Rehan mendengar dengan jelas suara motor Herman yang sudah mengejarnya.
Begitu pun dengan Ara yang sangat hafal dengan suara motor butut ayah tirinya itu."Kak, buruan!"Setelah memastikan Ara duduk dan memeluk pinggangnya, Rehan segera mengendarai motornya dengan kecepatan penuh."Ra, pegangan yang erat. Aku mau ngebut!" perintah Rehan sedikit berteriak."Iya Kak," Ara pun langsung memeluk pinggang Rehan dengan erat, dan tidak mengatakan apa pun lagi, membiarkan pacarnya tersebut fokus pada jalanan yang gelap, karena minimnya lampu penerangan di kampung tersebut."Woy, kejar mereka!" perintah Herman pada rekannya, ketika melihat motor Rehan.Herman mengendarai motornya ngebut untuk mengejar Rehan dan juga Ara.Namun, baru beberapa meter mengejar, motor Herman tiba-tiba mati membuatnya jatuh."Sialan!" Herman mengumpat, sambil menahan sakit. "Jangan hiraukan aku, cepat kejar mereka!" perintah Herman pada rekan-rekannya yang ingin menolong.Akhirnya Rehan dan juga Ara berhasil kabur dari kejaran rekan Herman.Dan sekarang keduanya berada di stasiun Bus yang jaraknya cukup jauh dari kampung."Kak, kita mau ke mana?" tanya Ara."Membawamu ke tempat yang aman," hanya itu jawaban dari Rehan.Lalu menarik tangan Ara, untuk segera menuju sebuah bus antar kota yang ingin segera meninggalkan stasiun Bus tersebut."Ra, ayo!"Tanpa pikir panjang dan tanpa menanyakan apa pun lagi, Ara langsung masuk ke dalam bus tersebut di ikuti oleh Rehan."Perjalanan kita sangat panjang, kamu tidur saja ini sudah sangat larut,"Ara yang begitu lelah dengan apa yang baru saja di laluinya, tidak menolak perintah dari Rehan. "Iya, Kak."Entah sudah berapa lama Ara terlelap, kini ia membuka kedua bola matanya, dan menoleh kursi tepat di sampingnya di mana Rehan sebelumnya duduk, tapi sekarang kekasihnya itu tidak ada.Kemudian Ara mencari keberadaan Rehan. "Kak Rehan?" panggil Ara.Ia beranjak dari kursinya, untuk mencari sang kekasih.Namun, Ara tidak mendapati Rehan di dalam bus yang sedang berhenti di rest area."Kak," Ara kembali memanggil Rehan, dan turun dari bus tersebut, mungkin sang kekasih berada di luar bus, itu yang Ara pikir, karena pintu bus tersebut terbuka.Tapi setelah mencari kesana kemari, Ara tidak menemukan keberadaan kekasihnya.Membuatnya masuk lagi ke dalam bus, tidak jauh dari tempatnya. Tanpa melihat bus tersebut bukanlah bus yang ia naiki sebelumnya, meskipun warnanya sama.Ara kembali menuju deretan kursi yang ia ingat kursi tempatnya duduk.Berbarengan dengan bus tersebut kembali berjalan.Membuatnya mengurungkan niatnya duduk di kursi, lalu Ara mendekati kernet Bus yang baru saja ganti, tidak jauh dari tempatnya. "Pak, jangan jalan dulu, Kak Rehan belum kembali."Kernet bus tersebut memicingkan matanya menatap pada Ara. "Bicara apa kamu? Aku sudah menghitung semua yang ada di dalam bus, dan jumlahnya sama. Lebih baik kamu duduk di kursimu kembali, mengerti!""Pak, tapi–""Ya ampun, duduk saja kalau tidak mau silakan turun, biar di samperin preman!" seru kernet bus tersebut memotong perkataan dari Ara.Sementara itu bulir air mata ketakutan terus membasahi pipi Ara, bukan lagi karena kehilangan Rehan.Tapi sekarang dirinya di turunkan paksa oleh kernet Bus, setelah hampir tiga jam di dalam bus tersebut, karena Ara tidak bisa menunjukkan tiket bus.Ara mengedarkan tatapannya keseluruh arah, setelah bus yang baru menurunkannya dengan paksa menjauh.Sunyi, gelap, seperti tidak ada kehidupan di tempat dirinya berada.Membuat Ara berlari berarahan dengan laju bus yang menurunkannya dengan paksa.Setelah hampir setengah jam berlari, dan membuat tenaganya benar-benar habis. Ara mendapati sebuah rumah dengan pagar menjulang tinggi.Dan Ara segera menepi ke rumah tersebut untuk meminta tolong."Tolong aku, aku mohon!" teriak Ara yang sudah berdiri di depan pagar menjulang tinggi rumah tersebut, berharap ada yang menolongnya, karena Ara benar-benar tidak tahu sekarang dirinya dimana.Ara terus meminta tolong, hingga tubuhnya lemas, membuatnya kini terduduk tepat di depan pagar.Tangis yang tadi sudah reda, sekarang Ara kembali menangis meratapi nasib hidupnya yang tidak pernah berpihak padanya, setelah sang ayah tidak tahu keberadaannya sebelum sang ibu menikah lagi dengan ayah tirinya.Ara yang terus menangis, kini menutupi wajahnya ketika sorot lampu mobil yang berhenti tepat di depannya, menerpa wajahnya.Suara klakson dari mobil tersebut, membuat Ara segera beranjak dari duduknya, kemudian mendekati mobil tersebut, berharap seseorang yang berada di dalam mobil, mau membantunya.Ara mengelilingi mobil warna hitam dengan dua pintu, bertuliskan supra di belakang mobil.Kemudian mengetuk kaca jendela mobil sambil meminta tolong. "Siapa pun, tolong aku!" teriak Ara dengan suara serak setelah menangis, yang dari tadi tidak berhenti berteriak meminta tolong.Pria yang berada di dalam mobil tepatnya di bangku pengemudi, menatap keluar jendela sambil memegang keningnya, untuk menetralkan rasa pusing akibat minuman beralkhohol yang belum lama ia konsumsi secara berlebihan hingga membuatnya mabuk, untung saja pria tersebut sampai dengan selamat di kediamannya, setelah mengendarai mobil dalam keadaan mabuk."Vio sayang," ucap pria tersebut, ketika melihat gadis di luar mobil yang terus mengetuk kaca jendela mobilnya.Dengan perasaan bahagia melihat gadis yang berada di luar mobil, membuat pria tersebut bergegas membuka pintu mobil dimana dirinya berada.Melihat seorang pria keluar dari dalam mobil, membuat Ara berharap pria tersebut dapat menolongnya, dalam situasi yang sedang dialaminya.Ara meraih salah satu tangan pria tersebut. "Aku mohon tolong aku, Tuan."Bukannya menanggapi ucapan dari Ara, pria tersebut yang coba berdiri dengan tegak, karena tubuhnya tidak seimbang, efek mabuk. Yang ada malah mengukir senyum sambil menatap samar-samar wajah Ara.Bukan hanya mengukir senyum, pria tersebut beralih memegang kedua tangan Ara, lalu membawanya ke dalam pelukannya. "Vio sayang, akhirnya kamu kembali."Tentu saja di peluk tiba-tiba oleh pria yang tidak sama sekali Ara kenal, apa lagi pria tersebut memanggilnya dengan panggilan Vio sayang.Membuat Ara segera melepas pelukan pria tersebut. "Lepaskan aku!"Hal tersebut membuat raut wajah pria tersebut, yang tadi terlihat senang, kini berubah jadi kesal setelah pelukannya di lepas paksa.Tamparan mendarat di sebelah pipi Ara yang di layangkan pria tersebut, membuat Ara meringis kesakitan sambil memegang sebelah pipinya, apa lagi pria tersebut sekarang mencengkram satu tangan Ara."Kurang ajar!" seru pria tersebut. Kembali lagi membawa Ara ke dalam pelukannya.Tapi kali ini pria tersebut memeluk pinggangnya dengan sangat erat, hingga Ara tidak bisa melepas pelukan pria tersebut yang sudah menatapnya dengan tajam.Bau minum minuman beralkhohol itu yang Ara cium dari nafas pria tersebut, dan Ara sangat hafal hal itu karena ayah tirinya sering pulang ke rumah dalam keadaan mabuk."Aku kurang apa, hah?! Sehingga kamu tega meninggalkan aku, katakan Vio!"Pria tersebut yang berteriak tepat di telinga Ara dengan menyebut nama Vio, membuat telingan berdering."Semua sudah aku berikan untuk kamu, Vio. Tapi ini balasan kamu padaku, hah!"Ara yang tidak sama sekali mengerti ucapan dari pria tersebut, coba untuk melepas pelukannya. "Tuan, lepaskan aku!" pinta Ara.Tak berselang lama pria tersebut melepas pelukannya. Dan menatap Ara dengan tajam."Jangan harap kamu bisa pergi dariku, Violet!" tegas pria tersebut. Lalu meraih salah satu tangan Ara, dan menariknya masuk ke dalam rumah tersebut, yang entah sejak kapan pintu gerbang tersebut sudah terbuka."Tuan, tolong lepaskan aku!" teriak Ara, dan coba melepas tangan pria tersebut.Namun, apalah daya, tenaganya sudah tidak mampu berbuat banyak, setelah kejadian demi kejadian yang baru saja dilaluinya.Meskipun Ara sudah memohon, tapi pria tersebut seperti tuli. Dan terus menarik tubuh Ara hingga masuk ke dalam rumah, bukan hanya masuk ke dalam rumah.Pria tersebut terus menarik tangan Ara masuk ke dalam sebuah kamar.Setelah berada di dalam kamar, tubuh Ara dihempaskan pria tersebut keatas kasur.Dan hal tersebut membuat Ara tidak bisa berbuat apa-apa lagi, setelah pria tersebut menindih tubuhnya."Harusnya aku melakukan ini padamu sejak lama, Vi. Agar kamu selamanya menjadi milikku!" seru pria tersebut.Kemudian menarik baju yang Ara kenakan dengan paksa."Tu—"Belum juga Ara berkata, pria tersebut sudah menghentikan perkataannya dengan menampar sebelah pipinya dengan kencang.Hal tersebut membuat Ara semakin tidak berdaya, dan hanya mampu menatap pria tersebut yang beranjak dari tubuhnya lalu membuka celananya.Joan menegakkan tubuhnya dan langsung berdiri dari samping sang istri.Dan senyum yang sedari tadi menghiasi kedua bibirnya kini memudar, saat kedatangan ibu mertuanya tersebut."Jo, tumben sudah pulang?" tanya Ibu Nindi, sambil berjalan mendekati tempat tidur dimana Ara berada."Iya Bu, kangen si kembar," jawab Joan coba untuk tersenyum.Ibu Nindi menaikkan sebelah alisnya sambil mengulum senyum. "Sama Ara tidak kangen?"Joan tertawa kecil. "Tantu saja kangen, Bu. Apalah daya, dia sedang sibuk," balasnya, melirik ke arah sang istri yang sedang menahan senyum.Ibu Nindi tersenyum melihat sikap menantunya yang tampak menginginkan sesuatu. Kemudian ia mengambil Ju yang sudah selesai menyusu."Biarkan Ju sama ibu, kamu temani suamimu," ucap Bu Nindi kepada Ara yang masih membetulkan bajunya. Ia tahu pasangan muda itu butuh waktu untuk berdua. Sejak kelahiran bayi kembar mereka, fokus Ara sepenuhnya tercurah pada anak-anak, sementara Joan lebih banyak sibuk di kantor.Joan yang awalnya he
Sebulan lebih berlalu sejak Ara sadar dari komanya, segalanya terasa jauh lebih tenang, harmonis, dan penuh kebahagiaan. Tidak ada lagi bayang-bayang masa lalu yang mencoba menghancurkan pernikahan mereka. Rehan dan Vio yang terbukti bersalah, kini telah menjalani hukuman di balik jeruji besi setelah terbukti bersalah.Bersamaan dengan kebebasan dari ancaman itu, kebahagiaan Jaon dan juga Ara semakin sempurna dengan kehadiran buah hati kembar mereka, Jean Will dan Juan Will. Nama-nama itu mereka pilih dengan penuh pertimbangan, menggabungkan harapan dan cinta mereka dalam dua sosok mungil yang kini menjadi pusat hidup mereka.Meskipun sudah ada babysitter yang membantu mengurus si kembar, Ara tetap ingin terlibat secara langsung dalam membesarkan putra-putranya. Ia menyusui mereka secara eksklusif, menjaga asupan gizi, dan selalu berusaha hadir setiap kali kedua bayi itu membutuhkan kehangatannya.Seperti sore ini, Ara tengah menyusui salah satu dari bayi kembarnya, Ju, sementara Je s
"Sial!" seru Rehan, melempar cangkir kopi kosong ke dinding hingga pecah berkeping-keping. Dadanya sesak oleh kenyataan pahit yang baru saja diterimanya. Bukannya Joan yang meminum kopi beracun itu, justru Ara, gadis yang diam-diam masih dicintainya, yang kini terbaring lemah di rumah sakit, berjuang antara hidup dan mati. Tanpa dirinya tahu, jika Ara sudah sadar dari komanya. Rehan menjambak rambutnya sendiri, frustrasi. "Bodoh!" desisnya, menyesali kebodohan yang telah dilakukannya. Rencana itu seharusnya berjalan mulus, Joan mati karena racun, dan Ara kembali ke pelukannya karena kehilangan suaminya. Tapi kenyataan jauh dari yang ia harapkan. Langkah sepatu terdengar mendekat. Seorang wanita muncul di ambang pintu, berdiri dengan tangan terlipat dan senyum sinis di wajahnya, siapa lagi jika bukan Vio, rekan sementara untuk menghancurkan rumah tangga Joan dan juga Ara. "Kamu bilang tidak ingin mencelakai Joan," ucap Vio tenang, meski nadanya penuh sindiran. "Tapi apa yang kamu
Joan benar-benar dibuat frustasi. Ia hanya bisa mondar-mandir tanpa arah tidak jauh dari ruang ICU dimana sang Isrti berada, matanya sesekali menatap pintu ICU yang tertutup rapat, seolah berharap keajaiban datang dari balik pintu itu. Ara, istrinya, masih terbaring koma usai melahirkan putra kembar mereka. Namun kabar yang ia dengar tadi, bahwa kondisi Ara menurun, membuat dadanya sesak dan pikirannya kalut."Sayang, jangan buat aku seperti ini," gumam Joan lirih, duduk di bangku panjang lorong rumah sakit dengan kepala tertunduk. "Bangunlah... bukan hanya aku yang membutuhkan kamu, tapi juga kedua putra kita." Suaranya bergetar, dan tangannya mencengkeram rambutnya sendiri, mengacaknya kasar karena frustrasi.Beberapa saat kemudian, suara pintu terbuka mengejutkan Joan. Seorang perawat keluar dari ruang ICU dengan langkah cepat. Joan segera berdiri dan menghampirinya dengan wajah penuh harap."Sus, bagaimana keadaan istriku? Dia baik-baik saja, kan?" tanyanya cepat, nyaris terbata
Bahagia dan juga sedih bercampur jadi satu, itu yang sedang Joan rasakan sekarang.Bahagia karena ia akhirnya bisa melihat bayi kembarnya yang begitu sehat dan juga sempurna.Dan sedih, karena satu hari setelah Ara melahirkan secara caesar, istrinya itu belum juga sadarkan diri. Setelah dinyatakan koma beberapa jam setelah menjalani operasi caesar.Joan ditemani ibu mertuanya, menyaksikan kedua bayi kembarnya yang berjenis kelamin laki-laki, sedang di beri susu oleh perawat yang menjaga keduanya di sebuah ruang perawatan yang telah ia siapkan jauh hari, bukan hanya untuk kedua bayinya, tapi juga dengan Ara.Namun, hanya dua bayi kembarnya yang berada di ruang perawatan tersebut.Karena Ara masih berada di ruang ICU."Silakan jika Tuan ingin mencoba memberi susu pada bayi Tuan." kata perawat.Tentu saja Joan segera mengambil botol susu yang berada di tangan perawat tersebut.Dan dengan arahan perawat tersebut, Joan bisa memberi susu pada kedua putranya.Padahal Joan dan juga Ara telah
Dalam situasi panik, Joan menepuk-nepuk pipi sang istri yang tidak sadarkan diri. Saat sudah berada di dalam mobil untuk membawa Ara ke rumah sakit."Sayang bangunlah." dengan penuh kecemasan, Joan terus menepuk pipi Ara. Berharap istrinya tersebut segera sadar. "Aku mohon, jangan buat aku panik seperti ini sayang."Tetap saja Ara tidak merespon perkataan Joan."Pak! Bisa nyetir tidak hah?! Cepat bodoh!" seru Joan pada supir kantor yang sedang mengendarai mobilnya."Sayang, bicara yang sopan." suara Ara begitu pelan.Tapi terdengar di kedua telinga Jaon, membuatnya segera menatap wajah sang istri yang sudah berada di pangkuannya."Sayang, kamu sudah sadar?"Disaat perutnya semakin mules, Ara masih sempat tersenyum pada sang suami."Sayang, kamu baik-baik saja?" tanya Joan sambil meraup kedua pipi sang istri. "Sayang!" kini Joan berteriak, melihat sang istri kembali tidak sadarkan diri.Panik, gelisah, cemas semua bercampur menjadi satu. Setelah Joan berada di rumah sakit, dan sang ist