Share

Bab 6|Tidak Dianggap

~Benedict~

Lahir dan besar di tengah-tengah keluarga terpandang dan kaya raya memberi aku begitu banyak kemudahan. Sebagai anak pertama, aku merasakan semua kemewahan sejak aku masih sangat kecil. Pakaian yang aku kenakan lebih bagus dari anak-anak kebanyakan. Makanan yang aku santap selalu enak di lidah. Rumah dan tempat tinggalku juga sangat nyaman.

Kedua orang tua juga kakek dan nenekku sangat menyayangi aku. Hidupku penuh dengan cinta dan kasih sayang yang mereka curahkan kepadaku. Meskipun aku punya seorang adik laki-laki dan adik perempuan, mereka selalu memfokuskan perhatian mereka kepadaku.

Aku sadar dengan tanggung jawab yang dibebankan kepadaku sebagai penerus utama keluarga kami. Karena itu sejak aku masih sangat muda, aku belajar keras untuk mempersiapkan diriku menjadi pengganti Ayah kelak. Ibu meninggalkan kariernya demi membantu aku belajar di rumah.

Namun saat aku menginjak usia sebelas tahun, Ayah menemukan ada yang aneh padaku. Ketika aku berusia dua belas tahun dan memasuki SLTP, kecurigaannya itu terbukti. Aku berhenti tumbuh. Badanku bahkan menjadi lebih pendek dari kedua adikku.

Ibu dan Nenek berusaha menenangkan Ayah dengan mengatakan bahwa setiap anak memiliki fase pertumbuhannya sendiri. Kakek juga mulai tidak suka dengan tinggi badanku yang berada di bawah rata-rata anak seusiaku. Wajah dan tubuhku menunjukkan tanda-tanda perubahanku menjadi seorang pria, tetapi tinggiku tidak juga bertambah.

Mereka memindahkan aku ke SLTP lain di mana tidak ada orang yang akan mengenal aku sebagai bagian dari keluarga besar kami. Nenek dan Ibu berusaha untuk melindungi aku dari sikap kejam Kakek dan Ayah. Mereka membawa aku menemui spesialis untuk mencari masalah yang terjadi pada tubuhku dan menemukan solusinya. Bahkan membayar seorang pelatih fisik agar tinggiku bisa bertambah. Semua itu terasa bagai neraka.

Nenek meninggal dunia saat aku berusia empat belas tahun, maka duniaku pun berubah seratus delapan puluh derajat. Ayah dan Kakek bersikap semakin keras kepadaku. Mereka mulai memberi aku label, memperberat latihan fisikku, juga memaksa aku mengonsumsi berbagai macam obat, ramuan, dan entah apa lagi supaya badanku tumbuh.

Aku yang biasanya mereka bawa dengan bangga menghadiri undangan demi undangan digantikan oleh adikku. Setiap kali keluarga kami mengadakan perayaan, aku tidak boleh menghadirinya. Ulang tahunku yang biasanya dirayakan setiap tahun pun tidak diingat lagi.

Perlahan namun pasti, Kakek dan Ayah menjauhkan aku dari mata publik. Mereka menyembunyikan aku dari pandangan dunia. Sampai akhirnya orang-orang lupa bahwa aku, Benedict, adalah bagian dari keluarga besar Kumara yang terpandang. Bahkan lebih dari itu, ahli waris utama mereka.

Kedua adikku memperlakukan aku sama buruknya dengan Kakek dan Papa. Mereka pasti cemburu kepadaku yang selalu dianakemaskan sejak aku kecil. Begitu kedua orang yang punya kuasa tertinggi di keluarga kami berbalik sikap kepadaku, mereka memanfaatkan kesempatan itu. Aku yang harus membayar setiap perlakuan istimewa mereka dengan penghinaan dari kedua adikku.

Mereka memberi aku pakaian dan sepatu bekas mereka yang sudah kekecilan. Adik laki-lakiku bahkan menghina aku dengan memberi pakaian dalam bekasnya. Ketika tubuh mereka semakin lebih besar dariku, mereka mulai menyakiti aku secara fisik. Mungkin mereka merasa tidak puas karena aku tidak menunjukkan rasa sedih saat mereka menyakiti aku secara verbal.

Pada saat duduk di bangku SMU, sudah tidak ada lagi yang mengingat siapa Benedict Kumara. Guru di sekolah suka menyebut namaku sebagai bahan guyonan. Guru olahraga sering menjadikan aku bahan bulan-bulanannya. Aku melaporkan kejadian itu kepada Ayah, dia tidak peduli. Menurutnya, semua itu aku perlukan agar aku tumbuh menjadi laki-laki kuat dan tidak lemah.

Melihat guru tidak menghormati aku, maka para siswa juga mulai merundung aku, baik di saat ada guru di sekitar kami maupun tidak. Serendah apa pun penghinaan yang mereka lakukan kepadaku, aku tidak meneteskan air mata atau menunjukkan rasa takut. Hal yang membuat mereka semakin geram dan terus menyakiti aku hanya untuk melihat aku menangis minta ampun kepada mereka.

Untuk apa aku menangis? Untuk apa juga aku minta ampun? Semua itu tidak akan membuat mereka berhenti, justru semakin merendahkan aku. Tidak ada siswa yang mau dekat denganku. Juga tidak ada guru yang peduli kepadaku, jadi aku memilih untuk mengasingkan diri. Lalu mereka pun berhenti mengganggu aku dan menganggap aku tidak ada.

“Ibu,” kataku pada hari Minggu itu, saat semua orang sedang tidak ada di rumah. Wanita baik hati itu tersenyum dan membalas sapaanku. “Pakaianku terasa tidak nyaman. Bisakah kita pergi ke penjahit dan membuat baju khusus untukku?”

“Tidak.” Entah bagaimana Ayah bisa ada di rumah, karena aku yakin aku melihat dia pergi dan belum kembali. “Keluarga ini tidak akan mengeluarkan uang lebih banyak untuk anak memalukan seperti kamu. Apa yang tersedia untukmu, itu yang bisa kamu pakai, makan, atau minum.”

“Bila putraku membutuhkan pakaian yang nyaman untuknya, dia tidak perlu menggunakan uang dari keluarga ini. Aku punya cukup uang untuk menjahitkan puluhan pakaian untuknya.” Ibu berdiri dari tempat duduknya dan membawa aku pergi dari ruangan itu.

Penjahit yang kami temui sangat sabar mendengarkan permintaanku. Tinggiku hanya seratus tiga puluh senti, jadi keluargaku berpikir bahwa pakaian anak-anak cocok untuk aku kenakan. Tetapi aku bukan anak-anak, aku adalah seorang pemuda dengan tubuh pendek. Jadi, ada beberapa bagian pada baju dan celana yang aku pakai yang terasa tidak nyaman.

Kejadian itu memberi aku sebuah ide. Aku punya begitu banyak model pakaian di dalam kepalaku yang aku tuangkan ke sebuah gambar. Aku memberikan desain itu kepada seorang penjahit dan hasilnya sangat memuaskan. Penampilanku tidak kalah dari orang lain dan aku semakin percaya diri.

Suatu hari seorang siswa di tempatku mengikuti les tambahan memperlihatkan beberapa pesan kepadaku di media sosial miliknya. Tanpa izinku, dia memasang fotoku dengan berbagai pakaian yang aku desain sendiri. Orang-orang menyukainya dan bertanya di mana pakaian untuk orang seperti aku bisa didapatkan.

Itu adalah sepuluh pesanan pertama yang aku dapatkan dalam satu hari. Aku memberikan alternatif ukuran yang aku sediakan dan mereka memesan sesuai ukuran yang mereka butuhkan. Aku hanya perlu menemui penjahit yang telah membantu aku, mengirim pakaian yang mereka pesan, dan uang pun aku terima. Penghasilan pertamaku.

Aku semakin bersemangat mendesain berbagai model pakaian, celana, dan mulai tertarik untuk merambah sepatu juga. Aku menjadikan diriku sendiri sebagai model dari busana desainku. Teman baruku yang memotret dan menggunakan sosial medianya sebagai tempat promosi. Usaha kecilku itu sangat sukses dan aku menghasilkan cukup banyak uang.

Kedua adikku mengejek usahaku tersebut, tetapi aku menutup telinga. Mereka menghina desainku tidak akan memberi pengaruh apa pun karena mereka bukanlah pembeli pakaian yang aku desain. Mereka mengadukan usahaku itu pada Kakek dan Ayah dengan harapan mereka akan menyuruh aku untuk berhenti melakukannya. Mereka justru hanya diam saja.

Segalanya berjalan dengan baik. Aku bersekolah dari pagi sampai siang hari, lalu menggunakan beberapa jam untuk mengurus usahaku. Aku dan sahabatku mendapatkan banyak uang setiap bulannya. Sampai suatu hari, aku mengetahui bahwa teman bisnisku itu menerima beberapa pesanan tanpa sepengetahuan aku dan menyimpan uang yang didapat untuk dirinya sendiri.

Pakaian, sepatu, bahkan topi yang ada pada fotoku itu adalah desainku sendiri. Hasil kerja kerasku. Jadi, saat dia mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri, aku berhenti bekerja dengannya. Aku membuat media sosialku sendiri menggunakan nama merekku. Aku sengaja tidak menggunakan nama asliku agar tidak dikait-kaitkan dengan nama besar keluarga Kumara.

Namun hal yang tidak aku duga adalah pemuda yang aku kira temanku itu menyebarkan hal buruk mengenai aku sehingga aku kembali menjadi sasaran perundungan di sekolah. Dia menyebut bahwa aku mencuri ide usahanya. Buku desainku dirobek di depan mataku, ponselku mereka injak-injak sampai hancur, dan mereka menampar aku ketika aku tidak menjawab semua tuduhan mereka.

Aku pulang dalam keadaan babak belur membuat ibuku panik dan histeris, tetapi kedua adikku tersenyum puas. Dan ayahku? Dia hanya menatap aku sekilas, lalu masuk ke ruang kerjanya. Aku berhenti berharap pada bantuannya, maka aku tidak mengadukan apa pun.

Pada hari itu aku mempelajari satu hal paling penting dalam hidupku, aku tidak bisa percaya kepada siapa pun. Aku juga tidak perlu bergantung kepada siapa pun lagi. Bila aku ingin bertahan hidup, maka aku hanya punya diriku sendiri sebagai andalanku.

“Ini adalah kampus dan jurusan yang harus kamu lamar.” Ayah meletakkan setumpuk kertas di atas meja belajarku pada hari itu. Aku sedang belajar untuk mempersiapkan diri mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri.

“Ilmu Sosial?” tanyaku bingung. “Aku akan menjadi penerus Kakek dan Ayah. Mengapa aku diminta untuk mengambil jurusan ini?”

“Aku tidak sudi mengakui kamu sebagai putraku apalagi menunjuk kamu sebagai dirut selanjutnya. Reputasi keluarga dan perusahaan bisa tercoreng karenamu. Adikmu yang akan menjadi dirut menggantikan aku nanti,” kata Ayah dengan tegas.

“Tetapi aku adalah anak pertama Ayah. Aku sama sekali tidak punya cela yang bisa membuat nama baik keluarga atau perusahaan kita hancur.” Tiba-tiba saja kepalaku dicengkeram dari belakang dan Ayah mengantukkan kepalaku ke meja. Karena aku sedang menoleh ke arahnya, sisi kepala kiriku yang mengenai permukaan meja.

“Dengar. Aku sudah cukup menahan diri melihat manusia gagal sepertimu lahir dari rahim istriku.” Kalimat itu menghunjam dadaku dengan tajam. Tangan Ayah masih mencengkeram kepalaku, jadi aku tidak bisa bergerak. “Jangan buat aku kehabisan kesabaran dengan semua ucapan sok pintarmu. Aku yang menentukan siapa yang akan duduk di kursi direktur utama, bukan kamu.”

Karena sudah terbiasa dipukul, dihina, dan dianggap tidak ada, semua itu tidak terasa sakit lagi. Jadi, aku tetap maju menemui Kakek untuk bicara dengannya. Mereka boleh menghina aku, menganggap aku tidak ada, bahkan menyembunyikan aku dari dunia. Tetapi aku tetaplah putra sulung yang punya hak atas seluruh kekayaan keluargaku.

Ayah sangat marah saat melihat aku datang menemui Kakek yang sedang berada di ruang kerjanya. Kami berdua berdebat sangat alot, tetapi aku tidak mundur. Aku sedang memperjuangkan hakku, maka aku mengerahkan seluruh tenaga dan pikiranku melawan pendapat Ayah.

“Baik. Kamu benar. Kami tidak bisa menyangkal bahwa ini adalah hakmu sebagai putra sulung.” Kakek akhirnya menengahi perdebatanku dengan Ayah.

“Pa,” protes Ayah. Kakek segera mengangkat tangannya, memberi tanda bahwa dia tidak ingin dibantah. Ayah pun merapatkan bibirnya.

“Begitu ayahmu pensiun, kamu akan mendapatkan semua hakmu sebagai ahli waris utama Kumara.” Kakek bicara dengan tenang yang justru membuat aku curiga bahwa dia punya agenda lain di balik kalimat itu. “Tetapi kamu harus memenuhi dua syarat yang aku ajukan.”

Meina H.

Hai, teman-teman. Terima kasih sudah mampir untuk membaca bukuku ini. Bab lanjutannya akan aku publikasikan setiap hari, kecuali ada halangan yang tidak bisa dihindari. Semoga teman-teman menyukai cerita Delima dan Ben. Bagaimana sejauh ini? Apa tanggapan teman-teman mengenai mereka? Ben adalah tokoh yang berbeda dari tokoh yang biasa aku tulis. Semoga saja teman-teman bisa menyukai dia, sebagaimana dia berhasil menyentuh hatiku untuk memilih dia menjadi tokoh cerita ini. Aku tidak lupa mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1443 H bagi teman-teman yang merayakan. Selamat berkumpul bersama keluarga dan orang-orang tersayang, ya. Salam sayang, Meina H.

| 2
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Meina H.
Terima kasih, Kak! ♡♡♡
goodnovel comment avatar
Meina H.
Seram, ya, Kak. Padahal setiap anak, 'kan, ada kekurangan juga kelebihannya sendiri. Hm ....
goodnovel comment avatar
Lizzy Vien
Bagus Kak... Seperti karya-karya yang lain. Aku suka.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status