“Kamu sudah menjadi Maba kenapa masih belum punya pacar?” gerutu sang Ayah yang baru saja tiba di ruang meja makan. “Ayah punya calon buat mu. Esok kalian harus saling ketemu ya,” lanjutnya.
“Lah, apa-apaan! Aku ini masih muda, jalanku juga masih panjang. Ini sudah ngomongin calon saja, memangnya anak Ayah ini gak laku sampai Ayah ngomong gitu?!” cibir Sasha.
Ayah menggelengkan kepalanya kecil. Perkataan Sasha membuatnya menghela nafas panjang seolah-olah ada beban yang disimpan sendirian. Mata yang berwarna hitam pekat itu melirik ke arah Sasha dengan tatapan ketulusan.
“Gak gitu, Sasha. Ayah ini sudah punya janji dengan teman ayah dahulu. Kalau umurmu sudah beranjak 18 tahun, Ayah ingin menjodohkan mu dengan anaknya,” jelas Ayah yang membuat Sasha terkejut.
Gadis itu membulatkan matanya, tak menyangka dengan apa yang telah dikatakan oleh sang Ayah. Mulutnya yang mengunyah makanan langsung terhenti sejenak. Setelahnya, Sasha menelan dan membuatnya terbatuk-batuk ringan.
Uhuk!
Uhuk!
Ibu, wanita itu sedari tadi menyimak perkataan yang telah diucapkan oleh anak dan suaminya. Ia melirik ke arah Sasha yang kesedak makanannya sendiri, segera ibu menuangkan segelas air putih.
“Minum dulu. Baru diomongin begitu saja, sudah tersedak. Apalagi langsung disuruh menikah, sudah pingsan kali kamu!” cibir sang ibu pedas.
Sasha menerimanya. Ia tak banyak berbicara seraya mengambil segelas air putih yang telah disodorkan olehnya. Gadis itu mulai meneguk dengan tandas, tanpa tersisa apapun lagi.
“Ayah yang benar saja! Ini sudah zaman mileanal, kenapa masih ada perjodohan seperti itu?! Sudah kayak zaman siti nurbaya saja!” sentak Sasha.
Dia bangkit dari tempat duduknya. Menyalami kedua orang tuanya secara bergantian seraya pergi begitu saja menuju kampusnya. Hatinya bergerak gelisah, tak menyangka dengan apa yang telah dikatakan oleh sang ayah.
“Aku pergi dulu. Assalamualaikum,” ujar Sasha seraya menutup pintu dengan begitu kerasnya.
Ayah dan ibunya, seketika terkejut. Mereka menatap satu sama lain dengan raut wajah yang kebingungan. Diliriknya pintu utama, mereka sudah tak melihat Sasha lagi.
“Anakmu itu,” cibir Ibu sembari menyantap makanannya lagi.
“Anakmu juga, lah!” balas Ayah, merasa tak terima dengan ucapannya istrinya.
“Anakku gak ada yang begitu. Dia mah sewot sekali kalau sudah dibicarakan seperti itu. Lagian kamu, pakai acara menjodohkannya segala!” ungkap Ibu seraya memutar bola matanya malas.
“Namanya juga sudah berjanji, yah harus ditempati. Aku pasti akan memaksa Sasha untuk menikah dengan anak teman ku itu!”
Disisi lain, Sasha nampak buru-buru mengendari sepeda motor scoopy berwarna Pink yang diberi nama ‘Pinkyu’. Nampak gadis itu tergesa-gesa, ia membelah kerumunan begitu sangat lihai.
Sasha harus memburu waktu agar cepat sampai di kampusnya. Diliriknya arloji yang berada di pergelangan tangannya itu. Ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 07.55 yang berarti lima menit lagi, kelas akan segera di mulai.
“Astaghfirullah, ini teh kunaon. Lima menit lagi kelas dimulai tapi, aku masih dijalan,” gerutu Sasha mulai merasa khawatir terhadap dirinya sendiri.
Ini adalah kelas pertama bagi Sasha makanya, gadis itu sangat terburu-buru dan sangat takut dengan ancaman dosen. Apalagi namanya pasti akan tercoreng karena baru masuk sudah telat saja.
Tanpa banyak berbicara lagi. Sasha menambahkan kecepatannya menjadi 100km. Bagai kilatan yang menyambar akhirnya, Sasha berhasil sampai di kampusnya. Buru-buru ia menaruh Pinkyu dijajaran parkiran kampus.
Sasha mulai berlari tergopoh-gopoh menuju kelasnya. Ia menaiki anak tangga tanpa ragu namun, matanya tetap melirik arloji yang kini sudah menunjukkan pukul 08.00.
“Oke, pasti telat,” kekeh Sasha seraya tertawa pelan.
Benar saja, ketika Sasha sudah berada di hadapan kelasnya. Seorang dosen pria tengah berdiri di depan saja, memperkenalkan dirinya pada mahasiswa setempat.
Sekujur tubuh Sasha merinding, wajahnya kini pucat pasi. Ia melirik ke arah kaca ruangan tersebut. Matanya bergerak lincah mencari Alya, salah satu sahabatnya.
Ternyata Alya sudah duduk disana dengan wajah yang berseri-seri memandangi dosen yang cukup muda tersebut. Wajahnya memang terlihat tampan, banyak para mahasiswi yang memandanginya dengan tatapan memuja namun, bagi Sasha pria itu cukup seperti seorang pria yang terlihat galak.
“Ini masuk aja atau bolos?” gumam Sasha merasa kebingungan. Tubuhnya yang kecil itu, meminjit kembali. Melihat ke arah Alya namun, sayangnya. Tempat duduk Alya cukup jauh yang membuatnya sulit untuk berkomunikasi.
“Memang dasar hari yang buruk!” gerutu Sasha kembali fokus menatap cerminan kaca tersebut.
“Apa yang buruk?” tanya seseorang dari arah belakangan Sasha.
Tentunya, Sasha cukup terkejut. Ia kaget dan sontak melirik ke arah seseorang yang kini sudah berdiri dihadapannya. Ternyata itu adalah dosen yang mengajar dikelasnya tadi.
Sasha tersenyum, menampilkan deretan giginya saja. Dia tersenyum tanpa dosa. “Eh Pak dosen sudah ada di depan saya saja. Bukannya tadi lagi mengajar ya?” tanya Sasha basa-basi. Padahal sedari tadi jantung berdetak kencang. Bukan karena jatuh cinta, melainkan karena takut dengan wajah sang dosen yang cukup menyeramkan.
“Saya yang harusnya bertanya! Kamu sejak kapan ngintip di jendela?!” sentaknya dengan suara yang cukup datar dan menakutkan.
“Ah–anu, saya tadi–” Sasha telah kehabisan kata. Dia berpikir sejenak, mencari alasan yang tepat dengan kedatangannya yang telat ini. “Saya tadi cuman lihat-lihat saja kok, pak. Tadi gak sengaja lewat dan mengintip untuk melihat teman saya yang masuk kelas atau gak,” ujar Sasha dengan cepat.
Hanya jawaban itu yang mungkin membuat dirinya terselamatkan dengan dosen yang berada di hadapannya. Lagipula dosen tersebut, tak akan mungkin tahu dirinya. Apalagi ini baru pertama kalinya, Sasha mengikuti kelasnya.
Tak ada reaksi apapun dari sang dosen yang membuat Sasha merasa kesulitan untuk bernafas. Dia sangat kebingungan sekarang.
“Loh! Sasha? Kok baru datang?” teriak Alya yang tiba-tiba saja keluar dari kelas.
Sontak Sasha membulatkan matanya. Ia melirik ke arah Alya yang tengah berdiri disana sembari menatapnya kebingungan. Sasha mengumpat dalam hatinya, mengapa gadis itu cukup menyebalkan. Dan malah menjebaknya begitu saja.
“Oh! Pintar sekali kamu berbohong!” sindir dosen tersebut. Dia menatap tajam ke arah Sasha, seolah-olah ingin melahapnya.
Wajahnya yang tampan dengan mata berwarna biru safir itu terlihat sangat menyeramkan sekarang. Sasha lagi-lagi, mengumpat, ingin sekali memaki Alya yang tiba-tiba saja datang.
“Baru maba, kamu sudah pandai berbohong! Datang terlambat, mengintip seperti pengutit. Dan ini, mau mengalambui saya?!” sentaknya.
Sasha tertunduk. “Maaf Pak, gak bermaksud telat. Tadi saya kena macet dijalan,” ujar Sasha berbohong.
“Alasan! Saya gak mau mendengar apapun. Sekarang bersihkan ruangan saya dan tentunya buat tugas artikel sesuai prodi sasing!” desisnya.
“Monyet!” Sasha membantin. “Nih dosen baru pertama aja nyebelin amat, banyak tingkah lagi!”
"Aku brengsek. Sungguh, aku brengsek!"Kalimat itu pecah dari bibir Aditya, nyaris tak terdengar. Sebuah tetes air mata meluncur, membasahi gundukan tanah merah di hadapannya. Seperti ritual, ia selalu membawa sebuket bunga matahari, kesukaan Mira.Jemari Aditya mengusap lembut ukiran nama 'Mira Anasari' di batu nisan. Senyum pahit terukir di bibirnya, hatinya mencelos. Bayangan masa lalu yang kelam, terutama setelah kemunculan Arkan, kembali menghantui, mengaburkan akal sehatnya atas kesalahan bertahun-tahun silam.Napas berat meluncur dari dadanya, jemarinya menyeka sudut mata yang basah. "Aku sudah menikah dengan Sasha," bisiknya, suaranya tercekat. "Maaf, aku gagal mewujudkan impianmu melihatku bersanding dengan seorang istri."Setiap kata terasa seperti duri yang menusuk kerongkongannya. Ia memejamkan mata sejenak, menelan kepahitan, lalu berbalik, meninggalkan tempat itu.Udara di pemakaman terasa semakin menyesakkan, mengoyak jiwanya. Tubuhnya bergetar, mendesak untuk segera pe
Wajah Sasha memerah, panas menjalar hingga ke telinga saat tatapan mereka bertemu. Dengan gerakan canggung, ia bangkit perlahan dari posisi terjatuh. Pria di hadapannya ikut berdiri, ekspresinya datar tak terbaca, namun seulas senyum tipis tersungging di sudut bibirnya, lebih mirip seringai yang mengusik. "Kamu nggak apa-apa, kan?" tanya pria itu, suaranya tenang. Sasha menyipitkan mata, meneliti. Pria ini asing, benar-benar tak familiar. Sepertinya ia baru pertama kali menginjakkan kaki di kampus ini, atau setidaknya, di area ini. Aura formalitasnya terlalu kentara, tidak seperti mahasiswa kebanyakan. "Saya nggak apa-apa, Om. Lain kali, tolong lebih hati-hati," Sasha berusaha terdengar tegas, "Saya permisi dulu." Ia melangkah, buru-buru ingin menjauh dari situasi canggung ini. Namun, baru dua langkah, sebuah sentuhan lembut namun tak terduga menghentikan pergerakannya. Pergelangan tangannya digenggam. Sasha menoleh, matanya langsung terpaku pada jemari yang melingkar di kulitnya.
Tubuhnya membeku, setiap ototnya menegang. Aditya kehilangan kata-kata, matanya hanya mampu menyampaikan permohonan. Raut wajahnya yang putus asa, menggantikan wajah dinginnya yang dulu."Setelah membunuh Mira, kau di sini tertawa, menikah seolah tak terjadi apa-apa? Di mana hatimu?!" desis Arkan. Suaranya lirih, namun setiap katanya bagai racun yang merambat.Aditya menggeleng lemah. "Aku memang bersalah, Ar. Tapi, aku sudah membayar semuanya. Hidupku dipenuhi ketakutan. Apa itu belum cukup?""Cukup?! Kau pantasnya mendekam di penjara, bukan duduk tenang di kampus ini!" Arkan berdiri di hadapannya, wajahnya merah padam menahan amarah. "Lima tahun berlalu, lihat aku. Aku masih sendiri, tak bisa menggantikan Mira! Seharusnya, hari itu aku melamarnya. Tapi kau ... kau merenggut nyawanya, brengsek!"Dengan kasar, Arkan mencengkeram kerah kemeja Aditya. Matanya menyala, menatapnya penuh kebencian. "Untungnya, aku dipindahkan ke sini sebagai dosen."Mata Aditya membelalak. Ia tak salah den
"Pria itu? Raffi maksudnya?"Pertanyaan itu tergambar jelas di benak Sasha. Ia sudah menjawabnya, pria itu yang mana maksudnya? Namun, tak ada balasan apapun hingga jadwal kampus sudah usai begitu saja. "Apa sih, maksud dia itu?" gumam Sasha kembali. Tangannya terangkat, menyentuh Coffee late yang telah di pesan oleh Alya sejak tadi. Lalu, menyesepnya secara perlahan. Alya yang berada di dekatnya sontak memperhatikan raut ekspresi Sasha yang sungguh tak biasanya. Sahabatnya itu terlihat aneh. Dengan santainya, menepuk jidat Sasha kuat hingga menimbulkan suara yang terdengar cukup nyaring.Plak!Sasha terkejut. Ia menoleh dengan tatapan yang melotot tajam. Lalu, mengelus jidatnya yang memerah. "Alya …?!" pekiknya dengan nada setengah jengkel. "Ini kepala bukan mainan, kok main tepuk-tepuk aja, sih?!”"Alya terkekeh pelan. "Yah, habisnya kamu melamun aja. Kayak lagi mikirin suami tercinta … oh, atau jangan-jangan kamu mau malam pertamanya nanti malam, ya? Jadi, mikirin mau pakai baju
"Setelah lulus kuliah nanti, aku pengen jadi rektor dan kamu jadi dosennya, gimana?" tanyanya begitu bahagia. Senyum yang menghiasi wajah Mira terlihat begitu indah, membuatnya tanpa sadar ikut tersenyum bahagia. Bahkan, angin seolah tahu ada sosok bidadari di hadapannya hingga membuat rambutnya yang digerai berterbangan kesana-kemari. "Terus nanti aku akan menikah dengan seorang pria yang cukup tampan. Dan kamu, menikah dengan wanita yang orang tua kamu jodohkan. Setelah kita punya anak, aku ingin mereka sahabatan kayak kita, gimana?" Aditya tersenyum kembali, ia mengangguk kepala tanpa ragu. Meski semua itu terlampau jauh untuk mereka, tapi apa salahnya jika mengiyakan segala sesuatu hal yang baik? "Aku juga pengen lihat kamu wisuda ..., ih! Tapi aku mau-nya kita wisuda bersama aja. Kamu jangan coba-coba mendahului aku, ya!" pekik Mira kembali seraya menyenggol tangannya. Tanpa sadar, sekelebat ingatan tentang Mira kembali datang membuat matanya langsung berkaca-kaca. Ad
"Prof, sakit, kah?" ulang Sasha yang tak diberi jawaban.Aditya langsung terkejut mendengarnya. Tubuhnya langsung bergetar dengan kaki yang seperti ingin roboh. Aneh, hari ini dirinya begitu aneh.Atmosfer ruangan mendadak menjadi hening karena Aditya tak bisa menjawab sama sekali. Tubuhnya terlihat panik dengan kaki yang melangkah mundur. Keringat dingin tiba-tiba saja menyergap dirinya."Aku akan ke kamar mandi," ujar Aditya begitu terburu-buru dan langsung melesat pergi menuju kamar mandi.Melihat kepergian Aditya yang terlihat buru-buru. Sasha langsung terhenyak, merasa aneh dengannya. Padahal pria itu terlihat baik-baik saja bahkan terbilang dengan kalimat yang begitu sempurna. Tapi, hari ini, ia benar-benar seperti bukan dirinya."Kenapa Ayah menjodohkan aku sama dia, ya? Padahal ... kalau di pikir-pikir. Dia nggak tampan, aneh, dan biasa-biasa aja," ujar Sasha dengan raut wajah bertanya. Ayahnya begitu antusias untuk menjodohkan dirinya kepada pria itu. Oh, Sasha melupakan ses