Mulai hari ini, anak-anak sudah memakai jasa mobil sekolah. Kemauan si bapaknya juga kok, jadinya ya aku minta dia yang bayarin.
Waktunya pulang, pekerjaan juga sudah selesai, dan diserahkan kepada bapak kepala editor yang merayu untuk waktu yang cukup lama. Aku sih hanya diam sambil makan cokelat yang dikasih sama dia saja. Lumayan memuaskan keinginan makan manis.
Eh, tapi rencanaku diet gagal gara-gara dua batang cokelat mede yang lumayan besar tadi. Bodo amatlah!
Natha, suami yang katanya teladan sudah menungguku di dekat meja. Membuat Jaka yang membereskan mejanya tidak dapat jatah kursi karena diambil oleh kepala editornya.
Selesai beberes, aku meninggalkan dia yang sedari tadi menunggu. Dia mengembuskan napas. Hah, emang enak main sama saya, si bapak yang sok pintar.
Aku bukan tipe orang yang bisa main strategi di awal pertempuran, tetapi otakku bisa membuat alur yang semul
Mulai hari ini, anak-anak sudah memakai jasa mobil sekolah. Kemauan si bapaknya juga kok, jadinya ya aku minta dia yang bayarin.Waktunya pulang, pekerjaan juga sudah selesai, dan diserahkan kepada bapak kepala editor yang merayu untuk waktu yang cukup lama. Aku sih hanya diam sambil makan cokelat yang dikasih sama dia saja. Lumayan memuaskan keinginan makan manis.Eh, tapi rencanaku diet gagal gara-gara dua batang cokelat mede yang lumayan besar tadi. Bodo amatlah!Natha, suami yang katanya teladan sudah menungguku di dekat meja. Membuat Jaka yang membereskan mejanya tidak dapat jatah kursi karena diambil oleh kepala editornya.Selesai beberes, aku meninggalkan dia yang sedari tadi menunggu. Dia mengembuskan napas. Hah, emang enak main sama saya, si bapak yang sok pintar.Aku bukan tipe orang yang bisa main strategi di awal pertempuran, tetapi otakku bisa membuat alur yang semul
Jatah bulan madu kami sudah habis, saatnya kembali pada rutinitas kantor. Ya maklum si bapak kepala editor bagian bahasa, harus mengurus anak buah yang terkadang kelewat lelet kalau kerja. Termasuk aku.Akhirnya kami mengontrak rumah yang cukuplah buat keluarga. Ambu ikut juga dong, kan buat menemani kegabutan diriku kalau Natha ntar lembur.Mendekati akhir semester begini, biasanya para petinggi perusahaan akan sering mengadakan rapat untuk membicarakan tentang profit atau apalah itu.Kata Widya sih begitu, dia kan ikut biasanya. Karena sahabatku itu salah satu leader di bagian HRD, ya mirip-miriplah dengan Natha.Apa seharusnya aku ikut juga? Sapa tahu jadi pinter buat ngurus perusahaan sendiri? Em, kayaknya sih bukan karena itupula.Yang aku pikirkan sekarang adalah Yolanda. Wanita itu telah mengirimkan genderang perang. Mungkin dulu dia pikir, Natha tidak mungkin menikahi aku. Jadinya ya lebih dipandang sebelah mata sama dia.Kalau sampai kami berperang, apa yang akan aku lakukan?
“Akhirnya lu melangkah sejauh ini, Run,” ucap Widya di sampingku. Aku menggenggam jemarinya erat. “Gue pikir kalian nggak bakal nikah. Malah tahunya begini.”Aku tahu, Widya sangat mengkhawatirkan diriku yang akan menikah dengan Natha. Mungkin ini adalah hal yang terbodoh dan akan kusesali nanti. Namun, keputusan sulit ini telah melalui prosedur dari atasan yang Paling Atas.Lalu mimpi yang aku terima beberapa akhir ini mengisyaratkan kalau aku boleh menikah dengan pria yang mungkin sebagian orang dicap sebagai orang yang jahat.Akupun tidak tahu jalan apa yang akan kami tempuh nantinya. Kalau dipikir sekarang malah bikin ribut di kepala.Widya menatap diriku dengan saksama. Aku hanya tersenyum tatkala dia juga melengkungkan bagian wajah yang tergores lipstik berwarna merah itu.Hari ini adalah salah satu langkah besar dalam hidupku. Aku akan memasuki kehidupan bersama seseorang.Semoga dia tidak akan berencana punya anak lagi, kami sudah mempunyai tiga anak yang cukup bikin repot.Ij
Aku izin hari ini karena sakit. Anak-anak tetap berangkat sekolah. Natha yang mau mengantar.Alhamdulillah hanya beberapa hari saja, Luna berada di rumah sakit. Namun, ya begini akibatnya kalau aku kelelahan.Sakit.Sampai-sampai ibunya Natha ikut membantuku mempersiapkan keperluan kakak dan adik dua hari ini. Nenek Luna tersebut juga yang memasak untuk kami. Pokoknya aku tinggal terima anak-anak sudah rapi dan bersih.Tu kan, kalau merepotkan orang aku tu malah kurang enak gitu lho. Meskipun kata ibunya Natha aku sakit juga karena menunggu cucunya di rumah sakit. Jadi wanita yang sudah sepuh tersebut bolak-balik ke kamarku dan kamar Luna.Kalau Natha ya begitu, lebih sering di rumah juga sih. Jarang pergi-pergi setelah Luna sakit. Malahan sekarang sering menemani anak-anakku belajar dan bermain. Sesekali mereka mengunjungi Luna di kamar Natha.Kamar kami berada di lorong yang terpisah dengan kamar lainnya. Jadi memang hanya dua kamar ini yang berada di bagian barat dari rumah yang di
“Kalau bego itu jangan dua kali, Nona Aruna,” cecar Widya pagi ini padaku.Aku melongo sembari melihat kedua sahabatku yang sedang duduk di dekat meja tempat aku bekerja.“Kalau gue sih juga nggak bakalan mau menikah hanya karena kasihan sama anaknya. Padahal tau bapaknya bejat minta ampun.”Kali ini, Mala yang menekankan kata yang seharusnya tidak diucapkan di depan umum itu.Aku mengembuskan napas perlahan. “Okay, aku akan membatalkannya,” ucapku.“Emang berani?” tantang Widya. Iya sih, dia yang tahu segala hal di otakku yang kelewat oleng ini. “Lu nggak nolak gitu. Secara alus!” omel Widya. “Beb, lu tahu Natha tidak akan bisa berubah. Pikirkan lagi!”Widya lalu kembali ke ruangannya karena jam sudah menunjukkan pukul delapan tepat. Saatnya bekerja.Aku mengambil cermin di dekat tempat pensil. Cermin kecil yang biasanya buat aku dandan sedikit sebelum pulang. Bukan mau sok centil, biar kelihatan tidak tampak payah sekali setelah bekerja.Terlihat kerutan yang mulai nampak di sekitar
Waktu berjalan sangat cepat sekali. Saatnya pulang, tapi harus jemput anak-anak dulu. Rencana sore ini mau naik bis.Namun, ya seperti pemburu yang tidak akan melepaskan hewan yang diincar, Natha datang dengan cepat ke mejaku.“Gue tungguin!”“Nath, aku mau naik bis. Ada Widya juga,” balasku.“Cepetan! Luna panas banget. Mau gue bawa ke rumah sakit. Sekarang atau gue tarik!”Aku yang menahan kesal hanya dapat menuruti omongan Natha. Ya Allah, ingin sekali aku berdebat dengan pria ini. Namun, Luna malah makin parah sakitnya.Sesekali aku bisa menolak dia dengan tegas, gitu gimana sih. Dasar aku yang lemah ini.Aku mengikuti langkah Natha yang cepat di depan. Sesampainya di parkiran dia langsung tancap gas menuju sekolah anak-anakku. Secepat kilat mengendarai mobilnya.Dia selalu membunyikan klakson agar kendaraan lain segera menyingkir. Tapi ini kan Jakarta, kota yang penuh dengan macet. Aku tahu dia sedang khawatir. Namun, saat ini aku malah lebih khawatir soal keselamatan kami. Sete