Share

Mencegah Bukan Menyembuhkan

Kafkha tidak tahu harus bahagia atau bersedih. Pernikahan mulai dipersiapkan dan akan diselenggarakan di kediamannya dua hari lagi. Para wedding organizer mulai menata beberapa bunga untuk dekorasi pernikahan di rumah itu. Semua orang tampak sibuk, terutama Jelita dan Murni yang tengah duduk di ruang tamu sambil melihat-lihat menu makanan yang akan disajikan di hari pernikahan nanti.

Kafkha menoleh ke samping, melihat Bunga sedang menggendong Raisa di sudut ruang tamu itu. Tawa Bunga bersemi bersamaan dengan senyuman anaknya. Kafkha berdiri di depan pintu rumah melihat kesibukan setiap orang sampai tidak menyadari keberadaannya sendiri. Situasi Itu membuat Kafkha merasa mendiang Marissa selangkah demi selangkah menjauh darinya.

"Bagaimana perasaan Marissa melihat aku akan menikah? Dia pasti sedih," kata Kafkha dalam hati.

Bunga memperkecil volume tawannya sampai akhirnya suara tawa itu tidak terdengar lagi setelah melihat pria yang akan menikahinya diam tampak tak tenang. Bunga melangkah ragu, berjalan mendekati Kafkha untuk menyapa pria itu dengan menganggukan kepala dan tersenyum tipis.

"Kamu baru pulang?" tanya Bunga.

Pertanyaan yang sia-sia. Sudah jelas pria itu baru datang, tentunya ia baru pulang.

Senyuman Bunga tak berbalas. Pria itu mengambil Raisa dari pelukannya dan membawanya pergi meninggalkan ruang tamu menuju kamar tamu. Sikap dingin Kafkha ditonton Murni dan Jelita. Bunga menoleh ke belakang, ia tersenyum kepada kedua wanita paruh baya itu karena tidak ingin mereka mengkhawatirkan hubungannya dan Kafkha. Bunga paling menghargai perasaan Murni. Ibunya itu sejak lama mengharapkannya menikah, tentunya dengan pria yang tepat.

Bunga berjalan mengikuti Kafkha masuk ke kamar tamu karena kamar atas, yang akan dijadikan kamar pernikahan sedang di dekorasi. Kaki Bunga melangkah ragu mendekati Kafkha yang sedang mengagah Raisa di atas kasur.

"Aku ingin berbicara denganmu. Bisakah?" tanya Bunga.

Kafkha menghapus senyuman di wajahnya, ia diam sejenak dengan posisi tubuh masih merendah, membungkuk ke arah tubuh anaknya yang ada di atas kasur. Kafkha menoleh ke belakang sambil membetulkan posisi berdirinya.

"Sebelum terlambat, sebaiknya kita tidak melanjutkan hubungan ini. Aku tidak ingin menyakiti siapapun. Jujur, aku tidak ingin mengambil posisi istrimu, termasuk mengambil perasaan yang kamu berikan untuknya untukku. Aku juga tidak ingin menyakiti perasaan Mamaku karena dia sangat berharap dengan pernikahan ini. Kita bisa bicarakan semua di hadapan kedua Mama kita." Bunga mengutarakan solusi terbaik menurutnya dalam ekspresi tenang dan berusaha tersenyum

"Aku beri kesempatan padamu. Tolong buat aku melupakan masa lalu. Bantu aku untuk bisa keluar dari kegelapan ini," ucap Kafkha.

Perkataan Kafkha diluar ekspektasinya. Bunga kaget, lalu tersenyum bahagia mendengar tanggapan Kafkha. Ia terharu sampai meneteskan air mata. Sekarang tidak ada keraguan lagi di hati Bunga, wanita itu berjalan mendekati Kafkha, berdiri di samping pria itu.

"Aku tidak akan mengambil posisi istrimu. Tapi, aku akan berusaha mencari posisi lain di hatimu, yaitu seorang teman. Kamu bisa berbagi suka dan dukamu bersamaku. Aku janji akan memberikan yang terbaik. Terima kasih," ucap Bunga menangis bahagia.

***

"Tidak. Kenapa aku bereaksi seperti tadi? Tingkah ku menunjukkan kalau selama ini aku menyukainya. Bunga ... kenapa kamu tidak bisa mengontrol perasaan mu?"

Bunga tersenyum bodoh di kamarnya. Wanita itu berguling-guling sambil tersenyum malu memikirkan tingkahnya hari ini di hadapan Kafkha, menunjukkan betapa berharapnya ia pernikahan itu terjadi.

TRENG!

Notifikasi pesan masuk dari nomor Kafkha. Pria itu mengirim pesan padanya, mengajaknya bertemu sambil makan malam. Bunga tidak bisa menahan rasa bahagia, ia sampai meloncat-loncat di atas kasur. Semakin lama ia tak terkontrol, perasaan sukanya tidak bisa ditutupi.

Bunga melompat dari kasur, berjalan mendekati lemari untuk memilih pakaian sambil bersenandung. Kedua tangannya mengobrak-abrik lemari mencari pakaian yang cocok untuk makan malamnya bersama Kafkha.

"Ini sepertinya cocok." Bunga memperhatikan dirinya di cermin, ia memakai gaun berwarna biru muda.

Malam telah tiba. Bunga memakai gaun biru muda yang tadi dikenakannya. Rambutnya digerai panjang bergelombang, seperti seorang princess dari kerajaan. Selain bertemu Kafkha, Bunga juga rindu bertemu Raisa. Sifat keibuannya sellau keluar jika sudah bertemu dengan anak itu.

Wanita itu menaiki taksi online untuk pergi ke restoran tempat mereka bertemu. Dari jauh, dari luar restoran Bunga melihat Kafkha duduk di salah satu bangku restoran sendirian. Bunga menarik napas panjang dan memenangkan perasaannya agar tidak salah tingkah. Kakinya melangkah lambat memasuki restoran itu sambil memperhatikan sekitaran tempat duduk Kafkha untuk melihat Raisa.

"Raisa mana? Kenapa tidak dibawa? Padahal, aku merindukannya," kata Bunga sambil duduk di hadapan Kafkha.

"Dia tidur. Aku mengajakmu bertemu karena ingin membicarakan tentang pernikahan kita. Sebelum pernikahan itu terjadi, aku ingin bertanya. Kamu memiliki seseorang yang kamu cintai?"

"Tidak. Waktu membuatku tidak sempat untuk memasukkan seseorang dalam hidupku. Aku pernah mencintai seseorang. Dia pria yang tampan, pintar, hmm ... pokoknya sempurna bagiku. Sayangnya dia sudah menikah dan memiliki anak. Dia teman lamaku," cerita Bunga.

Orang yang dimaksud Bunga ialah Kafkah, tetapi ia tidak menceritakan kalau pria yang dicintainya itu akan menjadi suaminya. Kedua bola mata Bunga berbinar sambil menatap Kafkha.

"Aku tidak ingin mengambil kamu dari Marissa. Tapi, kamu harus melanjutkan hidupmu. Simpan Marissa di sini." Jari telunjuk Bunga menempel di dada Kafkha.

"Kamu bisa melakukannya. Demi kebaikan dirimu, kebahagiaan Mama Jelita, terutama Raisa. Bukannya aku sok baik, menjadi malaikat dan mengharapkan banyak hal dengan memanfaatkan hubungan ini. Aku harap kamu tidak berpikir begitu. Aku juga ingin memiliki perasaan itu. Mungkin kita bisa mencobanya, memulai sebuah hubungan baru. Kamu mau?" tanya Bunga tampak tak yakin dengan balasan Kafkha.

Beberapa saat Kafkha memikirkan hubungannya dan Bunga. Pria itu menurunkan egonya demi kekhawatiran Jelita, juga Raisa yang membutuhkan seorang ibu.

"Iya."

"Bagus. Pertama, perkenalkan aku Bunga. Semoga bisa menjadi teman," ucap Bunga sambil menyodorkan tangan ke arah Kafkha.

"Maksudnya?"

"Semua tidak bisa berlangsung secara instan. Pertama kita harus berteman dulu. Setelah itu kamu bisa anggap aku sebagai ...." Bunga menggantungkan perkataannya.

"Dewi pelindung, mungkin. Ingat, hanya aku yang bisa membuat Raisa berhenti menangis," canda Bunga tertawa ringan.

"Terima kasih," ucap Kafkha membalas jabatan tangan Bunga.

Karena tidak dicoba, maka tidak akan tahu bagaimana hasilnya. Persepsi Bunga menilai seorang Kafkha berubah total setelah melihat pria itu tersenyum ringan setelah mengajaknya bercanda. Bunga mempunyai strategi untuk membuat Kafkha bisa jatuh hati kepadanya, yaitu memulainya dengan menjadi seorang teman. Bunga mengajak pria dingin dan cuek itu bercanda, ia melakukan hal-hal konyol seperti memainkan makanan menggunakan garpunya. Bukan hanya itu, Bunga juga menceritakan pengalaman lucunya kepada Kafkha. Pokoknya, karakter Bunga nyambung saat berbicara bersama Kafkha, tidak membosankan.

Usai makan malam bersama, Kafkha mengantar Bunga kembali ke rumahnya. Di perjalanan, Kafkha mengungkit masa lalu Bunga mengenai insiden percobaan pemerkosaan yang hampir dialami wanita itu. Bunga diam mematung sekaligus kaget mendengar Kafkha tahu cerita kelamnya itu. Tawa Bunga menghilang total, hanya ada tangisan dalam kesedihan.

"Kamu tahu itu. Iya. Kamu bisa membatalkan pernikahan karena tahu aku bukan wanita sempurna," ucap Bunga pasrah.

"Bukan begitu. Kamu tidak berobat? Mungkin menemui psikolog untuk membasmi insomnia yang kamu alami," ungkap Kafkha.

"Tidak. Aku pernah menemui psikolog, tetapi hasilnya tidak memuaskan. Akan tetapi, setidaknya aku tidak mengalami itu setiap malam. Ketika aku stres berat, memori itu akan berputar di benakku. Itu sebabnya aku menulis, mengeluarkan semua ide dibenakku. Jika tidak aku keluarkan, juga bisa membuatku stres," kata Bunga dan berusaha tersenyum.

"Impas. Bantu aku dan aku akan membantumu. Bagaimana?" tanya Bunga mengemukakan idenya.

"Aku dokter jantung," balas Kafkha.

"Setidaknya kamu juga tahu tentang kesehatan," ujar Bunga.

Kafkha hanya diam. Pandangannya kembali mengarah ke depan untuk lebih fokus mengemudiankan mobil.

Lagi, Bunga mudah tidur dan sulit dibangunkan. Kafkah terpaksa membopong tubuh wanita itu memasuki rumahnya dan membaringkan tubuhnya ke tempat tidur. Lagi, Kafkha melihat foto masa kecil mereka sambil mengingat Bunga sering dikucilkan oleh teman-teman mereka saat sekolah dulu. Kafkha merasa prihatin membayangkan Bunga mengurung diri di rumah menjaga Murni, merasakan kesulitan harus menjadi tulang punggung keluarga dan membiayai rumah sakit Murni. Meskipun cuek dan dingin, Kafkha memiliki kepedulian tinggi. Itu sebabnya ia merasa Bunga wanita baik yang bisa menjaga anaknya tanpa pamrih. Selain ingin mendapatkan dirinya, Kafkha tahu setiap wanita yang ingin menjadi istrinya juga mengincar profesi dan kekayaan yang dimilikinya, yaitu menjadi istri dokter besar dan memiliki banyak uang. Akan tetapi, ia tidak melihat hal itu pada diri Bunga.

"Maaf Nak Kafkha. Bunga kembali merepotkanmu. Ini salah satu kebiasaannya. Ini terjadi sejak kejadian itu, katanya karena efek obat. Jika dia tidak meminum obat itu, dia akan selalu dihantui oleh traumanya," terang Murni

Kafkha meminta obat yang dikonsumsi Bunga. Murni mengambilnya dari laci meja dan memberikan botol obat tablet itu kepada calon menantunya itu. Kafkha tahu jelas obat itu dan efeknya. Ia memaklumi Bunga tidur seperti orang mati, yaitu susah untuk dibangunkan. Murni dilarang olehnya untuk memberikan obat itu kepada Bunga untuk masa akan datang.

Perkataan Kafkha tentunya membuat Murni kaget. Sejak setahun terakhir, anaknya itu mengkonsumsi obat tersebut tiga kali satu Minggu dan memberikan efek yang baik.

"Kenapa?" tanya Murni bingung.

"Mungkin Bunga bisa sembuh dengan obat itu, tetapi sebenarnya itu bukan menyembuhkan, tetapi hanya mencegah. Obat itu malah akan membuatnya ketergantungan dan sulit berbaur dengan traumanya. Percayakan semuanya padaku," ujar Kafkha.

Murni menyetujui perkataan Kafhka. Wanita itu mengambil botol obat tersebut dan membuangnya ke tong sampah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status