“Clarissa, ada perempuan nyariin kamu.”
Gadis muda berseragam pelayan yang tengah berjalan ke dapur, menoleh ketika mendengar namanya dipanggil oleh pelayan lain.
“Di ruang VIP 205.”
Clarissa masuk ke dalam dapur, menyimpan ice bucket yang berisi es mencair. Keluar dari dapur, ia melangkah naik ke lantai dua.
Di depan ruang bertuliskan angka 205, Clarissa merapikan seragam hitamnya dan pita berwarna abu-abu di lehernya. Ia mengetuk dua kali lalu masuk ke dalam ruangan.
Di dalam ruangan itu hanya ada seorang wanita paruh baya berpakaian modis dan mewah sibuk dengan ponselnya. Clarissa bisa menduga wajah wanita itu telah memakan ratusan juta untuk perawatan.
“Saya Clarissa. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Clarissa, tersenyum sopan.
“Duduk,” perintah si wanita. Ia hanya melirik sekilas ke arah Clarissa lalu kembali fokus pada ponsel.
Clarissa duduk di ujung sofa melingkar. Sementara wanita itu duduk di tengah-tengah, ada jarak dua lengan yang memisahkan mereka.
Wanita itu menyimpan ponsel mahalnya ke dalam tas berwarna krem yang Clarissa duga lebih mahal lagi. Perhatiannya tertuju pada Clarissa.
“Kenalkan, aku bibimu, adik dari ayahmu. Hanum Lesmana,” ucap si wanita cepat.
“Maksud anda...” Otak Clarissa tengah mencerna ucapan wanita paruh baya bernama Hanum.
“Aku— Kakek dan Nenekmu menunggumu kembali ke rumah Keluarga Lesmana.” Hanum membuka tasnya, mengeluarkan kartu nama, lalu meletakkannya di meja.
“Seperti yang kamu lihat, Keluarga Lesmana adalah keluarga kaya dan terpandang. Kalau kamu kembali ke Keluarga Lesmana, kamu bisa menikmati kehidupan yang berbeda dengan hidupmu sekarang.”
Hanum bangkit dari duduknya. Ia berjalan ke arah pintu. Sebelum keluar, ia berbalik lalu berucap, “Besok aku akan kembali ke sini. Siapkan barangmu, kita akan langsung ke Kota A.”
Pintu ditutup meninggalkan Clarissa yang berusaha memproses informasi baru dari Hanum.
Pertama, perempuan tadi adalah adik ayahnya yang meninggal saat ia masih berusia lima tahun. Kedua, dia bilang keluarga lesmana itu kaya yang berarti ayahnya kaya. Ketiga, keluarga kaya itu ingin Clarissa kembali, besok.
“Persis seperti kisah dongeng,” gumam Clarissa tertawa sinis.
Clarissa baru lulus SMA tiga bulan lalu. Ia tidak lanjut kuliah karena tidak punya uang, walau bisa mendapat beasiswa, ada banyak kebutuhan lain yang harus bisa dia penuhi. Sudah tiga bulan Clarissa pindah ke kota B, bekerja sebagai pelayan bar di salah satu bar besar di kota ini.
Jauh sebelum lulus SMA, Clarissa terbiasa kerja sampingan untuk memenuhi kebutuhannya. Sejak ayahnya meninggal, ibunya -Rita Wijaya- menghidupi dia dan saudara-saudaranya sendirian. Punya banyak saudara membuat Clarissa harus berjuang sendiri ketika menginginkan sesuatu.
Ia tak pernah tahu ayahnya punya keluarga, kaya pula. Atau mungkin ia masih terlalu kecil saat ayahnya meninggal.
Setelah memperbaiki suasana hatinya, Clarissa mengambil satu botol minuman dan gelas yang ada di ruangan itu lalu berjalan keluar dengan gaya profesional.
Sesampainya di dapur, dia menyimpan botol dan gelas itu di meja tempat gelas kotor lalu keluar dari dapur.
Di depan dapur, pelayan yang tadi memanggilnya menemui Hanum menghampiri Clarissa.
“Aku pikir yang tadi itu sugar mommy. Ternyata dia gak ngasih tip,” ujarnya, siap bergosip.
Clarissa hanya tertawa hambar lalu berjalan pergi, menghampiri tamu yang baru datang. Tidak niat bergosip.
“Sugar mommy apaan? Gak ada manis-manisnya,” batin Clarissa.
Clarissa bekerja profesional seperti tidak mendengar info mengejutkan dari Hanum. Ia bekerja hingga pukul sepuluh malam karena hari ini dia masuk shift sore.
Setelah berganti baju, Clarissa meninggalkan bar. Berjalan kaki menuju ke halte bis. Sembari menunggu bis datang, ia membuka ponselnya, menghubungi kontak ‘Bunda Rita’.
“Ma, ayah aku punya adik yah? Namanya Hanum Lesmana.”
“Iya. Kamu tau darimana?”
“Dia datang ke barku. Dia ngajak aku balik ke Keluarga Lesmana.”
“Oh iya?”
“Iya, ma.”
Perlu diperjelas kalau selama mereka menelpon, intonasi suara Rita datar-datar saja, tidak terkejut ataupun penasaran.
“Terus kamu mau gimana?” tanya Rita.
“Aku mau ikut. Kapan lagi bisa jadi anak orang kaya.”
“Dasar mata duitan.”
“Aku gak mata duitan, ma. Aku ini realistis.”
“Udahlah, capek ngobrol sama orang yang pikirannya uang terus.”
“Mama pikir sifat aku ini turun dari siapa?”
Ada jeda beberapa menit sebelum terdengar tawa renyah Rita dari seberang.
“Kamu gak ngerasa ini aneh? Masa kamu diajak pulang tapi kakak-kakakmu tidak?” Rita terdengar lebih serius.
“Mungkin mereka cuma butuh anak perempuan,” jawab Clarissa, asal.
“Itu kamu paham.”
“Hah? Pokoknya aku coba aja dulu. Kali aja aku dapat warisan. Aku bisa jadi kaya mendadak.”
Terdengar suara tawa Rita. “Ya sudah, terserah kamu. Hati-hati aja. Kalau ada apa-apa hubungi rumah.”
“Siap, ma!”
Clarissa menyimpan ponselnya. Ia melirik ke samping, ke arah bis yang melaju pelan ke arah halte tempatnya menunggu.
...
Interior vila tampak sederhana tapi elegan. Mereka masuk melewati lantai marmer putih. Tampak tirai linen melambai diterpa angin dari luar jendela besar di sisi kanan.Ruang tengah berisi sofa berwarna nude dengan kesan modern. Tapi di salah satu sudut, ada meja kopi bundar dari kayu jati dengan cat yang mengkilat. Di sampingnya ada buku-buku usang di rak perpustakaan kecil.Clarissa mendorong kursi roda Bryan ke pintu di sisi kiri. Memasuki pintu itu, ada tempat tidur besar dengan dipan dari kayu jati yang vintage, kontras dengan spring bed warna putih yang simpel dan modern.Bryan merasa vila ini mengikuti selera seseorang, tidak mengikuti template vila pada umumnya.Clarissa menyimpan barang mereka di kamar. Hanya satu tas jinjing ringan yang berisi dua set piyama dan dua set baju untuk pulang. Mereka sudah akan pulang besok.“Kalau kamu mau lihat situasi pantai, kita bisa ke kedai Mba Lina. Tapi kalau mau lihat kebun di belakang vila juga bisa,” tawar Clarissa.Bryan berpikir sebe
“Pak Andre sudah mengurus wanita tadi,” ungkap Bryan saat mereka ada di kapal menuju ke pulau.Kapal kecil ini disewa khusus oleh Clarissa. Hanya ada mereka berdua dan si pemilik di atas kapal.“Apa tujuannya?” tanya Clarissa dengan ekspresi tenang. Dia sudah tahu, tapi dia yakin alasan sebenarnya tidak akan terungkap.“Dia disuruh salah satu anak buah Rudi, preman yang kemarin kita temui di pantai. Balas dendam,” jawab Bryan.Clarissa mengangguk singkat. Sudah dia duga polisi tidak akan sampai ke dalang sebenarnya. Tapi dia tidak begitu peduli, toh dia bisa mengurusnya sendiri.Clarissa lebih penasaran dengan hal lain. “Apa Keluarga Adam tahu kamu sudah diserang?”Bryan menggeleng. “Lebih baik kita gak beri tahu. Supaya mereka gak perlu cemas. Aku gak kenapa-napa.”Sekilas Clarissa tampak mengerutkan dahi tapi dia langsung bersikap biasa, mengangguk kecil. “Baiklah.”Clarissa berpikir bodyguard yang melindungi mereka adalah orang-orang dari Keluarga Adam yang ditugaskan bekerja di ba
Saat kewaspadaan Clarissa menurun, gunting tajam mengarah ke wajahnya. Bryan secara refleks memajukan badan, mengulurkan tangan, merebut gunting itu.Bryan berhasil meraih gunting dari wanita pengepang. Sementara Clarissa memukul tangan si wanita sampai wanita itu terjatuh di pasir kesakitan.Tiga orang pria berpakaian santai bak pengunjung biasa tiba-tiba muncul menahan wanita itu. Satu orang pria berhasil menahan si wanita, dua pria lainnya mundur tanpa kata, kembali melakukan rutinitas mereka seolah tidak terjadi apa-apa.Clarissa mengenal salah satu pria yang baru saja pergi. Dia adalah anggota kakaknya. Walau tak tahu namanya, dia mengenal wajah tidak asing si pria. Dia di sini pasti untuk melindunginya. Sementara dua pria lain termasuk pria yang berhasil menahan si wanita tampak asing.Tapi melihat kemunculan mereka yang cepat dan tiba-tiba, dia yakin mereka bukan orang lewat biasa. ‘Apa mungkin selain karena Pak Andre, mereka alasan Bryan bersikap tenang kemarin? Dia sudah meny
“Oh iya, ini!” Clarissa membuka telapak tangannya di depan Bryan, menunjukkan batu bermacam motif yang mengkilat.“Cantik, kan?” tanya Clarissa dengan nada pamer.Bryan tertawa kecil. “Cantik seperti orangnya.”Clarissa tak menyangka Bryan akan tiba-tiba berucap seperti itu. Dia ingin menyentuh pipinya karena salah tingkah tapi baru sadar kalau tangan kanannya masih digenggam oleh Bryan, alhasil jari Bryan menyentuh pipi lembut Clarissa. Membuat si gadis makin salah tingkah.Bryan menahan senyum. Apalagi saat Clarissa hendak melepas genggaman tangan mereka. Bryan justru makin mengeratkan pegangannya.“Ayo kita lanjut lihat-lihat lagi,” ajak Bryan santai. Clarissa hanya bisa mengangguk.Mereka kembali berjalan di pinggir patai tapi kali ini pikiran Clarissa tidak bisa fokus menatap keindahan pasir dan laut. Pikirannya terlalu fokus pada genggaman mereka.Bryan tersenyum lebar selama mereka berjalan-jalan. Dia mengomentari banyak hal yang dibalas Clarissa dengan deheman. Bryan tidak mar
Clarissa dan Bryan kompak menoleh pada tiga orang pria yang berjalan ke arah mereka. Pria yang berjalan paling depan berbadan pendek dengan mulut yang berbentuk kerucut. Dia yang bicara tadi.Di samping pria itu ada lelaki berbadan kurus dan tidak terlalu tinggi dengan bekas luka di wajahnya. Dia menatap tajam ke arah Bryan. Lelaki terakhir berjalan paling belakang, bertubuh besar dengan perut yang menonjol keluar.Clarissa refleks berdiri di depan Bryan, melindungi suaminya. Lelaki yang memiliki bekas luka tersenyum sinis.Sementara lelaki pendek menghina Bryan, “Gadis muda sepertimu melindungi laki-laki. Lebih baik kamu ikut dengan kami. Kakak di sini punya banyak uang, bisa menjajanimu.”“Tutup mulutmu! Aku gak mau dengar polusi suara,” bentak Clarissa dengan nada mengejek.“Apa kamu mau kita pakai kekerasan baru kamu ikut?” ancam si pria pendek.Clarissa mendengus. “Maju kalian.”Clarissa tidak takut. Dia pernah mengalahkan sekelompok bodyguard di Kota C. Mudah baginya memberi pel
“Iya! Gadis yang kusukai itu bahkan datang ke acara pertunangan kita. Clarissa, dia melihat kita bertunangan!”“Clarissa?! Apa maksud kakak?” Sekar melangkah maju. Kini dia hanya dipisahkan meja dengan Calvin.Lelaki tampan itu tertawa bak orang kesetanan. “Sekarang aku udah gak bisa bersaing lagi dengan Kak Bryan. Aku udah gak bisa dapetin Clarissa. Aku bahkan udah...”Calvin tidak melanjutkan ucapannya. Hatinya tiba-tiba sakit. Dia bangkit dari duduknya. Melewati Sekar tanpa melirik sedikit pun lalu keluar dari ruangan.Air mata Sekar mengalir sempurna. Dia langsung menelpon Hanum.“Mama di mana?” tanyanya sambil terisak.“Astaga Sekar sayangku, kamu menangis? Kamu kenapa?”“Aku bakal cerita kalau kita ketemu. Mama di mana?”“Aku ada di rumah kakek-nenekmu. Kamu mau dijemput?”“Enggak usah. Aku ke situ sekarang.”Sekar keluar dari kantor dengan mata merah dan wajah yang meninggalkan bekas air mata. Calvin sudah menghilang entah ke mana, bahkan asistennya juga tidak tahu.Di perjalan