Share

Tidur Bersama

Sesampainya di pujasera, Cecil celingukan mencari meja yang kosong. Kantin rumah sakit ini terlihat sangat ramai. Banyak dari keluarga pasien yang mencari makan di sore hari seperti ini.

"Mau duduk di sebelah mana? Mejanya penuh semua," ujar Cecil sambil menatap lesu sang atasan. Perutnya sudah keroncongan, ditambah tidak ada tempat untuk dirinya makan, membuat gadis itu menahan rasa kesal.

Devan pun mengedarkan pandangannya. Di meja paling ujung, terlihat sepasang kekasih tengah beranjak dari tempat duduknya. Dengan cepat, Devan mengambil langkah lebar dan menggeret tangan Cecil untuk berjalan mengikutinya. "Ayo!"

"Aduh, duh!" gerutu Cecil yang kesusahan mensejajarkan langkahnya dan Devan. Gadis itu sampai terseok-seok karena tangannya terus diseret.

"Duduk!" perintah Devan saat keduanya berhasil menempati meja kosong itu.

Cecil menatap kakinya yang memerah. Sepatu heels yang kekecilan, membuatnya harus meringis menahan sakit. Ia pun hanya melirik sekilas pada Devan, lalu duduk di atas bangku yang memanjang. Ia tidak berniat menjawab ucapan laki-laki itu.

"Mau makan apa?" tanya Devan perhatian. Pria tampan itu berinisiatif untuk memesankan makanan karena kasihan melihat Cecil yang sudah tidak bersemangat. Tubuhnya pun terlihat loyo tak bertenaga.

"Terserah Pak Devan saja. Saya bisa apa selain menurut? Kan Bapak yang berkuasa atas hidup saya," ujar Cecil setengah menyindir. Bukankah begitu yang Devan katakan?

Devan terkekeh. Gadis itu memang unik. Kadang nurut, kadang suka membangkang. Tidak mudah ditebak. "Good! Tetap jadi bawahan yang baik seperti ini. Saya tidak suka pembangkang."

Setelahnya, Devan pun pergi dari hadapan Cecil untuk memesan dua porsi nasi goreng dan dua gelas teh hangat, lalu kembali lagi ke mejanya saat semuanya sudah dipesan.

Cecil yang melihat Devan berjalan ke arahnya, langsung mengambil sikap tegap setelah tadi dirinya sempat menyandarkan kepala di atas meja.

"Sudah saya pesan," ujar Devan, lalu duduk di hadapan Cecil.

"Bapak pesan apa tadi?" tanya Cecil penasaran. Semoga saja, Devan tidak pesan makanan laut, karena dirinya sangat alergi dengan seafood.

"Nasi goreng sama es teh," ujarnya dingin.

Cecil tersenyum. Senyumnya tulus dan menyejukkan, membuat Devan sedikit terpanah. Namun, laki-laki itu harus tetap terlihat stay cool. "Syukurlah. Saya alergi makanan laut soalnya, Pak. Tadi saya lihat ada yang jual cumi sama kerang. Untungnya, Pak Devan tidak pesan itu."

Devan pun hanya memasang tampang datarnya tanpa berniat menanggapi Cecil. Cecil sendiri tak mau membuka percakapan lagi. Ia lupa jika bos galaknya ini sangat acuh, tentu saja tidak akan menanggapi obrolannya yang tidak bermutu itu.

Tak lama, terlihat pramusaji dengan seragam hitam putih tengah berjalan membawa nampan besar berisi dua porsi nasi goreng beserta minumannya. Sesampainya di meja Cecil dan Devan, dengan cekatan, pramusaji menaruh menu makanan yang sudah mereka pesan di atas meja.

"Silakan dinikmati, Kak," ujar pramusaji ramah.

Cecil pun tersenyum tak kalah ramah. "Terima kasih."

Setelahnya, pramusaji pamit pada keduanya, karena masih harus mengantarkan makanan lain.

Saat pramusaji sudah berlalu dari hadapan keduanya, Devan dan Cecil mulai menyuap. Cecil terlihat sangat lahap, karena selain lapar, rasa masakannya juga nikmat. Selain itu, pelayanannya pun terbilang cukup cepat, meski pembeli sangat ramai. Andai ini adalah warung makan dan bukan pujasera rumah sakit, pasti Cecil rela menghabiskan uang di sini setiap hari, karena harga makanannya juga sangat terjangkau.

"Pelan-pelan!" tegur Devan saat mulut Cecil mulai belepotan.

Cecil memelankan cara makannya. Ia pun mengubah sikapnya menjadi lebih berwibawa. Cukup Devan saja yang melihatnya urakan seperti ini. Jangan sampai hal ini terjadi lagi saat dirinya tengah makan bersama keluarga Devan. Bisa hancur reputasinya.

"Ma--maaf, Pak," ujar Cecil salah tingkah.

"Saya tidak mau hal ini sampai terulang. Cukup kali ini saja saya lihat kamu urakan seperti itu. Apa yang keluarga saya katakan kalau sampai mereka melihat kamu makan kayak gitu?"

Cecil menarik napas panjang. Ia harus bisa meredam emosi yang hampir meluap.

"Ribet banget sih musuh orang kaya? Aku dulu juga pernah jadi orang kaya, tapi perasaan nggak gini-gini amat!" batin Cecil dalam hatinya.

"Denger nggak, ucapan saya?!" kesal Devan saat Cecil tak kunjung menjawabnya. Gadis itu justru terlihat asyik dengan pikirannya.

"Iya, Pak. Saya janji tidak akan mengulanginya lagi. Sekali lagi, saya minta maaf karena sudah membuat Bapak malu."

Devan pun tidak menggubris. Ia hanya menatap gadis itu sekilas, lalu melanjutkan makannya lagi. Sementara Cecil hanya bisa menggerutu dalam hati.

Usai memanjakan perut, keduanya kembali ke ruang operasi. Devan berjalan di samping Cecil. Gadis itu terlihat buru-buru, takut-takut jika ibunya sudah dipindahkan. Tiba-tiba saja, "Awww!" adunya saat heels yang dikenakan patah.

Cecil menghentikan langkahnya lalu melepas heel yang menjadi alas kakinya. Ditatapnya jari jemari yang semakin memerah dan mengabaikan rasa sakit yang ia rasakan. Cecil memungut heelsnya kemudian menentengnya dengan satu tangan.

Setelahnya, ia kembali berjalan dengan kaki menyeker. Ia mengabaikan tatapan orang-orang yang terlihat meremehkan.

"Kaki kamu kenapa merah gitu?" tanya Devan yang baru menyadari adanya kejanggalan di kaki Cecil. Bahkan, jalannya pun tidak sesantai tadi.

"Heelsnya kekecilan, Pak. Jadi merah," ujarnya jujur.

"Dasar ceroboh!"

Cecil tidak menggubris. Ia pun memilih untuk terus berjalan tanpa menghiraukan ocehan bosnya.

Sesampainya di ruang operasi, ruangan sudah kosong. Benar saja yang Cecil khawatirkan, ibunya sudah dipindah ke ruang inap biasa.

Cecil tersenyum kecut, saat petugas memberitahu dirinya kalau pasien sudah dipindah. Ia pun bergegas pergi ke ruangan ibunya.

"Sudah dipindahkan. Saya mau ke ruangan Ibu. Kalau Pak Devan mau pulang, pulang saja," ujar Cecil sambil sesekali menatap Devan yang berdiri di hadapannya.

"Saya ikut."

Cecil memicingkan matanya. Ia tidak paham dengan apa yang ada di pikiran laki-laki itu. Apa yang Devan mau sebenarnya? "Kenapa Bapak masih mau di sini? Pak Devan pulang saja. Saya bisa jaga Ibu sendirian. Lagian, besok pagi Bapak ada jadwal pertemuan dengan klien dari Singapura. Saya tidak mau Pak Devan sampai kesiangan."

Devan menatap Cecil tajam. "Bisa diam, tidak?! Mau saya pulang ataupun tidak, itu hak saya. Kamu tidak punya hak untuk melarang saya."

Cecil tertegun mendengarnya. Namun sedetik kemudian, ia berubah menjadi acuh. Cecil menggerakkan kedua bahunya naik turun lalu membiarkan Devan berbuat semaunya. "Terserah Bapak saja. Saya tidak peduli. Waktu saya tidak seluang itu buat ikut campur urusan pribadi Bapak!"

"Pintar!"

Tanpa membuang lebih banyak waktu, Cecil pun meninggalkan Devan dan berjalan menuju ruang inap Nira.

Devan yang masih tertinggal di belakang, langsung mengambil langkah seribu dan mensejajarkan langkahnya dengan Cecil.

"Tunggu saya!" Teriak Devan lantang.

"Makanya, jangan lelet!" ledek Cecil disengaja. Dendamnya kini terbayar lunas, karena tadi Devan juga sempat mengejeknya.

"Jangan bacot!" Cecil terkesiap dibuatnya.

Sesampainya di depan pintu ruang inap ibunya, Cecil pun langsung masuk ke dalam dan disusul oleh Devan. Gadis itu tersenyum samar setelah melihat kondisi ibunya. Wajah Nira terlihat lebih segar meski belum sadarkan diri.

Cecil meraih tangan Nira yang lemah tak berdaya itu. Diciumnya sebentar jari jemari Nira, lalu dibawa ke dalam dekapan. "Ibu cepat sadar dong, Cecil rindu senyum Ibu, rindu omelan Ibu, rindu candaan dan semua kebersamaan kita, Bu. Jangan lama-lama ya, tidurnya?"

Tanpa terasa, air mata Cecil menetes. Dibiarkan air mata itu mengalir membasahi pipinya. Sungguh, Cecil tak kuasa menahan tangisnya. Kalau boleh memilih, lebih baik dirinya yang terbaring di ranjang itu. Ia tidak akan sanggup melihat ibunya berjuang sendirian melawan penyakitnya.

Devan sendiri hanya bisa membiarkan gadis ini menangis. Ia tidak tahu harus berbuat apa.

Cecil menghapus air matanya kasar, saat menyadari keberadaan Devan yang berdiri mematung di sampingnya. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan bos galaknya itu. "Maaf, Pak. Bapak jadi lihat saya nangis."

Devan menggeleng pelan. Segalak apa pun dirinya, ia tetap manusia yang masih punya rasa empati. "Tidak perlu minta maaf. Menangis saja kalau itu bisa membuat perasaan kamu jauh lebih lega. Tidak perlu sungkan, saya juga pasti akan melakukan hal yang sama jika yang diposisi kamu adalah saya."

Cecil tersenyum. Dibiarkan air matanya kembali meluruh saat tangan mungilnya menyentuh lembut wajah Nira.

Melihat Cecil seperti itu, entah mengapa hati Devan jadi tersentuh. Gadis itu memang benar-benar menyayangi ibunya. Bahkan, ia rela menjadi istri bayaran agar ibunya bisa terselamatkan.

Tidak ingin terlalu berempati, Devan memilih untuk mengalihkan perhatiannya dari gadis itu. Ia berjalan menuju sofa mini yang tersedia di sana, lalu mendudukkan diri sambil bermain ponsel. Tak lupa ia menghubungi anak buahnya untuk membawakan baju ganti yang akan digunakan untuk bertemu klien dari luar negeri.

Tak lama, Cecil menghampiri Devan dan duduk di sebelah laki-laki itu.

"Terima kasih," ujar Cecil tulus, meski pandangannya tetap mengarah ke depan.

Devan mengernyit bingung, ia beralih menatap horor pada Cecil. "Terima kasih untuk?"

Cecil merubah posisinya menjadi berhadapan dengan Devan. Ia tersenyum tulus dan membuang jauh-jauh sikap juteknya. "Terima kasih karena Bapak sudah bersedia membantu saya membiayai operasi Ibu, menjaga Ibu, mengantar saya ke rumah sakit, bahkan Pak Devan sampai repot-repot menunggu operasi ibu saya. Terima kasih banyak."

"Kamu jangan senang dulu! Jangan lupa dengan perjanjian kita."

Cecil tersenyum getir. Mana mungkin dirinya lupa dengan perjanjian sialan itu? Tapi nasi sudah menjadi bubur, menyesal pun tak ada guna. Yang penting, ibunya bisa selamat. "Bapak tenang saja. Saya tidak mungkin lupa dengan kontrak pernikahan itu. Besok, setelah bertemu dengan klien, kita bahas di ruangan Bapak."

Devan mengangguk setuju. Lebih cepat, akan lebih baik. "Oke! Saya tunggu besok di ruangan jam 10. Setelahnya, kamu dandan yang cantik, karena saya akan mengajak kamu untuk makan siang bersama keluarga."

"Hah? Secepat itu? Apa tidak kecepatan, Pak? Bahkan, ibu saya masih belum sadar." Cecil benar-benar tidak paham dengan apa yang ada di otak Devan. Sebenarnya, rencana apa yang sudah Devan susun?

Devan menyeringai. Melihat Cecil yang pasrah, membuatnya bersorak dalam hati. "Saya rasa, itu tidak masalah. Semakin cepat, maka akan semakin baik. Jadi, kamu tidak akan bisa macam-macam lagi."

Cecil menarik napas kasar. Sekarang, dirinya paham, jika Devan hanya ingin membuatnya takluk dan tidak bisa berbuat apa pun. Devan benar-benar licik! "Terserah Bapak saja! Saya bisa apa?!"

Cecil menjauh. Gadis itu lebih memilih untuk duduk di samping ranjang ibunya daripada harus berdekatan dengan lelaki angkuh itu.

***

Setiap detiknya jarum jam terus bergerak. Tidak terasa, hari sudah semakin larut.

Hoam ...

Cecil menguap menahan kantuk. Matanya pun sudah semakin berat. Tiba-tiba saja, Devan beranjak dari tempatnya, lalu berjalan menghampiri gadis itu.

"Saya sudah mengantuk," ujar Devan yang kini tengah berdiri di sebelah Cecil.

Cecil pun mendongak lalu menatap pria di sebelahnya dengan mata memicing. "Tidur saja. Biar saya yang jaga Ibu."

Cecil menatap kasur kecil yang tersedia di ruang inap VIP ini dan mengisyaratkan agar Devan segera merebahkan diri di atas sana dengan menggerakkan dagunya.

Devan pun mengikuti arah yang Cecil tunjuk dengan dagu, lalu ia menggeleng cepat, "Di sana hanya ada bantal. Saya tidak bisa tidur tanpa guling."

Mendengar itu, napas Ceci berhembus kasar. Tidak heran jika orang kaya memang sangat ribet.

"Huffttt! Terus saya musti gimana? Pakai saja apa yang ada, kalau tidak mau, pulang saja!" ucapnya acuh dengan bola mata yang memutar malas.

"Tidur sama saya! Kamu jadi gulingnya."

"Apa?!" Mata Cecil membelalak lebar. Apa-apaan, Devan ini! Mentang-mentang bos, bukan berarti bisa mengajak Cecil tidur seenaknya!

"Kenapa? Kamu keberatan?"

Pertanyaan macam apa ini? Tentu saja gadis itu keberatan!

Cecil meringis. Ia harus berpikir lebih keras untuk menolak perintah bosnya tanpa membuat laki-laki itu tersinggung. "T -- tapi kasurnya kecil, nanti Bapak kesempatan."

Devan melirik ranjang kasur mini yang agak jauh dari tempatnya. Kasur bersprai ungu dengan motif bunga-bunga itu, terlihat tidak terlalu sempit. Devan pun menarik samar sudut bibirnya. "Tidak terlalu kecil, sepertinya cukup untuk dua orang."

Cecil memutar otak. Ia memikirkan bagaimana caranya menolak keinginan dari bosnya yang dirasa sangat konyol.à "Emmm ... saya tidur di sofa saja. Biar Bapak bisa tidur nyenyak, soalnya saya kalau tidur banyak tingkah, takutnya Pak Devan terganggu."

Cecil nyengir dengan senyum andalannya. Semoga saja, kali ini laki-laki itu bisa berpikir dua kali untuk memintanya tidur bersama. Yang benar saja! Gadis itu belum pernah tidur dengan laki-laki mana pun selain ayahnya.

Devan menggidikan bahunya. "Tidak masalah. Saya bisa mengunci pergerakan kamu dengan kaki panjang saya. Mau alasan apa lagi?"

Cecil memegangi kepalanya yang berdenyut. Percuma saja ia membuat seribu alasan sekalipun, laki-laki angkuh itu tidak akan membiarkan hidupnya bahagia dalam ketenangan.

"Dasar pria angkuh!" makinya berapi-api.

"Jangan banyak omong! Saya tunggu di sana!" tunjuk Devan pada ranjang yang masih tertata dengan rapi. Ia kemudian menggiring langkah menuju ke arah yang ditunjuknya. Sementara Cecil langsung berdiri, perlahan mulai mengikuti langkah bosnya agar tidak terkena ocehan maut.

Sesampainya di tepi ranjang, Devan bergegas naik. Tak lupa, ia melepas sepatu mahalnya terlebih dahulu, kemudian bergeser ke pojok agar Cecil bisa ikut naik ke atas ranjang.

Cecil yang ragu, ia pun terlihat mematung, membuat Devan sedikit geram.

"Tunggu apa lagi? Cepat naik!" perintah Devan.

"S-- Sekarang, Pak?" Wajah Cecil tampak pucat. Ia takut jika Devan akan melakukan hal yang tak senonoh. Masalahnya, ruang inap VIP ini terlalu private, kalaupun ada apa-apa, tidak akan ada orang yang akan menolongnya, apalagi ibunya masih sekarat.

"Nanti, nunggu lebaran gajah!" Devan menarik napasnya sebentar, lalu mulai berceloteh. "Ya sekarang lah! Gitu saja pakai tanya!"

Mendengar cemoohan Devan, Cecil pun mengelus dada beberapa kali. Meski ragu, pada akhirnya gadis itu pun menurut. Perlahan, ia mulai melakukan pergerakan, naik di atas ranjang lalu merebahkan diri di sana dengan posisi membelakangi bosnya yang arogan.

Devan tersenyum samar, akhirnya dia bisa mengendalikan gadis itu. Ia mendekatkan tubuhnya, lalu melingkarkan tangan dan kaki di tubuh gadis itu.

Cecil tertegun saat tangan kekar milik Devan kini mengunci pergerakannya. Tangan itu sudah bertengger di perut Cecil dan kakinya pun tengah menindih kaki jenjang sang gadis, membuat gadis itu sedikit tak nyaman.

"Pak, Saya gak bisa napas.

Jangan terlalu erat!"

Bukannya menggubris, Devan malah semakin mengikis jaraknya. Bahkan, laki-laki itu sengaja menyembunyikan wajahnya di tengkuk leher milik Cecil. "Sudah, Diam! Saya mengantuk."

Benar saja. Laki-laki itu memang sudah benar-benar mengantuk. Tak lama, terdengar sebuah dengkuran halus yang masih bisa tertangkap pendengaran Cecil. Gadis itu tersenyum samar, meski dirinya merasa risih dengan napas Devan yang berhembus di tengkuknya.

Cecil pun berusaha memejamkan mata, namun kantuknya tak kunjung menyerang. Ia bingung sekaligus gelisah. Sungguh, ia tidak pernah tidur dengan laki-laki asing.

Dalam lamunannya, gadis itu terbayang nasibnya setelah menjadi istri Devan nanti. Apa lelaki itu akan melakukan hal yang sama setiap harinya? Menjadikannya sebagai guling seperti ini? Ah! Cecil tidak ingin berpikiran terlalu jauh.

Tiba-tiba, Devan terbangun. Ia tahu jika calon istrinya itu masih terjaga.

"Tidur, Cecilia!" ucap Devan dengan suara seraknya. Bagi Devan, ini perintah dan tidak boleh dibantah.

"Astaghfirullah!" Cecil tersentak kaget. "Bapak, ngagetin aja!" imbuhnya lagi.

"Tidur!" perintah Devan.

"Nggak bisa tidur," ujarnya jujur. Tangannya bergerak memilin rambutnya yang cukup panjang.

Dengan sekali gerakan, tangan Devan membalik tubuh Cecil hingga posisi gadis itu beralih menghadapnya. Devan menyembunyikan wajah Cecil di atas dada bidangnya. Tidur, atau saya ajak main sampai pagi.

Cecil yang tidak terlalu polos, dia paham dengan maksud Devan. Bukannya takut, gadis itu malah menantang. "Sok-sokan sampai pagi. Gak sampai sejam juga encok!"

"Kamu nantangin? Baiklah, kamu yang minta!" Devan pun mengunci pergerakan Cecil dengan kaki panjangnya. Ia sudah bersiap menindih gadis itu. Devan tidak pernah main-main dengan ucapannya.

Tanpa pikir panjang, Cecil memejamkan matanya, lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan.

“Iyaaa… Saya tidur.”

Apa yang terjadi setelahnya?

Babu Semesta

Komennya dong. Biar semangat!

| Like

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status