Mata bulat milik Earwen bersinar terang melihat sebuah pertunjukan di tengah hiruk-pikuk. Ayolah, bagi Earwen yang seorang kurang tahu-menahu mengenai dunia luar pasti akan merasakan sensasi sendiri saat melihat pertunjukan kecil tersebut. Berbanding terbalik dengan orang-orang yang sudah melihatnya, mungkin akan melintasi begitu saja dan enggan melihatnya. "Apakah sebegitu bagusnya, hingga air liurmu menetes Earwen?" tanya Steve sembari mengunyah marshmellow. Earwen mengatup mulutnya, ia menatap tajam ke arah Steve. "Hei! Ak--aku hanya sedang mengagumi atraksi tersebut." "Lihat pria itu, dia sudah menyembunyikan mawar di balik lengan bajunya. Itu semua tipuan. Kenapa kau harus mengagumi tipuan bodoh seperti itu? Kita punya sihir yang kuat dan bisa membuat pertunjukan lebih dari itu." "Diamlah Steve! Apakah kau tidak bisa menghargai usaha orang lain?" desis Earwen menatap tajam ke arah Steve.Steve berdecak kesal, ia kembali melihat aksi tersebut walaupun otaknya memerintahkan aga
"Ini uang bayaranmu." "Dan, jangan lupa untuk nanti malam Sergio," lanjutnya. "Sure. You are too beautiful to leave Anne!" ucap Sergio sembari tersenyum kecil. Anne terkikik geli mendengarnya. Sergio Van Diávolos, lelaki yang menolongnya saat ia hampir terkena pedang sihir. Mungkin kalau tidak ada Sergio, Anne sudah mati kala itu. Kedekatannya dengan Sergio pun dimulai dari situ. Walaupun Sergio klan Diávolos yang merupakan anak dari tetua desa paling keji dan aneh itu. Jika dibandingkan antara klan Diávolos dan klan Windsor maka bagaikan langit dan daratan kering. Daratan kering itulah yang menggambarkan desa Diávolos. Dahulunya, Anne sempat takut kepada Sergio karena rumor yang beredar kala itu. Tapi, semenjak mengenalnya secara mendalam ia mulai mengetahui sifat penerus desa Diávolos tersebut. "Oh ya, omong-omong kenapa kau repot-repot menyingkirkan wanita itu?" tanya Sergio sembari memainkan rambut Anne. Sergio jatuh cinta kepada Anne sejak mereka bertemu pertama kali. Tida
BRAKKK!"Sialan!" Anne mendesis tajam menatap pantulan dirinya pada cermin. "Ada apa?" Anne menatap kesal ke arah Daisy yang memasuki kamarnya. "Semuanya gagal total," desis Anne. Mata hitam milik Daisy membulat sempurna. "Bagaimana bisa? Kau bilang rencana ini akan 100% berhasil. Kau menyewa orang yang benar bukan?" tanya Daisy penuh selidik. "Tentu saja. Tapi, kenapa Earwen bisa kembali dengan keadaan yang baik-baik saja. Seharusnya dia sudah mati membeku. Kau tahu sendiri bukan, tentang racun mematikan yang berasal dari desa Diávolos, Daisy?" Daisy mengangguk menyetujui ucap Anne. Tidak mungkin Earwen kembali dengan mudah, belum ada penangkar untuk racun tersebut. "Mungkinkah orang yang kau sewa untuk misi ini tidak menjalankan tugasnya dengan benar?" Anne mendelik tajam, tidak mungkin Sergio mengkhianatinya. Walaupun ia sempat bertengkar kecil dengannya. "Jaga ucapmmu Daisy. Dia adalah orang yang tidak munafik." Daisy memutar matanya kesal. "Lalu sekarang apa yang harus kit
Earwen berjalan tergopoh-gopoh di lorong paviliun timur. Sejak terbangun dari tidurnya ia sudah direpotkan dengan susunan acara yang telah di buat oleh Briana, pelayan pribadinya yang menjelma menjadi asisten kerjanya. "Briana, pertemuan dengan perdana menteri Kana tidak bisa diundur kah? Bukannya di jam ini ada jamuan siang dengan Princess Lilyana, kau lupa menuliskannya Briana," ucap Earwen dan menyerahkan kertas yang berisikan susunan acara kepada Briana. Earwen sudah terbiasa dengan kesibukannya. Setelah hampir enam bulan tinggal bersama Edmund, hidupnya 100% berubah. Dari pola makan, waktu, jam tidur, dan segala tetek bengek lainnya. Earwen setiap harinya harus ada tiga pertemuan dengan princess dari kerajaan lain atau bahkan kolega bisnis milik Edmund yang terkadang meminta untuk minum teh bersamanya. Setiap ajakan itu akan dirinya terima, kecuali di hari istirahatnya. Earwen akan menolak semua jamuan-jamuan penting itu dan lebih memilih untuk melatih sihirnya bersama Steve. "
Percikan sinar matahari membangunkan Earwen dari tidurnya. Ia mengerjapkan matanya berulang untuk menyesuaikan cahaya dengan rentina matanya. Dengan pelan, Earwen berusaha melepaskan kungkungan dari Edmund tanpa membangunkan empunya. Tidur di pelukan Edmund? Itu sudah biasa, akhir-akhir ini tubuhnya menjadi bantalan Edmund. Terkadang ia ingin marah karena pelukan Edmund yang erat membuatnya kesulitan bernapas dan juga Edmund berat, lelaki itu tidak menyadarinya kah kalau tubuhnya itu lebih lebar dan besar dibandingkan tubuh Earwen yang ramping. "Erghh!" Erangan Edmund menghentikan Earwen yang akan beranjak dari tempatnya. Ia menoleh dan menatap Edmund sebentar, sesekali Earwen mengusap pelan punggung Edmund agar dia tertidur kembali. The real big baby! Dirasanya sudah tenang Earwen beranjak ke kamar mandi untuk melakukan ritual paginya. Seperti berendam di air hangat dengan sabun aroma vanila dan lilin aromaterapi miliknya. Earwen tidak ingin Edmund mengacaukan semuanya, ia ingin me
Tak Tak TakEarwen mendesis kala panahannya tidak tepat sasaran, matanya menatap tajam layaknya busur. Ia duduk di atas kudanya dengan busur dan anak panah di tangannya. Sudah hampi dua jam ia dengan kegiatannya, di jauh sana Briana tengah memantau aktivitasnya. Beginilah cara Earwen untuk meredam seluruh pikirannya yang kolot. "What happened?" Telinga Earwen berdenyut mendengar suara lantang. Ia memutar balikkan kudanya ke arah suara itu. "Apa kau se depresi itu ketika aku tidak ada?" Earwen mendengus kesal mendengar ungkapan yang keluar dari mulut Steve. Ia menyerahkan kudanya ke arah pengawal untuk di taruh di kandangnya. "Tentu saja tidak," ucap Earwen dan menyesap jus jeruknya yang dibawakan Briana. "Briana bisakah kau tinggalkan kami berdua?" Briana mengangguk dan meninggalkan Earwen dan Steve di pinggir lapangan berkuda. "Kau tau, saat aku melihatmu di atas kuda dan busur panah di tanganmu. Kau menjadi seperti singa liar Earwen," ucap Steve sembari terkekeh geli. Earwen
"Saya kira anda tidak akan datang," cibir Princess Lilyana. Earwen menggulum bibirnya ke dalam mendengar cibiran tersebut. "Saya memang berniat untuk tidak dat––" "My Lord!" ungkap Prince Albert dan Princess Lilyana secara bersamaan. Earwen menengok kebelakang dan benar saja Edmund kini sudah berdiri dibelakangnya. Pria itu mengucapkan akan bertemu dengan petinggi kerajaan lain dan tidak akan menyapa Albert dan Lilyana. Tapi sekarang Edmund berdiri di belakangnya. Cih!"Selamat atas pernikahan anda," ucap Edmund seraya melingkarkan tangannya di pinggang Earwen. "Kau menunggu lama?" Earwen menyerngit heran mendengar pertanyaan itu. Tidak biasanya Edmund bertanya seperti itu dan dengan suara yang sangat soft di dengar. Gerutan di dahi Earwen memancing gelak tawa Edmund. Prince Albert dan Princess Lilyana juga ikut menatap heran kepada Edmund yang tertawa kecil, mereka baru pertama kali ini melihat King of Devils itu tersenyum dan tertawa. Bukannya kagum, Lilyana malah merasa takut
"Memangnya apa yang mereka lakukan?" tanya Edmund penasaran sambil melihat ke sekelilingnya. Earwen menghela nafas panjang dan menjatuhkan kembali kepalanya pada dada bidang Edmund. "Mereka menggunjingku, mereka bilang kau terlalu sempurna untukku. Aku Princess non magic, dan kau the perfect King. Kau punya kekuasaan, kau punya kekuatan hebat, kau hampir punya segalanya," ucap Earwen sambil mendongakkan kepalanya menatap wajah Edmund Hening. Edmund menatap wajah Earwen yang memerah karena terpengaruh alkohol. Ia tidak berniat menjawab unek-unek dari Earwen. "Aku tidak bisa memungkiri itu, Oompa Callen bilang aku adalah Special Princess. Tapi, aku tidak menemukan apapun yang spesial pada diriku," lanjut Earwen. Manik hitam milik Edmund bertabrakan dengan manik milik Earwen yang mengembun karena air mata yang membendung. Edmund mengusap pelan kelopak mata wanita yang tengah di dekapnya. "It's okay,"cicit Edmund. "I miss Oompa Callen, maaf aku menangis. Mungkin terakhir aku menan