"Siapa yang kau anggap pria liar, hmm?!" Mata elang Raynar menyipit, menatap Meida dengan tatapan tajam yang menusuk. Rahangnya mengeras, otot-ototnya menegang, menahan amarah yang bergejolak di dalam dirinya. Hinaan Meida terhadap Aruna, wanita yang kini berdiri di sampingnya, membuatnya murka.
Aruna, yang merasakan aura kemarahan Raynar, mencengkeram lengan pria itu dengan cemas. Ia takut, sangat takut, jika amarah Raynar akan meledak, menghancurkan ketenangan malam itu.
Meida, seolah tak gentar sedikit pun, menatap Raynar dengan tatapan tak kalah tajam. Ada campuran antara intimidasi dan penghinaan di matanya, merendahkan Raynar yang dianggapnya sebagai pria rendahan yang memelihara Aruna. 'Memang tampan,' batin Meida, matanya menelisik Raynar dari ujung kepala hingga ujung kaki, 'tapi sayang, hanya pria liar.'
"Kenapa melihatku seperti itu?" ketus Meida, suaranya sinis, memecah keheningan malam. "Memang pasangan yang serasi, sama-sama rendahan," gumamnya, bibirnya melengkung sinis.
"Rendahan?" Suara Raynar terdengar begitu dingin dan mendominasi, seperti hembusan angin beku yang menusuk tulang. Bulu kuduk Aruna meremang, merasakan aura berbahaya yang terpancar dari Raynar. Ia tahu, Raynar sedang menahan amarahnya, dan itu jauh lebih menakutkan daripada amarah yang meledak-ledak.
Raynar melangkah mendekati Meida, tatapannya mengunci wanita itu. "Kau tahu siapa aku?" tanyanya, suaranya rendah namun penuh ancaman.
"Kau..." Meida berusaha keras menetralkan detak jantungnya yang berdebar kencang, mengembalikan kepercayaan dirinya yang mulai goyah melihat tatapan mata Raynar yang begitu tajam, seolah siap menerkam. "Tentu saja aku tahu, kau hanya seorang pria bodoh yang mau menerima wanita rendahan yang tidak ada bedanya dengan benalu seperti dia," lanjut Meida, jarinya menunjuk Aruna dengan penuh penghinaan.
Raynar tersenyum sinis, senyum yang dingin dan tidak sampai ke matanya. "Benalu?" ulangnya, suaranya penuh dengan nada merendahkan, seperti mencibir. "Aruna adalah wanita terhormat, dan saya tidak akan membiarkan siapa pun menghinanya."
"Hei, jangan sok menjadi pahlawan di sini!" ucap Meida angkuh, matanya menyipit penuh kebencian. "Statusmu belum cukup kuat untuk membuat masalah denganku!" Seolah tak sudi melihat Aruna dibela, ia ingin merendahkan Raynar di hadapan gadis itu.
Raynar mengangguk pelan, senyum sinisnya semakin lebar. "Status, ya?" Secepat kilat, ekspresi santainya berubah menjadi tegang, matanya berkilat marah. "Seujung jari pun, kau tidak pantas dibandingkan dengan—"
"Stop!" potong Aruna cepat, suaranya panik. Terlambat sedikit saja, Raynar pasti sudah membongkar identitas aslinya. Ia tidak ingin Meida, yang mata duitan, memanfaatkan situasi ini. "Ini sudah malam, sayang. Sebaiknya kamu pulang dulu!" ucap Aruna, suaranya dibuat semanis mungkin. Ia terpaksa memulai sandiwara ini lebih cepat, menunjukkan kepada orang tuanya bahwa ia sudah memiliki pasangan, agar ibunya tidak lagi dimaki-maki Meida.
'Apa? Dia memanggilku apa?' Raynar membeku, telinganya seolah salah dengar. Panggilan 'sayang' itu membuatnya terkejut, amarahnya yang tadi membara perlahan mereda.
Aruna menarik pelan lengan jas mewah Raynar, melihat pria itu masih terpaku. "Pak... maaf, sepertinya saya harus memulai drama ini lebih awal!" bisiknya lirih, hanya Raynar yang bisa mendengarnya.
"Baiklah, cepat beristirahat. Besok pagi saya akan menjemputmu!" ucap Raynar, suaranya kembali datar. Ia berbalik, melangkah menuju mobil sport hitam yang terparkir di halaman rumah.
Aruna mengangguk, matanya mengikuti Raynar yang masuk ke dalam mobil, seperti pengikut setia yang mengagumi rajanya. Meida mengerutkan keningnya, menatap mobil mewah itu dengan curiga, seperti elang yang mengincar mangsanya. 'Mobil itu bernilai miliaran... tidak mungkin anak muda itu berasal dari keluarga sederhana,' batinnya, kecurigaan mulai tumbuh di benaknya, seperti benih yang siap tumbuh menjadi pohon.
Setelah siluet mobil Raynar benar-benar lenyap ditelan kegelapan malam, Aruna berbalik, senyum tipis terukir di bibirnya. Di sisa tenaga yang nyaris habis, ia menghampiri Dario dan Diandra yang menatapnya dengan tatapan bingung dan khawatir.
"Kalian tenang saja, Ma, Pa," ucap Aruna, suaranya lembut namun penuh ketegasan. "Dia Raynar, kekasih Aruna."
Dario dan Diandra saling bertukar pandang, rasa lega bercampur dengan tanda tanya. Kabar ini tentu saja melegakan, tapi... "Mama ikut senang mendengar kebahagiaan kamu, Aruna," ucap Diandra, suaranya bergetar halus. "Tapi... apa dia bersikap baik padamu?" Kekhawatiran seorang ibu terpancar jelas di matanya. Ia, yang merasa gagal memberikan kebahagiaan pada Aruna di rumah ini, berharap putrinya kelak menemukan pria yang benar-benar mencintainya, memperlakukannya dengan baik, dan membangun keluarga kecil yang bahagia.
Hati Aruna mencelos mendengar pertanyaan itu. Ia terdiam sejenak, bimbang mencari jawaban yang tepat. 'Aku harus menjawab apa?' batinnya, ragu.
"Aruna, kalau kamu tidak bahagia... tidak perlu memaksakan diri!" ucap Dario, suaranya tegas namun penuh kasih sayang. "Papa tidak ingin kamu memaksakan diri untuk cepat punya kekasih dan menikah hanya agar kami merasa tenang. Papa tidak akan mengizinkan!" Ia menatap Aruna dengan tatapan penuh pengertian. "Menikah itu seumur hidup, Aruna. Maka carilah pria yang benar-benar mengerti dan bisa membuatmu bahagia!"
Air mata Aruna menggenang, terharu mendengar ketulusan orang tuanya. Ia tersenyum lembut, berusaha meyakinkan mereka. "Ma, Pa, kalian tenang saja! Aruna sangat bahagia bersama Raynar. Dia sangat baik pada Aruna!" ucapnya, suaranya bergetar halus, seolah takut kebohongan itu terbongkar.
"Hentikan drama kalian, ini sudah malam!" Ucap Meida, kembali mengusik ketenangan Aruna, Diandra, dan Dario. "Jika pria tadi benar-benar kekasihmu, besok kamu bawa dia kemari dan perkenalkan kepada kami!" Lanjut Meida seraya melangkah masuk kedalam rumah, meninggalkan Aruna, Diandra, dan Dario.
***
"Huftttt," desis Aruna, lega. Setibanya di area lobi hotel yang mewah dan ramai, ia segera melarikan diri dari Raynar dengan alasan klise yang terdengar masuk akal: kamar mandi. Itu adalah satu-satunya tempat yang terlintas di benaknya untuk menenangkan diri dan memproses apa yang baru saja terjadi.Di dalam kamar mandi, ia berdiri di depan cermin, menatap wajahnya yang tampak memerah. "Sadar, Aruna," gumamnya lirih, mencaci dirinya sendiri. "Ini hanya sebatas hubungan kerja sama." Kata-kata itu ia ucapkan berulang kali, berharap bisa menenangkan debaran jantungnya yang masih belum normal. Ia membasuh wajahnya dengan air dingin, berharap rona di wajahnya segera mereda. Kecupan yang tak disengaja itu terasa seperti jejak panas yang tak bisa dihapus, membuatnya merasa malu dan canggung.Setelah yakin penampilannya telah kembali seperti biasa dan debaran jantungnya normal, Aruna memutuskan untuk keluar dari kamar mandi. Sudah cukup lama ia bersembunyi. Ia berharap Raynar sudah terlebih d
Cekrikkkk.Suara jepretan kamera, diikuti kilatan cahaya flash, memecah keheningan kantor catatan sipil. Aruna tersentak, jantungnya berdegup kencang. Di tangannya, tergenggam buku nikah berwarna merah, simbol pernikahan kontraknya dengan Raynar, sang atasan. Semua ini terasa seperti mimpi yang terlalu nyata, terlalu cepat, mengubah hidupnya dalam sekejap.Aruna dan Raynar berjalan berdampingan keluar dari gedung, buku nikah itu menjadi saksi bisu perubahan status mereka. Raynar tersenyum tipis, matanya melirik sekilas foto mereka di dalam buku itu. 'Ahhh... sepertinya aku sudah gila,' batinnya, suara hatinya berbisik di tengah kekacauan yang ia ciptakan sendiri.Berbeda dengan Raynar yang tampak tenang, Aruna dilanda badai emosi. Ia mencubit lengannya sendiri, berusaha meyakinkan diri bahwa ini bukan ilusi. "Shhhh," desisnya lirih, rasa sakit di lengannya membuktikan bahwa ini nyata."Ada apa denganmu?" tanya Raynar, suaranya memecah lamunan Aruna.Aruna menoleh, matanya menatap Rayn
Keesokan harinya, Aruna tiba di kantor jauh lebih awal dari biasanya. Ada tumpukan pekerjaan yang menanti, tapi pikirannya melayang pada satu hal: pertemuan dengan Raynar. 'Bagaimana cara menyampaikan permintaan ini nanti?' batinnya bergejolak, keraguan dan kecemasan menari-nari di benaknya.Saat jam kantor dimulai, Aruna sudah tenggelam dalam pekerjaannya, jemarinya lincah menari di atas keyboard laptop. Tak lama kemudian, Raynar muncul, diiringi asistennya, disambut sapaan serentak dari seluruh karyawan divisi."Pagi, Pak!" suara mereka menggema di ruangan luas itu.Raynar hanya mengangguk singkat, tatapannya dingin dan acuh tak acuh. Pemandangan ini sudah menjadi rutinitas, menyaksikan ketampanan dan aura dominan Raynar. Namun, di balik kekaguman itu, terselip rasa takut. Mereka tahu, kemarahan Raynar bisa meledak kapan saja, menghancurkan ketenangan yang rapuh."Aruna, ikut ke ruangan saya!" perintah Raynar, suaranya sedingin es, tanpa menghentikan langkahnya yang mantap.DEG.Jan
"Siapa yang kau anggap pria liar, hmm?!" Mata elang Raynar menyipit, menatap Meida dengan tatapan tajam yang menusuk. Rahangnya mengeras, otot-ototnya menegang, menahan amarah yang bergejolak di dalam dirinya. Hinaan Meida terhadap Aruna, wanita yang kini berdiri di sampingnya, membuatnya murka.Aruna, yang merasakan aura kemarahan Raynar, mencengkeram lengan pria itu dengan cemas. Ia takut, sangat takut, jika amarah Raynar akan meledak, menghancurkan ketenangan malam itu.Meida, seolah tak gentar sedikit pun, menatap Raynar dengan tatapan tak kalah tajam. Ada campuran antara intimidasi dan penghinaan di matanya, merendahkan Raynar yang dianggapnya sebagai pria rendahan yang memelihara Aruna. 'Memang tampan,' batin Meida, matanya menelisik Raynar dari ujung kepala hingga ujung kaki, 'tapi sayang, hanya pria liar.'"Kenapa melihatku seperti itu?" ketus Meida, suaranya sinis, memecah keheningan malam. "Memang pasangan yang serasi, sama-sama rendahan," gumamnya, bibirnya melengkung sinis
Aruna yang lelah setelah seharian bekerja, sesampainya di rumah ia sudah di sambut dengan makian oleh Meida, nenek tirinya."Lihat, sudah jam berapa ini?!" Teriak Meida melihat Aruna baru saja masuk membuka pintu, bahkan gadis itu belum sempat melangkahkan kaki dan masih berdiri di ambang pintu, "Perusahaan mana yang mempekerjakan karyawannya hingga hampir tengah malam seperti ini? Atau jangan-jangan ... Selama ini uang yang kmu berikan kepada kami berasal dari pekerjaan yang tidak benar?!" Ucap Meida memojokkan Aruna."IBU?!" Dengan suara yang sedikit meninggi, Dario berusaha untuk menghentikan kalimat Meida yang pedas."Kamu berani membentak ibu demi membela anak ini?" Tanya Meida kesal."Dia juga anak ku, bu!" Sahut Dario, ia menatap sekilas ke arah Aruna. Melihat perlakuan Meida terhadap Aruna, ia merasa sangat bersalah. Merasa tidak bisa melindungi putri dan juga istrinya, karena istrinya juga pasti sakit hati mendengar bagaimana ibunya mencaci Aruna."Anak? Anak dari mana? Dia t
"Jangan berjalan sambil melamun!"Suara bariton itu memecah keheningan jalanan yang sepi. Aruna tersentak, jantungnya berdebar kencang. Ia menoleh, mendapati Raynar berdiri di sampingnya, tatapannya tajam namun penuh misteri. 'Kenapa Pak Raynar bisa ada di sini?' batin Aruna, matanya menelisik sekeliling, mencari jawaban yang tak terlihat."Astaga?!" serunya, terkejut dengan kehadiran Raynar yang tiba-tiba."Ada apa?" tanya Raynar, melihat kebingungan di wajah Aruna."Ti-tidak," jawab Aruna gugup. "Emmm, bagaimana Anda bisa sampai di sini, Pak?" tanyanya hati-hati, berusaha menyembunyikan rasa penasarannya. Daerah ini dekat dengan rumah keluarganya, sementara kediaman Raynar berada di kawasan elit yang jauh dari sini.Raynar memasukkan sebelah tangannya ke saku celana, tatapannya dingin namun penuh pesona. "Tentu saja, saya datang untuk menagih janji Anda," jawabnya datar, suaranya mengalun seperti beludru.DEG.Jantung Aruna berdebar semakin kencang. Ia ingat perjanjian itu, tawaran