Selesai mandi. Terlihat dari pantulan cermin, Mistha sedang mengenakan dalaman warna merah yang dipadukan dengan maxi dress tipe bonnie belahan selutut. Lengkap dengan jam tangan yang sedang diikatkan di pergelangannya, serta tas merk senada. Setelah menyisir rambut, Mistha mengintip sebuah ponsel yang bergetar di atas kasur.
Sebuah pesan masuk dari nomer yang tersimpan dikontak, “Bajingan Tua".
Bajingan Tua: Bersiap-siaplah untuk segera membusuk di penjara wanita gila. Anda berani bermain-main dengan Saya, silakan terima resikonya. Saya rasa Anda perlu menyiapkan dana untuk menebus mucikari baru dan hutang-hutang Anda sekarang juga!
Shit! Mistha mengumpat kasar setelah membaca pesan yang baru saja dikirim Vall Ankala.Persetan! Gerutunya sekali lagi.Rupanya Vall Ankala berhasil membuat darah Mistha berdesir hebat dari ujung kaki hingga kepala. Terlihat dari gelagat Mistha yang mulai merasa amarahnya sudah memuncak sampai ubun-ubunnya, mengacak-acak rambut, mengusap wajah tegangnya, lalu membuang handphone ke sembarang arah.Selang beberapa waktu, layar handphonenya kembali menyala.Bajingan Tua: Saya kasih waktu Anda satu minggu. Pesan kedua Vall Ankala disertai foto Khatila yang tengah disekap oleh anak buah Vall Ankala. Mistha memutar bola matanya, tak percaya. Bisa-bisanya Khatila yang tak ada hubungan apa-apa dengan semua hutang-hutangnya, ikut jadi sasarannya, gumamnya.Bajingan!Mistha menggigit ujung jari-jarinya, tampak berusaha mencari ide sembari menenangkan pikiran gusarnya. Memungut kembali handphonenya, lalu membalas pesan Vall Ankala.Mistha: Lepasin Dia, gue akan kirim duitnya! Balas Mistha.Bajingan Tua: Jangan bermain-main dengan Saya, Nona! Balas Vall Ankala lagi.Mistha: Gue udah ada duitnya, lepasin Dia, Bajingan Tua! Bentak Mistha melalui pesan yang dikirimkan ke nomor Vall Ankala.Bajingan Tua: Anda yang bermain-main dengan, Saya. Memang sudah sepantasnya Anda yang mendapatkan ganjarannya. Hahahahaha...Bajingan Tua: Jangan Anda pikir dengan berlari, Anda akan terbebas dari hutang dan Polisi yang sudah menunggu Anda untuk mendekam selamanya di penjara! Pesan terakhir yang dibaca Mistha sebelum akhirnya ia mematikan handphonenya.Mistha benar-benar naik darah. Semenjak ia berhasil kabur dari kejaran beberapa anak buah Vall Ankala setelah menghabisi nyawa Hans rekan kerja Vall Ankala minggu lalu, hidup Mistha kini seolah berada di ujung tanduk. Selain Vall Ankala yang ngotot untuk mencari keberadaan Mistha, Vall Ankala juga melaporkan kasus kematian rekannya itu kekepolisian. Semua usaha telah dikerahkan olehnya demi untuk menghabisi nyawa Mistha.Setelah memungut tasnya, Mistha langsung pergi menemui Ghara."Saya terima tawaran Anda! Tapi ada syaratnya," tukasnya."Apa?" tanya Ghara."Pertama! Jangan pernah tanya Saya pergi kemana.""Kedua, jangan pernah larang Saya terima bookingan dari siapa saja.""Ketiga, jangan pernah ngajak Saya tidur bersama.""Dan Saya mau Anda kirim sisanya sekarang juga! Selanjutnya terserah Anda maunya apa," jelasnya beruntun."Tapi, jika suatu saat ada kemungkinan lain. Saya harap bisa kita sepakati bersama, gimana?""Kemungkinan lain?" Mistha balik bertanya."Ya! kemungkinan lain. Intinya bukan soal tidur bersama, tapi lebih kekemungkinan diawal kesepakatan kita soal rencana untuk mempercayakan keluarga.""Gimana? Deal!" sambung Ghara setelah penjelasan panjangnya.Mistha mengangguk."Besok kita terbang ke Surabaya, Saya siapin Dpnya. Sisanya akan Saya lunasin di sana.""Ha, besok?" Mistha sedikit mencondongkan tubuhnya sembari memasang muka tak percaya."Ya, besok.""Nggak bisa!""Nggak ada waktu lagi Mistha, sekarang ikut Saya belanja.""Belanja?""Ya!""Untuk apa?""Ganti semua barang-barang Anda, dari kaki hingga kepala.""Nggak..., nggak bisa. Anda nggak mau dengan penampilan Saya yang kayak gini, artinya Saya bisa batalin kontraknya.""Ini nggak ada dalam catatan di awal kesepakatan kita, Saya sudah catat semua, artinya masih bisa kita sepakati bersama!" kelit Ghara enteng."Saya batalin kontrak Anda, Ghara!" kilah Mistha mencoba untuk menarik ulur perhatian Ghara."Mistha..., nggak usah belaga, Anda butuh duitnya, 'kan? Masuk!" perintah Ghara dari dalam kemudi.Mistha menyerah, pasrah, mengalah. Mistha emang butuh duitnya tapi nggak harus merubah gaya berpakaiannya. Kelitnya dalam hati."Anda, akan ketemu semua saudara Saya. Jadi Saya nggak mau mereka semua melihat Anda pamer belahan dada!" ungkap Ghara setelah melajukan mobilnya."Kirim duitnya sekarang juga.""Cek!"Oke, Mistha percaya. Ghara pria yang patuh dengan segala komitmennya. Lalu pandanganya beralih ke layar ponsel untuk menghubungi Vall Ankala si bajingan tua.Mistha : Lepasin Khatila, gue kirim duitnya sekarang juga.Bajingan Tua: Saya menunggu ada sendiri yang mengantar duitnya, Nona! balas Vall Ankala.Shit!Desis Mistha di samping Ghara, spontan melampiaskan kekesalannya hingga berhasil mengundang rasa penasaran Ghara."Kenapa?""Bukan urusan Anda, di kontrak Saya udah bilang kalau Anda nggak bakal ikut campur masalah Saya. Ngerti!" Gerutu Mistha."Saya nanya.""Itu artinya Anda ikut campur, paham!" Mistha mendelik melampiaskan kekesalannya kepada Ghara."Oke...oke...oke...," Ghara hanya mengagguk-anggukan kepala sembari terus menginjak pedal gas mobilnya.Dalam perjalanan itu Mistha merasa mobil Ghara ada yang mengikuti di belakangnya. Sebuah mobil ford mustang warna hitam. Mistha melihat seorang pria berpakaian jas hitam nampak sedang berbincang melalui telepon sembari menatap nyalang kearah spion. Spontan Mistha menarik steering wheels yang dipegang Ghara.
"Mistha!" teriak Ghara terkejut saat Mistha menarik posisi kemudinya kearah kiri.
"Gila!" imbuhnya menggerutu.
"Ada yang ngikutin," tukas Mistha.
"Siapa?" tanya Ghara penasaran.
"Saya jelasin pun, Anda nggak bakal tahu!" bentak Mistha
Lama-lama bisa sinting menghadapi satu wanita yang penuh dengan rahasia ini, Batin Ghara. Lalu kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh.
Setelah mengantar Mistha ke apartement, Ghara langsung menuju ke kantor demi memenuhi panggilan dari Bos besarnya. "Pak, Ghara," Panggil Laurent sekretaris Erick Choii, begitu melihat Ghara melintasi bilik ruang kerja. Ghara mendongak tanpa bicara. Menyayangkan langkahnya yang separo sudah di ambang pintu ruang kerja. Sementara Laurent hanya berisyarat kecil dengan memiringkan jempol kanannya kearah ruangan Erick Choii. Ghara mengangguk tanda mengerti. Selang beberapa saat, karena tidak ingin terlalu lama mengacuhkan permintaan Bos besarnya itu, akhirnya Ghara bersiap untuk menuju ruangan Erick. Ghara berdehem sebelum mengetuk pintu, lalu disambut hangat oleh Laurent yang setia membukakan pintu setiap tamu yang berkepentingan dengan Erick. "Silakan duduk," sambut Erick sembari tersenyum lebar. Tentu hal ini sangat aneh, aneh sekali. Belum pernah sekalipun Ghara melihat Erick sehangat ini saat bicara dengan semua bawahan di kantor Biro Investigasinya. "Buka," Perintah Erick setela
Sesuai kesepakatan yang telah disetujui kemarin, akhirnya hari ini Ghara dan Mistha terbang ke Surabaya untuk menghadiri acara reuni keluarganya. Melihat Mistha yang tampak masih belum terlalu fokus dengan apa yang telah direncanakan Ghara. Dalam perjalanan itu, Mistha masih tampak belum begitu yakin dengan semua hal yang akan terjadi di luar ekspektasinya, gelagat anehnya pun mengundang rasa penasaran Ghara. "Mistha..." "Hmm..." Ghara mengulurkan segelas coffe yang baru saja dibeli sebelum masuk ke dalam bandara. "Ada apa?" tanya Ghara begitu melihat Mistha menerima uluran gelas itu tanpa mengindahkan kehadirannya. Mistha diam. Entah apa yang sedang ada dalam pikirannya sekarang. "Cerita aja kalau memang lagi ada masalah, siapa tahu Saya bisa bantu," tukas Ghara setelah mencecap coffe yang ada di tangan kirinya. Mistha menghela napas panjang, sembari memandangi gelas coffe yang ada di tangannya. "Setiap orang pasti punya masalah masing-masing. Saya tahu, dikontrak memang Anda
Sorenya semua keluarga Ghara sudah berkumpul di rumahnya. Termasuk saudara laki-laki dan perempuan dari bapaknya, karena memang kebetulan acara reuni yang dihadiri semua keluarga besar hari ini bertepatan dengan acara arisan yang kebetulan bapak dan ibu Ghara yang menjadi tuan rumahnya. "Dek, kata Ibu. Kamu tadi siang janji sama Bapak?" tanya kakak perempuan Ghara. Ghara tak menjawab, masih menimbang-nimbang jika ia disuruh menepati janji itu hari ini. "Kamu sudah tahu kondisi, Bapak kayak gimana, 'kan?" imbuh kakaknya begitu tidak mendapat jawaban dari Ghara. "Kak-" "Dek," sergah kakanya cepat. "Nunggu apa lagi, Mistha udah sesuai dengan harapan Ibu sama Bapak. Lihat semua saudara juga udah mendukung kalian, mau nunda sampai umur berapa lagi. Kurang apa lagi, Mistha cantik, sholeh, rajin." ucap kakaknya sembari menoleh kearah Mistha yang tengah membenarkan posisi jilbabnya. "Tapi nggak harus sekarang, Kak!" bantah Ghara. "Masmu sudah menyiapkan semuanya, Bapak yang nyuruh. Aca
Mistha beranjak ke kamar mandi pagi itu. Membasahi wajah, sikat gigit, lalu mengganti pakaian yang masih digunakan semalam. Sejenak langkahnya terhenti begitu melihat Ghara yang masih tertidur pulas di atas sofa. Mistha memandangi wajah oval Ghara, ternyata Ghara termasuk hasil pahatan Tuhan yang sempurna, gumamnya. Alis tebal, jambang tipis disekeliling rahang tegasnya, serta anak rambut yang memenuhi kening, membuat Ghara tidur saja masih terlihat memesona. Apalagi jika Mistha menatap manik mata spectrum Ghara. Satu hal yang sangat dihindari Mistha adalah jatuh cinta, terlebih jatuh cinta kepada pria yang saat ini tengah dipandangi. Hati dan pikiran Mistha benar-benar berperang! Saat hati ingin berperan, namun pikiran berkata tinggalkan. "Sudah bangun, Nduk," sapa ibu Ghara mengagetkan Mistha. Mistha membalas senyum ucapan wanita yang sedang memakai mukena. "Mau ikut Sholat di Masjid?" imbuhnya. Mistha gelagapan, lalu menggaruk-garuk kepala yang benar-benar gatal karena jilbab y
Ghara mengetuk pintu kamar Mistha. Tidak ada sahutan dari sana, lalu Ghara menyeruak masuk begitu tidak mendapat respon apa-apa. "Ada apa?" tanya Ghara begitu melihat Mistha seperti dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. "Mistha," tanya Ghara sekali lagi, begitu melihat Mistha hanya duduk sembari memegangi kedua tungkai. "Hei, ada apa?" tanya Ghara lagi sembari mendekati Mistha yang sudah merubah posisi dan menggigit jari jemari. "Kita balik ke Jakarta sekarang!" jawab Mistha lirih. "Iya, balik. Cerita dulu ada apa?" desak Ghara masih penasaran. "Nggak usah ikut campur masalah gue. Ngerti!" bentak Mistha dengan sebutan yang sudah berbeda. "Saya masih Suamimu, jadi sudah seharusnya tahu masalahmu!" tukas Ghara sedikit meninggi. "Ghara! Lo-" Mistha mendelik, sembari mengarahkan satu jari tepat di depan wajah Ghara, lalu Mistha mendengkus memukul agin berusaha membuang kekesalannya."Sttt..., tenang dulu. Nggak perlu emosi kayak gitu, iya oke, fine. Saya nggak akan cari tahu dan
"Mistha," sapa Ghara saat mendapati Mistha yang tengah duduk termenung di kursi ayunan taman samping rumah Ghara. Mistha merubah posisi yang semula menyangga dagu dengan kedua tangan di atas paha begitu melihat Ghara berdiri di hadapannya dan membawa shoping bag, lalu Ghara menyodorkan benda tersebut kearah Mistha. Sebuah explosion box warna pink. "Buka," perintah Ghara. "Apa?" tanya Mistha sembari memandangi Ghara yang tangan kanannya masih di dalam satu saku celana, berdiri diam dengan seringai wajah handsomenya. "Buka," perintah Ghara lagi. Mistha menerima uluran explosion box dari tangan Ghara, lalu menarik ujung pita benda tersebut. Terbelah menjadi empat bagian sama rata, namun di dalam box itu masih ada box kecil terbungkus rapi kain berwana pink muda. "Box yang satunya jangan dibuka dulu kalau Kamu belum benar-benar membutuhkannya," ucap Ghara, sementara Mistha masih sibuk membaca setiap sisi yang tertuliskan, Blessed, House, Happyness, dan Help. Tentu Mistha sangat penas
Bunyi air mendidih keluar dari sebuah teko pagi itu berhasil mengusik tidur pulas Mistha, seketika bias matanya merambat kesekeliling, berusaha menerka kejadian semalam, cangkir wine, sisa lemon dan daun mint-Ah sial! Mistha ingat, tentu otak primitifnya semalam sudah terlanjur menguasai diri yang tak mampu menahan hormon testoteron yang seketika memuncak. Reflek tangannya menggamit pakaian berwarna putih di lantai begitu melihat tubuhnya tak tersintal sehelai kain. "Selamat pagi," ucap pria dari balik punggung bidangnya, sembari sibuk mengaduk kopi di atas meja ruang makan. Mistha mengumpulkan nyawa, setengah sadar berjalan kearah Ghara sembari mengusap-usap kedua mata dengan punggung tangannya. Ghara seketika tertawa geli, melihat baju yang tengah dikenakan Mistha. Sejurus Mistha memandang kearah dada, ternyata ia sedang memakai kemeja putih yang kemarin dipakai Ghara. Anehnya, baju itu melekat dengan kancing tak sempurna, membuat sembulan kesar di samping
Mistha mengemudikan mobil Ghara menuju tempat sesuai petunjuk dari Vall Ankala, sembari membawa sekoper uang untuk menebus Khatila.Bajingan Tua: Bagaimana, Nona? Pesan pertama yang dibaca Mistha.Mistha: Sekali lo sakiti Khatila, gue bunuh lo Bajingan! balas Mistha geram.Bajingan Tua : Lakukan jika Anda mampu melepas pelana tepat di kepala Saya dengan tangan manis Anda, Nona!Iblis! Desisnya, lalu melangkah mantap menuju sebuah gedung tempat Khatila berada. Sebuah gedung kosong, seperti tempat bekas peninggalan Belanda. Corak dari bangunan yang masih kentara, tidak ada yang dirubah satu pun diantara tembok-tembok yang berdiri kokoh di tengah kota.Mistha merasa tertipu, begitu tiba di lantai dua. Tidak ada Khatila di sana, tidak ada pula Vall Ankala yang berdiri tegak dengan kesombongannya."Hei, Bajingan Tua!" teriak Mistha, sembari melepas koper yang ada di tangannya.Tak lama kemudian, Mistha melihat segerombolan pria membawa senjata masuk ke dalam beranda.Shit! Mistha mengumpat