Hanum berjalan ke sisi wanita tua itu, mengusap lengannya. Lalu menoleh pada Clarissa.
“Ini nenekmu.”
Nenek Clarissa, Fitriana Wijaksana, menatap Clarissa penuh kerinduan. Clarissa menatap balik. Sekilas ia bisa melihat kemiripannya dengan wanita itu. Mungkin saat tua, ia akan terlihat seperti sang nenek.
Pantas saja orang-orang selalu bilang Clarissa terlihat berbeda dengan keluarganya. Rupanya dia mirip dengan ayahnya -Hendi Lesmana- dan ibu ayahnya.
“Bu, ayo kita pergi sekarang.” Hanum mengingatkan ibunya.
Fitri menatap Clarissa dengan tatapan sesal, lalu mengangguk pada Hanum.
“Kita mau ke butik cari dres. Kamu harus berterima kasih pada nenekmu. Lihat penampilanmu sekarang, bagus dilihat karena bajumu juga bagus,” ucap Hanum.
Clarissa tak merespon. Ia lebih memilih menatap wanita tua di samping Hanum yang tampaknya ingin bicara dengan Clarissa.
Di dalam mobil, Fitri akhirnya bicara. “Kamu udah lulus SMA?”
“Iya... nek.”
“Sekarang kuliah semester berapa?”
“Aku kerja, gak kuliah.”
“Dia jadi pelayan di bar, bu,” sahut Hanum.
Fitri menatap Clarissa sekilas lalu membuang wajah. Hingga mereka sampai di butik, tidak ada yang bicara.
Clarissa mencoba berbagai gaun sebelum akhirnya Hanum memilih gaun berbahan brokat halus berwarna pastel pink. Panjangnya hingga di bawah lutut. Bentuk bagian atasnya off shoulder dan terlihat sangat cocok untuk Clarissa dengan aksesoris kalung dan rambut yang digerai rapi.
Setelah dari butik, mereka lanjut ke salon. Karena Clarissa sudah terlihat cantik dan cocok dengan gaunnya, ia tidak perlu dimake-up terlalu ribet.
Jam sudah menunjukkan pukul empat sore saat semuanya selesai. Mereka belum pulang, sekarang mereka ada di salah satu ruangan VIP di dalam restoran.
“Kenapa kita ke restoran?” tanya Clarissa. Mereka sudah makan siang dan jam makan malam masih lama.
“Kita ada janji bertemu orang lain,” jawab Hanum.
Clarissa menduga orang lain yang dimaksud adalah anggota keluarga Lesmana. Awalnya ia berpikir akan dibawa ke rumah keluarga Lesmana. Ternyata dia dibawa ke vila yang hanya dihuni dirinya dan pelayan.
Padahal dia ini cucu asli bukan cucu yang tertukar atau semacamnya.
Saat Clarissa sibuk dengan pemikirannya, pintu ruang VIP terbuka. Seorang wanita yang umurnya tidak jauh beda dengan Hanum masuk sambil mendorong kursi roda.
Di atas kursi roda ada lelaki tampan menggunakan setelan jas hitam rapi. Walau duduk di kursi roda, tubuh bagian atasnya terlihat kokoh.
Hanum dan Fitri menyambut kedua orang itu dengan sapaan hangat. Clarissa hanya tersenyum, belum tau harus bersikap apa. Mungkin mereka berdua adalah keluarganya juga.
Wanita dan lelaki di kursi roda duduk di hadapan Clarissa. Setelah semua kembali ke bangku masing-masing, Hanum berkata, “Kenalkan, dia adalah anak dari Hendi, Clarissa Lesmana.”
Wanita yang ada di hadapan Clarissa tersenyum formal. “Halo, Clarissa. Saya Bella Hutama, ibu dari Bryan. Bryan Adam, tunanganmu.” Wanita itu menepuk lengan lelaki di sampingnya.
Clarissa langsung paham. Semua jelas. Niat keluarga Lesmana memintanya kembali tanpa memanggil kakak-kakaknya.
Hanum menyenggol tangan Clarissa di bawah meja. Tapi gadis muda itu bergeming di tempatnya.
“Dia memang sedikit pemalu.” Hanum berucap sambil tertawa pelan.
Ekspresi Clarissa tidak berubah. Ia menatap lekat wajah tampan lelaki di hadapannya. Lelaki itu duduk di kursi rodanya dengan... percaya diri. Ia tak bicara tapi dari sorot matanya Clarissa tahu lelaki ini tidak masalah dengan akhir pertemuan ini, baik atau buruk.
Clarissa tiba-tiba bangkit dari duduknya. Membuat Hanum dan Fitri panik.
“Saya permisi mau ke toilet.”
Ia melangkah pergi membawa tas kecilnya. Hanum mengamati punggung Clarissa hingga pintu tertutup. Ia berusaha mengobrol santai dengan Bella.
Sepuluh menit berlalu, Hanum bangkit dari duduknya. Permisi untuk ke toilet. Jelas dia ingin memastikan keponakannya tidak kabur. Walau mereka punya supir dan bodyguard di depan, ia masih merasa tidak tenang.
Hanum melangkah cepat ke toilet. Ia mendapati Clarissa tengah memperbaiki make-upnya di depan sink.
“Kenapa kamu lama sekali?!” kesal Hanum. “Cepat kembali ke ruangan!”
“Kenapa saya harus mengikuti perintah anda?” Clarissa menatap Hanum sambil tersenyum licik.
Wajah Hanum memerah marah. “Apa kamu bilang?!”
“Memangnya bibi ada hak menyuruh saya ini-itu?” Tangan Clarissa menyilang di depan dada, dengan dagunya yang terangkat.
“K-kamu...” Hanum kehilangan kata-kata. Ia tak menyangka Clarissa yang sejak kemarin tak bicara banyak kini menunjukkan taringnya. Gadis yang ia anggap polos dan mudah dibodohi ini ternyata ular.
Hanum menegakkan bahunya. Ia hanya terkejut tapi menghadapi yang semacam ini tidak sulit. “Memangnya kamu tidak mau hidup enak? Tidak perlu kerja tapi kamu bisa dapat baju mahal, tas mahal, mobil dan rumah pun bisa kamu dapatkan.”
“Hanya itu? Aku tidak buta. Aku bisa lihat keadaan tunanganku.” Clarissa menekan kata ‘tunangan’. “Baju, tas, mobil dan rumah bisa aku dapatkan dari keluarganya. Apa yang bisa keluarga Lesmana berikan padaku?”
...
Interior vila tampak sederhana tapi elegan. Mereka masuk melewati lantai marmer putih. Tampak tirai linen melambai diterpa angin dari luar jendela besar di sisi kanan.Ruang tengah berisi sofa berwarna nude dengan kesan modern. Tapi di salah satu sudut, ada meja kopi bundar dari kayu jati dengan cat yang mengkilat. Di sampingnya ada buku-buku usang di rak perpustakaan kecil.Clarissa mendorong kursi roda Bryan ke pintu di sisi kiri. Memasuki pintu itu, ada tempat tidur besar dengan dipan dari kayu jati yang vintage, kontras dengan spring bed warna putih yang simpel dan modern.Bryan merasa vila ini mengikuti selera seseorang, tidak mengikuti template vila pada umumnya.Clarissa menyimpan barang mereka di kamar. Hanya satu tas jinjing ringan yang berisi dua set piyama dan dua set baju untuk pulang. Mereka sudah akan pulang besok.“Kalau kamu mau lihat situasi pantai, kita bisa ke kedai Mba Lina. Tapi kalau mau lihat kebun di belakang vila juga bisa,” tawar Clarissa.Bryan berpikir sebe
“Pak Andre sudah mengurus wanita tadi,” ungkap Bryan saat mereka ada di kapal menuju ke pulau.Kapal kecil ini disewa khusus oleh Clarissa. Hanya ada mereka berdua dan si pemilik di atas kapal.“Apa tujuannya?” tanya Clarissa dengan ekspresi tenang. Dia sudah tahu, tapi dia yakin alasan sebenarnya tidak akan terungkap.“Dia disuruh salah satu anak buah Rudi, preman yang kemarin kita temui di pantai. Balas dendam,” jawab Bryan.Clarissa mengangguk singkat. Sudah dia duga polisi tidak akan sampai ke dalang sebenarnya. Tapi dia tidak begitu peduli, toh dia bisa mengurusnya sendiri.Clarissa lebih penasaran dengan hal lain. “Apa Keluarga Adam tahu kamu sudah diserang?”Bryan menggeleng. “Lebih baik kita gak beri tahu. Supaya mereka gak perlu cemas. Aku gak kenapa-napa.”Sekilas Clarissa tampak mengerutkan dahi tapi dia langsung bersikap biasa, mengangguk kecil. “Baiklah.”Clarissa berpikir bodyguard yang melindungi mereka adalah orang-orang dari Keluarga Adam yang ditugaskan bekerja di ba
Saat kewaspadaan Clarissa menurun, gunting tajam mengarah ke wajahnya. Bryan secara refleks memajukan badan, mengulurkan tangan, merebut gunting itu.Bryan berhasil meraih gunting dari wanita pengepang. Sementara Clarissa memukul tangan si wanita sampai wanita itu terjatuh di pasir kesakitan.Tiga orang pria berpakaian santai bak pengunjung biasa tiba-tiba muncul menahan wanita itu. Satu orang pria berhasil menahan si wanita, dua pria lainnya mundur tanpa kata, kembali melakukan rutinitas mereka seolah tidak terjadi apa-apa.Clarissa mengenal salah satu pria yang baru saja pergi. Dia adalah anggota kakaknya. Walau tak tahu namanya, dia mengenal wajah tidak asing si pria. Dia di sini pasti untuk melindunginya. Sementara dua pria lain termasuk pria yang berhasil menahan si wanita tampak asing.Tapi melihat kemunculan mereka yang cepat dan tiba-tiba, dia yakin mereka bukan orang lewat biasa. ‘Apa mungkin selain karena Pak Andre, mereka alasan Bryan bersikap tenang kemarin? Dia sudah meny
“Oh iya, ini!” Clarissa membuka telapak tangannya di depan Bryan, menunjukkan batu bermacam motif yang mengkilat.“Cantik, kan?” tanya Clarissa dengan nada pamer.Bryan tertawa kecil. “Cantik seperti orangnya.”Clarissa tak menyangka Bryan akan tiba-tiba berucap seperti itu. Dia ingin menyentuh pipinya karena salah tingkah tapi baru sadar kalau tangan kanannya masih digenggam oleh Bryan, alhasil jari Bryan menyentuh pipi lembut Clarissa. Membuat si gadis makin salah tingkah.Bryan menahan senyum. Apalagi saat Clarissa hendak melepas genggaman tangan mereka. Bryan justru makin mengeratkan pegangannya.“Ayo kita lanjut lihat-lihat lagi,” ajak Bryan santai. Clarissa hanya bisa mengangguk.Mereka kembali berjalan di pinggir patai tapi kali ini pikiran Clarissa tidak bisa fokus menatap keindahan pasir dan laut. Pikirannya terlalu fokus pada genggaman mereka.Bryan tersenyum lebar selama mereka berjalan-jalan. Dia mengomentari banyak hal yang dibalas Clarissa dengan deheman. Bryan tidak mar
Clarissa dan Bryan kompak menoleh pada tiga orang pria yang berjalan ke arah mereka. Pria yang berjalan paling depan berbadan pendek dengan mulut yang berbentuk kerucut. Dia yang bicara tadi.Di samping pria itu ada lelaki berbadan kurus dan tidak terlalu tinggi dengan bekas luka di wajahnya. Dia menatap tajam ke arah Bryan. Lelaki terakhir berjalan paling belakang, bertubuh besar dengan perut yang menonjol keluar.Clarissa refleks berdiri di depan Bryan, melindungi suaminya. Lelaki yang memiliki bekas luka tersenyum sinis.Sementara lelaki pendek menghina Bryan, “Gadis muda sepertimu melindungi laki-laki. Lebih baik kamu ikut dengan kami. Kakak di sini punya banyak uang, bisa menjajanimu.”“Tutup mulutmu! Aku gak mau dengar polusi suara,” bentak Clarissa dengan nada mengejek.“Apa kamu mau kita pakai kekerasan baru kamu ikut?” ancam si pria pendek.Clarissa mendengus. “Maju kalian.”Clarissa tidak takut. Dia pernah mengalahkan sekelompok bodyguard di Kota C. Mudah baginya memberi pel
“Iya! Gadis yang kusukai itu bahkan datang ke acara pertunangan kita. Clarissa, dia melihat kita bertunangan!”“Clarissa?! Apa maksud kakak?” Sekar melangkah maju. Kini dia hanya dipisahkan meja dengan Calvin.Lelaki tampan itu tertawa bak orang kesetanan. “Sekarang aku udah gak bisa bersaing lagi dengan Kak Bryan. Aku udah gak bisa dapetin Clarissa. Aku bahkan udah...”Calvin tidak melanjutkan ucapannya. Hatinya tiba-tiba sakit. Dia bangkit dari duduknya. Melewati Sekar tanpa melirik sedikit pun lalu keluar dari ruangan.Air mata Sekar mengalir sempurna. Dia langsung menelpon Hanum.“Mama di mana?” tanyanya sambil terisak.“Astaga Sekar sayangku, kamu menangis? Kamu kenapa?”“Aku bakal cerita kalau kita ketemu. Mama di mana?”“Aku ada di rumah kakek-nenekmu. Kamu mau dijemput?”“Enggak usah. Aku ke situ sekarang.”Sekar keluar dari kantor dengan mata merah dan wajah yang meninggalkan bekas air mata. Calvin sudah menghilang entah ke mana, bahkan asistennya juga tidak tahu.Di perjalan