"See, she's also curious! Let me know Ayahanda," ucap Valiant. King Valiant mengendurkan dasinya. Ia kemudian mengeluarkan sebuah berkas dari balik sebuah lukisan yang terpajang di ruang kerjanya. King Valiant berjalan menghampiri Earwen dan melemparkan berkas tersebut di depan wajah Earwen. "Jawabanmu ada disini!" ucap King Valiant dan kembali duduk di kursi kebesarannya. Earwen mengambil berkas yang tergeletak di lantai. Matanya menangkap sebuah kertas yang sudah menguning, dan mengambilnya. "Apa ini?" tanya Earwen. Philips berjalan mendekat ia kemudian merampas kertas tersebut dari tangan Earwen. Ia tersenyum miring melihat judul yang tertulis. "Akta kelahiran Earwen Freya Salazar, daughter of Zane Salazar dan Nayara Laurels--" Philips menggantungkan ucapnya dan melirik ke arah Earwen yang tengah tertunduk. "Nayara Laurels, kau pasti tahu bukan bahwa dia adik kandung Ayahanda yang sudah lama mati bahkan sebelum kau lahir. Namun, siapa sangka dia ternyata ibumu Earwen?" sambu
Earwen menghentakkan tali kekang Ruby dengan keras. Menambah laju kecepatan, meninggalkan kuda Sean dan Steve yang masih tertinggal di belakangnya. Pikirannya berkelana mengingat pembicaraan terakhirnya dengan Rose–– yang merupakan mantan pelayan Princess Nayara. "Ceritakan tentang Zane Salazar," ucap Earwen.Rose memilin-milin tangannya, sesekali ia mengulum bibirnya ke dalam. Netranya menatap wajah nona mudanya. Ia menghela nafas berat, mungkin sudah saatnya dia tahu siapa jati dirinya yang asli. "Zane Salazar, dia adalah pakar obat-obatan yang hebat. Tidak ada meragukan kemampuannya dalam meracik sebuah obat. Suatu hari, Zane Salazar datang ke Loyren untuk meracik obat King Callen dan saat itulah kali pertama Princess Nayara jatuh cinta kepada sosok Zane Salazar––" Rose menjeda ucapannya dan menatap wajah Earwen. "Hubungan mereka sempat tidak direstui oleh King Callen, karena Princess Nayara seorang putri Raja sedangkan Zane hanya pakar obat-obatan biasa. Namun, pada akhirnya K
Cahaya matahari mengusik tidurnya. Earwen mengusap pelan sesuatu yang menjadi tumpuan tangannya. Ia menyerngit saat merasakan tonjolan-tonjolan aneh. Earwen membuka matanya. Damn Shit! Matanya membelak saat netranya menangkap tubuh sixpack milik Edmund. Earwen menatap tangannya yang tepat di atas kotak-kotak perut Edmund. Ia meringis kecil, semoga saja pria itu tidak bangun saat tangan nakalnya meraba-raba kesana-kemari. Sialan! Earwen mencoba meloloskan diri dari dekapan Edmund. Namun ia menghentikan aksinya saat melihat tubuh bagian atasnya tidak tertutup apa-apa. Sialan, apa lagi ini! Jadi dirinya tertidur dengan bertelanjang dada heh? Astaga memalukan. "Kau sudah bangun?" tanya Edmund. Ia menatap netra coklat milik Earwen. Earwen mengangguk kecil, tanpa sadar dirinya mengigit bibir bawahnya. "Hari sudah sore," ucap Edmund saat menatap keluar jendela. Mereka berdua berdiam diri, fokus dengan pikirannya masing-masing. Earwen dengan pikirannya sendiri dan begitu sebaliknya den
Edmund membolak-balikkan tumpukan kertas yang sudah menjulang tinggi di meja kerja miliknya. Karena dirinya tidur dari pagi hingga sore, membuat pekerjaannya menumpuk dan mau tidak mau Edmund hari lembur. Seperti saat ini, jam sudah menunjukkan pukul 12 malam dan dirinya masih berkutat di atas tumpukan kertas. Ia menatap tulisan dalam kertas tetapi pikirannya berkelana kembali ke masa lalu. "Ed, jangan terlalu suka membaca nanti kamu cepat tua." Bak seperti siluet yang melintas di otaknya. Ucapan gadisnya benar-benar sering mengacaukan pikirannya jika Edmund lembur dengan kertas-kertas miliknya. Ini menyakitkan, Edmund merindukannya tetapi gadisnya sudah tidak ada lagi di Esterlens. Edmund menghela nafas panjang. Ia menarik laci meja kerjanya, netranya langsung di sambut oleh foto gadis yang menggunakan gaun berwarna putih seperti gaun pengantin. Edmund tersenyum tipis, mengusap bingkai foto tersebut. "Fale, i miss you so much," bisik Edmund berbicara dengan foto yang sudah sedikit
"Daisy, kakak harus pergi." Anne mengusap pundak milik Daisy. Anne harus kembali bertugas ke perbatasan. Waktunya sudah habis dan dirinya masih belum bisa mengeluarkan Earwen dari Hillary. Sialan! Ini gara-gara Sergio yang menjauhinya dan membuat Anne mengejar pria itu agar tetap berada disisinya. Ia tidak ingin kehilangan sosok Sergio yang sudah banyak membantunya. "Kenapa? Kita belum selesai kak," tanya Daisy."Kakak akan usaha untuk bisa kembali ke Hillary dalam waktu dekat, kakak akan meminta surat cuti." Cuti, satu-satunya cara agar Anne dapat kembali ke Hillary. Ah mengingat dirinya tidak pernah mengambil bagiannya itu. Terlalu lama di Hillary membuat Anne lupa dengan Calallard, istana miliknya. Lagipula Anne tidak terlalu senang berlama-lama di tempat kelahirannya. Dirinya sudah terlalu nyaman berada di Hillary sedari kecil, saat sang Ayah membawanya ke Hillary untuk pertama kalinya. "Baiklah, Daisy akan menunggu kakak kembali." Daisy memeluk tubuh Anne yang dibalas oleh An
"Jadi Zane Salazar di tuduh sebagai penyebab kematian Faleia Jacqueline?" tanya Steve setelah Earwen menceritakan berkas yang dia temukan di ruang kerja Edmund tadi malam. Bola mata Earwen melesat jauh menatap langit yang membiru terang. Ia memikirkan kemana Ayahnya pergi. Earwen masih menyangkal bahwa Zane Salazar telah mati, karena hatinya mengatakan tidak. "Kau menemukan sesuatu Steve?" "Tidak, tapi kurasa kau ikuti saja Edmund. Mungkin di dalang di balik menghilangnya Zane Salazar." Earwen mengangguk kecil, Edmund sudah pasti sosok dibalik semua ini. Ia harus mengorek lebih dalam lagi mengenai Edmund. Earwen hanya menginginkan dirinya dapat di pertemukan dengan Zane Salazar, walau dalam keadaan tulang belulangnya saja. Tangannya terulur mengusap liontin milik mendiang ibunya. "Tolong bantu Earwen menemukannya," batinnya berbisik lirih. "Lady!" Pekikan Briana membuat Earwen dan Steve menoleh menatap Briana yang berlari ke arah mereka yang sedang duduk. "Ada apa?" tanya Earwen
Rombongan Earwen sudah sampai di Hillary. Earwen langsung turun dari kudanya meninggalkan Briana dan Steve. Ia berjalan di lorong-lorong Paviliun utama, Earwen hendak kembali ke kamar dan melakukan ritual mandinya sebelum ia kembali bergulat dengan rencana-rencananya. Baru memegang kenop pintu suara pengawal terdengar. "Yang Mulia, maaf sebelumnya. Anda sudah dilarang untuk memasuki kamar Yang Mulia King Edmund lagi. Kamar anda sekarang berada di Paviliun timur," ucap pengawal tersebut sembari menundukkan pandangannya. Matanya mengerjap berulang kali, berusaha menyerap ucapan pengawal tersebut. Apa maksudnya? Dirinya sudah tidak tinggal di Paviliun utama lagi? Apa ada sesuatu hal yang membuat Edmund mengusirnya dari kamarnya?Earwen membuyarkan seluruh pertanyaan di kepalanya. Ia akan tanyakan itu nanti kepada Edmund, yang jelas sekarang mencari keberadaan Zane Salazar dan King Valiant. Earwen buru-buru melangkah kakinya ke paviliun timur, ia tidak akan menyangka akan kembali ke kam
"Maaf Yang Mulia, King Edmund sedang tidak bisa untuk dijumpai sekarang." Ucapan sang pengawal yang berjaga di depan ruang kerja Edmund beberapa jam lalu.Earwen menatap dari kejauhan ruang kerja Edmund yang masih juga tertutup. Entah sudah berapa lama dirinya menghabiskan waktu untuk ini, duduk dengan mata menyorot ke depan sana. Sikap Edmund yang seperti itu justru mengundang rasa khawatir Earwen, ia takut terjadi sesuatu dengan pria itu. "Apa yang kau lakukan disini?" Earwen menoleh ke samping kala mendengar suara yang mengacaukan pikirannya. "Daisy? Bagaimana kabarmu?" tanya Earwen tanpa membalas pertanyaan Daisy tadi. Daisy menatap tajam ke arah Earwen kemudian beralih pandang melihat lurus ke depan, ia penasaran apa yang sedari tadi dilihat oleh Earwen. "Tidak usah berbasa-basi seperti itu!" Sinis Daisy. "Saya hanya ingin tahu bagaimana kabarmu, apakah itu sal–" "Lawyer Glenn?" Ucapan Daisy membuat Earwen ikut memandang ke depan. Benar saja seorang lelaki masuk ke dalam ru