Share

Bab 8

Hanya saja, sampai lewat pukul sembilan malam pun Michael masih belum pulang. Irene pun mulai merasa khawatir, dia takut Michael terkena masalah. Namun, Michael tidak mempunyai ponsel, jadi Irene bahkan tidak bisa menghubunginya.

Irene pun berjalan keluar dari kamar kontrakannya ke daerah gerbang perumahan. Dia terus mengamati sekitarnya sambil berharap untuk melihat sosok yang dia ingin lihat secepatnya.

Entah berapa lama kemudian, dia akhirnya melihat sosok yang familier itu berjalan ke arahnya.

"Mike!" Melihat bayangan ini mendekat, Irene baru membuang napas lega.

Michael pun sedikit tercengang melihat bayangan yang berlari menujunya.

Dia menatap Irene berlari menghampirinya dengan agak terengah-engah. Wajah Irene merah karena cuaca dingin, tetapi kedua matanya berkilau.

"Syukurlah, kamu sudah kembali," kata Irene.

"Kak, apakah kamu ... sedang menungguku?" tanya Michael sambil menatap Irene. Jari tangan Michael mengelus wajah Irene dengan pelan dan kedinginan pun meresap ke jari tangannya. Sepertinya Irene sudah menunggu lumayan lama di luar.

"Ya. Sudah malam, tapi kamu belum juga pulang, jadi aku khawatir. Syukurlah kamu pulang dengan aman," kata Irene sambil tersenyum.

Michael merasa agak terkejut. Irene mengkhawatirkan Mike, bukan Michael Yunata dari Grup Yunata. Hanya saja, apakah Irene masih akan mengkhawatirkannya seperti ini jika Irene kelak mengetahui bahwa dia adalah Michael Yunata?

Michael tersenyum dan berkata, "Pekerjaanku hari ini agak telat. Tangan Kakak dingin sekali, biar aku hangatkan." Kemudian, dia pun memegang tangan Irene yang dingin dengan kedua tangannya dan menggosok tangan Irene, seperti yang dilakukan Irene sebelumnya.

Irene hanya merasakan tangannya perlahan-lahan makin hangat. Jelas-jelas cuacanya sangat dingin, tetapi dia merasa ... sangat hangat.

"Mike, aku senang sekali kamu ada di sini," gumam Irene.

Michael pun tersenyum dan berkata, "Kalau begitu, Kakak harus mengingat kata-kata ini. Semoga ke depannya Kakak nggak menyesali ucapan ini."

"Aku nggak akan menyesal," kata Irene. "Sudahlah, tanganku sudah hangat. Ayo pulang, biar aku panaskan makanan kita." Irene menarik Michael dan berjalan memasuki daerah perumahan. Dia tidak menyadari sebuah mobil sedan berwarna hitam yang terparkir di sudut jalan di depan gerbang perumahan.

Sedangkan pada saat ini, Charles yang berada di dalam mobil tidak bisa memercayai adegan yang baru saja dia saksikan. 'Tuan Michael ... bergandengan tangan dengan seorang wanita .... Bukan, gerakan tadi seharusnya bisa disebut sebagai menghangatkan tangan, deh,' pikir Charles.

Dia tidak pernah melihat Michael melakukan hal-hal seperti ini pada wanita mana pun. Bahkan Helen, mantan calon istri Michael juga tidak pernah mendapatkan perlakuan seperti ini.

Namun, sekarang Michael malah berbuat seperti ini pada Irene, pelaku dalam kecelakaan lalu lintas yang merenggut nyawa Helen!

Mengingat kembali adegan Michael pergi secara pribadi untuk menjemput Irene yang mabuk di kelab sebelumnya, Charles pun merasa kebingungan.

Apa yang sebenarnya sedang Michael pikirkan? Sebesar apa bagian dari hati Michael yang ditempati oleh Irene?

...

Keesokan harinya, saat Charles sedang melaporkan jadwal dan urusan pekerjaan pada Michael di kantor presiden direktur, dia tidak bisa menahan dirinya dari melirik tangan Michael terus-menerus.

Tangan Michael sangat cantik, jari-jarinya panjang, tulangnya juga tampak jelas. Bahkan Charles, sebagai seorang pria, juga merasa bahwa tangan bosnya sangat bagus.

Charles pernah melihat sepasang tangan ini mencekik leher seseorang dengan kejam dan hampir mencabut nyawa orang tersebut. Dia juga pernah melihat kedua tangan ini bersimbah darah segar, membuat orang merinding ketakutan.

Namun, dia tidak pernah melihat kedua tangan ini menghangatkan sepasang tangan lainnya, terutama pemilik tangan itu adalah seorang wanita yang sudah pernah masuk penjara.

"Ada apa dengan tanganku?" Suara Michael tiba-tiba terdengar di samping telinga Charles.

"Ah, nggak apa-apa." Charles tersadar dan bergegas mengalihkan tatapannya. Dia menyodorkan selembar undangan pada Michael sambil berkata, "Ini undangan dari Keluarga Moiras untuk pernikahan dengan Keluarga Susanto. Dua minggu depan, Hannah Moiras akan bertunangan dengan Martin Susanto. Presiden Direktur Grup Moiras berharap agar Tuan Michael bisa menghadiri acara ini."

"Tunangan?" tanya Michael sambil melihat undangan itu.

Dia tentu saja mengetahui tujuan Keluarga Moiras mengirimkan undangan ini untuknya. Bagaimanapun, dulu, Helen, putri pertama Keluarga Moiras yang sudah meninggal adalah calon istrinya, sedangkan Martin adalah mantan pacar Irene, pelaku pembunuhan Helen. Keluarga Moiras ingin melihat sikapnya. "Baiklah, kita bisa pergi lihat-lihat," katanya lagi.

Charles pun mencatat jadwal tersebut.

Pada siang hari, Charles menemani Michael ke sebuah rumah sakit swasta di kota. Orang yang bisa mengunjungi rumah sakit ini biasanya adalah orang kaya atau orang terhormat.

Charles berdiri di luar sebuah ruang rawat, sedangkan Michael mendorong pintu ruangan tersebut dan berjalan memasukinya.

Charles tahu bahwa orang tua di dalam ruangan ini dulunya sangat kuat dan berkuasa di Kota Cena. Namun, putra tunggalnya meninggalkan rumah demi seorang wanita.

Beberapa tahun kemudian, yang kembali ke Keluarga Yunata hanyalah segenggam abu dan seorang anak.

Di dalam ruang rawat tersebut, Michael menatap pria tua yang terbaring di atas ranjang. Pria tua yang seharusnya dia panggil dengan sebutan "kakek" ini mengenakan pakaian pasien rumah sakit sambil diinfus melalui punggung tangannya. Tubuhnya yang makin lemah terlihat kurus kering.

"Kamu sudah datang, ya," kata Willy Yunata sambil menatap cucu satu-satunya.

"Ya, aku sudah datang," jawab Michael.

Kakek dan cucu ini saling bertatapan tanpa berbicara, tetapi kedua orang ini sepertinya sudah sangat terbiasa dengan keheningan seperti ini.

Sesaat kemudian, Willy baru memecahkan keheningan ini. "Kata sekretarisku, Keluarga Moiras dan Keluarga Susanto akan menjalin hubungan pernikahan?" Meskipun Willy terbaring di rumah sakit, sekretarisnya tetap melaporkan hal-hal penting padanya setiap hari.

"Dua minggu lagi, mereka akan bertunangan, undangannya sudah datang," kata Michael.

"Apakah kamu akan pergi?" tanya Willy.

Michael bertanya kembali, "Kenapa nggak?"

Willy tiba-tiba menatap cucunya lekat-lekat. Sesaat kemudian, dia tersenyum dan berkata, "Baguslah, kamu nggak seperti ayahmu."

Sejak kematian Helen, dalam tiga tahun terakhir, cucunya tidak berhubungan dengan wanita mana pun lagi. Willy khawatir cucunya akan seperti putranya, terjebak dalam perasaan mendalam dengan seorang wanita, lalu tidak bisa menerima pernikahan antara Keluarga Moiras dan Keluarga Susanto.

Lagi pula, mantan pacar Martin adalah orang yang membunuh Helen.

Michael tentu saja mengerti mengapa kakeknya mengatakan kata-kata seperti itu. "Benar, aku bukan dia, aku juga nggak seperti dia," kata Michael.

Willy tiba-tiba meraih pergelangan tangan Michael. Jari-jarinya yang penuh akan keriput seperti mencengkeram tangan Michael dengan sekuat tenaganya. "Ingatlah ucapanmu hari ini. Jangan seperti dia. Dulu, kalau dia mendengarkan ucapanku, mungkin saja ...."

Willy menggertakkan giginya. Kebencian tebersit di matanya. Genggamannya meninggalkan bekas merah yang mendalam di pergelangan tangan Michael.

Michael malah seperti tidak merasakan rasa sakit sama sekali. Seulas senyuman sinis tersungging di bibirnya. Dia tidak akan mengorbankan segalanya yang dia miliki, apalagi merendahkan dirinya serendah mungkin demi seorang wanita.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status