Hanum menatap lekat wajah cantik keponakannya. Giginya bergemeletuk.
“Apa yang kamu mau?”
“Apa yang bisa Keluarga Lesmana berikan padaku?”
Clarissa tahu cara negosiasi yang baik. Jangan pernah menyebutkan hargamu lebih dulu kalau tidak mau rugi.
“Seratus juta.”
Clarissa tertawa remeh. “Uang, baju, mobil bahkan rumah bisa aku dapatkan dari keluarga itu. Walau keadaannya seperti itu, dia masih anak orang kaya yang dapat uang saku dari keluarganya.”
Hanum tak tahu gadis yang hanya lulusan SMA ini akan sulit dia hadapi. “Lalu apa yang kau mau?”
“Apa yah...” Clarissa tampak berpikir tapi Hanum tahu gadis itu punya jawabannya. “Saham.”
Plak!
Hanum memukul dinding di sampingnya. Clarissa benar-benar tidak tahu diri.
“Jangan macam-macam kau! Mana pantas anak jalanan sepertimu memiliki saham di perusahaan Lesmana.”
“Bukannya ayahku anak keluarga Lesmana juga? Masa iya dia tidak punya saham? Cukup berikan hak ayahku padaku.”
“TIDAK!” Hanum berteriak dalam hati. Tidak akan ia biarkan saham yang sudah jadi miliknya diberikan kepada orang lain, orang yang bahkan tidak berpendidikan seperti ini.
Tapi Hanum tahu dia tidak bisa langsung menolak permintaan Clarissa. Gadis ini terlalu liar dan tidak bisa dimanipulasi. Kalau dia tidak membuat kesepakatan yang jelas, Clarissa bisa saja kabur dan...
Hanum tidak ingin membayangkannya.
“Kamu kembali dulu ke dalam ruangan. Mengenai permintaanmu, akan keluarga kami diskusikan.”
‘Keluarga kami’ Clarissa tersenyum sinis. Mereka memang tidak menganggapnya sebagai bagian dari keluarga Lesmana.
“Baiklah. Tapi aku tidak mau menunggu lama. Keputusannya harus sudah ada besok pagi jam 9.”
Clarissa berjalan anggun melewati Hanum, keluar dari toilet. Hanum hanya bisa mengepalkan tangan erat, gadis licik itu membalikkan ucapannya.
...
Selama pertemuan antar dua keluarga, Clarissa bersikap sopan dan lembut. Sisi licik yang ia perlihatkan pada Hanum menghilang sudah.
“Clarissa, kamu tidak perlu pusing memikirkan gaun dan acara untuk resepsi. Biar keluarga yang mengurus semuanya. Yang paling penting sekarang menjaga tubuhmu tetap bugar...” Bella tersenyum pada Clarissa. “agar pernikahan minggu depan berjalan lancar.”
Fitri meremas tangannya, gugup, sesekali melirik ke arah Clarissa, menelitik ekspresi cucunya. Tapi Clarissa tampak santai. Ia mengangguk tanpa rasa kaget.
Bella dan Bryan meninggalkan ruang VIP. Selama pertemuan ini, Bryan tidak pernah bicara sepatah kata pun. Orang yang tidak mengenalnya mungkin mengira selain lumpuh dia juga bisu.
“Clarissa, Bryan adalah anak yang baik. Dia hanya tidak beruntung dalam kecelakaan. Pernikahanmu dengan dia akan membawa kebahagian untuk kalian berdua,” ucap Fitri, menghadapi Clarissa seperti gadis polos yang baik.
Sebelum Hanum sempat memberi tahu ibunya tentang sifat licik Clarissa, Clarissa lebih dulu mengajukan pertanyaan. “Dia tidak lumpuh dari lahir?”
“Tidak. Dua tahun lalu dia terlibat kecelakaan besar. Kakinya mati rasa hingga akhirnya tidak dapat berjalan. Keluarga Adam adalah keluarga terhormat, sampai sekarang mereka masih mencari cara untuk mengobati kaki Bryan.” Fitri menjelaskan dengan antusias. Berpikir Clarissa tertarik pada pernikahan ini.
“Oh. Aku pikir kakinya sudah diamputasi,” respon Clarissa santai. Fitri tertawa kikuk.
Hanum mendengus. “Begini kalau tidak sekolah. Bicaranya tidak bisa dijaga.”
Clarissa tak merespon. Selama perjalanan keadaan mobil hening. Hanya ada kecanggungan dan bunyi dari ponsel masing-masing.
Sesampainya di vila, Clarissa menoleh pada dua wanita lain. “Kapan aku bisa bertemu keluargaku yang lain?”
Fitri terkejut, tak bisa menjawab.
“Minggu depan, di hari pernikahanmu,” jawab Hanum.
“Masuk akal,” gumam Clarissa lalu beranjak ke lantai dua. Mereka saja mengakuinya sebagai cucu untuk dinikahkan pada si Lumpuh keluarga Adam. Untuk apa saling mengenal lebih lanjut.
Melihat Clarissa menghilang dari balik tangga, Fitri menatap Hanum. “Apa yang terjadi padanya? Kenapa sikapnya sangat tenang?”
Fitri sadar sikap Clarissa terlalu aneh. Dia tidak terkejut tiba-tiba mendapat tunangan dan akan segera menikah dalam satu minggu.
Hanum menghembuskan napas lalu menjelaskan tentang ucapan Clarissa di toilet. Fitri menggeram marah.
“Bahkan darah sekalipun tidak bisa menghilangkan pengaruh liar dari tempat yang membesarkannya.”
“Bukan hanya dibesarkan oleh wanita liar itu, darahnya juga mengalir di tubuh Clarissa. Tidak salah mereka sejenis,” timpal Hanum. Fitri mengangguk.
“Tapi bu, Clarissa harus menikah dengan Bryan. Jangan sampai...”
“Aku paham. Kita bicarakan ini dengan ayah dan kakakmu.”
...
Clarissa beranjak dari tempat tidur. Ranjang yang empuk membuat tidurnya menjadi lebih nyaman. Ia mandi dan berganti pakaian lalu turun ke lantai satu untuk sarapan.
Jam menunjukkan pukul 08.55 saat Clarissa selesai makan. Ia menuju ke ruang nonton, hendak mencari film yang bagus.
Tapi Hanum tiba-tiba muncul bersama seorang lelaki tua berkaca mata dan bersetelan jas rapi.
“Dia Pak Handoko, pengacara keluarga Lesmana. Dia yang akan menjadi saksi kesepakatan kita.”
...
Interior vila tampak sederhana tapi elegan. Mereka masuk melewati lantai marmer putih. Tampak tirai linen melambai diterpa angin dari luar jendela besar di sisi kanan.Ruang tengah berisi sofa berwarna nude dengan kesan modern. Tapi di salah satu sudut, ada meja kopi bundar dari kayu jati dengan cat yang mengkilat. Di sampingnya ada buku-buku usang di rak perpustakaan kecil.Clarissa mendorong kursi roda Bryan ke pintu di sisi kiri. Memasuki pintu itu, ada tempat tidur besar dengan dipan dari kayu jati yang vintage, kontras dengan spring bed warna putih yang simpel dan modern.Bryan merasa vila ini mengikuti selera seseorang, tidak mengikuti template vila pada umumnya.Clarissa menyimpan barang mereka di kamar. Hanya satu tas jinjing ringan yang berisi dua set piyama dan dua set baju untuk pulang. Mereka sudah akan pulang besok.“Kalau kamu mau lihat situasi pantai, kita bisa ke kedai Mba Lina. Tapi kalau mau lihat kebun di belakang vila juga bisa,” tawar Clarissa.Bryan berpikir sebe
“Pak Andre sudah mengurus wanita tadi,” ungkap Bryan saat mereka ada di kapal menuju ke pulau.Kapal kecil ini disewa khusus oleh Clarissa. Hanya ada mereka berdua dan si pemilik di atas kapal.“Apa tujuannya?” tanya Clarissa dengan ekspresi tenang. Dia sudah tahu, tapi dia yakin alasan sebenarnya tidak akan terungkap.“Dia disuruh salah satu anak buah Rudi, preman yang kemarin kita temui di pantai. Balas dendam,” jawab Bryan.Clarissa mengangguk singkat. Sudah dia duga polisi tidak akan sampai ke dalang sebenarnya. Tapi dia tidak begitu peduli, toh dia bisa mengurusnya sendiri.Clarissa lebih penasaran dengan hal lain. “Apa Keluarga Adam tahu kamu sudah diserang?”Bryan menggeleng. “Lebih baik kita gak beri tahu. Supaya mereka gak perlu cemas. Aku gak kenapa-napa.”Sekilas Clarissa tampak mengerutkan dahi tapi dia langsung bersikap biasa, mengangguk kecil. “Baiklah.”Clarissa berpikir bodyguard yang melindungi mereka adalah orang-orang dari Keluarga Adam yang ditugaskan bekerja di ba
Saat kewaspadaan Clarissa menurun, gunting tajam mengarah ke wajahnya. Bryan secara refleks memajukan badan, mengulurkan tangan, merebut gunting itu.Bryan berhasil meraih gunting dari wanita pengepang. Sementara Clarissa memukul tangan si wanita sampai wanita itu terjatuh di pasir kesakitan.Tiga orang pria berpakaian santai bak pengunjung biasa tiba-tiba muncul menahan wanita itu. Satu orang pria berhasil menahan si wanita, dua pria lainnya mundur tanpa kata, kembali melakukan rutinitas mereka seolah tidak terjadi apa-apa.Clarissa mengenal salah satu pria yang baru saja pergi. Dia adalah anggota kakaknya. Walau tak tahu namanya, dia mengenal wajah tidak asing si pria. Dia di sini pasti untuk melindunginya. Sementara dua pria lain termasuk pria yang berhasil menahan si wanita tampak asing.Tapi melihat kemunculan mereka yang cepat dan tiba-tiba, dia yakin mereka bukan orang lewat biasa. ‘Apa mungkin selain karena Pak Andre, mereka alasan Bryan bersikap tenang kemarin? Dia sudah meny
“Oh iya, ini!” Clarissa membuka telapak tangannya di depan Bryan, menunjukkan batu bermacam motif yang mengkilat.“Cantik, kan?” tanya Clarissa dengan nada pamer.Bryan tertawa kecil. “Cantik seperti orangnya.”Clarissa tak menyangka Bryan akan tiba-tiba berucap seperti itu. Dia ingin menyentuh pipinya karena salah tingkah tapi baru sadar kalau tangan kanannya masih digenggam oleh Bryan, alhasil jari Bryan menyentuh pipi lembut Clarissa. Membuat si gadis makin salah tingkah.Bryan menahan senyum. Apalagi saat Clarissa hendak melepas genggaman tangan mereka. Bryan justru makin mengeratkan pegangannya.“Ayo kita lanjut lihat-lihat lagi,” ajak Bryan santai. Clarissa hanya bisa mengangguk.Mereka kembali berjalan di pinggir patai tapi kali ini pikiran Clarissa tidak bisa fokus menatap keindahan pasir dan laut. Pikirannya terlalu fokus pada genggaman mereka.Bryan tersenyum lebar selama mereka berjalan-jalan. Dia mengomentari banyak hal yang dibalas Clarissa dengan deheman. Bryan tidak mar
Clarissa dan Bryan kompak menoleh pada tiga orang pria yang berjalan ke arah mereka. Pria yang berjalan paling depan berbadan pendek dengan mulut yang berbentuk kerucut. Dia yang bicara tadi.Di samping pria itu ada lelaki berbadan kurus dan tidak terlalu tinggi dengan bekas luka di wajahnya. Dia menatap tajam ke arah Bryan. Lelaki terakhir berjalan paling belakang, bertubuh besar dengan perut yang menonjol keluar.Clarissa refleks berdiri di depan Bryan, melindungi suaminya. Lelaki yang memiliki bekas luka tersenyum sinis.Sementara lelaki pendek menghina Bryan, “Gadis muda sepertimu melindungi laki-laki. Lebih baik kamu ikut dengan kami. Kakak di sini punya banyak uang, bisa menjajanimu.”“Tutup mulutmu! Aku gak mau dengar polusi suara,” bentak Clarissa dengan nada mengejek.“Apa kamu mau kita pakai kekerasan baru kamu ikut?” ancam si pria pendek.Clarissa mendengus. “Maju kalian.”Clarissa tidak takut. Dia pernah mengalahkan sekelompok bodyguard di Kota C. Mudah baginya memberi pel
“Iya! Gadis yang kusukai itu bahkan datang ke acara pertunangan kita. Clarissa, dia melihat kita bertunangan!”“Clarissa?! Apa maksud kakak?” Sekar melangkah maju. Kini dia hanya dipisahkan meja dengan Calvin.Lelaki tampan itu tertawa bak orang kesetanan. “Sekarang aku udah gak bisa bersaing lagi dengan Kak Bryan. Aku udah gak bisa dapetin Clarissa. Aku bahkan udah...”Calvin tidak melanjutkan ucapannya. Hatinya tiba-tiba sakit. Dia bangkit dari duduknya. Melewati Sekar tanpa melirik sedikit pun lalu keluar dari ruangan.Air mata Sekar mengalir sempurna. Dia langsung menelpon Hanum.“Mama di mana?” tanyanya sambil terisak.“Astaga Sekar sayangku, kamu menangis? Kamu kenapa?”“Aku bakal cerita kalau kita ketemu. Mama di mana?”“Aku ada di rumah kakek-nenekmu. Kamu mau dijemput?”“Enggak usah. Aku ke situ sekarang.”Sekar keluar dari kantor dengan mata merah dan wajah yang meninggalkan bekas air mata. Calvin sudah menghilang entah ke mana, bahkan asistennya juga tidak tahu.Di perjalan