"Mama juga berharap demikian. Kami sangat mengharapkan, kalau kalian berdua bisa saling menerima, walaupun kalian menikah bukan atas dasar cinta," ujar Mama Nita pula.
Aditya menghela napasnya dalam-dalam.
Bahkan, hembusan napas pria itu terdengar sangat begitu jelas, dirinya benar-benar merasakan sesak di dalam dadanya.Dita seketika menunduk, diam-tanpa bersuara sama sekali. Dia hanya akan menjadi pendengar setia di sini.
"Aku ingin, dtinggal berdua dengan Dita," ujar Aditya tiba-tiba.
Hal itu membuat Dita yang sedari tadi menunduk diam, seketika mengangkat pandangannya.
Tidak langsung menyetujui keinginan sang putra, Papa Herman justru mengalihkan pandangannya pada Dita, "Bagaimana Dita? Apakah kamu setuju dengan keputusan Adit?"
Dita tak langsung menyambut pertanyaan yang sang ayah mertuanya ajukan.
Rasanya, kata-kata yang hendak dia ucapkan tertahan di tenggorokannya.
"Aku....Aku......" ujarnya ragu, dan juga takut-takut."Dit...Bagaimana kalau untuk sementara kau, dan Dita tinggal di rumah ini dulu?" ujar Mama Nita menyela, dan apa yang baru saja wanita paruh baya itu katakan-membuat Dita menghela napasnya lega.
Sebab. itu yang dia inginkan.
"Tapi, Paa–"
"Iya, Adit! Benar yang dikatakan Mamamu tadi. Jauh lebih baik, kalau untuk sementara waktu kau, dan Dita tinggal bersama kami. Dan Papa rasa, Dita pasti menyetujui usulan kami ini. Iya-kan, Dita?" tanya Papa Herman dengan kini membawa pandangannya pada Dita.
Wanita itu hanya menyambut dengan senyum kikuknya, sebab dalam dirinya takut-jika dia mengatakan keinginannya yang sebenarnya akan membuat dirinya mendapatkan masalah."Aku terserah di mana saja. Di sini juga boleh, atau tinggal di rumah kami sendiri juga boleh," sahut Dita dengan senyum palsunya.
***
Awan tak lagi gelap.
Bulan, dan bintang tak lagi bersinar di atas sana-sebab kini mentari telah kembali memberi sinar hangatnya memeluk bumi yang kini telah kembali cerah.Dengan memakai celana jeans hitam, dan juga kemeja putihnya, Dita mengayunkan langkah kakinya menuruni satu persatu anak tangga menuju lantai bawa.
Saat menuruni anak tangga, wanita 21 tahun itu tak henti-hentinya menggerak-gerakkan kecil tubuhnya. Bukan tanpa alasan Dita merasakan sakit pada sekujur tubuhnya, sebab semalam wanita itu harus tidur di lantai dengan beralaskan tikar kecil. Dan tentu saja, itu terjadi karena Aditya telah mengancam agar dirinya tidak memberitahukan hal ini pada kedua orang tuanya."Selamat pagi, Maa...Pa....." sapa Dita ramah, saat mendapati keberadaan kedua mertuanya di ruang makan.
Tak langsung menyambut sapaaan yang menantunya layangkan, Mama Nita justru mengalihkan pandangannya ke arah belakang tubuh sang menantu.
Wanita paruh baya itu seperti nampak tengah mencari seseorang. "Di mana Adit, Dita?"Seperti baru menyadari keadaan dirinya yang kini telah bersuami, Dita justru tersenyum kikuk dengan raut wajahnya yang nampak sedikit pias.
"Aditya, eh, maksud aku, Mas Aditya masih tidur Maa..,," ujarnya ragu.
"Kamu sudah membangunkannya?" tanya Mama Nita cepat.
Hanya menggeleng pelan–tanpa bersuara sama sekali–Dita menyambut pertanyaan yang Mama Nita layangkan.
Mama Nita menghela napasnya dalam, mengetahui jawaban yang baru saja terucap dari bibir menantunya.
Terjadi keheningan beberapa saat sebelum Mama Nita kembali bersuara, "Bangunkan Adit, Dita!" Raut wajah Dita berubah. "Me...Membangunkan Mas adit?" Kembali, ia memastikan apa yang diminta oleh Ibu mertuanya."Iya. Bangunkan Adit sekarang!" titah Papa Herman yang sedari tadi diam.
Dita menelan susah payah ludahnya, setelah mendengar titah dari kedua mertuanya.
Membangunkan Aditya? Bahkan Dita tak berani-mengusik tidur pria itu. Terbayang kekejaman “suaminya itu”.
"Dita..." ucap Mama Nita mengingatkan menantunya itu.Dengan berat hati, Dita pun mengangguk. "I...Iya, Maa.."
****
Kini, Dita telah kembali berada di dalam kamar. Ia memandang Aditya tanpa melakukan apa pun."Bangunkan-nggak, yaa?" gumamnya ragu, dan juga takut-takut, hingga yang bisa Dita lakukan hanyalah menatap Aditya tanpa melakukan apa pun.
Saat ini Dita tengah berperang dengan kata hatinya. Dia sangat takut membangunkan Aditya. Namun, di lain posisi saat ini kedua mertuanya telah menanti kedatangan anak laki-laki mereka.
"Dia pasti hanya akan membentakku, dan tidak mungkin akan sampai membunuhku. Sebab kami masih berada di rumah kedua orang tuanya," gumamnya, menguatkan diri.
Dengan alunan langkah kaki yang berat, Dita pun mendekat ke arah ranjang.
Berdiri di tepian, Dita membangunkan suaminya, "Adit....Adit...." panggilnya takut-takut, dengan menarik-narik kecil ujung selimut yang menutupi tubuh lelaki tampan itu.
Namun, Aditya hanya bergumam, dan kembali melanjutkan tidurnya.
Dan yang bisa Dita lakukan, hanyalah menghela napasnya berat. Dan wanita itu kembali membangunkan suaminya."Dit...Adit....." panggilnya-dengan menarik-narik lebih banyak kain selimut.
Aditya yang merasa terusik dengan tidurnya akhirnya terpaksa membuka kedua mata itu.
Raut wajah itu seketika berubah menyeramkan, saat mendapati kalau orang yang sudah mengganggu tidurnya adalah Dita.
"Hei Culun! Apakah kau mau mati?!" hardiknya dengan nada penuh emosi, dan hal itu membuat Dita seketika tersentak kaget, dan juga nyalinya yang menciut.
Segera memberi jarak sedikit jauh guna melindungi diri, Dita bersuara pada Aditya dengan menunduk takut, "Maafkan aku, tapi aku diminta sama Papa, dan Mama untuk membangunkan kamu," ujarnya ragu.
Aditya menghela napas berat. Segera, ia bangun dari atas ranjang, dengan menghempaskan selimut itu kuat, hingga menutupi wajah Dita.
"Dasar!" bentaknya-dan Dita kembali tersentak.
Menurunkan pelan, Dita hanya bisa menghela nafasnya pelan, dengan perlakuan Aditya yang semena-mena padanya.
Beberapa detik kemudian, Dita mendengar suara air-yang berarti Aditya tengah melakukan kegiatan mandinya.Ia memutuskan untuk merapikan tempat tidur yang Aditya tempati, Dita segera berlalu dari dalam kamar.
"Aku heran pada wanita-wanita di luar sana. Mereka sangat begitu tergila-gila padanya. Namun, apa bagusnya dia. Aku aja, rasanya pengen lari," gumam Dita dengan wajah kesalnya.
Beberapa jam kemudianBeberapa menit menempuh perjalanan--akhirnya mobil yang membawa Dita telah kembali berada di rumahnya. Saat akan turun dari dalam mobil, mimik wajah Dita seketika berubah setelah mendapati adanya sebuah mobil asing yang terparkir di depan rumah. Melangkahkan kakinya--namun pandangan itu tak Dita putuskan dari mobil berwarna merah itu. "Dita---." Panggil suara tidak asing-membuat pandangan Dita teralihkan, dan seketika mimik wajah Dita berubah kaget--setelah mendapati siapa yang menyeruhkan namanya itu."Anita!" gumam Dita dengan tatapan tidak percayanya. Dita segera mengambil langka lebarnya menghampiri wanita yang sudah lama tidak dia temuinya itu.Namun, adanya baby Damar dalam gendongan Anita membuat antusias di dalam diri Dita hilang sekejap. "Kapan kau datang?" tanya Dita, tanpa meminta persetujuan Anita--wanita itu segera mengambil alih Damar dalam gendongan sahabatnya, dan melabuhkan kecupan singkat pada pipi gembul baby Damar. "Sekitar dua puluh menit y
Kendaraan yang membawa Dita--telah terparkir di halaman depan rumah sakit. Dengan ragu, wanita bernama Anandita Setiawan itu menurunkan kedua kakinya. "Apakah perlu saya temani, Nyonya?" tanya sang sopir tiba-tiba, saat Dita tak kunjung melangkahkan kakinya ke dalam bangunan di depannya. "Tidak perlu Pak, Bapak tunggu di sini saja," sahut Dita dengan menoleh sebentar pada sopir pribadinya, dan kembali membawa pandangan pada bangunan yang berada di depan."Baiklah Nyonya, kalau begitu saya akan memarkirkan mobil-dan menunggu anda di sana saja," ujar sang sopir memberitahu, seraya jari telunjuknya mengarah pada sebuah pohon yang rindang yang berada di dekat halaman parkir. "Baik Pak," sahut Dita, dan sang sopir segera melajukan kembali kendaraan roda empat itu. Dita menghembuskan napasnya kasar, meraup udara sebanyak mungkin--saat merasa pasukan oksigen di dalam dadanya berkurang. Suasana hatinya tiba-tiba tak karuan. Antara iya, dan tidak, untuk dirinya masuk ke dalam bangunan rum
Awan tak lagi putih, langit tak lagi biru--sebab kini bumi telah diselimuti kegelapan kala malam kembali menyapa. Angin berhembus sedikit kencang, membuat tirai yang menggelantung tertiup kala angin berhasil mencuri masuk ke dalamnya. Mendapati hal itu Dita segera menghampiri. Kedua tangannya menarik ujung gorden, dan menyatukannya dengan lebih rapat lagi. Mengedarkan pandangannya menjelajahi seisi ruangan. Suasana kamar kini sangat berbanding terbalik dengan tadi. Tadinya kamar ini sangat riuh, dengan celotehan, dan tangisan ketiga buahatinya. Namun, kini telah lenggang karena bayi-bayi miliknya sudah terlelap. Menghembuskan napasnya panjang, Dita meraup oksigen sebanyak mungkin melepas lelah yang begitu menggerogoti di tubuh. Dita merasa seperti baru saja melepaskan beban yang cukup berat. "Ternyata ada asam-manisnya," gumam Dita, dengan senyuman yang dia ukir di wajahnya. Dita memutuskan untuk kembali melihat ketiga bayinya. Menyingkap tirai tipis yang menghalangi pandangan, s
Sangat tidak keberatan untuk seorang Aditya Wijaya jika Dion memberikan putranya untuk dia asuh--sebab perasaan memiliki itu sudah ada untuk anak dari sahabat baiknya itu sejak dia lahir. Namun, yang jadi pertanyaan untuk Aditya--kenapa Dion ingin memberikan anaknya pada dia, sebab pria itu sendiri pernah meminta padanya agar Aditya mengikhlaskan Damar untuknya."Katakan padaku. Apa yang sebenarnya terjadi, sampai kau ingin memberikan Damar padaku?" tanya Aditya, dengan nada suaranya yang terdengar menuntut. Kedua alis tebal Aditya menyurut, saat pupil hitam pekat pria itu semakin tajam ketika menatap Dion. Bukan hanya Aditya saja yang dibuat kaget dengan permintaan Dion, namun Dita juga. Dirinya sama sekali tidak keberatan jika Dion memberikan putranya pada dia, dan Adtya, untuk diasuh oleh mereka. Namun, yang membuat Dita heran---sebab Dion--dulu ingin merawat putranya sendiri. "Iya, Dion. Aku sama sekali tidak masalah kalau kau memberikan Damar pada aku, dan Aditya. Aku akan mer
Baby Adrian yang sudah mabuk ASI perlahan melepaskan puting susu ibunya sendiri, dan kini sudah terlihat jauh lebih tenang dari sebelumnya. Dan saat Dita kembali menyodorkan putingnya, bayi itu kembali melepaskannya dan kini justru memasukkan gumpalan jari ke dalam mulutnya. Baby Adrian kini fokus bermain."Sepertinya dia sudah kenyang," ujar Aditya. "Iya Mas," sahut Dita membenarkan, dan wanita itu memutuskan untuk membaringkan putranya disamping saudara kembarnya. Dalam keadaan kenyang, membuat baby Adrian dan juga Adriana tak lagi rewel. Kedua bayi itu kini bermain, menendang-nendang kecil kaki mereka, ataupun mengemut jari-jarinya. Dan, kegiatan kecil yang dilakukan oleh bayi kembar itu mampu membuat perasaan kedua orang tuanya terhibur. "Mereka sangat menggemaskan ya, Dit?" ujar Aditya-dengan senyuman yang terukir di wajahnya. Sekilas menatap pada Dita, dan kembali memfokuskan pandangannya pada kedua anaknya. Aditya nampak sangat menikmati apa yang dia lakukan saat ini. "Mas-
Dua bulan kemudianWaktu berlalu begitu cepat. Tidak terasa dua bulan telah berlalu, sejak kelahiran baby Adrian, dan Adriana. Banyak hal yang telah dilewati dalam dua bulan terakhir ini. Salahsatunya Dita yang kini telah pindah dari villa, dan menempati rumah barunya, yang barus atu bulan ini dibeli oleh Aditya.Hari-hari yang dilewati Dita penuh dengan kebahagiaan. Suami yang sangat mencintainya, dan memiliki kedua anak yang semakin hari, semakin menggemaskan di matanya. Dita, seperti memiliki mainan baru-sebab sejak kehadiran baby Adrian, dan baby Adriana membuat hari-hari dari Ibu muda itu terasa jauh lebih berwarna. Namun, kadang Dita suka menemukan kerepotan kalau kedua bayi kembar itu rewel bersamaan.Dan, tanpa Dita sadari dirinya sering mengabaikan tanggung jawabnya sebagai seorang istri. Seperti biasa, saat pagi hari sebelum Aditya bangun Dita telah berkunjung ke kamar bayi yang bersebelahan dengan kamarnya, dan Aditya. Berada di kamar dengan cat berwarna putih yang mendomi