Tok..tok..tok
"Lady anda dipanggil yang mulia ibu suri," ucap Briana.Earwen menatap pantulan dirinya di cermin, sejak tadi ia hanya berdiam diri tidak tau ingin melakukan apa. Hillary sangat asing baginya, suasana baru membuat Earwen harus beradaptasi lagi."Dipanggil untuk apa Briana?" tanyanya.Briana menggeleng. "Saya tidak tahu lady.""Yasudah, antarkan saya."Briana mengangguk dan mengikuti langkah Earwen di belakang dengan pandangan menunduk, sesekali Briana menatap sekelilingnya."Disitu lady tempatnya."Earwen menatap tempat yang ditunjukkan Briana, pusat pelatihan alat panah. Earwen bergegas masuk kedalam. Netranya melihat Belinda yang tengah menikmati teh mint, kemudian Earwen menghampirinya dan memberi penghormatan nya."Grandma memanggil saya?" tanya Earwen."Iya, kamu pasti bosan bukan Earwen?"Earwen tersenyum kecil dan mendudukkan tubuhnya, "Saya tidak tahu harus melakukan apa.""Edmund belum memberikan tugas Queen kepadamu Earwen?""Belum grandma."Belinda mengangguk, Edmund pasti belum sepenuhnya memercayai Earwen."Grandma suka melihat prajurit berlatih panah?" tanya Earwen penasaran."Yah, saya suka memanah dahulu. Sekarang untuk menarik busur saja saya sudah tidak kuat," ucap Belinda dengan tertawa."Saya juga suka memanah," ucap Earwen sambil meminum tehnya."Kau suka memanah? Wah jarang sekali seorang Princess menyukai memanah."Earwen tersenyum. "Saya belajar memanah untuk menjaga diriku, jika suatu saat ada bahaya tapi ternyata saya menyukai kegiatan tersebut."Belinda merutuki dirinya sendiri, tentu saja Earwen berbeda dengan princess lain, mereka mempunyai sihir berbeda dengan Earwen."Bolehkah Grandma melihat Earwen memanah?"Earwen mengangguk. "Boleh Grandma," ucapnya dengan sumringah.Earwen menggelung tinggi rambutnya agar tidak menutupi penglihatannya, salah satu prajurit menyerahkan busur dan panah ke Earwen."Terimakasih," ucap Earwen."Terimakasih kembali yang mulia," ucap prajurit tersebut dan undur diri.Earwen menatap tajam kearah apel yang ada dia atas pohon. Ia kemudian menarik busur tersebut dan–Srett..Apel tersebut menggelinding dengan panah yang menancap di dagingnya.Belinda bertepuk tangan girang menatap aksi Earwen. Benar-benar dirinya seperti merasakan dejavu, melihat Earwen seperti melihat dirinya sewaktu muda dulu. Ah!"Wah Earwen, kamu sangat hebat," ucap Belinda dan menghampiri Earwen."Kau sering berlatih?" tanyanya."Iya Grandma saya sering melakukannya hampir setiap hari."Belinda tersenyum lebar. "Kalau begitu kau boleh menggunakan ruangan khusus berlatihku saja dahulu.""Kebetulan ruangan itu tidak digunakan lagi, Edmund tidak mau menggunakannya sedangkan Daisy dia juga tidak mau dengan alasan ada sihir." lanjut Belinda dengan lesu."Suatu kehormatan bagi saya grandma, terimakasih."Belinda mengangguk. "Oh kau ingin melihat sesuatu yang indah?"Earwen mengerjapkan matanya lucu. "Apa itu?"Belinda mengambil satu anak panah dan menggerakkan tangannya membentuk pola aneh, percikan orange keluar dari tangannya.Earwen yang melihat Belinda bermain sihir hanya bisa menatap kagum, pasalnya ini pertama kalinya Earwen melihat seseorang menggunakan sihir dihadapannya langsung, sebelumnya ia hanya melihatnya dari jauh."Sudah siap, nih coba kamu tembakan ke atas." perintah Belinda.Earwen menatap anak panah tersebut yang ujungnya berwarna seperti glitter orange."Tidak Grandma, itu mungkin bisa melukai seseorang," tolaknya halus.Belinda tertawa. "Haha kau lucu sekali Earwen, percaya kepadaku jika kau menarik panah ini keatas sesuatu yang indah akan muncul."Awalnya Earwen ragu, ia kemudian menarik busurnya keatas dan betapa terkejutnya panah tersebut berubah menjadi bunga primrose yang jatuh seperti air hujan. Earwen tersenyum lebar hingga kedua lesungnya terlihat, Belinda yang melihatnya ikut tersenyum. Tanpa mereka sadari sedari Edmund mengamati gerak gerik yang Earwen dan Belinda lakukan tadi, dengan sorot mata yang tajam ia melihat Earwen yang tengah menengadahkan tangannya agar bunga primrose tersebut jatuh ke tangannya, Earwen kemudian mencium aroma harum bunga tersebut. Belinda menyelipkan bunga primrose tersebut di telinga Earwen. Adegan tersebut tidak luput dari pandangan Edmund."Yang mulia, anda harus bertemu seseorang," ucap Jack dengan hati-hati."5 menit lagi Jack."Jack mengangguk mengerti ia kemudian ikut serta melihat apa yang tengah dilihat Raja Hillary tersebut.Sudut bibir Edmund hendak menarik keatas tetapi.Prangg..Percikan silver mengenai pohon palem yang ada disamping Earwen dan Belinda berdiri tadi. Sontak, Edmund langsung berlari dan merengkuh tubuh milik Earwen kearahnya. Jack juga ikut serta melindungi Belinda dan membawanya pergi, para prajurit sudah mengambil ancang-ancangnya masing-masing.Edmund kemudian membawa pergi Earwen dari sana, dengan bantuan sihir Edmund mereka sudah sampai dikamar milik Edmund.Earwen menatap bingung bola mata Edmund, Edmund memiliki bola mata hitam pekat tapi yang ia lihat sekarang bola mata tersebut berganti warna menjadi merah menyala."Yang mulia, mata anda?" ucap Earwen.Edmund menatap tajam netra milik Earwen dan meninggalkan begitu saja tanpa membalas pertanyaan Earwen.Earwen menatap bingung, ada apa ini? bukan karena percikan silver tadi karena Earwen tahu itu pasti milik Galadriel. Tapi yang membuatnya bingung bola mata milik Edmund yang berubah."Lady!" ucap Briana dengan histeris."Anda tidak apa-apa? anda tidak terkena sihir milik Galadriel bukan?""Aku baik-baik saja Briana," ucap Earwen sambil tersenyum."Ah ya Briana, apa tadi kau melihat yang mulia raja selepas keluar dari sini?""Tidak lady, kenapa?""Tidak apa-apa, yasudah kamu boleh kembali menyelesaikan tugasmu Briana dan jangan takutkan tentang tadi."Briana mengangguk dan memberi penghormatan kepada Earwen dan berlalu pergi.Earwen menatap pintu ruangan yang tertutup tersebut. Ia kemudian berjalan kearah balkon kamarnya, netranya menatap kearah Edmund yang tengah berbicara dengan Jack dengan wajah dinginnya. Sebenarnya apa masalalu Edmund?Suasana ruang pertemuan di istana Hillary terasa mencekam. Lampu-lampu kristal menerangi ruangan, tetapi hawa dingin yang menguar di dalamnya membuat siapa pun yang berada di sana merasa tak nyaman. Anne berdiri anggun di tengah ruangan, mengenakan gaun berwarna biru tua yang serasi dengan matanya. Rambut panjangnya disanggul rapi, bibirnya tersenyum lembut. Seakan-akan ia adalah wanita tanpa dosa, tak menyadari badai yang sedang menunggu untuk menerjangnya. Di hadapannya, Edmund duduk di singgasananya, ekspresinya sulit ditebak. Tangannya bertumpu di lengan kursi, sementara Jack berdiri di sampingnya dengan tatapan tajam. Anne tersenyum dan menyembah ringan. “Yang Mulia, aku senang akhirnya bisa berbicara langsung denganmu. Aku membawa kabar penting.” Edmund tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya, membiarkan keheningan menggantung di udara. Detik demi detik berlalu, dan senyum Anne mulai menegang. “Yang Mulia?” Anne mencoba memecah keheningan. Edmund akhirnya berbic
Earwen menatap Carlo yang menuntun mereka ke tempat yang lebih aman. Pria bertudung hitam di pelukannya mulai kehilangan kesadaran, napasnya berat dan tubuhnya terasa dingin. Earwen menggigit bibir, merasa cemas. Jika pria ini mati sebelum ia mendapatkan informasi yang diinginkan, maka semua usahanya akan sia-sia. Setelah perjalanan singkat, mereka tiba di sebuah rumah kecil di bagian barat kota Hillary. Carlo melompat turun dari kudanya lebih dulu, lalu membuka pintu kayu yang berderit. “Bawa dia masuk,” perintahnya. Earwen mengangguk, lalu dengan susah payah ia menurunkan pria bertudung itu dan membawanya masuk ke dalam. Rumah itu kecil dan tidak mewah, hanya ada satu tempat tidur sederhana dengan beberapa perabotan seadanya. “Taruh dia di sini,” kata Carlo sambil menepuk kasur tua itu. Earwen menurunkan pria itu perlahan, lalu menyingkap tudungnya. Saat wajahnya terlihat jelas di bawah cahaya redup, mata Earwen membelalak. “Tidak mungkin…” bisiknya, suaranya tercekat. Pria
Setelah menempuh perjalanan yang lumayan memakan waktu, Earwen dan Carlo akhirnya sampai di pusat kota Hillary. Salju sudah mulai turun di Hillary, orang-orang berseliweran menggunakan pakaian musim dingin. Earwen menengadahkan tangannya menangkap salju yang turun. Netranya menelisik salju yang tengah berada di telapak tangannya. "Hei, ayo lanjutkan perjalanan ke tempat Gert."Ucapan Carlo membuyarkan Earwen. Ia menolehkan kepalanya ke samping. "Kau duluan saja, aku akan kembali lagi setelah senja." Carlo mendelik tidak suka. "Kau gila?! Kau bahkan belum tahu di mana letak tempat itu." "Kalau begitu aku akan menunggumu di sini nantinya, bye Mr. Pirang." Earwen memacu kudanya ke arah kanan, meninggalkan Carlo yang setengah mendidih. Tujuannya adalah pergi ke taman Yolain. Berharap menemukan Briana di sana. Setibanya di taman Yolain, Earwen membuka tudung kepalanya membebaskan rambutnya yang terkuncir layaknya ekor kuda itu. Earwen tidak yakin orang-orang akan mengenalinya yang dulu
Bunyi Sepatu yang beradu dengan dinginnya lantai terdengar nyaring. "Kau datang, eh." Suara bariton milik pria yang sudah berumur itu menggelegar di setiap sudut. "Datang untuk menyerahkan ini," sahutnya dan melemparkannya ke arah pria tua itu. "Crystal Balls, dari mana kau mendapatkannya Sean Osbert?" "Anda tak perlu tahu, ayahanda. Kudengar benda itu terbuat dengan darah unicorn," tanya Sean dan mendudukkan tubuhnya pada sofa. "Benar sekali, son. Crystal Balls akan membantu menyempurnakan ramuanku." Galadriel menyeringai lebar melihat Crystal Balls yang berada di genggamannya, ah ia sudah tidak sabar untuk mengolahnya menjadi hal 'hebat'."Kau sudah banyak membantuku, son." Galadriel membuka lemari yang tak jauh dari dirinya berdiri. Ia mengambil sebuah pedang dan menyerahkannya kepada sang anak. "Untukmu," sambung Galadriel. Sean menerima pedang tersebut. "Téggewira? Anda serius menghadiahkan pedang Téggewira?" tanyanya memastikan. Pasalnya Téggewira bukanlah pedang biasa. Pe
Earwen mengeliat dalam tidurnya, ia benar-benar tidur nyenyak dan melupakan segala beban pikirannya, setelah tadi malam ia berpesta dengan para Gert. Pria-pria bertubuh kekar itu mulai menerima kenyataan bahwa sosok legenda seorang 'wanita'. Pintu di ketuk dari luar, dan tak lama kemudian pintu tersebut terbuka dan menampakkan sosok Steve. "Kau sudah bangun? Aku membawakan beberapa potong gaun untukmu, mandilah dan keluar dari kamarmu Earwen," ucap Steve dan meninggalkan beberapa potong pakaian untuk Earwen di atar ranjang wanita itu. "Baiklah, kau bisa keluar." Earwen turun dari ranjang dan berjalan ke arah Steve yang juga berjalan keluar dari kamar Earwen. Setelah kepergian Steve, Earwen mengunci pintu kamarnya dari dalam. Ia berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Earwen menanggalkan pakaiannya dan menenggelamkannya ke dalam bathtub yang sudah terisi air, entah siapa yang mengisinya. Aroma wewangian menguar menciptakan sensasi tentram pada otak Earwen.Dirasa sudah cukup, Earwen m
"Apakah anda sang legenda itu?" tanya laki-laki yang menyerukan kata 'Capo' tadi. Earwen mengigit bibirnya was-was, bagaimana dia mengetahui tentang identitas aslinya? Ia kemudian melirik ke arah Steve yang masih saja bercengkerama dengan singa putih itu. Sialan! Bagaimana ia menjawab pertanyaan lelaki di depannya ini. "Carlo ini Earwen, dan Earwen ini Carlo," ucap Steve dan berjalan mendekati keduanya. "Earwen ikut aku," sambung Steve. Earwen mengikuti langkah Steve kedalam ruangan yang tak jauh dari ia berdiri tadi. Setelah keduanya masuk ke dalam satu ruangan, Steve menutup pintu tersebut. Ia kemudian duduk di atas kursinya. Earwen juga ikut duduk di kursi yang ada di depan meja yang ia pastikan bahwa ruangan ini adalah tempat kerja. "Sebenarnya tempat apa ini?" tanya Earwen to the point. Jujur saja, siapa yang tidak bingung kala di tempatkan di sebuah tempat asing tetapi di dalamnya orang-orangnya mengetahui tentang dirinya."Ini adalah markas, Earwen, markas Deville Morte. D