Share

Bab 4|Bukan Utangku

“Apa kau sedang mempermainkan kami!?” hardik pria itu di depan wajahku. Pria yang datang kali ini adalah pria yang berbeda. Bila sebelumnya yang datang adalah tiga orang, maka yang datang malam ini adalah empat orang. Dua di antaranya bertubuh lebih tinggi dariku. Mereka pasti sengaja memilih orang-orang ini untuk mengintimidasi aku.

Jantungku yang sudah berdebar sangat cepat, kini serasa akan lepas dari dadaku. Telingaku nyaris tuli mendengar detak jantungku sendiri dan gertakan mereka. Tubuhku bergetar dengan hebat menahan rasa takut. Aku menggigit bibirku dengan kuat menahan diriku agar tidak berteriak.

“Hanya itu yang bisa aku kumpulkan dalam waktu sepuluh hari yang kalian berikan.” Aku berusaha memberanikan diriku sendiri untuk menjawab. Syukurlah, aku tidak tergagap saat bicara. “Utang itu bukan utangku. Bagaimana aku bisa mencari alternatif lain untuk mencari uang secepat ini?”

“Kau seorang perempuan, mengapa kau tidak pikirkan saja cara lain untuk mendapatkan uang yang lebih banyak? Atau perlu aku tunjukkan caranya?” geramnya.

Mengapa mereka selalu memberi alternatif agar perempuan menjual tubuhnya di saat terlilit utang? Apa tidak ada cara lain yang ada di kepala mereka selain yang ada hubungannya dengan menikmati badan wanita? Aku memang sedang terjepit, tetapi aku lebih baik mati daripada melayani mereka atau bos mereka di tempat tidur.

“Rumah ini dijual dan belum ada yang berani membelinya karena ulah kalian. Kalau kalian tidak membuat suamiku takut, dia tidak akan bunuh diri di rumah ini. Kamu memaksa aku untuk memberi uang sekarang pun aku tidak punya. Hanya itu yang bisa aku kumpulkan sampai hari ini. Tolong, beri aku waktu untuk mengumpulkan sisanya.” Aku mencoba untuk tawar-menawar.

“Dalam waktu sepuluh hari kau hanya bisa mengumpulkan dua puluh juta, memangnya berapa lama yang kau butuhkan untuk membayar tiga puluh juta sisanya?” ejeknya.

“Aku tidak tahu kapan rumah ini laku,” jawabku frustrasi.

Terdengar bunyi benda dari kaca pecah di lantai. Bunyinya dari arah dapur. Pasti temannya sedang memecahkan salah satu piring atau gelasku. Aku melompat terkejut saat bunyi benda yang pecah berikutnya lebih banyak dari yang pertama. Sekali lagi aku berusaha untuk menegarkan diri.

“Aku tahu kau wanita pintar. Tetapi kau berani memandang rendah kami dengan menjawab semua kalimatku dengan nada arogan.” Pria itu meninju dinding di samping kepalaku dengan keras. Aku akhirnya menyerah pada rasa takutku dan menjerit terkejut. “Satu minggu. Kalau dalam waktu satu minggu kau tidak bisa memberi sisanya, maka bosku sendiri yang akan datang menangani ini.”

Dia menendang meja di belakangnya dengan keras sebelum berdiri menjauh dariku dan keluar dari rumah. Ketiga temannya memecahkan piring, melempar kursi, bahkan menendang pintu dengan kuat saat melewati aku. Mereka memang tidak memukul aku, tetapi teriakan, hardikan, bunyi benda yang mereka pukul dan hancurkan sudah sangat mengguncang jiwaku.

Hanya setelah bunyi kendaraan milik mereka tidak terdengar lagi, maka aku berani menyerah dan membiarkan tubuhku meluncur bebas ke lantai. Aku memeluk lutut dengan kedua tanganku dan meletakkan kepalaku di atas tanganku. Tangisku pecah dengan air mata jatuh tidak terbendung lagi.

Inikah yang Bakti rasakan? Putus asa, tertekan, pikiran buntu, tetapi harus cepat bertindak untuk mengatasi masalah yang mencekik leher. Aku menoleh ke arah ventilasi di atas pintu kamar tidur. Apa hidupku akan berakhir di tempat yang sama dengan suamiku?

Sepuluh hari aku meminta bantuan pada keluarga dan orang terdekat, tidak ada yang bisa memberi pinjaman yang cukup besar. Papa dan Mama akhirnya memberi pinjaman sebanyak dua juta dan satu juta dari Kakak. Ayu meminjamkan dua juta. Jumlah itu tidak cukup.

Papa dan Mama punya rumah, tetapi aku tidak tega meminta mereka menggadainya. Dari mana uang untuk membayar cicilannya? Bila rumah mereka dijual, ke mana orang tuaku akan tinggal? Kakakku dan istrinya tidak bisa banyak menolong karena mereka juga punya masalah keuangan sendiri. Setiap bulan gaji mereka dipotong untuk membayar kredit rumah dan mobil. Teman-teman kerja punya kebutuhan yang mendesak dan tidak bisa memberi pinjaman kepadaku.

Aku menjual semua barang yang bisa aku jual. Bahkan cincin kawin kami berdua pun terpaksa aku lepaskan. Rumah ini sebagai satu-satunya harapan juga tidak bisa terjual dengan cepat. Aku tidak mau menjualnya dengan harga murah karena aku tidak hanya memikirkan melunasi cicilan kredit. Aku juga harus pikirkan bagaimana membayar lima ratus juta itu.

“Delima?” Aku merasakan sentuhan pada lenganku. Aku mengangkat kepalaku dan melihat Pak Luis menatap aku dengan tajam. “Pak Ben menanyakan sesuatu kepadamu.”

“Oh, ma-maafkan saya, Pak. Sepertinya saya sedang melamun,” kataku menyesal. Aku melihat ke arah catatanku. Syukurlah, aku masih mencatat beberapa percakapan penting. Kami sedang diskusi sambil makan siang seperti biasanya, aku malah melamun. “Apa yang ingin Bapak tanyakan?”

“Aku hanya bertanya apa kamu baik-baik saja. Karena aku melihat kamu dari tadi sibuk dengan pikiranmu sendiri. Atau kamu ada ide yang lebih baik mengenai masalah yang kita bahas tadi?” tanya Pak Benedict dengan sopan. Gawat. Aku tidak memerhatikan percakapan mereka.

Sudah beberapa hari ini aku tidak bisa tidur karena memikirkan cara mendapatkan uang. Aku bahkan tidak bisa menutup mata dan hanya menatap pintu kamar. Mereka bisa masuk saat aku tidak ada di rumah, bagaimana kalau mereka nekat masuk waktu aku sedang tidur?

Aku ingin sekali bisa tinggal di rumah orang tuaku, tetapi aku tidak mau menyeret mereka dalam masalahku. Lagi pula para penagih utang itu pasti tahu siapa orang tuaku dan di mana tempat tinggal mereka. Aku tidak bisa membiarkan Papa dan Mama mengalami ketakutan yang aku rasakan andai mereka datang menemui aku di sana.

“Sekali lagi, maafkan saya, Pak. Saya tidak menyimak pembahasan Bapak dengan bos saya.” Aku menundukkan kepala, tidak berani menatap mata tajam atasanku.

“Tidak apa-apa.” Pria misterius itu tertawa kecil. “Sepertinya aku harus mengubah jadwal diskusi kita, Luis. Menggunakan jam makan siang sekretarismu sehingga dia tidak bisa istirahat adalah kesalahan dari pihakku. Tolong, jangan marahi dia.”

Begitu panggilan video dengan Pak Benedict berakhir, Pak Luis memang tidak memarahi aku. Namun dia berteriak kesal dan melempar tangannya ke udara untuk meluapkan emosinya. Aku kembali hanya menundukkan kepala menyadari aku hampir membuat dia kehilangan kolega terpentingnya.

Aku pergi ke toilet dan merapikan penampilanku kembali. Setelah mencuci tangan dan wajah, aku merasa sedikit lebih lega. Kepalaku terasa mau meledak karena belum juga menemukan solusi untuk masalahku. Tetapi aku harus bertahan sampai jam kerja usai.

Kalau tadi aku beruntung karena rekan bisnis bosku berpihak kepadaku, lain kali aku bisa saja sial. Aku tidak bisa kehilangan pekerjaan ini sekarang. Jika aku dipecat, ke mana aku akan mencari sumber pendapatan yang baru yang memberi gaji sama tingginya dengan posisiku saat ini?

Pak Luis pamit pulang lebih dahulu saat aku masih mengerjakan dokumen yang dia minta untuk aku letakkan di atas mejanya besok pagi untuk dia periksa. Aku tahu bahwa dia sengaja menghukum aku atas keteledoran aku tadi. Tetapi aku pantas untuk menerimanya.

Semua pekerjaanku akhirnya selesai ketika ponselku bergetar. Nomor yang muncul pada layar bukan nomor yang aku kenal atau tersimpan dalam ponselku. Jangan-jangan dari penagih utang itu. Dari mana mereka tahu nomor ini? Aku sudah melihat data yang pernah mereka tunjukkan kepadaku. Tidak ada nomor ponselku di sana, hanya nomor suamiku.

Getaran itu berhenti. Aku mendesah pelan dan segera merapikan meja kerjaku. Walaupun belum satu minggu dari waktu yang dijanjikan, aku mendadak takut pulang ke rumah. Ada baiknya aku menginap di rumah teman lamaku saja. Mereka tidak akan tahu aku ada di sana.

Ponselku bergetar membuat aku melompat dari tempat dudukku. Aku melihat ada sebuah pesan baru. Aku menelan ludah dengan berat, lalu membukanya. Tolong, jawab telepon dariku. Benedict. Pesan dari Pak Benedict? Tetapi mengapa dia menggunakan nomor yang berbeda?

Sepertinya dia menyadari kesalahannya tersebut, karena saat ponselku bergetar, kali ini yang dia gunakan adalah nomor yang biasanya dia pakai. Aku menggeser tombol berwarna hijau dengan ragu. Setelah menarik napas panjang, aku menyapanya.

“Almarhum suamimu meminjam uang tanpa sepengetahuanmu dan kamu yang harus melunasi sebagai pengganti dia. Itukah yang sedang mengganggu pikiranmu?” tanyanya tanpa basa-basi.

“Ba—” tanyaku tergagap.

“Bagaimana aku bisa tahu?” tukasnya dengan cepat. “Aku punya sumberku sendiri. Kapan mereka akan datang lagi untuk menagih utang itu?”

“Ha-hari Jumat ini,” kataku dengan jujur. Aku tidak tahu apa gunanya menceritakan ini kepadanya atau apa yang dia inginkan dengan mencari tahu masalahku, tetapi aku sudah tidak peduli pada apa pun lagi. Mungkin sebaiknya aku menyusul Bakti saja. Aku bisa menyeberang jalan dan membiarkan mobil yang lewat menabrak aku. Sudah tidak ada gunanya lagi aku hidup.

“Aku akan membayar semua utangmu dengan lunas. Aku hanya akan meminta satu hal sebagai balasannya. Tetapi tentu saja ada banyak syarat yang harus kamu setujui—” Aku tidak mendengar apa yang dia katakan selanjutnya, karena aku hanya peduli dengan kalimat pertamanya. Lunas, kata itu adalah kata ajaib yang ingin sekali aku dengar.

“Saya setuju,” kataku dengan cepat sebelum dia mengubah pikirannya.

“Apa? Tetapi kamu belum mendengar apa yang akan aku sampaikan—”  Dia masih mencoba untuk menjelaskan apa yang ingin dia tawarkan.

“Saya tidak peduli. Saya hanya ingin lepas dari para penagih utang itu dan hidup damai kembali. Bila Bapak bersedia membantu saya melunasi semuanya, maka saya akan memenuhi semua syarat dari Bapak.” Aku sudah muak pulang dalam keadaan takut. Aku tidak mau lagi tidur harus selalu menatap pintu kamar, berjaga-jaga siapa tahu mereka kembali lagi. Aku ingin hidupku normal lagi.

“Baiklah. Kalau begitu, aku akan bicara dengan Luis mengenai cutimu. Kamu hanya perlu datang dan tidak perlu mengurus persiapan apa pun. Orangku yang akan mengurus segalanya.”

“Cuti untuk apa? Dan persiapan apa yang Bapak maksudkan?” tanyaku tidak mengerti.

“Kita akan menikah pada hari Kamis,” jawabnya dengan suara jernih, sama sekali tanpa keraguan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status