Share

Istri Dadakan Mafia Arogan
Istri Dadakan Mafia Arogan
Author: NARA

Fantasi

"Bu, aku mohon jangan," suara lirih di sela-sela isak tangis seorang gadis meminta belas kasihan.

Dinara, gadis itu, memandang sang ibu yang kini duduk tepat di sampingnya, terlihat tenang. Salah satu tangan wanita paruh baya itu mengelus kepala sang putri dengan lembut.

"Nak, ini yang terbaik untuk kamu. Pak Sofyan akan memenuhi semua kebutuhan yang tidak bisa ayah dan ibu berikan padamu selama ini,” tutur sang ibu. “Dan kamu akan hidup bergelimang harta bila menjadi istrinya."

Dinara perlahan menghentikan tangis dan menghapus air mata yang membasahi kedua pipinya.

Kemudian, gadis itu  menegakkan kepalanya untuk menatap pada sang ibu.

"Bu, aku tidak ingin menikah. Apa lagi dengan Pak Sofyan." Entah sudah berapa kali Dinara menolak rencana pernikahannya dengan pak Sofyan, meskipun itu diperintahkan oleh ayah tirinya yang menakutkan.

Mana mungkin Dinara mau menikah dengan pria tua yang tidak ia cintai, terlebih jika pria itu sudah memiliki istri lebih dari lima?

Lalu, Dinara melanjutkan, "Aku ingin mengejar cita-citaku,"

"Cih!" Herman, ayah tiri Dinara yang baru masuk ke dalam kamar Dinara, langsung mencemooh.

Kemunculan sang ayah tiri langsung membuat Dinara menggenggam tangan ibunya erat-erat, merasa takut.

“Bu,” bisiknya, nyaris tidak terdengar.

"Nin, tinggalkan kamar ini. Ada yang ingin aku katakan pada putrimu ini yang tidak tahu diuntung!”  perintah Herman. “Mau dinikahi juragan tanah malah nangis-nangis seperti anak kecil!"

"Baik Mas," tentu saja ibu Nindi selalu mengikuti perintah dari suaminya tersebut. 

Dinara semakin erat memegang tangan sang ibu. "Bu, tetap di sini."

Ayah tiri itu sering melecehkannya. Dari meremas kedua gunung kembarnya, mengelus kedua pahanya, hingga menabok bokongnya dengan sengaja.

Dan pria itu hampir melakukannya tiap kali mereka berpapasan, tanpa kehadiran sang ibu. Itulah yang membuat Dinara takut ketika melihat Herman masuk ke dalam kamar dimana ia berada.

Tentunya Dinara sudah menceritakan apa yang dilakukan Herman pada sang ibu. Namun, ibunya tidak percaya pada sang putri.

"Ara, ayah ingin bicara padamu. Lagian di luar tamu masih banyak," ujar ibu Nindi sembari melepas tangan sang putri. “Selagi ayah ingin bicara padamu, biar ibu yang menemani tamu-tamu itu."

Usai sang ibu meninggalkan kamar, Herman berjalan mendekatinya dengan senyum miring terpampang di wajahnya yang menyeramkan.

Seketika Ara memundurkan langkah. Namun, geraknya terbatas. Apalagi di ruangan sempit ini, dengan pintu berada di belakang Herman.

"Jika kamu menolak menikah dengan Pak Sofyan,” desis Herman dengan suaranya yang serak. “Kamu tahu bukan, apa yang akan aku lakukan padamu?" 

Tentu saja Ara sangat mengingat ancaman ayah tirinya tersebut. Herman mengatakan akan menodainya dan membunuh sang ibu jika Ara tidak mau menikah dengan pak Sofyan.

"Yah, aku–Ah, sakit, Yah!" pekik Ara, ketika Herman mendorong tubuhnya hingga punggungnya membentur tembok, kemudian mencengkeram kedua lengannya. "Sakit Yah, tolong lepas!"

Namun, prmohonannya itu tidak dihiraukan oleh Herman, yang terus menatap putri tirinya tersebut dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Sudah lama Herman ingin menikmati tubuh putri tirinya tersebut yang begitu menggiurkan.

Namun, selalu Herman tahan. Agar Pak Sofyan tetap mendapat Ara yang masih perawan. Dan utangnya yang berjumlah seratus juta akan lunas.

Lagi pula, Herman cukup puas menikmati tubuh putri tirinya tersebut, dengan meremas kedua gunung kembarnya, lalu baralih meremas kedua bokong Ara bergantian.

Kemudian menggesek gesekkan alat vitalnya di sela-sela kedua paha Ara untuk menyalurkan hasrat.

Seperti yang sekarang Herman lakukan, setelah membalik tubuh Ara menghadap tembok dan menahan kedua tangannya.

"Yah, ja–"

"Diam!" seru Herman memotong perkataan dari Ara. "Jika berisik, sekarang juga aku bunuh ibumu itu!" 

Ara hanya bisa menangis seperti biasa, tanpa melawan apa yang Herman lalukan padanya, tidak ingin ayah tirinya tersebut benar-benar membunuh sang ibu yang sangat Ara sayangi.

“Ara!”

Tiba-tiba pintu kamar yang dibuka begitu kencang, membuat Herman terkejut dan terpaksa menyudahi kegiatan bejatnya itu.

Berdiri di ambang pintu, sesosok pria yang usianya hanya beberapa tahun lebih tua dari Dinara berdiri dengan wajah marah. Ada tas jinjing di tangannya yang mengepal.

Mendapatkan kesempatan, Ara langsung melepaskan diri dan berlari ke arah pintu. Gadis itu bersembunyi di belakang punggung pria tersebut.

"Kak, tolong aku."

"Tenanglah, ada aku disini Ra," ujar pria tersebut.

"Dasar anak ingusan! Mengganggu kesenangan orang saja!" bentak Herman kesal, mendapati Rehan, pacar dari Ara, di sana. "Pulanglah dan jangan pernah dekati Ara lagi! mengerti!?"

Tanpa menyahut ucapan pria menjijikkan itu, Rehan melempar tas di tangannya ke arah ayah tiri Ara tersebut.

"Itu yang Om butuhkan, bukan?” ucap Rehan, terdengar geram. “Ambillah, tapi lepaskan Ara!"

Herman menimpali ucapan Rehan yang menurutnya masih bocil dengan senyum mengejek, karena umur Rehan dan juga Ara tidak terpaut jauh.

Namun, saat Herman melihat isi tas yang dilemparkan padanya itu penuh uang, matanya seketika membelalak.

"Uang itu lebih dari cukup untuk membayar hutang pada tua bangka itu.” 

Tentu saja Herman tidak mendengar perkataan dari Rehan, karena fokusnya hanya tertuju pada uang yang berada di dalam tas.

Tanpa menunggu respons manusia tamak di hadapan, tiba-tiba Rehan menarik lengan Ara keluar lewat pintu belakang, tanpa melewati sang ibu maupun rombongan panitia pernikahan si juragan tanah.

"Ra, kita harus pergi,"

Ara mengikuti Rehan. Namun, saat pria itu meminta Ara untuk naik ke motornya, gadis itu ragu.

"Kak, Ibu–"

"Jangan pikirkan ibumu, pikirkan diri kamu sendiri. Herman tidak akan melepas kamu, meskipun hutangnya pada pak Sofyan lunas."

Benar apa yang Rehan katakan, Ara yang tidak ingin mendapat pelecehan lagi dari ayah tirinya, segera naik ke atas motor Rehan.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status