Share

Chapter 4: Agreement

Penulis: Naynis
last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-21 19:54:04

"Dengan apa tuan?" tanya Earwen dengan polos

Edmund memiringkan kepalanya, matanya menatap Earwen yang sama sekali tidak ada pergerakan, ia tersenyum smirk dan memajukan kepalanya hingga desiran nafas Earwen mengenai kulit mukanya, ia mulai memajukan sedikit demi sedikit hingga bibir mereka saling bersentuhan. Edmund membelalakkan matanya dan melepaskan bibirnya ia langsung berlalu pergi meninggalkan Earwen.

Ada apa dengan dirinya, bagaimana bisa ia kebablasan? ini semua salah sampanye itu.

Edmund mengguyurkan seluruh badannya dengan air dingin untuk merendamkan pengaruh alkohol tadi. selesai dengan mandinya Edmund berjalan kearah tempat tidurnya. Netranya menatap Earwen yang sudah terlelap tapi masih menggunakan sepatunya. Edmund berjalan dan melepaskan sepatu tersebut dari kaki Earwen, ia kemudian membenarkan posisi tidur Earwen dan menarik selimut hingga menutupi setengah tubuh Earwen.

Edmund merebahkan tubuhnya di samping Earwen, dirinya tidak akan tidur di sofa ataupun kamar lain karena ini adalah tempat tidurnya. Adanya Earwen tidur disampingnya itu tidak akan merusak tidurnya.

Jam berdentang, detik terus berjalan hingga waktu menunjukkan pukul satu. Earwen terbangun dari tidurnya, kepalanya sangat pening mungkin efek sampanye itu. Earwen mengedarkan pandangannya, ini kamar king Edmund, sontak Earwen menutup mulutnya ia shock ditambah sosok yang tengah tidur disampingnya. Apa yang telah dilewatkannya, Earwen mencoba mengingat lagi kejadian sehabis ia pulang di perjamuan tadi tapi hasilnya ia tidak mengingatnya.

Earwen kembali merebahkan tubuhnya, ia melirik ke arah king Edmund yang tengah terlelap. Tangannya menggantung di udara membuat lukisan abstrak di wajah  Raja Hillary tersebut. Earwen tidak percaya ia akan menikah, apalagi menikahi raja. Ia tersenyum menatap dari samping wajah suaminya, Edmund memiliki wajah yang nyaris sempurna dengan alis tebal, bulu mata lentik, hidung mancung, bibir tipis kemerahan, kulit putih dan  sorot mata yang tajam menambah kesan bahwa ia sosok Raja yang tegas.

Pergerakan dari Edmund membuat Earwen segera menutup matanya. Ia kemudian mengintip sedikit, Earwen mengernyitkan dahinya melihat pelipis Edmund yang dipenuhi keringat, ia kemudian menyentuh pelan pipi Edmund, "Astaga dingin" gumamnya

Wajah Edmund berubah menjadi gelisah, sepertinya ia mimpi buruk. Earwen mengusap pelan surai hitam milik King Edmund dan menenangkannya dengan nyanyian.

Serasa sudah tenang, Earwen berbaring kembali dengan posisi menghadap Edmund. Ia mulai menutup matanya untuk menggapai mimpinya kembali

👑👑👑

Suara kicauan burung terdengar di balik jendela berwarna putih tersebut, namun, kicauan burung tidak membangunkan kedua pasutri tersebut yang masih terlelap dengan posisi berpelukan.

tok..tok..tok

"Maaf yang mulia raja, hari sudah esok" panggil asisten king Edmund yang bernama Jack

Edmund menyipitkan matanya ketika bertatapan dengan cahaya matahari. Ia hendak bangun tapi terasa berat karena kepala Earwen yang bertangkup di dadanya. Edmund menghentakkan dadanya hingga Earwen terbangun.

"Apa yang kau lakukan bodoh? berani sekali kau menyentuhku hah?!" ucap Edmund dengan sengit

Earwen menundukkan kepalanya tidak berani menatap kilatan marah di mata Edmund.

"Maaf yang mulia, lain kali saya akan berhati-hati lagi"

"Cih, kau itu sudah bodoh tidak punya kekuatan. Bagaimana bisa kau menjaga dirimu sendiri haha" ejek Edmund

Earwen tidak membalasnya karena yang diucapkannya benar, ia hanya benalu.

"Cepat enyah kau dari hadapanku" titahnya

Earwen langsung bangkit dan memberi penghormatan kepada Edmund dan segera berlalu pergi. Didepan pintu ia sempat berpapasan dengan Jack yang menyapanya tapi tidak dipedulikan oleh Earwen, ia ingin cepat-cepat kembali ke kamarnya.

Sesampainya dikamarnya, Earwen langsung mengunci pintu kamarnya, tubuhnya merosot kebawah, air matanya ikut mengalir. Ini baru permulaan hidupnya tapi ia sudah selemah ini, Earwen mengusap air matanya dan berdiri.

"Kamu pasti bisa Earwen, tunggu sampai waktunya kamu bisa bebas dari jeratan neraka ini" gumamnya

Earwen berjalan masuk ke kamar mandi.

👑👑👑

Suara dentingan sendok terdengar, mereka menyantap Creme Brulee dengan khidmat, kecuali Earwen yang hanya memakannya sedikit berbanding terbalik dengan Daisy sudah menghabiskan dua cup dessert tersebut.

"Earwen apakah kau tidak menyukainya?" tanya Belinda

Earwen tersenyum kikuk ketika semua mata melihat kearahnya, apalagi tatapan mata Edmund yang seakan merendahkannya.

"Wajar lah grandma, kakak ipar kan sudah biasa makan-makanan rakyat jelata" cibir Daisy

Belinda menatap sinis Daisy, "Apakah seperti ini caramu menghormati kakak iparmu Daisy? kamu itu keturunan raja tapi attitude-mu nol besar, dibandingkan dengan rakyat jelata yang tadi kau bicarakan, mereka lebih baik" 

"Maaf grandma"

"Jangan meminta maaf kepadaku, meminta maaflah ke kakakmu"

Daisy menunduk, "Maaf kakak ipar"

"Iya tidak apa-apa" Earwen tersenyum kecil, matanya tidak sengaja menatap mata Edmund yang sangat tajam itu, Earwen langsung menundukkan pandangannya.

Edmund bangkit dari tempatnya kemudian berjalan kearah Earwen dan membisikkan sesuatu, "Datanglah keruanganku gadis bodoh" bisik Edmund

Belinda yang melihat Edmund berbisik kearah Earwen, menaikkan alisnya satu, ia tidak akan ikut campur urusan pernikahan orang terkecuali jika itu sudah sangat diambang batas ia akan ikut campur.

Edmund memberi hormat kepada Belinda dan diikuti oleh Earwen.

Earwen mengikuti langkah Edmund, hingga sampailah mereka di tempat kerja milik raja Hillary tersebut. Edmund mempersilahkan Earwen masuk. Earwen mengedarkan pandangannya melihat ruangan ini, aura disini sangat menakutkannya.

Brakk..

Earwen terperanjat kaget, ketika Edmund membanting pintu dengan kasar.

Edmund melemparkan dokumen tepat diwajah Earwen, "Cepat tanda tangani itu" ucapnya sambil duduk di kursi kebesaran miliknya

"Apa ini yang mulia" tanya Earwen dengan was-was

"Surat perjanjian"

Earwen menatap dokumen tersebut dan membukanya, disitu tertulis

1. Pihak 1 (Edmund) berhak melakukan apa saja yang diinginkannya tanpa harus minta persetujuan pihak 2 (Earwen)

2. Pihak 2 tidak boleh mencampuri urusan pribadi pihak 1

3. Pihak 2 harus selalu meminta izin kepada pihak 1 apabila ingin melakukan sesuatu di luar kerajaan

4. Pihak 1 dan pihak 2 tidur di satu tempat, tetapi, pihak 2 tidur di sofa yang terdapat dikamar

5. Pihak 1 tidak akan mencampuri urusan pribadi pihak 2

Perjanjian ini berlaku sampai pihak 1 menggugat pihak 2.

Earwen tersenyum miris saat membaca kata terakhir di perjanjian tersebut. Ternyata Edmund tidak akan mempertahankannya terlalu lama.

"Yang mulia, kalau boleh saya bertanya apa alasan anda menikahi saya?" tanya Earwen dengan berani

Edmund mendengus dingin, "Agar rakyatku tidak mengecapku seorang homo"

Earwen nyaris tertawa mendengar alasan yang dilontarkan Edmund. Oh astaga ternyata hanya ini ia harus ditukar keluarganya dengan emas dan warior.

"Cepat tanda tangani itu bodoh"

Earwen langsung menandatangani perjanjian tersebut dan berlalu pergi dari ruang kerja Edmund.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Cacat sang Raja Arogan    Chapter 63 : Revealed

    Suasana ruang pertemuan di istana Hillary terasa mencekam. Lampu-lampu kristal menerangi ruangan, tetapi hawa dingin yang menguar di dalamnya membuat siapa pun yang berada di sana merasa tak nyaman. Anne berdiri anggun di tengah ruangan, mengenakan gaun berwarna biru tua yang serasi dengan matanya. Rambut panjangnya disanggul rapi, bibirnya tersenyum lembut. Seakan-akan ia adalah wanita tanpa dosa, tak menyadari badai yang sedang menunggu untuk menerjangnya. Di hadapannya, Edmund duduk di singgasananya, ekspresinya sulit ditebak. Tangannya bertumpu di lengan kursi, sementara Jack berdiri di sampingnya dengan tatapan tajam. Anne tersenyum dan menyembah ringan. “Yang Mulia, aku senang akhirnya bisa berbicara langsung denganmu. Aku membawa kabar penting.” Edmund tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya, membiarkan keheningan menggantung di udara. Detik demi detik berlalu, dan senyum Anne mulai menegang. “Yang Mulia?” Anne mencoba memecah keheningan. Edmund akhirnya berbic

  • Istri Cacat sang Raja Arogan    Chapter 62 : Shadow of The Past

    Earwen menatap Carlo yang menuntun mereka ke tempat yang lebih aman. Pria bertudung hitam di pelukannya mulai kehilangan kesadaran, napasnya berat dan tubuhnya terasa dingin. Earwen menggigit bibir, merasa cemas. Jika pria ini mati sebelum ia mendapatkan informasi yang diinginkan, maka semua usahanya akan sia-sia. Setelah perjalanan singkat, mereka tiba di sebuah rumah kecil di bagian barat kota Hillary. Carlo melompat turun dari kudanya lebih dulu, lalu membuka pintu kayu yang berderit. “Bawa dia masuk,” perintahnya. Earwen mengangguk, lalu dengan susah payah ia menurunkan pria bertudung itu dan membawanya masuk ke dalam. Rumah itu kecil dan tidak mewah, hanya ada satu tempat tidur sederhana dengan beberapa perabotan seadanya. “Taruh dia di sini,” kata Carlo sambil menepuk kasur tua itu. Earwen menurunkan pria itu perlahan, lalu menyingkap tudungnya. Saat wajahnya terlihat jelas di bawah cahaya redup, mata Earwen membelalak. “Tidak mungkin…” bisiknya, suaranya tercekat. Pria

  • Istri Cacat sang Raja Arogan    Chapter 61: Hesitant

    Setelah menempuh perjalanan yang lumayan memakan waktu, Earwen dan Carlo akhirnya sampai di pusat kota Hillary. Salju sudah mulai turun di Hillary, orang-orang berseliweran menggunakan pakaian musim dingin. Earwen menengadahkan tangannya menangkap salju yang turun. Netranya menelisik salju yang tengah berada di telapak tangannya. "Hei, ayo lanjutkan perjalanan ke tempat Gert."Ucapan Carlo membuyarkan Earwen. Ia menolehkan kepalanya ke samping. "Kau duluan saja, aku akan kembali lagi setelah senja." Carlo mendelik tidak suka. "Kau gila?! Kau bahkan belum tahu di mana letak tempat itu." "Kalau begitu aku akan menunggumu di sini nantinya, bye Mr. Pirang." Earwen memacu kudanya ke arah kanan, meninggalkan Carlo yang setengah mendidih. Tujuannya adalah pergi ke taman Yolain. Berharap menemukan Briana di sana. Setibanya di taman Yolain, Earwen membuka tudung kepalanya membebaskan rambutnya yang terkuncir layaknya ekor kuda itu. Earwen tidak yakin orang-orang akan mengenalinya yang dulu

  • Istri Cacat sang Raja Arogan    Chapter 60: Hidden Traitor

    Bunyi Sepatu yang beradu dengan dinginnya lantai terdengar nyaring. "Kau datang, eh." Suara bariton milik pria yang sudah berumur itu menggelegar di setiap sudut. "Datang untuk menyerahkan ini," sahutnya dan melemparkannya ke arah pria tua itu. "Crystal Balls, dari mana kau mendapatkannya Sean Osbert?" "Anda tak perlu tahu, ayahanda. Kudengar benda itu terbuat dengan darah unicorn," tanya Sean dan mendudukkan tubuhnya pada sofa. "Benar sekali, son. Crystal Balls akan membantu menyempurnakan ramuanku." Galadriel menyeringai lebar melihat Crystal Balls yang berada di genggamannya, ah ia sudah tidak sabar untuk mengolahnya menjadi hal 'hebat'."Kau sudah banyak membantuku, son." Galadriel membuka lemari yang tak jauh dari dirinya berdiri. Ia mengambil sebuah pedang dan menyerahkannya kepada sang anak. "Untukmu," sambung Galadriel. Sean menerima pedang tersebut. "Téggewira? Anda serius menghadiahkan pedang Téggewira?" tanyanya memastikan. Pasalnya Téggewira bukanlah pedang biasa. Pe

  • Istri Cacat sang Raja Arogan    Chapter 59: Deville Morte

    Earwen mengeliat dalam tidurnya, ia benar-benar tidur nyenyak dan melupakan segala beban pikirannya, setelah tadi malam ia berpesta dengan para Gert. Pria-pria bertubuh kekar itu mulai menerima kenyataan bahwa sosok legenda seorang 'wanita'. Pintu di ketuk dari luar, dan tak lama kemudian pintu tersebut terbuka dan menampakkan sosok Steve. "Kau sudah bangun? Aku membawakan beberapa potong gaun untukmu, mandilah dan keluar dari kamarmu Earwen," ucap Steve dan meninggalkan beberapa potong pakaian untuk Earwen di atar ranjang wanita itu. "Baiklah, kau bisa keluar." Earwen turun dari ranjang dan berjalan ke arah Steve yang juga berjalan keluar dari kamar Earwen. Setelah kepergian Steve, Earwen mengunci pintu kamarnya dari dalam. Ia berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Earwen menanggalkan pakaiannya dan menenggelamkannya ke dalam bathtub yang sudah terisi air, entah siapa yang mengisinya. Aroma wewangian menguar menciptakan sensasi tentram pada otak Earwen.Dirasa sudah cukup, Earwen m

  • Istri Cacat sang Raja Arogan    Chapter 58: Leaving Heartache

    "Apakah anda sang legenda itu?" tanya laki-laki yang menyerukan kata 'Capo' tadi. Earwen mengigit bibirnya was-was, bagaimana dia mengetahui tentang identitas aslinya? Ia kemudian melirik ke arah Steve yang masih saja bercengkerama dengan singa putih itu. Sialan! Bagaimana ia menjawab pertanyaan lelaki di depannya ini. "Carlo ini Earwen, dan Earwen ini Carlo," ucap Steve dan berjalan mendekati keduanya. "Earwen ikut aku," sambung Steve. Earwen mengikuti langkah Steve kedalam ruangan yang tak jauh dari ia berdiri tadi. Setelah keduanya masuk ke dalam satu ruangan, Steve menutup pintu tersebut. Ia kemudian duduk di atas kursinya. Earwen juga ikut duduk di kursi yang ada di depan meja yang ia pastikan bahwa ruangan ini adalah tempat kerja. "Sebenarnya tempat apa ini?" tanya Earwen to the point. Jujur saja, siapa yang tidak bingung kala di tempatkan di sebuah tempat asing tetapi di dalamnya orang-orangnya mengetahui tentang dirinya."Ini adalah markas, Earwen, markas Deville Morte. D

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status