Sesuai kesepakatan yang telah disetujui kemarin, akhirnya hari ini Ghara dan Mistha terbang ke Surabaya untuk menghadiri acara reuni keluarganya. Melihat Mistha yang tampak masih belum terlalu fokus dengan apa yang telah direncanakan Ghara. Dalam perjalanan itu, Mistha masih tampak belum begitu yakin dengan semua hal yang akan terjadi di luar ekspektasinya, gelagat anehnya pun mengundang rasa penasaran Ghara.
"Mistha..."
"Hmm..."
Ghara mengulurkan segelas coffe yang baru saja dibeli sebelum masuk ke dalam bandara.
"Ada apa?" tanya Ghara begitu melihat Mistha menerima uluran gelas itu tanpa mengindahkan kehadirannya.
Mistha diam. Entah apa yang sedang ada dalam pikirannya sekarang.
"Cerita aja kalau memang lagi ada masalah, siapa tahu Saya bisa bantu," tukas Ghara setelah mencecap coffe yang ada di tangan kirinya.
Mistha menghela napas panjang, sembari memandangi gelas coffe yang ada di tangannya.
"Setiap orang pasti punya masalah masing-masing. Saya tahu, dikontrak memang Anda nggak boleh Saya ikut campur masalah-masalah Anda, cuma kelihatan berat banget, dan Saya yakin Anda pasti nggak bisa menyelesaikan sendiri," cetusnya.
"Intinya Anda nggak perlu tahu, nggak usah cari tahu dan fokus aja sama masalah Anda sendiri, Ghara. Inget waktu kita dua hari, setelah itu Saya harap nggak akan ada perpanjangan lagi!" sergah Mistha lirih namun penuh dengan penekanan.
Ghara mengangguk.
"Tapi Saya harap pertemanan kita nggak cukup dengan kontrak dua hari saja."
"Saya nggak butuh teman," kelit Mistha sembari memasang muka masam.
Ghara terhenyak mendengar pengakuan Mistha yang seolah mampu hidup sendiri di dunia ini. Baiklah! Batin Ghara mengalah.
"Yuk," Ghara menginteriupsi untuk segera check-in.
"Ghara," ucap Mistha tiba-tiba.
Mendengar suara Mistha nggak setinggi biasanya, Ghara menoleh lega.
"Ya," balasnya.
"Nggak, nggak apa-apa," Mistha mengurungkan niatnya untuk bertanya.
Lalu berjalan mendahului Ghara. Aneh! Batinnya.
***
Tiba di Surabaya, Ghara dan Mistha langsung menuju rumah Ibunya. Ghara mulai percaya diri karena sudah berhasil membawa Mistha. Meskipun dengan ribuan cara untuk merayu supaya mau berpura-pura menjadi pacarnya, ya walaupun juga harus merogoh kocek hingga ratusan juta. Setidaknya, Ghara mampu menepati janji untuk ibunya.
Baru kali ini Ghara melihat senyum Mistha yang tulus tanpa terpaksa. Begitu kedatangannya disambut hangat oleh orang tua Ghara, di sana akting Mistha benar-benar nyata. Mencium punggung tangan Ibunya, disambut dengan kembang senyum merekah yang tertolol di wajah wanita paruh baya di depannya.
"Cantik," ucapnya sembari mengusap pelan kepala Mistha.
"Siapa namanya?" imbuhnya.
"Mistha," Ghara menimpali sebelum jawaban itu keluar dari mulut Mistha.
"Lha mbok ya gitu, biar kemana-mana itu selalu ada pasangannya," jawabnya.
Mistha membalas senyum sopan, hal itu dilakukan bukan semata-mata untuk mencari perhatian. Melainkan, memang Mistha sangat menghormati orang tua, siapa pun itu. Kecuali orang tua semacam Vall Ankala si bajingan tua.
"Masuk...masuk...masuk, Ibu belum siap apa-apa," ajaknya sembari memegang tangan Mistha dan Ghara.
Sementara di sana Mistha masih belum berani berucap apa-apa. Hanya beberapa respon senyum dari setiap perlakuan ibu Ghara.
"Bapak di mana?" tanya Ghara kepada ibunya.
Tiba-tiba ibunya menarik napas dalam sebelum merespon pertanyaan Ghara, mengambil langkah menuju sebuah ruangan bapaknya berada. Diiringi dengan langkah panjang Ghara, tak percaya jika ia menyaksikan bapaknya tengah tergolek lemah tak berdaya dengan berbagai alat yang terlilit disekujur tubuhnya.
"Bapak kenapa, Bu. Kenapa Ibu nggak bilang," tandasnya sembari menatap wajah ibunya yang tak sanggup membendung air mata.
Ibunya terus sesenggukan, sementara Mistha merasakan ketegangan yang seketika menyergap ingatannya saat pertama kali ia kehilangan wanita yang sangat dicintai.
Seketika Ghara mendekat, diam berdiri sembari menatap nanar kearah tubuh tua yang terkesan letih.
"Bapak, nggak apa-apa," jawab Bapaknya menenangkan Ghara.
"Pak, ke Rumah Sakit sekarang ya," rayu Ghara sembari mengelus pelan ujung kening Bapaknya.
"Kakakmu bilang, Bapak nggak akan lama." sahutnya tiba-tiba.
"Maksudnya?" protes Ghara tak percaya.
"Sudah, Nak! Ikhlaskan. Bapak hanya minta satu hal. Sebelum, Bapak meninggalkan kalian semua," gumamnya.
"Ghara janji, Ghara akan tepati. Bapak mau apa dari Ghara?" bisik Ghara pelan tepat di telinga bapaknya.
"Bapak, mau menjadi wali nikahmu hari ini juga," ucapnya.
Sontak jantung Ghara berdetak kencang. Lalu memandang kearah Mistha dan ibunya yang berada di belakang punggungnya, sementara Mistha memalingkan muka begitu melihat Ghara benar-benar bercucuran air mata.
"Pak, pernikahan perlu direncanakan. Nggak mungkin bisa dilakukan secara mendadak." rayunya.
Lalu bapaknya tiba-tiba menunjuk kearah Mistha, berisyarat jika bapaknya minta dia yang akan menjadi menantu terakhirnya.
"Turuti apa permintaan, Bapakmu. Umurnya nggak akan lama, jangan sampai Kamu menyesal karena masih mempunyai janji yang belum bisa Kamu tepati."
"Bu, Bapak masih hidup, Bu. Bapak belum meninggal, bisa-bisanya Ibu bilang begitu!" sergahnya.
"Kita bawa, Bapak ke Rumah Sakit sekarang!"
Tanpa sadar Mistha menarik tangan Ghara, seketika tubuhnya menyatu dalam dekapannya. Mistha pun mengeluarkan air mata melihat kepanikan Ghara yang tengah menghawatirkan konidisi bapaknya, tak kuasa! Mistha mengelus pelan punggung Ghara lalu berkata.
"Ghara..."
Ghara tak menjawab.
"Semua orang pasti pernah atau akan merasakan kehilangan. Yakinlah, semua akan baik-baik saja," ucap Mistha menenangkan Ghara di hadapan orang tuanya. Meskipun hubungan Mistha dan Ghara hanya sebatas kontrak, entah kenapa Mistha merasa nyaman ketika berada dipelukan Ghara.
Sorenya semua keluarga Ghara sudah berkumpul di rumahnya. Termasuk saudara laki-laki dan perempuan dari bapaknya, karena memang kebetulan acara reuni yang dihadiri semua keluarga besar hari ini bertepatan dengan acara arisan yang kebetulan bapak dan ibu Ghara yang menjadi tuan rumahnya. "Dek, kata Ibu. Kamu tadi siang janji sama Bapak?" tanya kakak perempuan Ghara. Ghara tak menjawab, masih menimbang-nimbang jika ia disuruh menepati janji itu hari ini. "Kamu sudah tahu kondisi, Bapak kayak gimana, 'kan?" imbuh kakaknya begitu tidak mendapat jawaban dari Ghara. "Kak-" "Dek," sergah kakanya cepat. "Nunggu apa lagi, Mistha udah sesuai dengan harapan Ibu sama Bapak. Lihat semua saudara juga udah mendukung kalian, mau nunda sampai umur berapa lagi. Kurang apa lagi, Mistha cantik, sholeh, rajin." ucap kakaknya sembari menoleh kearah Mistha yang tengah membenarkan posisi jilbabnya. "Tapi nggak harus sekarang, Kak!" bantah Ghara. "Masmu sudah menyiapkan semuanya, Bapak yang nyuruh. Aca
Mistha beranjak ke kamar mandi pagi itu. Membasahi wajah, sikat gigit, lalu mengganti pakaian yang masih digunakan semalam. Sejenak langkahnya terhenti begitu melihat Ghara yang masih tertidur pulas di atas sofa. Mistha memandangi wajah oval Ghara, ternyata Ghara termasuk hasil pahatan Tuhan yang sempurna, gumamnya. Alis tebal, jambang tipis disekeliling rahang tegasnya, serta anak rambut yang memenuhi kening, membuat Ghara tidur saja masih terlihat memesona. Apalagi jika Mistha menatap manik mata spectrum Ghara. Satu hal yang sangat dihindari Mistha adalah jatuh cinta, terlebih jatuh cinta kepada pria yang saat ini tengah dipandangi. Hati dan pikiran Mistha benar-benar berperang! Saat hati ingin berperan, namun pikiran berkata tinggalkan. "Sudah bangun, Nduk," sapa ibu Ghara mengagetkan Mistha. Mistha membalas senyum ucapan wanita yang sedang memakai mukena. "Mau ikut Sholat di Masjid?" imbuhnya. Mistha gelagapan, lalu menggaruk-garuk kepala yang benar-benar gatal karena jilbab y
Ghara mengetuk pintu kamar Mistha. Tidak ada sahutan dari sana, lalu Ghara menyeruak masuk begitu tidak mendapat respon apa-apa. "Ada apa?" tanya Ghara begitu melihat Mistha seperti dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. "Mistha," tanya Ghara sekali lagi, begitu melihat Mistha hanya duduk sembari memegangi kedua tungkai. "Hei, ada apa?" tanya Ghara lagi sembari mendekati Mistha yang sudah merubah posisi dan menggigit jari jemari. "Kita balik ke Jakarta sekarang!" jawab Mistha lirih. "Iya, balik. Cerita dulu ada apa?" desak Ghara masih penasaran. "Nggak usah ikut campur masalah gue. Ngerti!" bentak Mistha dengan sebutan yang sudah berbeda. "Saya masih Suamimu, jadi sudah seharusnya tahu masalahmu!" tukas Ghara sedikit meninggi. "Ghara! Lo-" Mistha mendelik, sembari mengarahkan satu jari tepat di depan wajah Ghara, lalu Mistha mendengkus memukul agin berusaha membuang kekesalannya."Sttt..., tenang dulu. Nggak perlu emosi kayak gitu, iya oke, fine. Saya nggak akan cari tahu dan
"Mistha," sapa Ghara saat mendapati Mistha yang tengah duduk termenung di kursi ayunan taman samping rumah Ghara. Mistha merubah posisi yang semula menyangga dagu dengan kedua tangan di atas paha begitu melihat Ghara berdiri di hadapannya dan membawa shoping bag, lalu Ghara menyodorkan benda tersebut kearah Mistha. Sebuah explosion box warna pink. "Buka," perintah Ghara. "Apa?" tanya Mistha sembari memandangi Ghara yang tangan kanannya masih di dalam satu saku celana, berdiri diam dengan seringai wajah handsomenya. "Buka," perintah Ghara lagi. Mistha menerima uluran explosion box dari tangan Ghara, lalu menarik ujung pita benda tersebut. Terbelah menjadi empat bagian sama rata, namun di dalam box itu masih ada box kecil terbungkus rapi kain berwana pink muda. "Box yang satunya jangan dibuka dulu kalau Kamu belum benar-benar membutuhkannya," ucap Ghara, sementara Mistha masih sibuk membaca setiap sisi yang tertuliskan, Blessed, House, Happyness, dan Help. Tentu Mistha sangat penas
Bunyi air mendidih keluar dari sebuah teko pagi itu berhasil mengusik tidur pulas Mistha, seketika bias matanya merambat kesekeliling, berusaha menerka kejadian semalam, cangkir wine, sisa lemon dan daun mint-Ah sial! Mistha ingat, tentu otak primitifnya semalam sudah terlanjur menguasai diri yang tak mampu menahan hormon testoteron yang seketika memuncak. Reflek tangannya menggamit pakaian berwarna putih di lantai begitu melihat tubuhnya tak tersintal sehelai kain. "Selamat pagi," ucap pria dari balik punggung bidangnya, sembari sibuk mengaduk kopi di atas meja ruang makan. Mistha mengumpulkan nyawa, setengah sadar berjalan kearah Ghara sembari mengusap-usap kedua mata dengan punggung tangannya. Ghara seketika tertawa geli, melihat baju yang tengah dikenakan Mistha. Sejurus Mistha memandang kearah dada, ternyata ia sedang memakai kemeja putih yang kemarin dipakai Ghara. Anehnya, baju itu melekat dengan kancing tak sempurna, membuat sembulan kesar di samping
Mistha mengemudikan mobil Ghara menuju tempat sesuai petunjuk dari Vall Ankala, sembari membawa sekoper uang untuk menebus Khatila.Bajingan Tua: Bagaimana, Nona? Pesan pertama yang dibaca Mistha.Mistha: Sekali lo sakiti Khatila, gue bunuh lo Bajingan! balas Mistha geram.Bajingan Tua : Lakukan jika Anda mampu melepas pelana tepat di kepala Saya dengan tangan manis Anda, Nona!Iblis! Desisnya, lalu melangkah mantap menuju sebuah gedung tempat Khatila berada. Sebuah gedung kosong, seperti tempat bekas peninggalan Belanda. Corak dari bangunan yang masih kentara, tidak ada yang dirubah satu pun diantara tembok-tembok yang berdiri kokoh di tengah kota.Mistha merasa tertipu, begitu tiba di lantai dua. Tidak ada Khatila di sana, tidak ada pula Vall Ankala yang berdiri tegak dengan kesombongannya."Hei, Bajingan Tua!" teriak Mistha, sembari melepas koper yang ada di tangannya.Tak lama kemudian, Mistha melihat segerombolan pria membawa senjata masuk ke dalam beranda.Shit! Mistha mengumpat
Jack'o Justice mengusut tuntas kasus Mistha. Berdasarkan hasil investigasi, secara sah Mistha ditetapkan sebagai terdakwa.Persidangan digelar sehari setelah Jack'o Justice menyerahkan tuntutan atas kendali Vall Ankala kepada pengadilan tinggi, namun Mistha bungkam sehingga penasehat hukum yang ditunjuk sebagai pengacaranya hari itu gagal mematahkan tuduhan. Semua barang bukti sudah diterima jaksa penuntut umum, dan putusan Hakim secara mutlak, Mistha resmi divonis hukuman selama lima belas tahun. Tiga kali ketukan palu berbunyi, pledoi sudah tak berarti!"Pak, bagaimanapun terdakwa memiliki hak angkat bicara," ucap Ghara memberi sanggahan kepada Panitera setelah Hakim membacakan nota kebenaran. "Benar, Pak Ghara. Namun setelah pledoi. Terdakwa sudah menerima vonis seringan-ringannya 10th masa tahanan karena secara formil dan materiil terdakwa sudah tidak ada pembuktian untuk melakukan pembelaan.""Sekarang Saya kuasa hukum terdakwa, dan Saya yang akan membela dan membuktikan kalau t
Waktu berlalu dan malam pun semakin menyurut berganti cahaya semburat kekuningan yang menyilaukan mata. Ghara menutup setengah matanya yang terkena cahaya, dari balik cendela angin, ia mengkibas-kibaskan tanganya untuk menghalau cahaya yang menyeruak kain putih semerawang, senada dengan suara shower yang mengalir deras dari balik pintu kamar mandi. Tubuhnya masih terbuntal bedcover putih bersih, di atas dipan dengan sebuah kasur empuk. Seluruh ruangan dengan sudut-sudut yang berbeda, mirror besar, alat-alat make-up dan seluruh komponen ruangan yang tersusun rapi, berbanding terbalik dengan kamarnya yang berantakan sekali. Ia tersentak, saat mendapati langkah kaki yang cantik. Tubuh yang terbalut bathroop dan gelungan handuk di atas kepala. Wanita itu mematung, dia pun tercengang. "Rupanya anda masih hidup!" "Kenapa gue ada di sini?" Safira mendecih, lalu melangkah kearah mirror. Mendaratkan bokong semoknya tepat di atas kursi ritualnya. "Bukankah harusnya saya yang bertanya kena