, Pak,” lirihku.
Jemariku memilin ujung kemeja sementara aku hanya dapat melihat kakiku yang bergerak sedikit ke kanan dan ke kiri tanpa beraturan.
Mati aku kali ini! Pasti dia akan menghukum dengan sangat amat. Ah, jangan pikirkan yang belum terjadi Aruna! Jangan!
“Lu tahu aturan kan? Kenapa tidak mengetuk pintu dulu.”
Badan Natha condong ke arahku. Tangan kanan yang masuk ke saku celana sementara tangan kirinya menahan di tembok.
Apa yang akan diperbuat oleh kepala editor ini?
Aku menutup mataku. Badanku mundur untuk menghindari embusan napas yang dengan kasar keluar dari mulutnya.
“Maaf, Pak,” ucapku terbata.
“Maaf, ck. Mana cukup hanya dengan maaf,” jawabnya. “Lu udah cerai?” tanya Natha.
Aku menatap pria yang sedang berdiri tegak di hadapanku sekarang. Seolah pertanyaannya adalah pematik alami untuk aku melayangkan tangan ke arah pipinya.
“Gue hanya tanya, lu malah nampar,” sungutnya.
“Pertanyaan Bapak kurang sopan. Lagipula apa yang saya lakukan tadi bukanlah murni kesalahan saya. Saya hanya karyawan baru di sini,” ocehku pada pria yang menyulut korek untuk lintingan putihnya.
“Lu tahu sebagai karyawan baru, ada kalanya mendengarkan teman itu perlu. Bukankah lu sudah diberi tahu oleh Mala kemarin?” tanya Natha.
Aku memincingkan mata ke arah pria yang mengembuskan asap yang membuatku sedikit batuk.
“Sebelum pulang lu ke tempat Yolanda dulu. Katanya mau ngomong sama lu.”
Natha mengisap lagi kemudian mengeluarkan asap yang kembali mencekat hidungku.
Aku hanya bisa diam saja dengan tingkah bapak kulkas yang menyebalkan satu ini. Namun, aku bisa berbuat apa?
Aku hanyalah karyawan baru yang belum paham tentang gosip atau fakta di kantor ini. Lalu dia mau apa sama aku?
"Maaf bos, Widya kabur!" Segerombolan orang masuk ke rumah tanpa permisi. "Biarin paling ngadu sama Yolanda!" ucap Natha datar. Tidak tampak kaget atau pengen nonjok gitu orang yang tidak bisa menjaga Widya sampai kabur. "Ta-tapi bos apa?" Seseorang dengan tubuh tegap menjawab tapi dengan terbata. "Gue sudah memprediksi karena penjagaan kalian kurang ketat kemarin dan memang harusnya begitu kan? Gue hanya pengen tahu ke mana dia pergi!" Lagi dan lagi Natha satu langkah di depan. Dia sudah memperhitungkan apa yang akan terjadi. Namun, mengapa dia sampai rela mengorbankan diri untuk ditembak Dirga? "Axel ikutin Widya. Kalau perlu dibungkus sekalian supaya tidak jadi beban di kemudian hari!" tegas pria yang berdiri dengan tangan yang masuk di saku celana kirinya. Mataku membelalak, dibungkus? Tidak mungkin akan dibunuh kan? Kalau itu terjadi bagaimana kalau dia berhadapan dengan hukum? Aku sangat bingung. "Santai saja, dia hanya kacung Yolanda. Em okay, gue tunggu kab
Kami berdua tenggelam dalam pelukan yang cukup lama hingga Sandi datang dengan deheman. "Apa gue kurang lama di kantinnya?" tanya Sandi. Yang aku tahu dia hanya basa-basi untuk memecah suasana. Aku merasa tiba-tiba perutku mau mual hanya karena salah tingkah. "Nggak kok," jawab Natha singkat tampak dia membenarkan posisi duduknya. "Yang aku butuh minum!" perintahnya. Tanganku dengan sigap menuangkan air ke dalam gelas dari botol satu setengah liter. "Ini!" kataku sembari melihat kembali wajah bulat dengan kumis tipis di antara bibir dan hidung. Apa hatiku kembali jatuh? Anggap saja iya, tapi masalahku tetap sama. Tidak mudah percaya pada orang. Apalagi pernikahan kami hanyalah topeng untuk menutupi tujuan masing-masing. "Terima kasih," ucapnya disertai lengkungan di bibir yang membuat detak ini makin kencang. Kepalaku naik turun saja karena mulut ini tidak dapat mengeluarkan suara. Sedikit pun. "Yang kamu tiba-tiba sakit gigi. Kok cuma senyum doang. Oug jangan-
Aku tidak bisa melepaskan tali yang mengekang kedua tangan tapi untungnya masih bisa membuat sinyal. Tiba-tiba masuk beberapa orang yang tidak aku ketahui. Mereka langsung membebaskan diriku. Mungkin sih bantuan dari Natha. Kan yang punya anak buah hanya dia. "Nyonya Aruna baik-baik saja?" tanya salah satu di antara mereka. Tinggi dan badannya proposional. "Kita harus bawa Widya ke bos!" Aku dituntun sama orang yang bertanya padaku. Sementara Widya berontak dan ingin kabur. Sayang, tangannya dengan cepat ditangkap oleh orang yang berada di belakangnya. "Kita ke rumah sakit dulu!" perintah orang yang memapahku. Aku kali ini bisa selamat dari perlakuan Widya. Namun, aku tak yakin kalau hal itu dilakukan oleh Yolanda. Dalam perjalanan, Widya mengumpat dan menyumpahi diriku. Satu sisi yang baru aku tahu hari ini. Ternyata aku tidak mengenal dengan benar sahabatku yang satu ini. Sampai rumah sakit, Widya dipaksa masuk salah satu ruangan yang berada di dekat kamar mayat
“Run, kenapa?” tanya Mala padaku. “Natha sudah mendingan?”Aku mengangguk perlahan. Bukan hanya soal Natha yang masih dalam tahap penyembuhan, tapi kaliamat suamiku yang masih teriang sampai sekarang.Incaran? Apa karena Dirga? Mungkinkah Yolanda sudah menargetkan diriku sejak lama? Lalu mengapa Natha datang mau berjuang sebagai pahlawan?Aku rasa bukan sih! Tahulah! Tambah penat kepala ini dengan rangkaian peristiwa yang selalu susul-menyusul.“Lalu mengapa lu tampak kacau begitu?” tanya Mala dengan nada sangat lembut.“Ada hal yang masih mengganjal. Belum bisa aku temukan benang merahnya. Seolah ketika aku hampir mencapai apa yang aku pikir sudah ujung. Malah makin menjauh!” ocehku ketika kami sedang berada di kantin.Mala hanya mengelus lengan ini. Hal ini terlalu rumit untuk aku ceritakan pada orang yang hanya sekedar teman. Bukan orang yang tahu seluk beluk permasalahan kami.“Teleponmu berdering. Natha!” ucap Mala membuyarkan sedikit lamunanku.Lalu aku menekan ke arah atas symb
“Ada apa?” tanyaku pada seorang wanita yang mungkin siap untuk melempar granat dari mulutnya.“Gue sudah tahu kalau sama lu, Natha pasti celaka. Sama seperti Dirga!” Dia menaikkan satu oktaf lebih tinggi dari nada semula.Namun, aku tetap akan memasang wajah yang akan dia benci sekaligus ingat.“Lagipula, yang melakukan ini juga anak buah yang paling kamu banggakan itu, Yolanda,” kataku dengan nada yang tetap dingin.Kami berdiri saling berhadapan. Mata kami saling menatap. Ada semburat merah yang merekah di kedua indra penglihatan wanita yang memakai blouse pink itu.Dia ingin mendominasi situasi yang memanas ini, tapi bukan Aruna kalau tidak akan membuat api yang membakar hatinya itu bertambah meletup.Natha benar, dia licik. Akan tetapi, suamiku mungkin lupa kalau air yang dapat memadamkan api adalah cinta yang tak berujung.Bukankah akan menarik untuk memanfaatkan hasrat yang belum sepenuhnya berakhir itu?“Lu janji Run tinggalin dia! Apapun keadaannya!” teriaknya sekali lagi sebe
“Bagaimana keadaan Natha?” tanya ambu padaku.Aku menggeleng. Tidak dapat berkata apa pun. Sandy kemudian mendekat kepada bibinya. “Doakan Natha Bi. Biar dia kuat!”Aku menelepon Sandy untuk menolong kami. Karena hanya dia yang bisa aku percayai saat ini. Dia bukan orang jahat yang ingin menghancurkan diriku atau Natha.Ambu datang kepadaku dan memeluk tubuh yang hampir jatuh ini. “Kamu yang kuat Run! Kuat! Hanya kamu yang Natha inginkan saat dia bangun!” Tangan ambu mengusap punggung yang bergoyang menahan sesak di dada.Air mataku mungkin sudah membasahi baju ambu. Ambu tetap mengusap punggung ini seraya berkata, “Maafkan kami Aruna! Kami yang memasukkan kamu ke dalam lingkaran ini. Namun, yakinlah Dirga adalah orang yang telah mengkhianati dirimu. Bukan hanya soal cinta, tetapi juga uang dan kepercayaan.”“Kepercayaan?” Badanku perlahan lepas dari pelukan ambu. Aku heran mengapa kepercayaan. Apa yang ambu maksud dengan kata itu? Bukankah pengkhianatan cinta sudah termasuk kepercaya







