Keesokan harinya, Aruna tiba di kantor jauh lebih awal dari biasanya. Ada tumpukan pekerjaan yang menanti, tapi pikirannya melayang pada satu hal: pertemuan dengan Raynar. 'Bagaimana cara menyampaikan permintaan ini nanti?' batinnya bergejolak, keraguan dan kecemasan menari-nari di benaknya.
Saat jam kantor dimulai, Aruna sudah tenggelam dalam pekerjaannya, jemarinya lincah menari di atas keyboard laptop. Tak lama kemudian, Raynar muncul, diiringi asistennya, disambut sapaan serentak dari seluruh karyawan divisi.
"Pagi, Pak!" suara mereka menggema di ruangan luas itu.
Raynar hanya mengangguk singkat, tatapannya dingin dan acuh tak acuh. Pemandangan ini sudah menjadi rutinitas, menyaksikan ketampanan dan aura dominan Raynar. Namun, di balik kekaguman itu, terselip rasa takut. Mereka tahu, kemarahan Raynar bisa meledak kapan saja, menghancurkan ketenangan yang rapuh.
"Aruna, ikut ke ruangan saya!" perintah Raynar, suaranya sedingin es, tanpa menghentikan langkahnya yang mantap.
DEG.
Jantung Aruna berdebar kencang, seperti genderang perang yang dipukul bertalu-talu. Mengapa namanya disebut saja sudah membuatnya kehilangan kendali? Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sebelum beranjak menuju ruang kerja Raynar.
"Una!" panggil Bella, matanya menatap sahabatnya dengan cemas. "Semangat!" serunya, berusaha memberikan dukungan. Ia tahu betul karakter Raynar yang tempramental, tegas, dan dingin. Ia khawatir Aruna akan menjadi sasaran amarah atasannya.
Aruna tersenyum lebar, berusaha menutupi kegugupannya, dan membalas sapaan Bella dengan gerakan tangan yang penuh semangat.
TOK TOK TOKKK.
Aruna mengetuk pintu ruang kerja Raynar, suara ketukan itu terdengar nyaring di tengah keheningan. Ia melangkah masuk, menyapa atasannya dengan sopan, "Selamat pagi, Pak!"
Napas Aruna tercekat. Pagi itu, Raynar tampil begitu mempesona, auranya begitu dominan hingga membuatnya terpesona. Raynar telah menanggalkan jasnya, hanya menyisakan kemeja putih yang memperlihatkan otot lengannya yang kuat. Kacamata bertengger di hidungnya, matanya yang tajam menatap serius dokumen di hadapannya. Ia duduk dengan gagah di kursi kebesarannya, seperti raja di singgasananya.
"Silakan duduk!" perintah Raynar, suaranya berat dan tegas, memecah keheningan ruangan.
Aruna mengangguk dan duduk di kursi yang dimaksud Raynar. Tak lama kemudian, Raynar menyodorkan sebuah dokumen berisi perjanjian kontrak pernikahan mereka.
"Silakan kamu baca, jika ada yang tidak cocok... kita bisa membicarakannya kembali, sebelum kamu menandatangani surat perjanjian ini!" ucap Raynar menjelaskan.
Aruna mengangguk. Perlahan, ia mulai membaca berkas itu dengan teliti. Aruna mengangguk dan tersenyum kecil setelah membaca keseluruhan surat perjanjian itu, seolah puas dengan apa yang tertulis di dalamnya. "Baiklah, tidak ada masalah dengan poin-poin di dalam surat perjanjian ini. Saya bersedia bekerja sama dengan Anda, Pak!" ucapnya seraya menandatangani surat itu.
Raynar tersenyum kecil melihat Aruna menandatangani surat itu. "Senang bekerja sama dengan Anda!" ucapnya seraya mengulurkan tangan ke arah Aruna.
Aruna menerima uluran tangan Raynar, jabatan tangan mereka menandakan kerja sama itu resmi dimulai.
"Baiklah, kalau begitu... saya undur diri, ada beberapa pekerjaan yang belum saya selesaikan!" pamit Aruna, ia menutup bolpoin yang tadi ia gunakan dan meletakkannya di atas meja, sebelum beranjak dari kursi itu.
"Jangan lupa persiapkan semua berkas yang dibutuhkan untuk meeting nanti!" ucap Raynar mengingatkan.
"Baik, Pak!"
"Persiapkan diri kamu juga, hari ini... kamu yang akan menemani saya untuk perjalanan bisnis di luar negeri!" ucap Raynar tanpa ekspresi.
"Sa-saya, Pak?!" Aruna sedikit bingung. Karena selama ini, setiap ada perjalanan bisnis di luar negeri selalu ditemani oleh Arland, asisten sekaligus orang kepercayaannya.
"Hmmm," singkat Raynar, "Dan nanti sebelum kita berangkat, kita akan ke kantor catatan sipil dahulu untuk melegalkan hubungan kita!"
"HAH?" Aruna terbelalak mendengar kalimat terakhir Raynar.
Raynar menegakkan tubuhnya, melepas kacamata yang bertengger di hidungnya, membuat auranya semakin mengesankan hingga Aruna hampir lupa caranya bernapas.
"Ada apa?" tanya Raynar, matanya menyipit melihat reaksi Aruna.
"Bukannya ini terlalu buru-buru, Pak?!"
Raynar menggeleng, "Untuk apa lagi menunda hal baik?"
Hal baik? Tapi ini kan... "Ini kan sekadar hubungan palsu, Pak?!" ucap Aruna dengan polos.
Ekspresi Raynar seketika berubah mendengar kalimat Aruna. "Memangnya kenapa? Apa ada yang salah, hmmm?!"
Aruna menggeleng, tidak berani untuk menentang keputusan Raynar. Bagaimanapun, pria itu adalah pihak pertama yang memiliki kekuasaan lebih besar di dalam kontrak itu. "Baiklah, Pak. Saya undur diri agar bisa segera menyelesaikan pekerjaan sebelum mengikuti Anda untuk perjalanan bisnis!" pamit Aruna, suaranya terdengar datar, menyembunyikan rasa cemas yang menggerogoti hatinya. Ia nyelonong pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban dari Raynar, langkahnya tergesa-gesa, seperti buronan yang melarikan diri dari kejaran. Ia sedikit was-was, takut tanpa sengaja membuat atasannya itu kesal dan akhirnya marah-marah, karena ia tahu, seluruh divisi yang berada satu lantai dengan kantor Raynar akan terkena imbasnya.
Kening Raynar berkerut, matanya menatap punggung Aruna yang menghilang di balik pintu. "Ada apa dengan dia?" gumamnya, suaranya terdengar dingin, seperti hembusan angin malam.
Sementara itu, Aruna menghela napas lega, seolah baru saja keluar dari ruangan penyiksaan. Ruang kerja Raynar, yang seharusnya menjadi simbol kekuasaan dan kesuksesan, terasa seperti ruang hampa yang mencekam baginya. Ya, ruangan itu memang tertata indah dan elegan, tapi penghuninya...
"Huhhhh, akhirnya..." Aruna memegangi dadanya, merasakan jantungnya yang berdebar kencang, seperti genderang perang yang ditabuh bertalu-talu. Sial, sebentar lagi... tidak hanya di kantor, ia akan terikat dengan Raynar di mana pun ia berada. Aruna teringat kembali pada surat perjanjian itu, kontrak yang mengikatnya dalam pernikahan palsu selama satu tahun.
"Tenang-tenang, sabar... ini hanya satu tahun, Aruna," gumamnya, berusaha menguatkan diri. Jika bukan karena gaji yang ditawarkan Raynar sangat menggiurkan, ia tidak akan sudi berada di posisi ini. Ia membayangkan dirinya terkurung dalam sangkar emas, dikelilingi kemewahan, tapi jiwanya merana.
***
Raisa mematung, harga dirinya seakan hancur diinjak-injak. Rasa malu bercampur amarah membakar di dadanya. Tamparan yang gagal mendarat di pipi Aruna kini terasa lebih perih daripada apa pun. Ia menatap Raynar, berharap pria itu akan membelanya, tetapi tatapan dingin Raynar dan kalimatnya yang tajam bagai ribuan pisau menghujamnya."Jangan pernah sentuh istriku lagi. Jika kamu melakukannya, aku tidak akan segan-segan untuk menghancurkanmu," suara Raynar yang menggelegar penuh ancaman masih terngiang di telinganya.Aruna yang berada di pelukannya hanya bisa terdiam. Walaupun Aruna terlihat santai, namun ia berusaha menahan getaran di tubuhnya. Ia bisa merasakan tatapan seluruh karyawan di kantor itu, menuduh, menghakimi, dan penuh rasa ingin tahu.Raynar mengabaikan Raisa. Ia semakin mengeratkan pelukan itu, seolah ingin melindunginya dari semua mata yang mengawasi. Tiba-tiba, Raynar mengeluarkan ponselnya dan menelepon asistennya. "Siapkan meeting sekarang juga di lantai utama. Kumpul
Tebakan Jessica meleset. Ia menduga Raynar akan panik dan menangkapnya saat ia pura-pura terjatuh. Tapi tidak. Sedikit pun Raynar tidak bergeming. Ia hanya menatap Jessica yang jatuh dengan tatapan dingin, bahkan sebelah tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Sangat santai.BUKK!Tubuh Jessica membentur lantai dengan keras. Rasa sakit menjalari sekujur tubuhnya, tetapi yang lebih sakit adalah harga dirinya. Ia mengangkat kepalanya, menatap Raynar yang masih berdiri dengan santai."Apa yang sedang kamu lakukan?" Suara Aruna tiba-tiba memecah keheningan.'Sialan.' Jessica mengumpat dalam hati. Kesalahpahaman yang ingin ia ciptakan gagal total. Ini adalah momen yang sangat pas, tapi sayangnya tidak sesuai ekspektasinya. Ia masih terduduk di lantai, rasa sakit dan malu membaur menjadi satu.Melihat kedatangan Aruna, Raynar menyambut dengan seulas senyum. Ia melangkah melewati Jessica yang masih terduduk di lantai, seolah Jessica hanyalah batu yang menghalangi jalannya. Raynar menghamp
Jessica melangkah masuk ke dalam restoran mewah dengan senyum penuh percaya diri. Berdasarkan informasi yang ia dapatkan dari seorang kenalan, Raynar dan Aruna sering makan siang di sini. Ia telah merencanakan pertemuan ini dengan matang, mengenakan gaun yang paling indah dan riasan yang paling menawan, berharap bisa menarik perhatian Raynar.Tidak butuh waktu lama baginya untuk menemukan mereka. Raynar dan Aruna duduk di meja sudut, dekat jendela, terlihat begitu serasi. Raynar sesekali tersenyum mendengar cerita Aruna. Pemandangan itu membuat Jesicca tidak suka.Jessica mendekati meja mereka, berpura-pura terkejut. "Kak Aruna? Kakak ipar?" sapanya dengan suara riang yang dibuat-buat.Aruna mendongak, alisnya sedikit berkerut heran, tidak menyangka akan bertemu Jessica di sini. "Jessica? Sedang apa kamu di sini?"Raynar menoleh, alisnya sedikit terangkat. Ia menatap Jessica dengan tatapan dingin, yang langsung membuat senyum Jessica memudar."Aku sedang makan siang dengan klienku," j
Hari itu, Raynar benar-benar mengumumkan hubungannya dengan Aruna. Pria tampan dengan mata elang itu tidak peduli dengan penolakan dari keluarganya. Di dalam gedung Wijaya Corporation, seluruh karyawan benar-benar terkejut. Suasana menjadi riuh, dipenuhi bisikan-bisikan. Hubungan tak terduga antara Bos dan sekretarisnya itu menjadi topik utama di seluruh perusahaan."Pak..." Aruna berdiri di balik kaca penyekat, menatap keramaian di luar. Ia ingin keluar untuk mengambil sesuatu, tetapi kakinya terasa berat. Ia tidak punya tenaga untuk menghadapi tatapan dan bisikan-bisikan itu."Hmmm. Ada apa?" sahut Raynar lembut. Ia tersenyum kecil dari meja kerjanya, menatap Aruna yang terlihat cemas seperti buronan. "Apa kamu tidak nyaman dengan mereka? Apa kamu ingin saya memecat mereka?" tanya Raynar, yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakang Aruna, dengan satu tangan di saku celana. Ia menunjuk ke arah beberapa karyawan yang bergosip di seberang kaca."Pak, jangan aneh-aneh, dong!" prote
BRAKKK!Pintu itu terbuka. Pemandangan pertama yang dilihat oleh CEO muda itu benar-benar membuatnya sangat khawatir. Dengan membawa ponsel Aruna yang ia temukan di depan pintu toilet, Raynar melangkah lebar menghampiri Aruna yang terduduk di atas lantai, di sudut tembok salah satu bilik toilet."Ada apa?!" paniknya, berjongkok di depan Aruna dan segera memeluk gadis itu.Aruna yang saat itu masih syok atas kejadian yang baru ia alami, hanya bisa menangis di dekapan Raynar. Usapan halus Raynar di rambutnya, cukup membuatnya merasa nyaman. Air matanya terus mengalir, membasahi jas mahal yang dikenakan oleh CEO muda itu."Siapkan mobil sekarang!" perintah Raynar kepada asistennya, Arland, yang kebetulan berada di sana untuk menyampaikan hal penting tentang perusahaan."Baik, Pak," sahut Arland, sigap.Tanpa menunggu lama, Raynar mengangkat tubuh Aruna. Dengan gagahnya ia melangkah di tengah banyaknya pasang mata yang melihatnya ketika melintasi lobi."Sembunyikan wajahmu," bisiknya lemb
Raynar dan Aruna melangkah masuk ke ruang rawat. Aroma antiseptik menusuk hidung, menciptakan suasana dingin dan kaku. Di sana, Elisa duduk di samping ranjang, tangannya menggenggam tangan Bara yang terbaring lemah dengan wajah pucat. Raisa berdiri di sudut ruangan, matanya memancarkan amarah yang tak bisa disembunyikan melihat Raynar dan Aruna. "Raynar, kenapa kamu baru datang?" tanya Elisa panik. "Ayahmu..." Aruna merasa bersalah. Ia menyadari semua ini terjadi karena dirinya. Raynar mengabaikan pertanyaan ibunya dan mendekati ranjang Bara, membiarkan Aruna tetap di sampingnya. Aruna merasakan tatapan Raisa yang menusuk, tetapi ia berusaha tetap tenang. "Kenapa kamu bawa wanita itu kemari? Apa kamu sengaja memperburuk keadaanku?" tanya Bara. Suaranya lemah, menatap Raynar dengan tatapan sulit diartikan. "Raynar, apa kamu tidak bisa melihat kondisi ayahmu sekarang?" teriak Raisa, campur aduk antara emosi, cemburu, dan frustrasi. "Hubungan kami tidak ada hubungannya dengan kondisi