Hari ketujuh kedatangan Clarissa ke Kota A menjadi hari resepsi pernikahannya. Pagi-pagi sekali ia dibawa ke hotel. Tim make-up sudah menunggu disana. Ia didandani secantik mungkin dan disesuaikan dengan gaunnya.
Selesai make-up, Clarissa langsung dituntun ke ruang tunggu pengantin. Tidak ada yang masuk selain Hanum, Fitri dan Bella yang datang hanya untuk mengecek.
Bosan menunggu sendirian, Clarissa mengecek ponselnya. Ada banyak panggilan tak terjawab dari kontak ‘Kak Rion’. Ia menelpon kembali.
Telpon diangkat. Suara keras dari orang di seberang terdengar. “Clarissa Lesmana, kamu mau nikah?!”
“Iya. Hari ini,” jawab Clarissa santai.
“Kamu gila yah?!”
“Memangnya anggota keluarga kita ada yang normal?”
“Benar juga. Tapi masa kamu gak ngundang siapapun. Kamu ada niatan nikah lagi?”
Clarissa hampir saja menepuk jidatnya kalau dia tidak ingat wajahnya tengah full make-up.
“Kak, cara orang buat kaya itu beda-beda. Dan aku milih nikah sebagai caraku buat kaya.”
“Dasar aneh. Padahal ada banyak cara buat kaya.”
“Kapan lagi bisa kaya dengan cara yang seru.”
“Kamu tidak sedang memikirkan rencana aneh kan. Keluarga Lesmana, kamu gak berniat menghan—“
Ucapan Rion terpotong oleh kedatangan Hanum. “Kamu telepon siapa?! Ayo cepat keluar, sudah waktunya pengantin wanita muncul.”
Clarissa mematikan sambungan telpon tanpa pamit. Ia berjalan keluar dituntun staf wedding organizer.
Clarissa berdiri di depan pintu ganda besar. Seorang pria paruh baya menghampirinya.
“Dia pamanmu, Hardian Lesmana, kakak dari ayahmu. Dia yang akan menemanimu jalan menuju altar.” Hanum menjelaskan.
Pria paruh baya itu sedikit terkejut melihat Clarissa. Sejak kecil orang-orang sering mengira dirinya dan Hendi kembar, saking miripnya dua saudara itu. Melihat Clarissa, ia seperti melihat putrinya sendiri.
Tapi tatapan terkejutnya berubah menjadi dingin. Semirip apapun mereka, gadis ini dibesarkan oleh wanita liar yang membuatnya tumbuh menjadi gadis licik. Sampai mengancam bibinya sendiri untuk mendapatkan saham.
Pintu terbuka. Clarissa memegang lengan Hardian sambil berjalan menyusuri lorong.
Sosok cantik Clarissa mengenakan gaun pengantin putih tertutup dan sopan memberikan kesan anggun dan berkelas. Semua orang terpana melihat kecantikannya. Tapi tatapan itu berubah cepat menjadi ekspresi lain. Ada yang mencemooh, meremehkan, iri sampai kasihan.
Di ujung lorong, Bryan menunggu Clarissa dengan kursi rodanya. Ia mengenakan tuxedo hitam. Rambutnya di tata rapi dan wajahnya dicukur bersih. Auranya begitu kuat walau ia tidak bisa berdiri.
Clarissa tersenyum di balik tudung pengantinnya. Lelaki itu memang tampan.
Bryan dan Clarissa berhadap-hadapan di atas altar walau Clarissa harus menunduk untuk menatap Bryan.
Proses pernikahan mereka berlangsung cepat. Pemasangan cincin, pengucapan janji nikah hingga pengungkapan kasih sayang dengan cara mencium kening dilakukan dengan khidmat.
Tatapan Bryan tak lepas dari wanita yang baru saja resmi menjadi istrinya. Ia tak bisa membaca pikiran Clarissa tapi juga tak melihat ada niat jahat dari matanya.
Setelah pernikahan, dilanjutkan dengan foto keluarga.
“Keluarga Lesmana silahkan mengambil tempat di samping pengantin,” ucap staf WO.
Hanum, Hardian, Fitri, seorang pria tua dan lelaki muda mengambil posisi.
“Halo, Clarissa. Aku kakak sepupumu, Yuda, anak dari Nyonya Hanum.” Lelaki muda yang tampak ceria memperkenalkan dirinya sambil mengerling ke arah Hanum.
“Kakek, kenapa kakek tidak menghampiri cucuk kakek?” Yuda berdiri di samping pria tua yang tidak dikenali Clarissa.
Clarissa mengangguk singkat pada Yuda dan kakeknya. Tapi Harun Lesmana tak melirik cucu perempuannya sama sekali.
“Ekhm! Ayo foto.” Yuda berdehem mencoba menghilangkan suasana yang kikuk.
Setelah berfoto dengan keluarga Lesmana, giliran keluarga Adam. Selain Bella yang sudah Clarissa kenal, ada satu pria tua dan satu pria paruh baya lain.
Bella memperkenalkan mereka sebagai kakek dari Bryan, Chairman Group dari Adam Group, William Adam dan ayah Bryan, President Group dari Adam Group, Giovan Adam.
William mengangguk singkat pada Clarissa sebelum berdiri di samping Bryan. Ia menepuk pundak Bryan penuh kasih sayang.
Sementara Giovan menghampiri Clarissa, menggenggam tangan menantunya dan berucap dengan suara yang tercekat. “Jalani pernikahanmu dengan Bryan dengan baik. Hidup bahagialah bersama.”
Bella menarik suaminya, melihat mata pria itu berkaca-kaca. “Jangan berlebihan.”
Sesi foto berlangsung singkat. Selain keluarga tidak ada kelompok lain yang diizinkan berfoto.
Clarissa melihat tak banyak orang yang datang. Ia menduga pernikahan ini dilaksanakan secara tertutup. Hanya orang-orang terdekat saja yang diundang.
Setelah sesi foto, tamu mulai menghampiri pengantin, memberikan kata-kata selamat dan semangat. Orang-orang hanya bersikap hangat pada Bryan, sementara pada Clarissa, salam tanpa mengatakan apapun, beberapa bahkan hanya mengangguk. Seolah hari ini bukan acara pernikahannya tapi acara peresmian pengasuh untuk Bryan.
Tak ada resepsi setelah ini. Semua langsung pulang, tak terkecuali Bryan dan Clarissa yang pulang bersama.
Hanum menghampiri Clarissa sebelum masuk ke dalam mobil. “Barang-barangmu akan dikirim besok ke rumah keluarga Adam.”
“Aku sudah menghubungi pelayan di vila. Biar mereka yang urus,” balas Clarissa.
Hanum berdecak, baru tinggal satu minggu di vila, dia sudah berlagak seperti nyonya, menyuruh-nyuruh pelayan.
...
Interior vila tampak sederhana tapi elegan. Mereka masuk melewati lantai marmer putih. Tampak tirai linen melambai diterpa angin dari luar jendela besar di sisi kanan.Ruang tengah berisi sofa berwarna nude dengan kesan modern. Tapi di salah satu sudut, ada meja kopi bundar dari kayu jati dengan cat yang mengkilat. Di sampingnya ada buku-buku usang di rak perpustakaan kecil.Clarissa mendorong kursi roda Bryan ke pintu di sisi kiri. Memasuki pintu itu, ada tempat tidur besar dengan dipan dari kayu jati yang vintage, kontras dengan spring bed warna putih yang simpel dan modern.Bryan merasa vila ini mengikuti selera seseorang, tidak mengikuti template vila pada umumnya.Clarissa menyimpan barang mereka di kamar. Hanya satu tas jinjing ringan yang berisi dua set piyama dan dua set baju untuk pulang. Mereka sudah akan pulang besok.“Kalau kamu mau lihat situasi pantai, kita bisa ke kedai Mba Lina. Tapi kalau mau lihat kebun di belakang vila juga bisa,” tawar Clarissa.Bryan berpikir sebe
“Pak Andre sudah mengurus wanita tadi,” ungkap Bryan saat mereka ada di kapal menuju ke pulau.Kapal kecil ini disewa khusus oleh Clarissa. Hanya ada mereka berdua dan si pemilik di atas kapal.“Apa tujuannya?” tanya Clarissa dengan ekspresi tenang. Dia sudah tahu, tapi dia yakin alasan sebenarnya tidak akan terungkap.“Dia disuruh salah satu anak buah Rudi, preman yang kemarin kita temui di pantai. Balas dendam,” jawab Bryan.Clarissa mengangguk singkat. Sudah dia duga polisi tidak akan sampai ke dalang sebenarnya. Tapi dia tidak begitu peduli, toh dia bisa mengurusnya sendiri.Clarissa lebih penasaran dengan hal lain. “Apa Keluarga Adam tahu kamu sudah diserang?”Bryan menggeleng. “Lebih baik kita gak beri tahu. Supaya mereka gak perlu cemas. Aku gak kenapa-napa.”Sekilas Clarissa tampak mengerutkan dahi tapi dia langsung bersikap biasa, mengangguk kecil. “Baiklah.”Clarissa berpikir bodyguard yang melindungi mereka adalah orang-orang dari Keluarga Adam yang ditugaskan bekerja di ba
Saat kewaspadaan Clarissa menurun, gunting tajam mengarah ke wajahnya. Bryan secara refleks memajukan badan, mengulurkan tangan, merebut gunting itu.Bryan berhasil meraih gunting dari wanita pengepang. Sementara Clarissa memukul tangan si wanita sampai wanita itu terjatuh di pasir kesakitan.Tiga orang pria berpakaian santai bak pengunjung biasa tiba-tiba muncul menahan wanita itu. Satu orang pria berhasil menahan si wanita, dua pria lainnya mundur tanpa kata, kembali melakukan rutinitas mereka seolah tidak terjadi apa-apa.Clarissa mengenal salah satu pria yang baru saja pergi. Dia adalah anggota kakaknya. Walau tak tahu namanya, dia mengenal wajah tidak asing si pria. Dia di sini pasti untuk melindunginya. Sementara dua pria lain termasuk pria yang berhasil menahan si wanita tampak asing.Tapi melihat kemunculan mereka yang cepat dan tiba-tiba, dia yakin mereka bukan orang lewat biasa. ‘Apa mungkin selain karena Pak Andre, mereka alasan Bryan bersikap tenang kemarin? Dia sudah meny
“Oh iya, ini!” Clarissa membuka telapak tangannya di depan Bryan, menunjukkan batu bermacam motif yang mengkilat.“Cantik, kan?” tanya Clarissa dengan nada pamer.Bryan tertawa kecil. “Cantik seperti orangnya.”Clarissa tak menyangka Bryan akan tiba-tiba berucap seperti itu. Dia ingin menyentuh pipinya karena salah tingkah tapi baru sadar kalau tangan kanannya masih digenggam oleh Bryan, alhasil jari Bryan menyentuh pipi lembut Clarissa. Membuat si gadis makin salah tingkah.Bryan menahan senyum. Apalagi saat Clarissa hendak melepas genggaman tangan mereka. Bryan justru makin mengeratkan pegangannya.“Ayo kita lanjut lihat-lihat lagi,” ajak Bryan santai. Clarissa hanya bisa mengangguk.Mereka kembali berjalan di pinggir patai tapi kali ini pikiran Clarissa tidak bisa fokus menatap keindahan pasir dan laut. Pikirannya terlalu fokus pada genggaman mereka.Bryan tersenyum lebar selama mereka berjalan-jalan. Dia mengomentari banyak hal yang dibalas Clarissa dengan deheman. Bryan tidak mar
Clarissa dan Bryan kompak menoleh pada tiga orang pria yang berjalan ke arah mereka. Pria yang berjalan paling depan berbadan pendek dengan mulut yang berbentuk kerucut. Dia yang bicara tadi.Di samping pria itu ada lelaki berbadan kurus dan tidak terlalu tinggi dengan bekas luka di wajahnya. Dia menatap tajam ke arah Bryan. Lelaki terakhir berjalan paling belakang, bertubuh besar dengan perut yang menonjol keluar.Clarissa refleks berdiri di depan Bryan, melindungi suaminya. Lelaki yang memiliki bekas luka tersenyum sinis.Sementara lelaki pendek menghina Bryan, “Gadis muda sepertimu melindungi laki-laki. Lebih baik kamu ikut dengan kami. Kakak di sini punya banyak uang, bisa menjajanimu.”“Tutup mulutmu! Aku gak mau dengar polusi suara,” bentak Clarissa dengan nada mengejek.“Apa kamu mau kita pakai kekerasan baru kamu ikut?” ancam si pria pendek.Clarissa mendengus. “Maju kalian.”Clarissa tidak takut. Dia pernah mengalahkan sekelompok bodyguard di Kota C. Mudah baginya memberi pel
“Iya! Gadis yang kusukai itu bahkan datang ke acara pertunangan kita. Clarissa, dia melihat kita bertunangan!”“Clarissa?! Apa maksud kakak?” Sekar melangkah maju. Kini dia hanya dipisahkan meja dengan Calvin.Lelaki tampan itu tertawa bak orang kesetanan. “Sekarang aku udah gak bisa bersaing lagi dengan Kak Bryan. Aku udah gak bisa dapetin Clarissa. Aku bahkan udah...”Calvin tidak melanjutkan ucapannya. Hatinya tiba-tiba sakit. Dia bangkit dari duduknya. Melewati Sekar tanpa melirik sedikit pun lalu keluar dari ruangan.Air mata Sekar mengalir sempurna. Dia langsung menelpon Hanum.“Mama di mana?” tanyanya sambil terisak.“Astaga Sekar sayangku, kamu menangis? Kamu kenapa?”“Aku bakal cerita kalau kita ketemu. Mama di mana?”“Aku ada di rumah kakek-nenekmu. Kamu mau dijemput?”“Enggak usah. Aku ke situ sekarang.”Sekar keluar dari kantor dengan mata merah dan wajah yang meninggalkan bekas air mata. Calvin sudah menghilang entah ke mana, bahkan asistennya juga tidak tahu.Di perjalan