Aku tidak menduga dia akan mengajukan hal itu sebagai syaratnya. Karena dia adalah rekan bisnis bosku, aku pikir dia akan meminta aku membujuk Pak Luis untuk menyetujui proyek baru darinya atau hal lain yang ada hubungannya dengan pekerjaan.
Hari Kamis artinya tiga hari lagi. Bila kami menikah pada hari Kamis, apa utangku baru akan dibayar setelah kami resmi menjadi suami istri? Tetapi kami tidak saling mengenal. Aku bahkan tidak tahu seperti apa orangnya. Tidak, tidak. Apa yang membuat aku ragu? Kesempatan ini tidak akan datang dua kali. Pria mana yang mau menikah dengan janda yang terlilit utang seperti aku?
Terlebih lagi, Pak Benedict bukan pria biasa. Dia seorang pengusaha sukses yang punya banyak usaha lain selain yang berhubungan dengan garmen. Aku bukan hanya lepas dari utang, tetapi aku juga akan hidup nyaman selama dia masih menginginkan aku menjadi istrinya. Aku tidak akan hidup susah lagi seperti yang aku alami bersama Bakti.
“Jadi, maksud Bapak, kita menikah pada hari Kamis ini dan utang saya akan Bapak lunasi pada hari Jumat?” tanyaku mengonfirmasi ucapannya.
“Benar. Apa kamu keberatan?” tanyanya kemudian.
“Tidak. Saya sama sekali tidak keberatan. Apa yang harus saya lakukan? Apa saya perlu memberi tahu orang tua saya atau Bapak yang akan datang menemui mereka?” Aku pasti akan dimarahi Papa dan Mama, tetapi aku tidak punya jalan lain.
“Hal itu aku serahkan kepadamu. Aku hanya akan mengirim orang untuk mengukur tubuhmu besok pagi. Lalu pada Kamis pagi orangku akan menjemput dan membawa kamu ke hotel. Kamu akan bersiap-siap di sebuah kamar yang akan aku pesankan untukmu. Pemberkatan akan dipimpin oleh pendeta dari gerejaku, sedangkan resepsi akan diadakan di restoran hotel itu.”
Seperti biasanya. Dia sudah menyiapkan segala detail dengan baik. Persiapan pernikahan ini bahkan sudah dia pikirkan sebelum menelepon aku. Aku yakin itu. Bagaimana dia berbisnis, begitu juga dia mempersiapkan pernikahan kami.
“Apa kamu membutuhkan sesuatu? Ada yang perlu aku siapkan khusus untukmu?” tanyanya dengan suara yang lebih lembut, jauh dari kesan seriusnya saat membahas pekerjaan.
“Tidak, Pak. Saya sangat berterima kasih atas bantuan Anda. Apa yang sudah Bapak siapkan lebih dari apa yang bisa saya minta.” Lalu aku teringat pada sesuatu. “Ng, bila ini tidak merepotkan, apa saya boleh meminta hal khusus mengenai gaun pernikahan saya?”
Aku merasa jauh lebih baik setelah bicara dengan Pak Benedict. Beban yang sangat berat terangkat begitu saja dari pundakku sehingga air mataku tidak berhenti menetes saat aku pulang ke rumah. Bahkan untuk pertama kalinya sejak para penagih utang itu datang, aku bisa tidur pulas.
Orang yang dia katakan akan datang itu menepati janjinya. Mereka bekerja dengan cepat saat mengukur badanku. Lalu kami duduk bersama dan mereka memberi aku buku berisi foto gaun koleksi mereka. Gaun khusus yang aku minta.
“Apa kamu tidak salah bicara? Kamu akan menikah lusa ini? Bakti belum genap meninggal selama tiga minggu dan kamu sudah mendapatkan penggantinya? Apa kata orang nanti, Ima? Tidak. Kamu tidak bisa menikah secepat ini. Kamu harus membatalkan niatmu itu!” hardik Papa.
“Aku mengerti bahwa kamu kesepian dan membutuhkan perhatian seorang suami. Tetapi kamu hanya bisa menikah lagi paling cepat satu tahun setelah kematian suamimu. Tidak kurang dari itu,” timpal Mama dengan tegas.
“Bukankah kamu mencintai Bakti? Mengapa kamu bisa secepat ini melupakan dia dan berpaling hati? Aku tahu kamu berhak untuk menikah lagi karena suamimu sudah meninggal. Tetapi seperti Papa dan Mama katakan, tidak secepat ini, Ima. Kamu harus tunda rencanamu itu. Jika kamu memaksa, maka kami tidak akan menghadirinya dan Papa juga tidak akan mengantar kamu ke altar,” kata Kak Pangestu dengan tegas. Istrinya yang duduk di sisinya hanya diam, tidak ikut menasihati aku.
Aku tahu bahwa mereka tidak akan menyetujui rencanaku ini. Jangankan mereka. Aku juga tidak akan melakukan ini bila aku punya pilihan lain. Menikah lagi sebelum lewat masa duka bukan hanya merusak reputasiku sendiri, tetapi juga nama baik keluargaku. Selama beberapa hari, minggu, bahkan mungkin tahunan, kami akan menjadi bahan gunjingan orang. Aku juga tidak akan tahan.
Namun setelah mendapatkan perlakuan kasar dari para penagih utang itu, mimpi buruk yang terus menghantui aku, dan keinginan untuk mengakhiri hidupku sendiri, omongan orang menjadi hal yang tidak menakutkan lagi bagiku. Menghadapi orang jahat itu jauh lebih mengerikan.
“Jika kalian bisa memberi lima ratus juta kepadaku sekarang, maka aku tidak akan menikah pada hari Kamis nanti,” kataku dengan serius. Mereka menatap aku sejenak, lalu membulatkan mata mereka. “Aku tidak menikah karena aku punya selingkuhan atau mencintai pria lain di belakang suamiku. Pria ini mau menolong aku dan sebagai gantinya dia meminta aku untuk menikah dengannya.”
Mama terisak. “Mengapa keluarga itu jahat sekali kepadamu? Kamu dan Bakti baik-baik saja pada tahun pertama pernikahan kalian. Mengapa sekarang semuanya jadi begini?” Mama menutup mulutnya dengan tangannya untuk menahan isakannya.
“Mereka yang memakai semua uangnya, seharusnya mereka yang membayar. Mengapa Bakti tega mencantumkan namamu sebagai jaminan? Apa dia berbohong saat dia berjanji akan menjaga kamu saat datang melamar? Pangestu, kamu bilang sahabatmu itu orang baik. Lihat, apa yang sudah dia lakukan kepada adikmu.” Papa menatap Kakak dengan sedih. Kakak hanya menundukkan kepalanya.
Walaupun percakapanku dengan keluargaku tidak berakhir dengan baik, yang penting mereka setuju untuk menghadiri pernikahanku. Papa juga bersedia untuk mengantar aku ke altar. Mereka tidak tahu bahwa aku didatangi penagih utang dan mendapat ancaman. Jika mereka tahu, mereka tidak akan membiarkan aku tinggal sendiri. Bisa jadi mereka tahu, tetapi tidak berdaya untuk menolong.
Pak Luis mengejutkan aku pada Rabu sore itu saat mengucapkan sampai jumpa pada hari Senin. Aku tidak tahu apa yang dikatakan Pak Benedict sebagai alasan cutiku, tetapi dia hebat bisa mendapat kata iya darinya. Atasanku terkenal pelit memberi cuti karena dia benci harus tetap membayar karyawannya pada saat mereka tidak bekerja.
Aku bersiap untuk keluar dari ruanganku ketika pintu terbuka dan Ayu masuk. Dia segera berjalan mendekati aku. “Apa yang terjadi, Ima? Mengapa kamu mendadak mengajukan cuti? Apakah ada hal buruk yang terjadi pada keluargamu?” bisiknya.
“Tidak. Apa Pak Luis meminta kamu untuk menggantikan aku sementara?” Aku mengajaknya keluar dari ruangan itu. Aku ingin segera tiba di rumah.
“Iya. Apa ada tugas tertentu yang harus aku selesaikan segera besok pagi?” tanyanya antusias. Aku menggeleng. “Untung saja kamu akan kembali bekerja pada hari Senin. Aku tidak yakin akan bisa mempersiapkan rapat dewan direksi.” Aku tertawa mendengarnya.
Hari pernikahan tiba, seorang wanita muda datang menjemput aku di rumah. Sebuah mobil dengan seorang sopir di dalamnya telah menunggu kami di depan pagar. Mereka hanya diam saja sepanjang perjalanan kami menuju hotel.
Kamar yang dimaksud Pak Benedict ternyata sebuah apartemen dengan dua kamar. Bagian tengah apartemen itu telah diubah menjadi tempat berias. Dua orang pria dan seorang wanita berdiri di sana menyambut aku. Mereka mempersilakan aku untuk duduk dan memulai sulap mereka.
Setengah jam sebelum pemberkatan dimulai, aku sudah tiba di gereja. Pengurus gereja mengantar aku ke sebuah ruangan di mana Papa akan menjemput aku nanti. Aku tidak melewati pintu masuk utama, jadi aku tidak tahu apakah keluargaku sudah tiba. Pak Benedict menawarkan mobil untuk menjemput mereka, tetapi aku menolak. Kak Pangestu yang akan mengurus orang tuaku.
Aku tidak tahu siapa saja yang akan datang dari pihak pengantin pria, tetapi aku hanya mengundang keluargaku. Seperti kata Papa dan Mama, pernikahan ini terlalu cepat dan aku masih dalam masa berkabung. Sebisa mungkin, aku menghindari gunjingan orang. Bila saatnya tiba, semua orang akan tahu juga mengenai hal ini.
Pintu diketuk dengan halus dari luar, jantungku tiba-tiba saja berdebar lebih cepat. Aku menarik napas panjang dan mengeluarkannya secara perlahan. Baiklah. Saatnya untuk memasuki lembaran baru hidupku berikutnya. Papa sudah datang, maka ini saatnya bagiku untuk berjalan menuju altar.
Namun saat aku menoleh ke arah pintu, bukan Papa yang berdiri di sana. Seorang laki-laki yang tidak aku kenal tersenyum kepadaku. Dia mengenakan setelan berwarna hitam senada dengan gaun yang aku kenakan. Penampilan fisiknya menarik perhatianku. Aku tahu bahwa dia tidak muda lagi dari bentuk wajahnya yang layaknya pria dewasa, tetapi tubuhnya sedikit lebih rendah dariku bahkan saat aku dalam posisi duduk.
“Hai, Delima. Akhirnya, kita bertemu,” sapanya dengan ramah. Aku membuka mulut ingin membalas sapaannya, namun aku tertegun begitu mengenali siapa pemilik suara itu.
Aku punya banyak gambaran di kepalaku mengenai dia hanya dari mengenali suaranya. Seorang pria berwajah tampan, ramah, dengan tubuh tinggi sedikit atletis karena suka berolahraga, tipe miliarder yang selalu tampil di televisi dan majalah. Tidak pernah tebersit di benakku bahwa Pak Benedict bertubuh kerdil.
Dia tertawa kecil. “Ambil waktu sebanyak yang kamu butuhkan. Aku tahu bahwa penampilanku ini di luar dugaanmu.” Dia meletakkan sebuah map dan pulpen di atas meja di sampingku. “Ini adalah surat perjanjian pranikah yang perlu kamu tanda tangani sebelum kita menikah. Karena kamu setuju dengan semua syarat yang aku ajukan, maka tidak ada yang perlu kita diskusikan.”
Kemudian dia mengeluarkan sebuah amplop dari saku bagian dalam jasnya dan meletakkannya di atas map tersebut. “Ini adalah bukti bahwa semua utangmu sudah dibayar dengan lunas. Aku hanya menguji apakah kamu serius dengan ucapanmu di telepon pada malam itu. Kamu mau melakukan semua yang aku minta dan hadir di sini saja sudah cukup.
“Bila keadaanku ini membuat kamu berubah pikiran, kamu bebas untuk keluar lewat pintu itu dan pulang ke rumahmu. Aku tidak akan menuntut apa pun. Hanya ada keluargamu dan keluargaku di dalam gereja, jadi hal ini tidak akan menjadi bahan pembicaraan orang.” Dia mundur satu langkah. “Aku akan menunggu di altar. Pemberkatan akan dimulai pada pukul tiga, tetapi bila kamu tidak datang sampai pukul empat, maka pernikahan ini aku anggap batal.”
Dia memberi aku sebuah senyuman sebelum keluar dari ruangan, meninggalkan aku dengan pikiran yang berkecamuk. Aku menoleh ke arah amplop yang dia letakkan di atas map. Dengan tangan bergetar, aku mengambil, mengeluarkan kertas di dalamnya, dan membacanya.
~Benedict~ Lahir dan besar di tengah-tengah keluarga terpandang dan kaya raya memberi aku begitu banyak kemudahan. Sebagai anak pertama, aku merasakan semua kemewahan sejak aku masih sangat kecil. Pakaian yang aku kenakan lebih bagus dari anak-anak kebanyakan. Makanan yang aku santap selalu enak di lidah. Rumah dan tempat tinggalku juga sangat nyaman. Kedua orang tua juga kakek dan nenekku sangat menyayangi aku. Hidupku penuh dengan cinta dan kasih sayang yang mereka curahkan kepadaku. Meskipun aku punya seorang adik laki-laki dan adik perempuan, mereka selalu memfokuskan perhatian mereka kepadaku. Aku sadar dengan tanggung jawab yang dibebankan kepadaku sebagai penerus utama keluarga kami. Karena itu sejak aku masih sangat muda, aku belajar keras untuk mempersiapkan diriku menjadi pengganti Ayah kelak. Ibu meninggalkan kariernya demi membantu aku belajar di rumah. Namun saat aku menginjak usia sebelas tahun, Ayah menemukan ada yang aneh padaku. Ketika aku berusia dua belas tahun d
Syarat yang pertama bisa dengan mudah aku penuhi. Aku membangun usaha yang aku miliki dari nol. Pengkhianatan rekan kerja pertama telah memberi aku pelajaran yang berharga. Jadi, aku berhati-hati saat memilih orang yang bekerja untukku, terutama mereka yang mengelola uangku. Berawal dari usaha pakaian yang tidak punya penjahit sendiri, kini aku punya beberapa pabrik, butik, bahkan peternakan dan perkebunan yang membantu persediaan bahan mentah usahaku. Merek dagangku diminati oleh para ibu, jadi aku tidak hanya menyediakan pakaian untuk orang spesial seperti aku, tetapi juga merambah pakaian anak-anak. Dalam waktu lima tahun, aku berhasil mengalahkan kesuksesan usaha perhotelan milik Kakek. Aku bahkan masuk daftar orang terkaya di ASEAN dua peringkat lebih tinggi dari Kakek. Keluargaku tidak berhenti mengejek dan menghina prestasiku. Tetapi aku mengabaikan hal itu dan fokus pada tujuan. Kakek adalah pria terhormat yang selalu memegang kata-katanya. Karena itu, aku percaya dia akan me
Reaksi keluargaku sudah bukan kejutan lagi. Ini bukan pertama kalinya aku datang menemui mereka menyatakan rencanaku untuk menikah. Jadi, mereka tertawa dan mengejek aku dengan kalimat yang sudah aku hapal di luar kepala. Setelah mendengar mereka akan datang pada hari pernikahanku, maka tidak ada lagi yang perlu aku lakukan di rumah itu. Aku yakin bahwa mereka pasti akan datang. Mereka tidak akan melewatkan momen di mana aku mengalami hari paling sial dalam hidupku. “Ben.” Aku menghentikan langkahku saat mendengar suara ibuku. Aku membalikkan badan dan melihat dia tersenyum kepadaku. “Apa kamu sudah makan malam?” “Aku akan makan malam di apartemenku, Bu. Karno menunggu dan dia juga belum makan malam.” Aku menolak tawarannya sehalus mungkin. Ibu adalah satu-satunya keluarga yang sayang kepadaku. Tetapi aku tidak mau menjadi sumber pertengkarannya dengan Ayah. Jadi, sebelum Ayah keluar dari ruang keluarga dan melihat aku masih ada di rumah ini, lebih baik bagiku untuk pergi. “Kalau
Musik memecahkan keheningan di dalam bangunan besar yang hanya diisi oleh beberapa orang tersebut. Pianis memainkan lagu pernikahan dan pintu belakang gereja pun terbuka. Aku melihat ke arah belakang di mana Delima berjalan didampingi oleh ayahnya. Dia mengenakan gaun berwarna hitam dengan rok panjang menutupi hingga mata kakinya. Aku sudah melihat dia di ruang tunggu, jadi aku tahu dia sengaja menata rambutnya dengan sederhana tanpa hiasan apa pun. Perhiasan satu-satunya pada tubuhnya adalah anting panjang mutiara di telinganya. Dia membawa bunga mawar pada tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya melingkar di lekukan lengan ayahnya. Meskipun dia tidak tersenyum, kecantikannya sama sekali tidak berkurang. Wajahnya kini sedikit lebih rileks, tidak setegang saat aku bicara dengannya. Berbeda dengan pria yang berjalan di sisinya. Ayahnya terlihat berusaha keras untuk menutupi rasa marahnya. Itukah sebabnya mereka membutuhkan waktu cukup lama untuk datang? Apa mereka bertengkar di rua
~Delima~ Pria itu tidak berbohong. Dia telah membayar lunas semua utang yang diwariskan Bakti kepadaku. Jumlah totalnya kurang dari lima ratus juta karena mereka memberi diskon untuk pelunasan tunai dalam waktu kurang dari satu tahun peminjaman diterima. Nama Bakti, nomor tanda pengenal, juga namaku dan nomor tanda pengenalku ada pada selembar kertas pelunasan tersebut. Aku sudah tidak punya kewajiban apa pun lagi kepada para rentenir itu. Aku sepenuhnya bebas dari lilitan utang. Air mata menetes satu per satu membasahi surat tersebut. Aku segera menjauhkannya dariku agar bukti pembayaran itu tidak rusak. Orang-orang jahat itu tidak akan datang lagi untuk mengancam dan mengintimidasi aku. Tidak ada lagi teriakan, benda yang dilempar, atau kunjungan dadakan yang membuat aku tidak bisa tidur. Aku juga tidak perlu menahan rasa malu harus meminjam uang kepada orang lain. Aku sudah selamat. Karena pria itu telah menepati janjinya lebih cepat dari waktu yang sudah kami sepakati bersama,
Aku tidak berniat menjawab telepon itu karena aku tidak punya hubungan apa pun lagi dengan mereka. Tetapi mengingat sifat mantan ibu mertuaku itu, yang tidak akan berhenti mengganggu aku sampai aku menjawab panggilan darinya, maka aku menjawabnya. “Kamu ada di mana? Mengapa kamu tidak ada di rumahmu?” tanyanya tanpa basa-basi. “Maaf, Tante.” Aku sengaja memberi penegasan pada kata tante. “Kita sudah tidak punya hubungan apa pun lagi, jadi aku tidak punya kewajiban untuk menjawab pertanyaan itu.” “Tidak punya hubungan? Kamu adalah janda putraku. Sampai kamu mati nanti, kamu masih punya kewajiban kepadaku. Putraku sudah tidak ada, maka mengurus keperluanku dan adik-adiknya sudah menjadi tanggung jawabmu,” katanya dengan tegas. Perempuan ini memang sudah gila dan tidak tahu malu. Aku dan Bakti sudah bercerai secara resmi lewat kematian. Kami tidak punya anak, lalu apa yang masih mengikat antara aku dan keluarganya? Tidak ada. Apa wanita ini pura-pura tidak tahu mengenai fakta tersebut
Seorang pria bertubuh lebih tinggi dariku, tersenyum ramah. Wajahnya persegi dengan tulang pipi yang menonjol dan rahang yang tegas. Hidungnya mancung dengan bibir yang tipis di atas dan tebal di bagian bawah. Dahinya yang lebar dia tutupi dengan poni berbelah pinggir yang sedikit menutupi matanya. Rambutnya lurus dan tebal. Yang menarik adalah matanya tertutup saat dia tersenyum. “Jangan bilang, kamu sudah lupa kepadaku,” kata pria itu sambil memicingkan matanya. “Baru-baru ini kita bicara di telepon, bagaimana mungkin aku melupakan kamu?” Aku membalas senyumnya. “Kamu banyak berubah, jadi aku sedikit pangling.” Pria bernama Elan ini adalah teman sekelasku semasa SMU. Aku tidak ingat apa yang membuat kami dekat, tetapi kami cukup sering bersama sampai teman-teman berpikir kami berpacaran. Dia adalah sahabat baikku, jadi aku tidak tertarik untuk punya hubungan lebih dari itu. Lagi pula semasa SMU, aku sudah jatuh cinta pada sahabat baik Kak Pangestu. Bakti datang ke rumah hampir se
Aku diam sejenak dan tidak tergesa-gesa menanggapi kalimatnya itu. Seingatku, tidak ada satu poin pun dalam surat perjanjian pranikah kami yang membahas tentang pekerjaanku. Lagi pula aku terikat kontrak kerja, tidak mungkin bisa meninggalkan posisiku sembarangan. Selama aku menikah dengan Ben, dia akan memberi aku uang bulanan yang cukup besar. Jumlah uang itu jauh lebih besar dari gajiku sebagai sekretaris Pak Luis. Bila aku tidak bekerja, maka aku tidak akan kekurangan uang. Aku yakin uang pemberiannya itu tidak akan habis aku gunakan. Aku akan tinggal bersamanya, makan di rumahnya, tidak ada yang perlu aku beli dengan uangku sendiri. Tetapi ketika kami bercerai nanti, bagaimana aku membiayai hidupku? Meskipun dia akan memberi aku banyak uang saat kami berpisah, uang itu hanya akan aku terima apabila kami genap menikah selama satu tahun. Usia manusia tidak ada yang tahu, bagaimana kalau kakeknya meninggal dalam waktu dekat? Aku tidak akan mendapat uang satu miliar yang tertera pad