Share

Harta atau Tahta

Setelah mengantar Mistha ke apartement, Ghara langsung menuju ke kantor demi memenuhi panggilan dari Bos besarnya.

"Pak, Ghara," Panggil Laurent sekretaris Erick Choii, begitu melihat Ghara melintasi bilik ruang kerja.

Ghara mendongak tanpa bicara. Menyayangkan langkahnya yang separo sudah di ambang pintu ruang kerja. Sementara Laurent hanya berisyarat kecil dengan memiringkan jempol kanannya kearah ruangan Erick Choii. Ghara mengangguk tanda mengerti.

Selang beberapa saat, karena tidak ingin terlalu lama mengacuhkan permintaan Bos besarnya itu, akhirnya Ghara bersiap untuk menuju ruangan Erick. Ghara berdehem sebelum mengetuk pintu, lalu disambut hangat oleh Laurent yang setia membukakan pintu setiap tamu yang berkepentingan dengan Erick.

"Silakan duduk," sambut Erick sembari tersenyum lebar.

Tentu hal ini sangat aneh, aneh sekali. Belum pernah sekalipun Ghara melihat Erick sehangat ini saat bicara dengan semua bawahan di kantor Biro Investigasinya.

"Buka," Perintah Erick setelah menyodorkan kotak hitam persegi empat di depan Ghara.

Semantara Ghara masih dengan ribuan rasa penasarannya. Padahal sebelum masuk, Ghara sudah mempersiapkan sejuta jawaban sebagai amunisi untuk setiap pertanyaan yang akan dilontarkan Erick. Namun, Erick justru memberi perlakuan berbeda kali ini. Tidak ada pertanyaan, yang ada hanya kejutan.

"Bagaimana?" tanya Erick, setelah Ghara berhasil membuka kotak hitam persegi empat itu.

"Aih..., Bapak becanda...," jawabnya sembari tertawa kecil tak percaya, dengan sesuatu yang ada di hadapannya sekarang.

"Itu hadiah untuk Anda, Pak Ghara!" tegasnya.

"Hadiah?" Ghara kembali bertanya.

"Tentu!" terangnya meyakinkan Ghara.

Erick menarik napas panjang, menegakkan posisi duduknya, lalu kembali menjelaskan maksudnya.

"Kunci ini-" Erick menjeda kata-katanya sembari memegang ujung kotak hitam yang ada di atas meja, "Akan menjadi milik Anda sepenuhnya. Tapi ada satu syarat!" imbuhnya penuh penekanan.

"Syarat?"

"Ya, syarat!" serobotnya sembari membenarkan posisi kacamata begitu mendengar jawaban Ghara hanya sepatah kata saja.

"Usut tuntas kasus pembunuhan anak buah investor besar clien kita! Kantor kita juga harus turun tangan terkait kasus ini, karena terror, pembunuhan secara kejam juga mencakup perlindungan HAM!" imbuhnya menegaskan.

"Tap-"

"Saya mempercayakan kasus ini, berada di atas kendali devisi Anda, Pak Ghara!" Erick memotong kata-kata Ghara.

"Saya yakin Anda sanggup mengusut kasus ini sampai keakar-akarnya," imbuhnya sembari tersenyum ambisius, dengan memainkan kesepuluh jari-jarinya berada di atas meja kerjanya.

Sementara Ghara masih mematung tak percaya, tentu ada hal yang Erick rencanakan di balik ini semua. Beribu pertanyaan pun menyergap kepala tiba-tiba, ada apa di balik kasus cliennya ini hingga Erick rela memberi hadiah yang sedemikian rupa.

Ghara keluar dari ruang kerja Erick Choii, sembari membawa kotak hitam berisi kunci mobil mewah tipe coupe clip warna silver. Perihal beruntung, tentu ini adalah sebuah keberuntungan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Padahal tadi pagi sebelum sampai di kantor, Ghara sudah memperkirakan segala kemungkinan yang akan terjadi, namun ya-kembali lagi kepada keberuntungan orang setampan dan sepandai Ghara, untuk mendapatkan hadiah yang ada di genggamannya sekarang pun, ia harus menyelesaikan tugas yang bisa dibilang sangat complicated dan beresiko tinggi.

Mengusut kasus pembunuhan, sampai keakar-akarnya memang sudah hal biasa. Tapi ada apa? Pertanyaan itu masih saja menggerogoti kepala Ghara.

Ah, sudahlah yang jelas dengan kasus baru ini Ghara tidak akan berhubungan dengan wanita berkepala panas yang ditemui dirapat kemarin malam, pikirnya.

Sayangnya belum sampai angan-angan untuk membuat segala kemungkinan yang akan terjadi siang ini melenceng semua, nyatanya tidak semuanya begitu. Ghara masih harus berhubungan dengan wanita berkepala panas-ya wanita berkepala panas, sepanas lahar gunung mahameru itu.

Dan kini dia sudah menunggu dengan setia di ruang kerjanya.

"Ternyata anda masih dibutuhkan dikasus ini," ucapnya sembari menyodorkan selembar dokumen titipan Dea.

Persetan! Ghara mengumpat dalam hati.

"Bilang sama Bu Dea, Saya udah nggak lagi berada di devisi ini," balasnya setelah membaca sekilas tentang dokumen yang dibawa Safira.

"Semua orang sudah tahu, tapi Anda dibutuhkan di sana!" jawabnya tak mau kalah.

"Hah," balas Ghara spontan tak percaya.

"Dibutuhkan?" imbuhnya sembari mengacuhkan keberadaan Safira.

"Tentu! Kalau peran Anda nggak penting. Saya nggak mungkin repot-repot datang menemui Anda," pungkasnya.

"Bilang saja sama Bu Dea, Saya sudah dapat surat perintah untuk menangani kasus lain dan Saya nggak bisa pegang dua kasus yang berbeda!"

Safira mendecih. Agak muak dengan sikap Ghara yang seolah sombong dengan jabatan barunya.

Sementara Ghara kembali mengacuhkan keberadaan Safira, mengambil langkah menuju ruang devisinya untuk membagikan tugas kepada beberapa anggota, agar segera mengusut kasus yang diberikan oleh Erick, begitu selesai Ghara langsung kembali pergi menemui Mistha, karena ada beberapa dokumen yang diperlukan Mistha untuk dibawa ke Surabaya besok.

Dalam perjalanan, Ghara merasakan getaran dari arah door pocket samping kanannya. Sebuah panggilan masuk dari Dea.

Selamat siang, Bu Dea. Sapanya.

Pak Ghara, bisa ketemu saya siang ini? tanya Dea melalui telepon.

Saya masih dalam perjalanan menuju kantor, Bu! kilahnya, padahal Ghara akan menemui Mistha.

Saya tunggu di ruangan saya ya, Pak!

Baik, Bu. jawabnya, lalu meletakKan ponselnya kembali di atas drink holder.

Begitu telepon dimatikan, Ghara memutar arah dan kembali menuju kantor. Sampai di kantor, Ghara langsung menuju ruangan Dea, namun di sana tak ada wanita berkepala panas yang bernama Safira itu. Hanya ada Dea.

"Kenapa Pak Ghara menolak kasus ini?" todongnya sembari melemparkan berkas kearah Ghara begitu memasuki ruangan.

"Saya ada tugas dari Pak Erick, Bu."

"Bukannya kemarin kita sudah sempat bahas, kalau devisi Pak Ghara harus menyelesaikan kasus ini!"

"Bu, mohon maaf sebelumnya. Bukankah Biro ini ada banyak team, selain devisi Saya."

"Tapi saya lebih percaya Anda yang memegang kendali untuk menangani kasus semacam ini!" Dea mulai menaikan nada bicaranya, tipikal perawan tua yang gampang sekali tersulut amarahnya.

"Baik, saya akan pegang kasus ini. Tap-"

"Tapi apa?" sela Dea cepat.

"Setelah tugas dari Pak Erick selesai."

"Nggak bisa! Pegang kedua kasus ini, karena keduanya ada sangkut pautnya. Saya yakin itu! Saya nggak mau dengar lagi alasan Pak Ghara menolak semua dokumen yang saya titipkan Safira," kelit Dea meninggi.

"Tapi,Bu-"

"Pak Ghara, pikirkan matang-matang tentang tawaran Saya. Pikirkan juga nasib jabatan Anda sebagai Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan,  jika menolak perintah dari Saya, mengerti!" sahut Dea mengancam.

"Bawa dan pelajari. Silakan keluar!" imbuhnya sembari menunjuk kearah daun pintu.

Dalam ruang kerjanya, Ghara mengumpat kesal. Bisa-bisanya kedua atasannya itu membuat kepalanya benar-benar terasa pecah. Mana yang harus Ghara dahulukan. Sementara keduanya sama-sama membingungkan, jika Ghara harus mendahulukan Erick demi sebuah hadiah, lalu bagaimana dengan tugas dari Dea yang kini tengah mengancam jabatan barunya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status