"Bu, aku mohon jangan," suara lirih di sela-sela isak tangis seorang gadis meminta belas kasihan.
Dinara, gadis itu, memandang sang ibu yang kini duduk tepat di sampingnya, terlihat tenang. Salah satu tangan wanita paruh baya itu mengelus kepala sang putri dengan lembut."Nak, ini yang terbaik untuk kamu. Pak Sofyan akan memenuhi semua kebutuhan yang tidak bisa ayah dan ibu berikan padamu selama ini,” tutur sang ibu. “Dan kamu akan hidup bergelimang harta bila menjadi istrinya."Dinara perlahan menghentikan tangis dan menghapus air mata yang membasahi kedua pipinya.Kemudian, gadis itu menegakkan kepalanya untuk menatap pada sang ibu."Bu, aku tidak ingin menikah. Apa lagi dengan Pak Sofyan." Entah sudah berapa kali Dinara menolak rencana pernikahannya dengan pak Sofyan, meskipun itu diperintahkan oleh ayah tirinya yang menakutkan.Mana mungkin Dinara mau menikah dengan pria tua yang tidak ia cintai, terlebih jika pria itu sudah memiliki istri lebih dari lima?Lalu, Dinara melanjutkan, "Aku ingin mengejar cita-citaku,""Cih!" Herman, ayah tiri Dinara yang baru masuk ke dalam kamar Dinara, langsung mencemooh.Kemunculan sang ayah tiri langsung membuat Dinara menggenggam tangan ibunya erat-erat, merasa takut.“Bu,” bisiknya, nyaris tidak terdengar."Nin, tinggalkan kamar ini. Ada yang ingin aku katakan pada putrimu ini yang tidak tahu diuntung!” perintah Herman. “Mau dinikahi juragan tanah malah nangis-nangis seperti anak kecil!""Baik Mas," tentu saja ibu Nindi selalu mengikuti perintah dari suaminya tersebut. Dinara semakin erat memegang tangan sang ibu. "Bu, tetap di sini."Ayah tiri itu sering melecehkannya. Dari meremas kedua gunung kembarnya, mengelus kedua pahanya, hingga menabok bokongnya dengan sengaja.Dan pria itu hampir melakukannya tiap kali mereka berpapasan, tanpa kehadiran sang ibu. Itulah yang membuat Dinara takut ketika melihat Herman masuk ke dalam kamar dimana ia berada.Tentunya Dinara sudah menceritakan apa yang dilakukan Herman pada sang ibu. Namun, ibunya tidak percaya pada sang putri."Ara, ayah ingin bicara padamu. Lagian di luar tamu masih banyak," ujar ibu Nindi sembari melepas tangan sang putri. “Selagi ayah ingin bicara padamu, biar ibu yang menemani tamu-tamu itu."Usai sang ibu meninggalkan kamar, Herman berjalan mendekatinya dengan senyum miring terpampang di wajahnya yang menyeramkan.Seketika Ara memundurkan langkah. Namun, geraknya terbatas. Apalagi di ruangan sempit ini, dengan pintu berada di belakang Herman."Jika kamu menolak menikah dengan Pak Sofyan,” desis Herman dengan suaranya yang serak. “Kamu tahu bukan, apa yang akan aku lakukan padamu?" Tentu saja Ara sangat mengingat ancaman ayah tirinya tersebut. Herman mengatakan akan menodainya dan membunuh sang ibu jika Ara tidak mau menikah dengan pak Sofyan."Yah, aku–Ah, sakit, Yah!" pekik Ara, ketika Herman mendorong tubuhnya hingga punggungnya membentur tembok, kemudian mencengkeram kedua lengannya. "Sakit Yah, tolong lepas!"Namun, prmohonannya itu tidak dihiraukan oleh Herman, yang terus menatap putri tirinya tersebut dari ujung kepala hingga ujung kaki.Sudah lama Herman ingin menikmati tubuh putri tirinya tersebut yang begitu menggiurkan.Namun, selalu Herman tahan. Agar Pak Sofyan tetap mendapat Ara yang masih perawan. Dan utangnya yang berjumlah seratus juta akan lunas.Lagi pula, Herman cukup puas menikmati tubuh putri tirinya tersebut, dengan meremas kedua gunung kembarnya, lalu baralih meremas kedua bokong Ara bergantian.Kemudian menggesek gesekkan alat vitalnya di sela-sela kedua paha Ara untuk menyalurkan hasrat.Seperti yang sekarang Herman lakukan, setelah membalik tubuh Ara menghadap tembok dan menahan kedua tangannya."Yah, ja–""Diam!" seru Herman memotong perkataan dari Ara. "Jika berisik, sekarang juga aku bunuh ibumu itu!" Ara hanya bisa menangis seperti biasa, tanpa melawan apa yang Herman lalukan padanya, tidak ingin ayah tirinya tersebut benar-benar membunuh sang ibu yang sangat Ara sayangi.“Ara!”Tiba-tiba pintu kamar yang dibuka begitu kencang, membuat Herman terkejut dan terpaksa menyudahi kegiatan bejatnya itu.Berdiri di ambang pintu, sesosok pria yang usianya hanya beberapa tahun lebih tua dari Dinara berdiri dengan wajah marah. Ada tas jinjing di tangannya yang mengepal.Mendapatkan kesempatan, Ara langsung melepaskan diri dan berlari ke arah pintu. Gadis itu bersembunyi di belakang punggung pria tersebut."Kak, tolong aku.""Tenanglah, ada aku disini Ra," ujar pria tersebut."Dasar anak ingusan! Mengganggu kesenangan orang saja!" bentak Herman kesal, mendapati Rehan, pacar dari Ara, di sana. "Pulanglah dan jangan pernah dekati Ara lagi! mengerti!?"Tanpa menyahut ucapan pria menjijikkan itu, Rehan melempar tas di tangannya ke arah ayah tiri Ara tersebut."Itu yang Om butuhkan, bukan?” ucap Rehan, terdengar geram. “Ambillah, tapi lepaskan Ara!"Herman menimpali ucapan Rehan yang menurutnya masih bocil dengan senyum mengejek, karena umur Rehan dan juga Ara tidak terpaut jauh.Namun, saat Herman melihat isi tas yang dilemparkan padanya itu penuh uang, matanya seketika membelalak."Uang itu lebih dari cukup untuk membayar hutang pada tua bangka itu.” Tentu saja Herman tidak mendengar perkataan dari Rehan, karena fokusnya hanya tertuju pada uang yang berada di dalam tas.Tanpa menunggu respons manusia tamak di hadapan, tiba-tiba Rehan menarik lengan Ara keluar lewat pintu belakang, tanpa melewati sang ibu maupun rombongan panitia pernikahan si juragan tanah."Ra, kita harus pergi,"Ara mengikuti Rehan. Namun, saat pria itu meminta Ara untuk naik ke motornya, gadis itu ragu."Kak, Ibu–""Jangan pikirkan ibumu, pikirkan diri kamu sendiri. Herman tidak akan melepas kamu, meskipun hutangnya pada pak Sofyan lunas."Benar apa yang Rehan katakan, Ara yang tidak ingin mendapat pelecehan lagi dari ayah tirinya, segera naik ke atas motor Rehan.Rehan mendengar dengan jelas suara motor Herman yang sudah mengejarnya.Begitu pun dengan Ara yang sangat hafal dengan suara motor butut ayah tirinya itu."Kak, buruan!"Setelah memastikan Ara duduk dan memeluk pinggangnya, Rehan segera mengendarai motornya dengan kecepatan penuh."Ra, pegangan yang erat. Aku mau ngebut!" perintah Rehan sedikit berteriak."Iya Kak," Ara pun langsung memeluk pinggang Rehan dengan erat, dan tidak mengatakan apa pun lagi, membiarkan pacarnya tersebut fokus pada jalanan yang gelap, karena minimnya lampu penerangan di kampung tersebut."Woy, kejar mereka!" perintah Herman pada rekannya, ketika melihat motor Rehan. Herman mengendarai motornya ngebut untuk mengejar Rehan dan juga Ara.Namun, baru beberapa meter mengejar, motor Herman tiba-tiba mati membuatnya jatuh."Sialan!" Herman mengumpat, sambil menahan sakit. "Jangan hiraukan aku, cepat kejar mereka!" perintah Herman pada rekan-rekannya yang ingin menolong.Akhirnya Rehan dan juga Ara berhasil kabur da
Hanya tangis yang bisa Ara lakukan, sebelum ia jatuh tidak sadarkan diri setelah tak berdaya menyaksikan dengan kedua matanya, pria yang menarik ke dalam sebuah rumah dan mendorong tubuhnya keatas kasur. Telah merenggut kesuciannya yang selama ini Ara jaga.Kesucian yang akan Ara peruntukkan untuk suaminya nanti, tapi sekarang sudah di renggut oleh pria yang terus menyebut nama Vio.Joan Will merasa puas dengan apa yang baru saja dilakukannya, untuk pertama kali selama bertahun-tahun menjalin kasih dengan Violet, perempuan yang baru beberapa hari memutus hubungan kasih.Akhirnya Joan bisa meniduri kekasihnya tersebut, dan dirinya yakin. Dengan hal tersebut, Violet yang sangat dicintainya sepenuh hati, pasti akan kembali lagi padanya untuk selamanya.Tanpa Joan sadari karena efek mabuk berat, bukanlah Violet yang ia tiduri, tapi seorang gadis yang memiliki nasib malang.Tautan kening menghiasi wajah Joan Will, ketika menatap Violet yang masih ia tindih.Beberapa kali ia menggelengkan ke
Untuk kedua kalinya kakek Janned menampar pipi Joan sang cucu, setelah bibi Miu membawa seorang gadis yang berada di atas kasur yang sama dengan Joan. Dimana gadis itu yang tak lain dan tak bukan adalah Ara, pingsan. Dan dengan segera kakek Janned menyuruh Zack memanggil dokter keluarganya untuk memeriksa gadis tersebut.Setelah mendapat tamparan keras dari sang kakek, membuat Joan yang sekarang sudah mengenakan celana boxer, mengingat apa yang terjadi semalam.Dan dirinya sangat yakin, melakukan hubungan badan dengan Violet kekasihnya, tepatnya sih, mantan kekasihnya."Sejak kapan kakek mengajari kamu berbuat seperti binatang hah?!" kakek Janned benar-benar emosi mendapati sang cucu berada di dalam kamar dengan seorang gadis tanpa menggunakan pakaian."Kek, aku melakukan dengan Vio. Hal yang wajar melakukan tersebut dengan seorang kekasih."Kakek Janned benar-benar tidak bisa menerima apa yang sang cucu katakan, karena baginya hubungan intim hanya di lakukan oleh pasangan yang sudah
Karena tidak mendapat jawaban dari pertanyaannya, membuat Ara terus menatap pada foto dirinya dan sang ayah, yang diambil beberapa tahun silam. Sebelum sang ibu membawanya pergi menjauh dari sang ayah, tanpa alasan apa pun.Dan dari saat itu Ara kehilangan sosok seorang ayah yang sangat dicintainya, apa lagi saat itu sang ayah‐lah yang selalu berada di sampingnya dua puluh empat jam, karena sang ibu sibuk bekerja.Bulir air mata jatuh membasahi kedua pipi Ara, air mata kerinduan untuk sang ayah yang sangat disayanginya.Melihat Ara menangis, kakek Janned yang sudah duduk dipinggiran tempat tidur, mengulurkan tangannya, lalu menghampus air mata yang membasahi kedua pipi Ara.Membuat Ara segera menoleh pada kakek Janned, lalu menjauhkan tangannya."Dimana ayah?" tanyanya."Aku akan membawa kamu menemui ayahmu," kata kakek Janned, yang harus menunjukkan dimana orang yang sangat berjasa dalam hidupnya, kini berada."Aku mau menemui ayah sekarang juga," Ara coba untuk turun dari tempat ti
Bibi Miu selalu berada di samping Ara, menemani gadis tersebut yang merasa bingung. Bagaimana Ara tidak bingung, baru kali ini ia di perlakuan seperti seorang putri dalam Kerajaan dongeng yang sering ia baca. Membuatnya tidak bisa berkata apa-apa lagi, selain menatap orang-orang berpakaian pelayanan yang didominasi warna putih, keluar masuk ke dalam kamar dimana dirinya. Membawakannya, bukan hanya keperluan sekunder, tapi juga kebutuhan primer yang sering Ara lihat di drama televisi. Dari pakaian, tas, sepatu dan aksesori lainnya yang sama sekali tidak pernah Ara miliki, jangankan memilikinya melihatnya secara langsung pun, Ara belum pernah. Tapi sekarang Ara bisa melihat langsung kebutuhan primer yang begitu banyak di kamar dimana ia berada, yang baru di susun rapi oleh beberapa pelayan. "Nona Ara, ini semua milikmu," kata bibi Miu. Tentu saja Ara yang masih duduk diatas tempat tidur setelah menyelesaikan sarapan, itu pun di layani oleh bibi Miu yang menyuapinya meskipun Ara
Bibi Miu menghampiri kakek Janned di dalam kamar yang selalu ia tempati jika berada di rumah sang cucu, karena memang, kakek Janned sebenarnya tinggal di rumah lainnya.Kakek Janned menoleh pada papa bibi Miu. "Bagaimana Mi, apa Ara sudah lebih tenang?" tanya kakek Janned, pasalnya setelah pulang dari pemakaman beberapa saat lalu, Ara masih bersedih."Syukurlah, gadis itu sudah lebih tenang Tuan."Kakek Janned yang sedang duduk diatas sofa di ruangan tersebut, sekarang beranjak dari duduknya."Dia tidak mengatakan apa pun padamu?""Ara hanya mengatakan ingin pulang, Tuan."Kakek Janned tidak mengatakan apa pun untuk menimpali ucapan bibi miu."Persiapkan acara pernikahan Ara dan Joan!" perintah kakek Janned."Baik Tuan."Kakek Janned masuk ke dalam kamar dimana Ara berada, ingin mengatakan tentang pernikahan.Karena memang kakek Janned belum memberi tahu tentang hal tersebut.Ara yang sedang duduk diatas kasur dengan punggungnya ia sandarkan di sandaran tempat tidur, menoleh pada kake
Ara yang masih setengah sadar, dan nyawanya belum terkumpul karena baru saja terjaga dari tidur nyenyaknya.Hanya menatap pada Joan yang baru saja menariknya hingga turun dari atas tempat tidur, kemudian mendudukkan bokongnya di pinggiran tempat tidur tersebut."Keluar!" perintah Joan dengan kencang, membuat nyawa Ara akhirnya terkumpul sempurna.Kemudian Joan menarik kedua tangan Ara agar beranjak dari duduknya, lalu mendorong tubuhnya dengan kencang.Untung saja tidak membuat Ara jatuh, dan membuatnya hanya menatap pada pria yang sudah resmi menjadi suami."Apa lihat-lihat, hah?! Pergi dari kamarku sekarang juga, dan jangan sampai kamu masuk ke dalam kamarku ini, paham!"Ara yang malas menanggapi sang suami, memilih segera pergi dari dalam kamar tersebut.Namun, baru saja membuka pintu. Joan menghentikan langkahnya."Jangan bilang aku mengusirmu dari kamar ini. Awas saja kalau kamu sampai mengadu pada kakek, aku akan membuat perhitungan denganmu paham!" ancam Joan, yang tidak ingin
Ara yang ketiduran di tempat tidur Joan, setelah suaminya itu meninggalkannya. Segera membuka kedua bola matanya ketika mendengar suara pintu di buka dengan kencang.Dan segera turun dari tempat tidur, ketika melihat Joan masuk ke dalam kamar tersebut.Tautan kening menghiasi wajah Ara, ketika melihat sang suami masuk dengan tubuh di papah oleh Zack."Aku cari obat dulu," kata Zack setelah mendudukkan bokong Joan di pinggiran tempat tidur.Ketika atasan dan juga sahabatnya terluka di salah satu kakinya, setelah tadi melarikan diri dari kejaran musuh Joan.Ara hanya diam mematung melihat Zack yang keluar dari dalam kamar dengan terburu-buru, kemudian menatap pada Joan yang sedang menahan sakit, disalah satu kakinya."Jangan hanya berdiri disitu bodoh! Cepat ambilkan aku minum!" perintah Joan yang sangat haus setelah tadi melarikan diri dari kejaran musuhnya.Bergegas Ara mengambil segelas air putih yang berada diatas meja nakas, lalu mendekati Joan. "Silakan,"Joan mengambil gelas ters