Mendengar ucapan Vall Anakala, Ghara mencebikkan bibirnya. Ia bahkan sudah tak peduli lagi dengan ancaman pria biadab yang berdiri penuh dengan kejumawaan dihadapannya saat ini. Apa pun yang terjadi, Ghara harus menangkap lintah darat licin yang selama ini selalu lolos dari tangannya. "Pikirkan matang-matang ucapanku sebelum Anda benar-benar menyesal, Pak Ghara!" ulang Vall Ankala meyakinkan Ghara. Alih-alih Ghara rela melepaskan lintah darat licin ini menyeberangi kepungan hilir dan pergi begitu saja. "Lakukan jika Anda bisa. Tapi, ingat! Saya memiliki satu senjata yang selama ini Anda simpan rapat-rapat Pak Vall Ankala," balas Ghara yakin. Ghara tentu berpikir, berkas yang kini ada di tangan Nathe Rose adalah satu-satunya pusaka Vall Ankala dan Erick Choii yang sebentar lagi akan ungkap terang-terangan di persidangan. "Silakan ikut Kami. Anda tentu tak punya pilihan lagi, siapa yang bisa menyelamatkanmu sekarang?" ucap Ghara sembari menatap semua anak buah Vall Ankala yang berha
"Sayang, Aku berangkat dulu ya!" ucap Mistha sembari sibuk menata barang-barang yang akan dibawa. Kemudian Ghara menghampiri Mistha yang nampak cantik pagi itu. "Hati-hati, hubungi Aku secepatnya jika ada apa-apa!" balasnya. Mistha tersenyum, kemudian berjalan ke arah Ghara. Memeluk erat tubuh Ghara yang tengah mencium keningnya. Setelah memastikan Mistha pergi, akhirnya Ghara bersiap diri untuk menemui Dokter sesuai janjinya hari ini. Ia mengenakan celana jeans dan hoodie. Tidak berpakaian rapi seperti biasa yang dipakai setiap pagi untuk berangkat ke kantor. Saya izin hari ini, Pak Dewa! Jaga mereka, jangan sampai mereka bertindak konyol. ucapnya begitu telephonenya tersambung. Siap, Pak! balas Dewa kemudian mengakhiri percakapan melalui telephone yang dilakukan Ghara dalam perjalanan menemui Dokter sesuai janjinya. Sementara Ghara sudah tiba di lokasi. Ia masih menunggu Dokter itu disalah satu kedai kopi. Beberapa saat setelah kedatangannya, Dokter itu tak juga menampakkan b
{Benarkah pertemuan dan perpisahan hanya berjarak satu senti?} "Cantik?" tanya Yava. "Relatif," jawabnya singkat, namun pandangannya masih tertuju kearah wanita yang menari lincah di atas panggung itu. "Lo kenal?" imbuhnya sambil meletakkan sisa rum di atas bar table. "Mau tidur sama Dia mah, nggak perlu kenalan," pungkas Yava meremehkan. "Trus?" desaknya masih dengan rasa penasaran yang mengganjal hati. "Gampang..., tinggal booking aja. Bisa harian, mingguan, bulanan, atau tahunan, tapi Dia nggak mau ada ikatan," tutur Yava seolah tahu seluk beluk pelacur yang sedang dibahas malam itu. "Ikatan, maksudnya?" "Itulah istimewanya. Silakan cari tahu sendiri kenapa Dia nggak mau ada ikatan!" "Satu lagi, Dia juga nggak mau ada yang ngontrak waktunya seumur hidup!" jelas Yava sebelum berjalan menuju pintu keluar, disusul dengan sahabatnya yang masih menyimpan sejuta pertanyaan itu. ***Waktu itu malam pergantian tahun, pesta seakan tak pernah usai. Semua orang telah menikmati akhir
Ghara menghela napas panjang, memejamkan mata sebentar, sembari melonggarkan kancing atas krah, seraya menyandarkan diri ke kursi kantor. Ekor matanya merambat kearah atap berusaha melepas penat yang terasa sangat melelahkan sekali. Sebab kasus yang kini harus ia tangani nyatanya tak semudah menangkap komunitas mucikari.Selang beberapa saat terdengar daun pintu kantornya terketuk. Pria bermanik mata spektrum blue itu menilik ke sumber suara, kemudian berdiri dan membuka pintu."Rapatnya akan dimulai sepuluh menit lagi, jangan buang waktu Bu Dea buat nungguin lo," ucap Dimas salah satu rekan kerjanya."Duluan Dim, bentar lagi gue nyusul," balasnya sambil menatap rekannya itu tanpa minat.Terdengar ketukan pantofel beradu dengan granit, semakin lama bunyinya kian nyaring. Pertanda sebuah kaki mendekat, sosok tampan yang terlihat dari manik mata tajamnya membuat Ghara pria dewasa yang sudah berkepala tiga itu masih saja terlihat manis.Malam yang hampir larut nyatanya tidak membuat sebua
Selesai mandi. Terlihat dari pantulan cermin, Mistha sedang mengenakan dalaman warna merah yang dipadukan dengan maxi dress tipe bonnie belahan selutut. Lengkap dengan jam tangan yang sedang diikatkan di pergelangannya, serta tas merk senada. Setelah menyisir rambut, Mistha mengintip sebuah ponsel yang bergetar di atas kasur. Sebuah pesan masuk dari nomer yang tersimpan dikontak, “Bajingan Tua". Bajingan Tua: Bersiap-siaplah untuk segera membusuk di penjara wanita gila. Anda berani bermain-main dengan Saya, silakan terima resikonya. Saya rasa Anda perlu menyiapkan dana untuk menebus mucikari baru dan hutang-hutang Anda sekarang juga! Shit! Mistha mengumpat kasar setelah membaca pesan yang baru saja dikirim Vall Ankala. Persetan! Gerutunya sekali lagi. Rupanya Vall Ankala berhasil membuat darah Mistha berdesir hebat dari ujung kaki hingga kepala. Terlihat dari gelagat Mistha yang mulai merasa amarahnya sudah memuncak sampai ubun-ubunnya, mengacak-acak rambut, mengusap wajah tegangn
Setelah mengantar Mistha ke apartement, Ghara langsung menuju ke kantor demi memenuhi panggilan dari Bos besarnya. "Pak, Ghara," Panggil Laurent sekretaris Erick Choii, begitu melihat Ghara melintasi bilik ruang kerja. Ghara mendongak tanpa bicara. Menyayangkan langkahnya yang separo sudah di ambang pintu ruang kerja. Sementara Laurent hanya berisyarat kecil dengan memiringkan jempol kanannya kearah ruangan Erick Choii. Ghara mengangguk tanda mengerti. Selang beberapa saat, karena tidak ingin terlalu lama mengacuhkan permintaan Bos besarnya itu, akhirnya Ghara bersiap untuk menuju ruangan Erick. Ghara berdehem sebelum mengetuk pintu, lalu disambut hangat oleh Laurent yang setia membukakan pintu setiap tamu yang berkepentingan dengan Erick. "Silakan duduk," sambut Erick sembari tersenyum lebar. Tentu hal ini sangat aneh, aneh sekali. Belum pernah sekalipun Ghara melihat Erick sehangat ini saat bicara dengan semua bawahan di kantor Biro Investigasinya. "Buka," Perintah Erick setela
Sesuai kesepakatan yang telah disetujui kemarin, akhirnya hari ini Ghara dan Mistha terbang ke Surabaya untuk menghadiri acara reuni keluarganya. Melihat Mistha yang tampak masih belum terlalu fokus dengan apa yang telah direncanakan Ghara. Dalam perjalanan itu, Mistha masih tampak belum begitu yakin dengan semua hal yang akan terjadi di luar ekspektasinya, gelagat anehnya pun mengundang rasa penasaran Ghara. "Mistha..." "Hmm..." Ghara mengulurkan segelas coffe yang baru saja dibeli sebelum masuk ke dalam bandara. "Ada apa?" tanya Ghara begitu melihat Mistha menerima uluran gelas itu tanpa mengindahkan kehadirannya. Mistha diam. Entah apa yang sedang ada dalam pikirannya sekarang. "Cerita aja kalau memang lagi ada masalah, siapa tahu Saya bisa bantu," tukas Ghara setelah mencecap coffe yang ada di tangan kirinya. Mistha menghela napas panjang, sembari memandangi gelas coffe yang ada di tangannya. "Setiap orang pasti punya masalah masing-masing. Saya tahu, dikontrak memang Anda
Sorenya semua keluarga Ghara sudah berkumpul di rumahnya. Termasuk saudara laki-laki dan perempuan dari bapaknya, karena memang kebetulan acara reuni yang dihadiri semua keluarga besar hari ini bertepatan dengan acara arisan yang kebetulan bapak dan ibu Ghara yang menjadi tuan rumahnya. "Dek, kata Ibu. Kamu tadi siang janji sama Bapak?" tanya kakak perempuan Ghara. Ghara tak menjawab, masih menimbang-nimbang jika ia disuruh menepati janji itu hari ini. "Kamu sudah tahu kondisi, Bapak kayak gimana, 'kan?" imbuh kakaknya begitu tidak mendapat jawaban dari Ghara. "Kak-" "Dek," sergah kakanya cepat. "Nunggu apa lagi, Mistha udah sesuai dengan harapan Ibu sama Bapak. Lihat semua saudara juga udah mendukung kalian, mau nunda sampai umur berapa lagi. Kurang apa lagi, Mistha cantik, sholeh, rajin." ucap kakaknya sembari menoleh kearah Mistha yang tengah membenarkan posisi jilbabnya. "Tapi nggak harus sekarang, Kak!" bantah Ghara. "Masmu sudah menyiapkan semuanya, Bapak yang nyuruh. Aca