Share

Situasi Yang Sama

Bunga membantu Jelita membersihkan alat makan yang kotor. Mereka telah menyelesaikan makan malam berdua tanpa kehadiran dokter dingin itu, Kafkha. Sebelum meninggalkan rumah itu, Bunga ke kamar Kafkha untuk melihat kondisi Raisa. Setelah sampai di kamar Kafkha, tidak hanya melihat Raisa, Bunga juga melihat foto Marissa, istri Kafkha di rentetan foto di atas meja dan dinding kamar. Foto wanita itu seakan menghidupkan suasana kamar, memberikan energi semangat untuk. Kafkha dalam hidupnya.

Keceriaan terlukis di wajah Kafkha di setiap foto itu, jauh berbeda dari Kafkha yang dijumpainya sekarang, bahkan Kafkha yang dijumpainya dulu. Bunga jadi mengerti, Marissa bagaikan penawar, obat atas luka di hati Kafkha. Wajar baginya Kafkha sulit melupakan mendiang istrinya itu.

“Aku tidak yakin bisa mengisi hati Kafkha. Jika aku tetap bersamanya, sama saja aku melukainya. Tapi, bagaimana aku menolak pernikahan itu? Aku sudah menyetujuinya. Raisa juga kasihan. Mana aku juga ingin sekali menjaga anak ini, kasihan dia.” Bunga memperhatikan wajah Raisa di dalam keranjang bayi.

“Bunga ...!" Jelita berseru sambil berjalan ke pintu kamar Kafkha. "Taksi sudah ada di luar. Hati-hati di jalan dan jangan lupa hubungi Mama,” pesan Jelita.

“Iya.” Bunga mendekati Jelita yang masih berdiri di pintu dan menyalami tangannya.

Bunga keluar rumah itu, berjalan memasuki taksi yang terparkir di luar gerbang rumah. Mata Bunga memperhatikan Jelita dari jendela taksi, wanita itu berdiri di teras rumah. Jelita melambaikan tangan sambil tersenyum padanya.

Di tengah perjalanan, mereka melihat seorang wanita hamil di tepi jalan. Suami wanita itu berlari menghambat taksi berjalan. Suami wanita hamil itu meminta si sopir taksi untuk mengantarkan mereka ke rumah sakit. 

Bunga memperhatikan raut wajah wanita itu, ia tampak kesakitan sambil menarik napas dan menenangkan dirinya. Bunga membaca situasinya, wanita itu akan melahirkan. 

"Tapi, saya ada penumpang," kata si sopir taksi. 

"Bawa saja, Pak! Kita ke rumah sakit saja sebelum mengantar saya kembali," sahut Bunga.

"Terima kasih," ucap pria itu kepada Bunga.

Bunga keluar dari taksi, ikut membantu pria itu memasukkan istrinya ke dalam taksi. Bunga beralih duduk di depan, membiarkan suami-istri itu duduk di belakang. Bunga tertular kecemasan suami wanita itu setelah melihat kepanikan dan kekhawatiran yang terukir di wajahnya. Pria itu tampak tidak tahan melihat istrinya menjerit kesakitan.

"Mbaknya mau lahiran, Mas?" tanya Bunga.

"Iya, Mbak."

"Mbak, tarik napas dalam-dalam, tenang, dan buang. Mbak jangan panik." Bunga menenangkannya. 

Dalam beberapa menit perjalan, akhirnya mereka sampai di rumah sakit. Bunga ikut memapah wanita itu masuk ke dalam rumah sakit. Bunga memanggil petugas rumah sakit dari teras, ia meminta mereka untuk membawakan kursi roda atau brankar rumah sakit. 

Dari kejauhan Kafkha melihat kepanikan di wajah Bunga. Pria itu mengeluarkan kedua tangan yang sempat bersembunyi di balik saku jas dokternya dan berjalan menghampiri Bunga.

"Ada apa?" tanya Kafkha dengan raut wajah tenangnya. 

"Ada wanita yang ingin melahirkan. Tolong dia!" Bunga memegang tangannya.

Kafkha menoleh ke kanan, mengarahkan pandangan ke arah pintu rumah sakit yang memperlihatkan wanita hamil itu berdiri kesakitan dalam rangkulan pinggang sang suami. Kafkha berteriak memanggil petugas rumah sakit untuk mengeksekusi wanita itu ke ruang bersalin. Lalu, ia menghubungi temannya, salah satu dokter bersalin di rumah sakit itu untuk menangani wanita hamil itu.

Seorang dokter wanita bernama Sarah menangani wanita itu di ruang bersalin. Beberapa menit kemudian, Sarah keluar dari ruang bersalin bersama raut wajah sedih.

"Bagaimana, Dokter?" tanya suami wanita hamil itu masih dilanda oleh kecemasan.

"Istri Anda mengalami pendarahan hebat. Kecil kemungkinan bagi ibu dan anak selamat. Kita harus memilih salah satu dari mereka untuk diselamatkan. Tapi, pilihan itu tidak menjamin yang dipilih akan baik-baik saja," terang Sarah.

"Bagaimana bisa? Jika saya memilih ibunya, dia belum dinyatakan bisa diselamatkan? Kalau begitu, percuma saya memilihnya. Dokter memberikan pilihan macam apa?" Pria itu emosi.

"Pak, peluang bagi ibu dan anak, kecil untuk diselamatkan. Hanya bisa memilih satu, tapi jangan terlalu berharap karena situasi mereka membuat dokter tidak bisa menjamin keselamatan ibu atau anak yang ingin Anda selamatkan." Kafkha mencoba menjelaskan dengan ketenangan meski perasaannya ikut terguncang. 

Kafkha trauma dengan situasi itu, tetapi posisinya saat itu menuntutnya untuk bisa menjadi teladan yang baik sebagai seorang dokter yang profesional.

"Bagaimana bisa, Dok? Coba selamatkan mereka berdua. Saya tidak ingin mereka berdua kenapa-napa," tekan pria itu. 

"Saya paham. Saya pernah berada di posisi Bapak saat ini. Istri saya meninggal saat melahirkan anak saya. Situasinya persis seperti ini," jelas Kafkha.

"Tolong selamatkan keduanya, Dok!" pinta pria itu, berharap.

"Tidak bisa, Pak. Kita harus memilih salah satu di antara mereka. Selanjutnya, kita serahkan kepada Tuhan," kata Sarah.

Pria itu diam sejenak, ia berdiri membelakangi keberadaan dokter dan Bunga dalam kebimbangan, kedua tangannya berada di pinggang. 

"Selamatkan istri saya, Dokter," kata pria itu dalam kesedihan sambil memutar tubuh kembali menghadap mereka.

Satu sisi dihadapkan dengan seorang istri yang sangat dicintainya, tetapi disisi lain ia juga mengharapkan anak karena sang istri sulit hamil. Bahkan, saat ini anak yang tengah dikandung istrinya baru mereka dapatkan setelah 10 tahun lama menikah. 

Kafkha menjatuh air mata. Posisi pria itu mengingatkannya ke dua tahun lalu saat Marissa melahirkan. Kafkha berjalan meninggalkan tempat itu dengan langkah lambannya. Tangan kanannya menghapus tetes demi tetes air mata yang mengalir di pipinya. 

Bunga merasakan kesedihan Kafkha, mengubah perasaan cemasnya menjadi sedih. Bunga berjalan mengikuti Kafkha dari belakang, sampai akhirnya berjalan di samping pria itu. Kafkha tidak ingin dipandang lemah dan menyedihkan, ia terpaksa kuat dengan memasang wajah dingin untuk menyembunyikan kesedihannya. 

"Kenapa mengikutiku?" tanya Kafkha.

Bunga tersenyum sambil menggelengkan kepala. Kakinya masih melangkah beriringan bersama Kafkha. 

***

Kafkha membangunkan Bunga. Wanita itu duduk di sampingnya, di dalam mobil dalam keadaan tidur. Kafkha mengantar Bunga kembali ke rumahnya karena kebetulan ia juga sudah pulang. Bunga tidak bisa dibangunkan, Kafkha terpaksa membopong tubuhnya keluar dari mobil dan membawanya menuju rumah yang ada di depan mobil. Tangan kanan Kafkha mengetuk pintu rumah sederhana itu.

Murni berjalan mendekati pintu rumah menggunakan tongkatnya untuk berjalan. Ia membuka pintu dan melihat sang anak berada di bopongan Kafkha.

"Bunga kenapa? Kamu siapa?" tanya Murni, kebingungan.

"Kafkha, Bu. Anak Mama Jelita. Bunga baik-baik saja, dia tertidur di mobil saat aku mengantarnya," terangnya.

"Itu kamar Bunga. Tolong bawa dia ke kamar, Nak Kafkha," pinta Murni.

Murni mengikuti Kafkha dari belakang, berjalan menuju kamar Bunga. Kamar anaknya itu berdampingan dengan kamarnya yang berada tidak jauh dari pintu rumah.

Kafkha membaringkan tubuh Bunga di atas kasur. Mata Kafkha tidak sengaja mengarah ke foto masa kecil beberapa anak dalam balutan seragam sekolah dasar, foto itu tertempel di dinding seberang keberadaannya yang diantarai oleh kasur. Kafkha sadar kalau Bunga teman sekelasnya saat sekolah dulu.

"Bunga?" Dalam hati Kafkha berkata sambil mengingat.

Perlahan Kafkha mengingat sosok Bunga yang pernah hadir di masa kecilnya. Ia ingat seorang Bunga di moment pelajaran olahraga dalam materi lari. Bunga bertubuh kecil dan berkulit hitam, menjadi pemilik nilai tertinggi setiap olahraga lari di sekolah.

"Arang terbang," kata Kafkha dalam hati sambil senyuman tipis.

"Terima kasih Nak Kafkha," ucap Murni sambil menyelimuti tubuh Bunga.

Kafkha menganggukkan kepala dan berjalan keluar meninggalkan kamar itu. Murni mengikutinya dan menyuruh pria itu duduk di ruang tamu. Kafkha menerima tawaran Murni, mengajaknya minum segelas kopi di rumah itu, sekaligus ia ingin mencari tahu banyak hal mengenai Bunga melalui pembicaraannya bersama Murni.

"Tidak! Tidak ... tidak! Jangan lakukan itu. Aku mohon ...!" Bunga meringis memohon dan ketakutan.

Suara Bunga terdengar nyaring keluar kamar, menghentikan pembicaraan Murni dan Kafkha. Mereka yang duduk di ruang tamu itu mendengar ringisan Bunga. Mereka bergegas memasuki kamar Bunga untuk melihat kondisi wanita itu. Setelah pintu dibuka, terlihat Bunga masih berbaring di atas kasur dengan kepala menggeleng ke kanan dan kiri bersama keringat membasahi wajahnya.

"Bunga ...! Nak ...! Bunga ...!" Murni memanggil nama Bunga sambil menepis pipi anaknya itu pelan. 

Murni menggeledah laci meja, ia mengambil sebuah jarum dari kotak kecil, khusus menyimpan jarum. Kafkha berdiri bingung melihat tingkah Murni, ia memperhatikan wanita paruh baya itu menusuk jari telunjuk kanan Bunga menggunakan jarum tersebut.

Kedua bola mata Bunga terbuka kaget, matanya membesar menatap langit-langit kamar. Ekspresi wajahnya seperti orang yang baru saja kelelapan air. Napasnya bergerak cepat, seperti diburu oleh kawanan serigala.

Murni membantu Bunga duduk. Wanita itu memeluk sang ibu sambil menangis.

"Kamu baik-baik saja. Tenang," ucap Murni dengan suara kecil.

Dahi Kafkha mengerut bingung melihat kejadian itu. Ia hanya bisa berdiri diam di tengah kamar itu dengan rasa penasaran yang ikut mengisi pemikirannya. Lalu, Kafkha keluar dari kamar itu dan kembali duduk di sofa setelah melihat Bunga menatapnya bingung.

Beberapa menit kemudian, Murnia keluar dari kamar dan menutup pintu kamar Bunga. Wanita paruh baya itu meminta maaf atas kejadian itu.

"Itu salah satu kebiasaan buruk Bunga. Satu tahun lalu dia hampir diperkosa, tapi untungnya dia baik-baik saja karena dokter Daffa menolongnya. Sejak saat itu, sesekali, Bunga mengalami kejadian seperti tadi dalam mimpinya. Tapi, itu sudah biasa baginya.

Kafkha jadi mengerti mengapa Murni menusuk jari Bunga. Pria itu mengangguk paham dengan cerita Murni.

"Aku memahaminya. Kalau begitu, aku pergi dulu," pamit Kafkha.

Murni mengantar Kafkha sampai ke teras rumah. Wanita paruh baya itu bahagia mendengar pria yang baru saja berkunjung ke rumahnya itu akan menjadi menantunya. Murni mendapatkan berita mengenai pernikahan Bunga dan Kafkha langsung dari Jelita tanpa sepengetahuan mereka. Di belakang mereka, Murni dan Jelita merencanakan sebuah rencana pernikahan untuk dilangsungkan oleh mereka berdua. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status