Bakti adalah pria yang setia kepada satu pasangan saja. Aku tidak pernah melihat gejala-gejala aneh yang dia tunjukkan setiap kali kami bersama. Dia tidak menyembunyikan ponselnya dariku, tidak pernah menerima telepon dengan menjauh dariku, juga tidak pernah pergi ke mana pun sepulang kerja. Sikapnya kepadaku juga tidak berubah. Meskipun kami punya masalah, dia sangat sayang dan peduli kepadaku. Mustahil dia punya selingkuhan. Namun mengenai hubungan dia dengan mantannya, aku memang tidak tahu banyak. Aku juga tahu bahwa dia sudah tidak perjaka lagi saat kami menikah. Hal yang tidak menjadi masalah bagiku, asalkan dia tidak bermain perempuan selama kami menikah. Dia menepati janjinya. Memiliki anak dengan perempuan lain adalah sebuah rahasia yang besar dan aku yakin Bakti tidak akan bisa menutup mulutnya dariku. Tetapi uang sebanyak itu cukup untuk menutup mulut seorang perempuan dan membesarkan seorang anak sampai tamat sekolah. “Tidak, Rora. Bakti tidak mungkin punya anak dengan p
Tanganku refleks menyentuh pipi depanku dan aku merasakan cairan. Aku tidak sadar bahwa aku menangis. Aku segera menyeka kedua pipiku dengan punggung tanganku. Memalukan sekali. Aku malah menangis di depan orang lain. Namun Ben kelihatannya baik-baik saja. Tidak ada luka yang terlihat oleh mata. Tidak ada benjol di kepala, jalannya juga normal dan tidak pincang, lalu kedua tangannya berfungsi dengan baik. Dia tidak mengerutkan kening yang menunjukkan dia sedang menahan sakit. “Ka-kamu tidak memeriksa keadaan ponselmu. A-aku tidak bisa menghubungi kamu dan Karno juga lupa membawa ponselnya bersamanya.” Aku menarik napas panjang menyadari suaraku terisak. “Aku pikir sesuatu yang buruk terjadi padamu.” “Oh.” Dia melihat ponselnya, lalu mengeluarkan ponsel yang kedua. “Maafkan aku. Aku tidak tahu bahwa ponselku kehabisan daya. Maaf, aku sudah membuat kamu khawatir.” “Aku tidak punya nomor Nelson, jadi aku tidak tahu harus bertanya kepada siapa untuk mengetahui keadaanmu. Aku ingin bert
~Benedict~ Aku sudah terbiasa mendengar kata itu seumur aku hidup. Syarat. Saat aku akan masuk sekolah baru, ada syaratnya. Memilih jurusan yang aku inginkan di kampus, juga ada syaratnya. Sampai urusan hak yang aku miliki sebagai anak sulung keluargaku pun, ada syaratnya. Salah satu bentuk ketidakadilan di rumahku sendiri. Kenneth dan Eloisa tidak pernah susah payah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Mereka mau sekolah di mana, bekerja di mana, berlibur ke mana, bahkan sesederhana pakaian atau makanan yang mereka mau, akan mereka dapatkan secara cuma-cuma. Tanpa syarat. Orang-orang seperti mereka yang seharusnya tidak dimanja sejak kecil. Karena mereka sudah memiliki segalanya yang didambakan setiap orang di dunia ini. Wajah mereka menarik, tubuh mereka bagus, mudah mendapatkan teman, otak mereka juga cemerlang, berbeda denganku yang kadang-kadang butuh bantuan orang lain. Aku membutuhkan pengaruh ayahku untuk melindungi aku dari perundungan di sekolah. Aku perlu perlindungan d
Aku tidak perlu membalikkan badanku untuk mengetahui siapa yang masuk begitu saja ke ruang keluarga. Suara itu sudah aku kenal karena kami tumbuh besar bersama. Suara yang sudah sering berteriak kasar kepadaku dan mengucapkan kata-kata yang tidak pantas diucapkan seorang saudara. Delima menyentuh tanganku dan aku bisa merasakan tatapannya kepadaku. Aku menoleh dan bertemu pandang dengan wajah khawatirnya. Aku tersenyum. Tidak ada yang perlu dia takutkan dari pemilik suara besar itu. Dia bagaikan anjing yang hanya berani menggonggong tapi tidak punya nyali untuk menggigit. “Ada apa ini, Ken? Siapa yang mengizinkan kamu masuk dan berteriak sesukamu di rumahku?” kata Kakek dengan wajah tidak suka. “Maafkan aku, Kakek. Aku tidak bermaksud lancang. Aku mendengar anak tidak tahu diri ini datang ke rumah Kakek, jadi aku menyusul ke sini secepatnya.” Kenneth berjalan mendekati sofa di mana Kakek berada. “Apa dia mengatakan sesuatu yang membuat Kakek susah?” “Dia hanya datang bersama istrin
“Mama di rumah Kakak? Apakah terjadi sesuatu?” Delima melirik ke arahku. Dia mendekati mobil, maka aku mengikutinya. Karno membukakan pintu mobil untuk kami, lalu menutupnya setelah kami duduk di jok belakang. “Baik. Kami akan ke sana.” “Ada apa?” tanyaku saat dia memasukkan ponselnya kembali ke tasnya. Wajahnya terlihat cerah, jadi ini pasti bukan kabar buruk. “Kak Pangestu menghubungi Papa dan Mama tadi dan mengatakan ada kabar baik. Mereka terlalu bahagia sampai pergi ke rumah Kakak tanpa sempat memberi tahu kita,” jawabnya dengan riang. “Kamu tidak keberatan kita menemui mereka di rumah Kakak, ‘kan?” “Tentu saja tidak,” jawabku cepat. Aku melihat ke arah Karno. “Kita ke rumah kakak Ima.” “Baik, Tuan,” jawab Karno dengan patuh. Delima melihat ke arahku dengan heran. “Kamu tahu di mana kakakku tinggal?” Dia memandang aku dan Karno secara bergantian. “Apa kamu lupa aku pernah menawarkan untuk menyediakan mobil jemputan untuk keluargamu pada hari pernikahan kita? Aku tidak akan m
~Delima~ Ben menang banyak dariku. Hanya dalam satu kunjungan saja, dia berhasil memenangkan hati seluruh anggota keluargaku. Papa, Mama, Kak Pangestu, dan Kak Mikha terdengar santai mengobrol dengannya. Mereka bahkan sesekali terdengar sedang tertawa. Sedangkan aku baru berhasil bicara dengan kakeknya. Masih ada keluarga intinya yang belum duduk bersama denganku. Aku bahagia melihat Papa akan sibuk lagi dengan usaha barunya. Aku yakin kali ini dia akan sukses besar karena didampingi oleh pengusaha sesukses Ben. Papa tidak harus tinggal di rumah sepanjang hari lagi dan mengeluhkan dua usahanya yang gagal total. “Jadi, kabar bahagia apa yang membuat papa dan mamaku melupakan putri kesayangan mereka?” Aku memicingkan mata ke arah Kak Mikha. Kakak iparku itu mengusap perutnya, memberi tanda. Aku melihat ke arah gerakan tangannya itu. Begitu aku menyadari kabar bahagia yang mereka maksudkan, aku menjerit senang. “Kakak sedang hamil??” Kak Mikha menganggukkan kepalanya. “Usianya sudah e
Seorang wanita berwajah ramah berambut pendek di atas bahu, tersenyum kepada Nelson. Dia memakai setelan dengan rok sepan yang ujungnya sedikit di atas lutut dilengkapi dengan sepatu berhak tinggi. Meskipun begitu, tubuhku masih lebih tinggi darinya. “Selamat pagi, Puput.” Nelson menatapnya sambil mengangkat kedua alisnya. “Aku sudah lama mengenal kamu, sejak kamu masih memakai seragam putih hitam. Naik jabatan tidak membuat kamu pantas aku panggil dengan sebutan ibu.” “Ha! Ucapan apa itu? Lihat saja nanti kalau aku sudah naik menggantikan posisimu. Kamu tidak akan bisa memandang rendah aku lagi.” Wanita itu mengibaskan rambutnya ke belakang dengan tangan kirinya. Aku tersenyum melihatnya. “Puput, andai kamu tahu. Aku akan sangat senang kalau bisa lepas dari pekerjaan yang melelahkan ini.” Nelson membuat gerakan menyeka keringat dengan mengusap keningnya. “Ah, bos sudah memanggil.” Dia melirik ke arah ponselnya yang bergetar. “Aku harus pergi, jadi aku akan cepat. Ini Delima Aruna,
~Benedict~ Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku tidak bisa tidur. Rasanya sudah lama aku hidup dengan tenang, meskipun aku tidak punya banyak teman. Aku hanya punya Nelson dan Karno, tetapi hidupku terasa lengkap. Keteledoranku sendiri pada malam sebelumnya yang membuat aku jadi begini. Mengapa? Mengapa aku menoleh saat dia berniat mencium pipiku? Aku tidak akan merasa bersalah bila kecelakaan itu tidak pernah terjadi. Aku juga tidak akan merasa malu untuk menghadapi dia lagi. Seharusnya aku tidak mengabaikan dia sepanjang pagi tadi. Tetapi ini adalah pengalaman pertamaku dan aku tidak tahu harus bersikap bagaimana. Aku tergoda untuk bertanya kepada Nelson, apalagi dia sudah pengalaman berpacaran dengan calon istrinya. Mengingat kami tidak pernah berbagi masalah pribadi, aku mengurung niatku tersebut. Seperti orang bodoh yang kehilangan akalnya, aku juga tidak bisa konsentrasi bekerja. Nelson sudah berulang kali menangkap basah aku tidak mendengarkan laporan darinya. Kecepatanku